Dewi Setya (Alumni Ilmu Hubungan Internasional) [email protected] Judul Buku : Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global Security Penulis : J. Ann Tickner Kota Terbit : New York Penerbit : Columbia University Press Tahun Terbit : 1992 Perjalanan Feminisme sebagai pemikiran sebenarnya telah cukup panjang, berkisar akhir abad 18, beriringan dengan pecahnya revolusi Eropa-Amerika, meskipun istilahnya baru terkenal di abad 19-an (Peter Hough, 2015). Feminisme sebagai perspektif dalam disiplin Hubungan Internasional (HI) baru muncul akhir abad 19, bisa dikatakan hal ini cukup telat dibanding pengakaran feminisme dalam disiplin ilmu sosial lainnya. Sumbangan feminisme dalam HI, salah satunya dapat dilacak melalui gagasan-gagasan Tickner (1992). Dalam kajian Hubungan Internasional, peta keamanan internasional yang awalnya didominasi oleh realisme (sayap tradisional) mengalami pergeseran seiring munculnya kelompok-kelompok analis kritis. Kelompok ini berkembang pasca perang dingin dengan menggugat pandangan tradisionalis yang terlalu negara-sentris dalam mengkaji keamanan internasional. Menurut kelompok ini, pandangan tradisionalis kurang menggali aspek individu sebagai kategori analisis serta hal-hal yang terkait erat dengannya–ekonomi, lingkungan, pembangunan dan gender. Disitulah posisi Tickner, menggugat Realisme yang menjadi mainstream (sekaligus malestream) di era perang dingin.
Tickner memulai kritiknya dengan analisa genderisasi dalam poitik internasional yang dicirikan dengan watak manliness–ketangguhan, keperkasaan, kemandirian, kekuasaan–yang membentuk maskulinitas hegemonik. Dalam hal itu, marginalisasi perempuan melalui stereotip gender yang begitu kentara dan terasa telah menyababkan politik internasional menjadi domain laki-laki. Dalam studi keamanan, hal ini membuat terbentuknya konsep keamanan nasional yang bias gender. Untuk itu, gender sebagai kategori analisis perlu dihadirkan untuk melihat politik internasional yang lebih “objektif”, sebagai pelengkap teori-teori kritis yang belum menyertakan analisis gender secara mendalam. Kritik feminisme oleh Tickner terhadap Realisme dalam kajian keamanan kemudian menyasar pada konsepsi yang menjadi benteng pembelaan diri Realis sebagai ilmu yang objektif, yaitu pada konsep individu-nasional–internasional. Pertama, Tickner memandang konsep Political Man dalam gagasan Morgenthau yang diklaim sebagai konstruksi human nature—konsep yang juga diperkuat oleh gagasan Machiavelli, mengenai citizen-warrior dan first class citizen. Menurut Tickner, konsep tersebut merupakan abstrakasi dari laki-laki dalam kekuasaan publik, dimana struggle of power menjadi prinsip utama. Keamanan nasional dalam pengertiannya menjadi sarat kelaki-lakian dan glorifikasi atas perang disematkan semata-mata untuk menunjukkan eksistensi Political Man. Kedua, gagasan realimse juga mewujudkan negara yang maskulin. Dalam konteks internasional politik—seturut ide realisme—negara menampakkan diri sebagai sosok maskulin yang berperang atas nama keamanan nasional untuk melindungi rakyatnya yang lemah, yakni perempuan dan anak-anak. Hal ini juga yang menyebakan kebijakan militer negara menjadi prioritas, sementara dunia militer sendiri menjadi domain laki-laki. Dalam konsepsi negara maskulin ini, perempuan mengalami pendevaluasian nilai karena dianggap tidak berkapasitas dalam urusan yang penting, militer dan perang. Akhirnya, dalam sistem internasional yang anarkis atau state of nature (tidak adanya strutur hierarki dalam politik internasional), sejatinya yang perang adalah umat laki-laki melawan umat lak-laki. Dengan demikian sejarah internasional politik adalah sejarah absennya perempuan. Tawaran Tickner untuk memperbaiki analisis kajian keamanan tersebut antara lain, pertama, mendefinisikan keamanan nasional secara spesifik dari sudut pandang pengalaman perempuan. Konsepsi domestik vis a vis internasional mesti diurai karena ia mengaburkan apa yang disebut keamanan dalam konteks domestik. Dengan demikian, akan ditemui bahwa keamanan adalah perihal bukan hanya absennya perang, melainkan absennya kekerasan, ketertindasan struktur, ekonomi dan budaya. Kedua, tidak memandang keamanan nasional (yang dianggap sudah mencakup individu) hanya berada dalam lingkup internasional (perang negara antar negara). Ia ingin membawa konsep anarki juga bisa terjadi di wilayah domestik, seperti peminggiran perempuan melalui peran reproduksi. Maka, asumsi feminis dalam keamanan menganggap kekerasan baik di ranah internasional, nasional bahkan wilayah keluarga sebenarnya saling terkait. Ketiga, mendefinisikan ulang citizenship dengan menghancurkan gagasan citizen-warrior yang melemahkan nilai femininitas. Mitos bahwa perempuan adalah pihak yang dilindungi dan laki-laki melindungi harus dihapus. Memasukkan perempuan dalam peran militer dapat mengubah konsepsi menjadi citizen-defend ketimbang warrior-patriot. Keempat, perspektif feminisme dalam keamanan negara dan perilakunya harus bergeser dari ide-ide Morgentahu, Hobbes, Machiavelli. Misalnya, konsepsi otonomi negara harus diubah dengan prinsip interdependency dan konsep power dirubah menjadi kooperasi. Mengutip Hannah Arendt (dalam Tickner, 1992) feminis mendefinisikan power sebagai kemampuan manusia dalam bertindak yang berasal dari pihak-pihak yang memiliki kepedulian serupa, bukan power sebagai kekuatan perang seperti yang diasumsikan realisme. Cara feminisme memandang keamanan ini akan melampaui parsialitas realisme dan ketidaksanggupannya menjelaskan keamanan dalam konteks relasi individu dan negara. Tickner tidak hanya sekadar mempertanyakan “where are the women” dalam politik internasional dan bercerita bagaimana ruang-ruang khusus membentuk pengalaman (marginal) internasional para perempuan layaknya Enloe. Meskipun Tickner lebih telat memasuki wacana kajian politik feminis ketimbang Enloe (Sylvester, 2004), sumbangan Tickner berarti banyak dalam menjelaskan secara teoritis mengapa “there are no women” dalam politik internasional melalui gugatan terhadap konsep negara dan perang, jantung dari konsepsi realisme yang telah mendominasi studi politik internasional sejak berdirinya disiplin tersebut. Tapi, bagaimana menunjukkan bahwa secara empirik konstruksi keamanan versi realis ini justru mengancam keamanan perempuan dalam praktik sehari-hari? Tickner tidak membedah lokus sehari-hari perempuan dalam praktik politik internasional. Apa yang kita jumpai di sini bukan sejumlah suara (pengalaman) perempuan, melainkan analisis Tickner yang membawa kerangka feminis ke dalam isu-isu penting disiplin HI (Sylvester, 2004). Analisis yang ditawarkan Tickner belum mampu menunjukkan suara empirik perempuan, sebab terkesan terlalu simplistik mengikut metafora realisme. Sylvester (2004) mengakui bahwa analisis gender Tickner hanya menyindir hubungan internasional layaknya yang dikemukakan Elshtain (1987) dalam Women and War melalui alam maskulinitas (prajurit) dan femininitas (jiwa menawan). Meski begitu, Tickner memiliki kemampuan merumuskan pemikiran feminisme dalam studi keamanan internasional. Tickner memasukkan feminis radikal yang ia coba aplikasikan sebagai gugatan terhadap realisme, memasukkan analisis Marxis dalam analisis keamanan ekonomi, serta mengaplikasikan ekofeminisme dalam analisis keamanan lingkungan (Tickner, 1992). Dengan demikian, Tickner membuat sketsa posisi kanonik mengenai keamanan dalam realisme, ekonomi politik internasional, dan studi lingkungan internasional yang menunjukkan pertentangannya terhadap universalisme keamanan Realis. Menurut Sylvester (2004) Tickner menganggap bahwa feminisme memberitahu kita tentang bagaimana "perempuan dipengaruhi oleh politik global atau cara kerja ekonomi dunia" yang membuat kita mempertanyakan "hubungan gender hierarkis saling terkait dengan bentuk dominasi lainnya”. Di sisi lain, sumbangsihnya dalam menjelaskan keterkaitan keputusan politik nasional dan internasional serta level keamanan individu di tingkat lokal telah membuat kajian keamanan mau tidak mau tergidik pada ranah lokal (yang selama ini dianggap bukan ontologi HI). Persoalan lokal tersebut bisa saja menjadi agenda internasional, seperti keyakinan Enloe (2014) bahwa tidak hanya “the personal is political” namun juga “the personal is international”. Lantas, apakah kajian mengenai keamanan (individu) perempuan hanya mampu dianalisis oleh disiplin HI? Hal ini menjadi tantangan bagi feminis HI, mengingat apa yang dikaji oleh mereka juga mampu dikaji oleh feminis pada studi selain keduanya, bahkan bisa memberi analisis yang lebih mendalam. Maka, perlu dibuat framework yang menegaskan ke-HI-annya sebagai demarkasi yang membedakan analisis mereka dengan para akademisi sosial lain. Daftar Pustaka:
Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |