Ibu. Dia adalah seorang perempuan, darimana pun asalnya dan dari kalangan apa pun, dia tetap adalah seorang yang memiliki rahim dan vagina untuk melahirkan, serta memiliki payudara untuk menyusui anak-anaknya. Candraningrum (2015) mengungkapkan bahwa narasi ASI merupakan narasi agung negara yang digunakan sebagai alat kampanye besar-besaran untuk melepaskan tanggung jawab negara atas peri kehidupan bayi sampai dengan berumur dua tahun. Lalu apa makna seorang Ibu itu? Yang tak lebih hanya dipandang oleh negara sebagai “yang melahirkan dan menyusui”, bahkan persepsi kebanyakan orang membenarkan itu. Tidak terkecuali terminologi agama yang menegaskan bahwa ibu (perempuan) harus tunduk pada kodrat keperempuanannya—melahirkan, menyusui, tunduk pada suami (laki-laki), mengurus anak dan masih banyak lagi baju yang dipasangkan kepada perempuan atas dasar pembenaran. Terminologi negara dan bahkan terminologi teologis kemudian menyudutkan posisi perempuan sebagai manusia yang tidak merdeka, manusia yang tidak memiliki kebebasan atas diri dan tubuhnya sendiri. Dan legitimasi produk hukum turut mendukung atas hal ini. Lalu apa arti penghargaan atas “hari ibu” yang menggaung dari pikuk perkotaan hingga senyap pedesaan? Jika pada kenyataannya kemerdekaan atas “ibu” sendiri masih belum terjamah oleh negara. Masih dipahami secara umum dan bukan atas penegakan hak-hak yang seharusnya mereka miliki sama dengan warga negara lainnya (laki-laki). Indonesia adalah satu-satunya negara yang memperingati hari ibu pada 22 Desember melalui Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938 dan dengan adanya Dekrit Presiden Soekarno No. 316 tahun 1959 yang menetapkan bahwa 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional. Berbeda dengan beberapa negara seperi Amerika, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura dan banyak negara lainnya yang merayakan Mother’s Day pada hari Mingggu di pekan kedua bulan Mei. Momentum ini dijadikan sebagai penghargaan kepada Ibu (perempuan) yang telah berjasa dalam banyak hal. Hanya dengan satu hari saja, 22 Desember saja, penghargaan untuk Ibu, setelah itu selesai. Hebat! Perayaan hari ibu sukses dilaksanakan, hanya sebagai sebuah seremonial semata. Bukan momentum yang kemudian membebaskan Ibu dari belenggu ketidakadilan. Setelah itu, toh, perempuan masih saja diperlakukan tidak adil, masih banyak buruh perempuan yang tidak berdaya, banyak petani perempuan yang hidup dalam kemiskinan, banyak perempuan berperan menjadi tulang punggung keluarga, dan tidak bisa kita menampik bahwasanya banyak kasus perempuan yang menjadi korban human trafficking, korban kekerasan seksual, bahkan dalam banyak kultur anak perempuan menjadi sajen dalam ikatan perkawinan. Ibu bagi negara hanyalah salah satu dari senjata yang dipakai secara etimologis, semantik dan pragmatik untuk membajui dirinya sendiri atas state grand narrative (narasi agung negara) (Candraningrum, 2015). Justru negara meminjam istilah “ibu pertiwi” untuk merepresentasikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan berlimpah. Dan dengan sangat mudah para elit membelenggu ibu pertiwi yang berkalungkan emas, bermahkotakan berlian, bergelangkan batu bara dan semua itu adalah kekayaan yang digerogoti segelintir elit. Mencuri dan menghamburkan uang untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan rakyat dan Ibu yang adalah bagian dari rakyat itu sendiri. Kasus demi kasus terus berselancar untuk menemukan titik hukum untuk mencari perlindungan, namun malah produk hukum itu sendiri yang kemudian menjerat kaum Ibu menjadi kaum yang murah dan tidak ramah hukum. Tidak sedikit kasus anak-anak yang kemudian menikah di usia belia, mempunyai anak, menjadi seorang Ibu dan mereka dihargai pada musim Hari Ibu, mereka diapresiasi dan mereka bangga menjadi Ibu. Ya, negara yang memiliki produk apresiasi itu sendiri. Sehingga tak ada yang salah. Sehingga perempuan dibonsai, dipangkas, dikerdilkan, direduksi, pada arena domestik—sebagai istri, sebagai ibu, sebagai pendidik dan penanggung jawab terhadap anak dan penyokong negara! Pembonsaian perempuan-perempuan ini tidak hanya berada dalam irisan budaya, tetapi politik, sosial, ekonomi dan kenegaraan (Candraningrum, 2015). Lalu, dimana letak pembebasan itu? Pembebasan yang diletakkan atas dasar “Hari Ibu”? Tidak nyata dan abstrak, pemahaman tentang perempuan tetap pada perspektif yang sama—berkutat pada sisi domestik. Bagi saya sudah tidak penting lagi, karena saya sudah tua. Dari kecil saya tidak bersekolah dan anak sayapun hanya mampu tamat SD saja, anak saya yang paling tua tidak tamat SD karena dia perempuan dan harus cepat makan gaji (bekerja). Tapi itu sangat penting untuk cucu-cucu saya. Jangan sampai mereka seperti saya. Begitulah jawaban seorang ibu yang memiliki dua orang anak yang saya wawancarai ketika menyelesaikan karya ilmiah saya setahun lalu. Pertanyaan saya simpel, “Penting kah pendidikan bagi anda?”, saya menanyakan ini dengan bahasa daerah karena hampir sebagian orang (terutama kaum Ibu) di kampung itu tidak dapat berbahasa Indonesia. Informan saya ini seorang janda yang hidup sendirian di kampungnya, dan dia buta huruf alias tidak bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung) sementara kedua anaknya bekerja di kota Pontianak, mencari penghidupan layak. Bulan lalu saya mendapatkan kabar bahwa beliau meninggal dunia dan seumur hidupnya ia tidak pernah mengenal huruf a,b,c, atau huruf 1,2,3, dan lainnya. Kenyataan ini masih mendarah daging bagi kaum ibu di daerah pedesaan, yang mengalami pemutusan kesempatan belajar pada era Orde Lama atau Orde Baru. Pendidikan layak bagi kaum Ibu di pedesaan sungguh sulit dipahami secara akademis atau ilmiah, sebab kultur lebih mengikat erat mereka secara turun-temurun. Perempuan di pedesaan kemudian memilih bertani, dan tidak bersekolah karena kemiskinan (Niko, 2015). Hal ini karena kesempatan yang tidak diberikan kepada mereka untuk memperoleh pendidikan. Program pemerintah untuk memberantas buta huruf belum sempat menyentuh daerah-daerah yang memang sulit dijangkau. Kemudian Sasono (1987) mengatakan bahwa proses penghancuran kesempatan itu telah berlangsung sejak zaman feodalisme kerajaan-kerajaan (Hindu maupun Islam), zaman kolonialisme dan akhirnya ketergantungan sekarang ini. Bagaimana dapat dikatakan bahwa kaum Ibu memiliki kebebasan dan keleluasaan memiliki banyak pilihan untuk melakukan apa saja yang ia suka? Bagaimana dapat disimpulkan bahwa Hari Ibu kemudian akan membawa suatu perubahan persepsi atas kaum perempuan? Kepalsuan itu dikemas rapi oleh negara untuk membohongi publik. Narasi Ibu dijual dengan sangat murah, cukup diberi hari: Hari Ibu dan diberi label “agung dan mulia” tanpa harus kerja-keras melahirkan kebijakan dan menegakkan kebijakan yang adil atas pengasuhan anak (Candraningrum, 2015). Pada kenyataannya hak-hak kaum Ibu masih diabaikan, masih menjadi angan untuk penegakan secara adil. Daftar pustaka: Dewi Candraningrum. 2015. “Negara, Seksualitas dan Pembajakan Narasi Ibu”. Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015. (http://fkai.org) diakses tanggal 20 Oktober 2015. Nikodemus Niko. 2015. “Pengembangan Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional Dengan Menggunakan Pendekatan Akret Berbasis Life Skill Pada Perempuan Pedesaan”. CISOC Vol. 1, Nomor 2, Desember: hal. 19-26. Sasono, A. 1987. Masalah Kemiskinan dan Fatalisme. Jakarta: UI-Press. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |