Saya sedang iseng berselancar di dunia maya dan menemukan artikel ini, artikel yang cukup miris sekaligus lucu bagi saya. Artikel itu berasal dari sebuah web konsultasi pernikahan yang mengungkapkan kegelisahan seorang suami terhadap istri yang baru dinikahinya, berikut petikannya:
Maukah kita mencoba memahami posisi laki-laki mengapa ia merasa ditipu dan tidak menerima bahwa kiranya istri yang baru dinikahinya tidak perawan? Laki-laki dibebani untuk selalu menjadi maskulin dan yang paling maskulin diantara para laki-laki. Sosialisasi gender melalui permainan yang ditujukan kepada anak laki-laki dibumbui persaingan, berbeda dengan permainan anak perempuan yang biasanya bersifat bekerjasama, sedari kecil, si anak laki-laki ini sudah diajarkan bahwa menjadi laki-laki adalah sebuah persaingan untuk menjadi pemenang. Hingga ada ungkapan bagi laki-laki yang terjebak dalam perlombaan maskulinitas ini “men never satisfied with their size, except for cancer or tumor”. Laki-laki yang dianggap tidak maskulin akan menjadi cemoohan dalam perkumpulan mereka, mereka selalu ingin menjadi paling maskulin, seperti tagline obat kuat pil biru yang mudah ditemui di pinggir jalan raya, Obat Alat Vital (penis): lebih besar, lebih kuat, tahan lama. Menikahi perempuan perawan dan memerawani perempuan adalah sebuah kebanggan bagi laki-laki terhadap sesamanya. Dalam pergaulan para laki-laki ini akan ada ‘the most wanted female’ yang kerap dibicarakan dan menjadi idaman setiap orang, mendapatkan perempuan tersebut menjadi prestise seakan-akan perempuan tersebut adalah sebuah trofi berjalan. Patriarki menempatkan laki-laki untuk wajib menjadi maskulin, buas dan penguasa atas perempuan dan tubuhnya. Para laki-laki dipaksa berlomba untuk jadi maskulin, jadi jantan, mendapatkan gadis impian semua. Tapi, apa laki-laki tersebut secara sadar melakukan perlombaan maskulinitas mengejar keperawanan perempuan? Toh nyatanya kemauan penis untuk ereksi tidak ditentukan dari perawan atau tidaknya vagina. Yang menginginkan perempuan perawan adalah perlombaan maskulinitas. Laki-laki bisa saja jatuh cinta kepada perempuan lebih tua, seorang janda, bahkan ibu-ibu muda yang masih bersuami. Tetapi masyarakat akan menggunjingkannya, menganggap ia tidak mampu mendapatkan yang lebih baik, seorang gadis. Gadis yang paling muda dan cantik di lingkungannya. Patriarki mengatur kepada siapa kita harus jatuh cinta, baik perempuan dan laki-laki. Sebenarnya kita menderita. Lantas bagaimana dengan poligini? Saya akan mengambil kasus seorang tetangga saya yang kebetulan menjadi pemuka agama dan dihormati oleh pengikutnya, sebut saja namanya A. A ini pada 17 tahun yang lalu sempat mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi kepada istrinya namun tidak dikabulkan oleh istrinya, dan pada tahun lalu, A mengungkapkan lagi keinginannya untuk memadu istri, dan uniknya kali ini dengan perempuan yang berbeda dibandingkan permintaannya pada 17 tahun yang lalu. Jika memang A ingin poligini berdasarkan cinta, tentunya permintaannya untuk menikah seharusnya masih dengan perempuan yang sama. Tapi justru perempuannya berbeda, tentunya lebih muda. Selidik punya selidik, ternyata seluruh saudara kandung A yang berjumlah empat orang dan laki-laki semua itu semuanya memiliki istri lebih dari satu, A tentu saja merasa “kalah” dari saudara-saudaranya yang lain karena A hanya memiliki satu istri. Poligini dilakukan untuk melengkapi atribut kekuasaan (phallus) karena perempuan adalah sebuah trofi. Padahal, maskulinitas adalah perlombaan yang tidak pernah bisa dimenangkan. Daftar Pustaka http://www.eramuslim.com/konsultasi/keluarga/istri-tidak-sesuai-harapan.htm#.VONYU_mUdQE diakses pada hari Selasa, 17 Febuari 2014 pukul 10.34 Beavoir, Simone de. 1972. The Second Sex (Trans: H.M. Pahrsley). New York: Pinguin Books
muda
20/2/2015 12:43:55 pm
Hakikat Tubuh adalah Jiwanya
muda
20/2/2015 12:44:09 pm
Hakikat Tubuh adalah Jiwanya Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |