Judul buku : Perempuan di Titik Nol Pengarang : Nawal El Sadaawi Penerbit : Yayasan Obor Indonesia Tahun Terbit : 2002 “Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja; untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka.” (Nawal El Saadawi 2002, h. 149)
Kutipan diatas merupakan sepenggal dialog yang terdapat pada novel Perempuan di Titik Nol yang ditulis Nawal El Saadawi. Novel ini mengisahkan sisi gelap yang dihadapi perempuan-perempuan Mesir di tengah kebudayaan Arab yang kental dengan nilai-nilai patriarki. Ketika perempuan masih mengalami ketimpangan hak dan tidak tidak pernah mendapatkan hak yang sama seperti yang didapatkan laki-laki. Seperti halnya bangsa Arab, budaya patriarki menjadi salah satu dasar perdebatan akan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan masih menuai konflik. Mengenai hak-hak perempuan yang kurang terjamin, kebebasan dalam dunia politik, serta kungkungan hierarkis suami membuat perempuan terbelakang dalam segala kesempatan, mengalami diskriminasi, kekerasan, serta kemiskinan. Negeri Arab yang dikenal dengan kondisi perempuan yang amat terbelakang menghadirkan sejuta cerita mengenai perempuan korban budaya patriarki. Nawal El Saadawi seorang doktor berkebangsaan Mesir menghadirkan sebuah novel yang menunjukkan perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama dan untuk mendapatkan perubahan nilai dan sikap laki-laki Mesir terhadap perempuan yang sepenuhnya belum tercapai. Lewat tokoh Firdaus, Nawal menguak sebuah alur cerita yang sangat pedas, keras, dan berani yang mengandung jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan yang diderita, dirasakan, dan dilihat oleh perempuan itu sendiri. Perempuan di Titik Nol merupakan novel yang menghadirkan figur perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam budaya patriarki. Ia adalah seorang perempuan yang diciptakan oleh masyarakat yang sangat laki-laki menjadi makhluk kelas kedua yang berarti inferior. Firdaus: Identitas Perempuan yang Dinomorduakan “Jika salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti itu ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.” (Nawal El Saadawi 2002, h. 26) Hidup di tengah-tengah keluarga patriarkat sudah dirasakan oleh Firdaus sejak kecil. Hidup di tengah keluarga miskin, tak jarang Firdaus merasakan dan melihat seorang ayah diperlakukan seperti seorang raja oleh istri dan anak-anaknya. Seorang laki-laki (ayah) diperlakukan sebagai individu nomor satu di antara individu-individu lainnya. Relasi ini menunjukkan ketidaksetaraan di dalam sebuah keluarga, bahwa di posisi inipun perempuan mengalami dampak budaya patriarki. Begitu juga dalam lingkungan sosial, tokoh Firdaus kerap mengalami ketidakadilan sosial karena ia seorang perempuan. Saat Firdaus memasuki masa remaja, ia ingin sekali belajar di Kairo mengikuti jejak pamannya. Namun, ia tidak diperbolehkan belajar di sana karena dia adalah seorang perempuan. “Apa yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?” Lalu saya menjawab: “saya ingin ke El Azhar dan belajar seperti paman.” Kemudian paman tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum pria saja. El Azhar merupakan suatu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh laki-laki saja, dan paman merupakan salah seorang dari mereka. Dan dia adalah seorang laki-laki. (Nawal El Saadawi 2002, h. 22 dan 30) Dalam budaya patriarki seorang perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua atau yang disebut liyan oleh Simone De Beauvoir. Konstruksi masyarakat yang menganggap bahwa wilayah perempuan adalah pada arena domestik menciptakan suatu hubungan yang terdominasi dan tersubordinasi, hubungan antara perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan yang dominan sedangkan perempuan subordinat (laki-laki menentukan, perempuan ditentukan). Akibat adanya ketimpangan relasi ini tak jarang perempuan dibatasi ruang geraknya antara privat dan publik. Privat bermuara pada wilayah rumah tangga yang stereotipnya diperuntukan bagi perempuan, kemudian wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara diperuntukkan bagi laki-laki. Budaya patriarki juga yang membuat perempuan inferior lantaran tubuhnya. Keadaan inilah yang membuat perempuan mengalami diskriminasi dalam segala hal baik ekonomi, politik maupun sosial. Dalam esainya yang berjudul “Inti Problematika Perempuan Mesir”dalam Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan (2007), Nawal pernah mengemukakan bahwa mayoritas kaum laki-laki dari Partai Sosialis Arab menganggap bahwa menghimpun kekuatan politik kaum perempuan adalah pemikiran yang salah dan dianggap sebuah usaha untuk memecah belah barisan persatuan kaum laki-laki dan perempuan. Ini juga dianggap usaha mengalihkan perjuangan dari tujuan pokoknya, baik dalam bidang politik maupun ekonomi, sehingga menjadi perseteruan antara kaum laki-laki dan perempuan. Relasi Patriarki terhadap Tubuh Perempuan Dalam budaya patriarki, sisi laki-laki yang sangat dominan menciptakan identitas perempuan menjadi makhluk kelas dua. Akibat budaya patriarki ini sejak kecil Firdaus kerapa kali mengalami tindak kekerasan dan sewenang-wenang dari laki-laki. Ayah Firdaus adalah sosok yang ditakuti dalam keluarganya. Sebagaimana dalam budaya patriarki, ayah mempunyai peranan dominan dalam keluarga. Tak jarang Firdaus mendapatkan kekerasan dari ayahnya yang membiarkannya lapar dan membasuh kaki ayahnya apabila sedang kedinginan. Ayahnya pula yang menciptakan identitas Firdaus sebagai pelayan rumah tangga pengganti ibunya. Pelecehan seksual kerap kali didapatkan oleh Firdaus dari pamannya sejak kecil. “Saya melihat tangan paman saya bergerak-gerak dibalik buku yang sedang Ia baca menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya.”(Nawal El Saadawi 2002, h. 20). Perlakuan inilah yang nantinya membentuk identitas Firdaus menjadi perempuan lacur. Ketika Firdaus memasuki usia remaja, ia dinikahkan oleh pamannya kepada seorang laki-laki bernama Syekh Mahmoud seorang laki-laki tua yang berperangai kasar dan kikir. Firdaus ditukar dengan mahar yang sangat mahal. Dalam rumah tangganya tidak jarang Firdaus mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya karena dia adalah seorang istri dan seorang perempuan. “Pada suatu peristiwa ia memukul badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya pergi dari rumah dan pergi ke rumah paman.”(Nawal El Saadawi 2002, h. 63) Identitas Firdaus sebagai seorang perempuan yang dianggap sebagai makhluk kelas dua membuat Firdaus pasrah menerima perlakuan kekerasan dari suaminya. Di tengah-tengah budaya patriarki kejadian tersebut dianggap lumrah, ketika seorang suami memukul istri. Bahkan pamannya berkata bahwa ia juga sering memukul istrinya. Kewajiban seorang istri ialah kepatuhan yang sempurna. Pengalaman demi pengalaman yang dialami oleh Firdaus sejak kecil memberikan pelajaran kepada Firdaus bahwa identitasnya sebagai seorang perempuan hanyalah dijadikan sebagai objek yang dapat ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. perlakuan sewenang-wenang yang diterima Firdaus mengajarkan bahwa ia juga pantas menerima sebuah kebebasan, tanpa kontrol dan siksaan dari laki-laki. Dalam kondisinya yang miskin Firdaus lebih memilih menjalani profesinya sebagai pelacur. Dalam mencapai kesusksesan menjadi pelacur yang bebas tersebut, Firdaus sampai pada permenungan bahwa peran laki-laki dalam budaya patriarki mempunyai peran besar membentuk tubuhnya menjadi pelacur. “Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak.” (Nawal El Saadawi 2002, h. 133) Diskriminasi Perempuan dalam Aspek Sosial, Ekonomi, dan Politik Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu berbagai negara dibelahan bumi mengadakan demonstrasi besar-besaran melawan kekerasan terhadap perempuan atau yang dikenal dengan istilah femicide. Di Indonesia sendiri angka kekerasan terhadap perempuan meningkat drastis, menurut Catatan Akhir Tahun 2014 Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Tidak hanya sampai di situ, berbagai Perda diskriminatif kemudian muncul mengatur tubuh perempuan, misalnya larangan beraktivitas malam bagi perempuan oleh pemerintah kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Berbagai bentuk penindasan pun kerap kali diberitakan dialami oleh perempuan. Penindasan tersebut dapat dialami dengan berbagai bentuk, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, serta pemecatan di tempat kerja. Tidak jarang pula kita sering disuguhi dengan berita diskriminasi lainnya, seperti anggapan tentang baik tidaknya tubuh perempuan, larangan bagi perempuan beraktivitas malam, larangan bagi perempuan memakai celana, serta peraturan-peraturan diskriminatif lainnya. Tindak diskriminatif dalam bidang pekerjaan sangat terlihat. Nilai patriarkal yang menganggap bahwa tempat perempuan adalah di rumah dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan dengan menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja tambahan yang dapat digaji dengan murah, tanpa jaminan sosial dan hak-hak kerja lainnya. Begitu juga dalam bidang politik, budaya patriarkis mengonstruksikan bahwa yang berhak memerintah adalah seorang laki-laki. Budaya patriarkis menciptakan suatu mitos bahwa ruang perempuan adalah mengurus rumah tangga (domestik) sedangkan wilayah publik atau politik dianggap sebagai ruang bagi laki-laki. Tidak heran jika sampai saat ini jumlah perempuan dalam jabatan publik masih sangat minim. Dalam budaya patriarki identitas perempuan diidentikkan dengan sifat lemah lembut dan membutuhkan perlindungan untuk membuatnya semakin lemah dan mudah didominasi. Mitos yang diciptakan tentang perempuan dalam budaya patriarki menghalangi perempuan untuk mengembangkan kekuatan serta potensi yang ada pada tubuhnya dan bukan untuk membuatnya kuat serta mampu bertahan dan berkreasi dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Di dalam budaya patriarki kelemahan tubuh perempuan dijadikan sebagai kelemahan absolut sebagai jenis kelamin kedua.
Ade Gusti
26/5/2016 05:18:12 pm
Dimana saya bisa mendapatkan buku ini? apakah termasuk buku lama? buku ini sangat menarik.
Yogie
8/6/2016 11:29:56 am
Mirip tulisan saya yah isinya... Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |