“… terus terang, kami dari Perhimpunan Perempuan Indonesia Tionghoa merasa tidak berdaya untuk menghadapi tragedi yang begitu besar. Tapi atas dukungan bapak, ibu dan Komnas Perempuan, sehingga kami tetap di Indonesia, kami cinta tanah air Indonesia. Sampai sekarang kami merasa sedih sekali tidak berdaya menolong Wiwin (seorang aktivis, ibunda Ita) saat kejadian itu…” (Ibu Maria (bukan nama sebenarnya)-Perhimpunan Perempuan Indonesia Tionghoa (PENTI), TPU Pondok Rangon, 8 Mei 2017-16.45WIB) Pernyataan itu mengalir pada sebuah peringatan tahunan bertema “Ingat, Hormat dan Adil pada Sejarah”, terselenggara pada 8 Mei 2017 di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Rangon. Acara tersebut bertujuan untuk menolak lupa atas Tragedi Mei 1998 di Indonesia. Sebelum menghadiri acara tersebut, saya berpikir bahwa menolak lupa menjadi aktivitas romantisme untuk mengenang korban yang hilang, entah itu keluarga, sahabat, atau orang lain tak dikenal. Saya merasa bahwa perhelatan demikian hanya mengorek luka. Nyatanya, dalang pelaku utama kerusahan itu belum juga terkuak. Aparat penegak hukum juga bungkam dengan fakta-fakta yang terpapar. Lantas, apa lagi yang dapat diharapkan dengan peringatan sejenis itu? Jawaban atas pertanyaan saya yang dangkal muncul tanpa sengaja dari perempuan berambut putih dan berkemeja hitam kelam. Ia merupakan seorang ibu dari korban tewas tertembak, Maria K. Sumarsih namanya. Dengan lantang, Sumarsih menyatakan bahwa peringatan ini bukan sekadar menolak lupa, tetapi mengingatkan agar jangan sampai kejadian pelanggaran HAM berat ini terjadi di masa depan. Sudah cukup korban dan keluarga yang Tragedi 1998 saja yang kehilangan. Ya! Itu lah intinya. Ingatan saya kemudian mundur pada meledaknya kejadian Mei 98. Dimana saya saat tahun 1998? Apakah karena bukan korban atau pelaku maka saya tidak menganggap penting sejarah penindasan itu? Apa yang dapat saya perbuat agar tragedi tidak terulang lagi? Naluri saya terkoyak. Antara Trisakti, Aparat dan Hilangnya Kemanusiaan Dua jam sebelum acara peringatan di atas, saya berkesempatan mengunjungi Museum Trisakti di bilangan Jakarta Barat. Saya hanya tahu Universitas Trisakti cukup tenar dalam aksi penggulingan Soeharto, sebab 4 mahasiswanya gugur tertembak dan 18 lainnya menghilang. Selebihnya, saya tidak tahu apa-apa sampai kegiatan kunjungan lapang tersebut berlangsung. Saat memasuki Gedung Dr. Syarif Thajeb, Kampus A. Saya kebingungan mencari museum karena hanya melihat ruang seperti lobi dengan beberapa gambar. Dimana museumnya? Bayangan tentang museum yang menyelimuti pikiran saat itu adalah bangunan tua kokoh, barang-barang kuno dengan aroma dan suasana yang mistis. Ternyata, saya baru mengetahui bahwa Museum Trisakti yang dimaksud memang sebuah ruangan selasar yang menjadi tempat peristirahatan mahasiswa pasca melakukan aksi damai pada 12 Mei 1998.
Aksi itu diduga dilakukan oleh snipper (istilah untuk penembak jitu). Akan tetapi, saya meragukan hal tersebut, karena penembakan peluru terjadi secara berondongan. Sekitar 5 peluru tergeletak di dalam museum, sementara peluru lain bersarang di tubuh 4 mahasiswa yang telah gugur. Pada museum terdapat salah satu sudut dinding kaca dengan lubang menganga sekitar 10 cm sebagai bukti peluru yang menembus ruangan. Papan mading berlumur darah untuk mengangkut korban berdiri tepat di samping piagam penghargaan kepada korban dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Saya tidak bermaksud menyepelekan tanda jasa penghargaan, tetapi miris sekali rasanya, kematian hanya di tukar dengan sebuah piagam. Padahal pemerintah saat itu dapat berbuat lebih dengan berani menyatakan dalang di balik tragedi tersebut. Saudari Kita Menjadi Korban Tragedi Mei 98 karena PerempuanBelum usia air mata terurai dari kejadian Trisakti, muncul tragedi lain di Jogja Plaza Klender, penjarahan Pantai Indah Kapuk, Semanggi I dan II. Menurut saya, kerusuhan tersebut merupakan kejahatan terstruktur dan terencana oleh kalangan elit politik dan aparat militer. Dari semua kejahatan itu, hal yang paling membuat saya geram adalah lagi-lagi perempuan menjadi korban. Entah dia seorang mahasiswi, aktivis, ibu, bahkan perempuan dalam kondisi hamil. Perempuan menjadi sasaran empuk bagi misi kejahatan. Akan tetapi, mayoritas korban adalah perempuan dari salah satu golongan. Siapakah mereka? Kalangan perempuan yang paling mendapati kekerasan dan trauma hingga kini yaitu perempuan etnis Tionghoa. Dalam hal ini, saya melihat mereka merupakan sosok dengan kategori multy minority. Artinya, mereka merupakan kelompok minoritas dengan atribut dan identitas beragam, yaitu perempuan, Tionghoa, non-muslim, dan non-pribumi. Lengkap sudah kategori minoritas yang dimiliki oleh perempuan dari kalangan tersebut. Akibatnya, mereka menjadi sosok yang rentan dan mudah menjadi sasaran penyerangan. Hal itu diperkuat dengan hasil liputan dari Kompas.com bahwa mereka mengalami penyerangan seksual dalam bentuk perkosaan, pelecahan seksual, ancaman perkosaan, gang rape (perkosaan bergilir). Bentuk perkosaan juga beraneka ragam, mulai dari penetrasi penis ke vagina, pemaksaan oral seks, penganiayaan seksual dengan merusak vagina dengan menggunakan berbagai benda lain (Kompas.com, 15 Mei 2008). Amoral! Biadab! Saya melihat opresi dan kekerasan yang terjadi pada saudari kita perempuan Tionghoa sebagai bentuk titik temu dari persinggungan beragam faktor dari kondisi perempuan. Oleh sebab itu, multi minority dapat dilihat lebih dalam melalui konsep interseksionalitas. Istilah interseksionalitas sendiri dipopulerkan oleh Kimberle William Crenshaw untuk melihat fenomena sosial yang bersifat multidimensional. Hal ini menyadarkan pada kita bahwa perempuan korban 98 bukan merupakan individu dengan identitas atau dimensi yang tunggal. Seperti yang telah saya sampaikan di atas, mereka memiliki dimensi keterkaitan yang terdiri dari gender, ras, agama, etnisitas, kelas, stratifikasi dan lainnya (Crenshaw, 156). Ironisnya, persinggungan dari beragam identitas sosial tersebut mengakibatkan mereka sebagai kalangan minoritas yang rentan. Keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas terendus oleh elit aparat yang melihat itu sebagai sasaran penyerangan. Dengan kata lain, persinggungan multidimensi tersebut akhirnya mengarah pada adanya politisasi identitas perempuan yang dimanfaatkan oleh kelompok berkuasa. Dalam tragedy Mei 98, dapat terlihat pula adanya hierarksi jenis kelamin terutama perempuan yang masuk dalam ketimpangan kekuasaan, ketidaksetaraan sosial ekonomi, stigma, hingga kekerasan. Atas dasar tersebut, kekerasan dan perkosaan pada tragedi Mei 98 banyak menimpa perempuan dari etnis Tionghoa. Untuk memahami mengapa perempuan dari kalangan multi minority menjadi sosok yang paling menderita, memang dibutuhkan penjelasan sejarah panjang sejak masa kolonial. Dari sisi sejarah, terdapat konstruksi berisi stigmatisasi sejak zaman Belanda dalam melihat perempuan kelas Tionghoa karena kecemburuan kelas dan ekonomi. Hal itu turut dilakukan Rezim Orde Baru dengan turut memproduksi pengetahuan dengan mengusung istilah wanita. “wanita” berasal dari kata Sansekerta bermakna “yang diinginkan dan ditaklukan” (Galenteer dalam Muchtar, 62). Jelas bahwa arti dari wanita saat itu adalah sosok yang pasif sebagai objek. Reproduksi tersebut terus dilakukan sehingga pandangan tentang perempuan menjadi sangat rendah, lemah dan berstigma negatif. Berdasarkan pembahasan di atas, saya pribadi mulai menyadari bahwa kejahatan terstruktur dalam tragedi Mei 98 kepada perempuan tidak dapat dilihat secara sempit. Terdapat konteks multi minority sekaligus interseksionalitas hingga stigma kepada perempuan yang saling berkelindan di dalamnya. Akan tetapi, hal yang lebih penting yaitu memahami bahwa posisi perempuan khususnya Tionghoa yang menjadi korban, berakar dari konstruksi sosial di masyarakat yang sejak lamla memandang sebelah mata posisi perempuan. Oleh sebab itu, kekerasan yang menimpa korban 98 dikarenakan dirinya sebagai perempuan dari kalangan minoritas. Kekerasan Berbasis Gender yang Terencana dan Politisasi Identitas Reproduksi pengetahuan dari rezim Orde Baru tentang perempuan sebagai korban tragedi 1998, pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari konsep kekerasan berbasis seksual dan gender. United Nation High Commision for Refugees (UNHCR) dalam penjelasannya, menyatakan bahwa kekerasan berbasis seksual dan gender merupakan kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks maupun gender karena adanya ketidaksetaraan relasi kekuasaan. Tindak kekerasan oknum aparat bertujuan untuk melecehkan korban, terutama karena dia perempuan. Penganiayaan, perkosaan, hingga pembunuhan kepada perempuan secara terstruktur dan terpola menjadi bukti adanya kekerasan berbasis gender dan seks dalam tragedi Mei 1998. Hal tersebut merujuk pada pandangan ketidaksetaraan kekuasaan oleh laki-laki kepada perempuan. Oleh sebab itu, tindak kekerasan yang khas memang ditujukan kepada perempuan sebagai jenis kelamin yang dianggap lemah. Istilah kekerasan khas mengarah pada pembenaran dan justfikasi kelompok yang memegang kendali atau kuasa dalam negara. Bukan sebuah kebetulan, berbagai cerita dalam artikel terkait kasus perkosaan menunjuk pada kelompok laki-laki berambut cepak dan berperawakan tegap serta tinggi. Fakta tersebut mengarahkan pada pernyataan bahwa perkosaan tersebut tidak dilakukan secara spontan, melainkan terencana dan dilakukan professional. Sebagian besar praduga mengarah pada aparat keamanan dari pemerintah yang saat itu pro terhadap Reformasi. Sally H. Barlow dalam karya berjudul Women and Agression berargumentasi bahwa kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat berkaitan dengan konsep kekuasaan (35). Akibatnya perempuan sebagai kalangan yang menjadi objek agresi dari kelompok agresi (oknum aparat yang berkuasa). Adanya kekerasan berbasis gender dan seks pada tragedi 98, membawa saya pada kesadaran bahwa tubuh dan identitas perempuan telah dipolitisasi oleh oknum aparat pemerintah. Awalnya, saya memahami politik dan tragedi 98 tidak ada kaitanya dengan hal privat. Setelah menelaah kasus ini, saya semakin yakin bahwa isu politik juga membawa tubuh dan seksualitas perempuan. Tubuh dan seksualitas yang sebelumnya dianggap sebagai hal privat, nyatanya justru digunakan secara keji dalam kepentingan politik. Oleh sebab itu, meminjam pemikiran dan slogan bahwa The Personal is Political dari Kate Millet sangat tepat dalam menjelaskan kondisi perempuan dan isu politik. Perihal tubuh tidak cukup hanya dilihat pada ranah privat tapi juga menyangkut ranah publik terutama soal kepentingan politis dan relasi kuasa (Arivia, 101). Belajar dari Sejarah untuk Perempuan dan Keadilan Saya menyadari terdapat berbagai aktivitas solidaritas untuk memberikan spirit bagi keluarga dan korban, mulai dari Tim Gabungan Pencari Fakta, Ikatan Keluarga Hilang, Perhimpunan Perempuan Indonesia Tionghoa, dan lainnya. Keberadaannya mungkin saja cukup untuk memberikan penghiburan. Akan tetapi, hal demikian pasti belum cukup untuk sebuah keadilan. 19 tahun tragedi Mei 98 berlalu dan saya merasa keadilan belum juga diperoleh bagi korban dan keluarga. Ironisnya, saat ini pemerintah cenderung mengulangi kesalahan, yaitu menyulut konflik dengan menggunakan isu SARA. Entah mengapa kejadian yang pernah terjadi seharusnya menjadi pembelajaran untuk bangsa kita. Tapi pada kenyataannya, bangsa ini lalai, terbukti dengan munculnya kasus politisasi dengan isu SARA yang membawa nama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Pemenjaraan Ahok merupakan wujud semakin mundurnya keadilan di Indonesia. Saya berharap upaya mencapai keadilan yang terjadi tidak cukup hanya dengan membuka dalang dan menegakkan hukum, tetapi juga perlu adanya kewajiban pemerintah melakukan dekonstruksi dalam memandang relasi gender dan jenis kelamin perempuan di Indonesia, sehingga pandangan yang bersifat bias dan merendahkan dapat dihapuskan. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk tegas, mereka tidak boleh lagi toleran terhadap pemikiran dan aksi yang dapat membuat tragedi Mei 98 terulang. Sekali lagi saya menekankan bahwa kejahatan dan kekerasan seksual yang menimpa perempuan tidak boleh dilihat sebagai kejahatan biasa yang dapat dengan mudah dimaafkan. Jangan pernah merasa diri kita sudah merdeka jika penindasan dan ketidakadilan ternyata bergentayangan di hadapan kita. Mari bergerak! Turut mendoakan agar kedamaian menyertai saudara-saudariku korban tragedi Mei 1998. Daftar Pustaka: Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta, 2003. Barlow, Sally. H and C.J. Clayton. Women and Agression dalam Horald V.Hall and Leighton c Whitake, CRC Press: London, 1998. Crenshaw, K.W. Demarginalizing the Intersection of Race and Sex. The University of Chicago Legal Forum, 1989. Muchtar, Yanti. Tumbuhnya Gerakan Perempuan Indonesia Masa Orde Baru. Institue Kapal Perempuan: Jakarta, 2016. http://www.unhcr.org/sexual-and-gender-based-violence.html, diakses pada 12 Mei 2017, 18.35 WIB. http://nasional.kompas.com/read/2008/05/15/2115190/kekerasan.seksual.mei.1990.masih.te rasa.hingga.10.tahun, diakses pada 12 Mei 2017, 17.45 WIB Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |