Pendaftaran audisi Idol Group JKT48 generasi ke-4 sudah dibuka. Bagi kamu, WNI atau WNA perempuan, berusia 13-18 tahun silakan mendaftar, tentunya, untuk anda yang berusia dibawah 18 tahun wajib mendapat surat izin dari orang tua. Ratusan bahkan ribuan perempuan muda pun mendaftar. Mengapa perempuan tersebut berbondong-bondong mendaftar? Apa yang diharapkan perempuan menjadi bagian dari anggota JKT48? Apakah keartisannya? Atau pengakuan atas kecantikan? Tulisan ini bermaksud untuk membedah mitos kecantikan perempuan dalam Idol Group JKT48. Melalui tulisan ini kita akan melihat bagaimana perempuaan dijebak dalam penjara “cantik” yang kemudian membelenggunya. JKT48 adalah sebuah idol group, bukan girlband pada umumnya. Idol group ini merupakan sisterhood dari pendahulunya AKB48 yang berasal dari Akihabara, Jepang. Karena merupakan sisterhood, JKT48 banyak membawa budaya Jepang dan idoling yang berbeda dengan selebriti pada umumnya, anggota idol group memiliki golden rules yang harus ditaati bersama demi menjaga perasaan para fans-nya, fans disini bukan sebagai pihak di luar idol group melainkan kunci utama idol group ini bisa besar dan berkembang. Hingga pengumuman dibukanya audisi generasi keempat, tidakah anda bertanya-tanya, “Ini grup apa sekolahan sampai ada generasi-generasinya segala?” Konsep idol group berbeda dengan selebriti atau band pada umumnya. Idol Group mengenal regenerasi, bagi siapapun anggota yang dirasa sudah semakin tua maka dia akan graduate atau mengundurkan diri. Anggota yang graduate biasanya akan memulai karier solonya. Disini terlihat bahwa idol group bisa menjadi sebuah batu loncatan, atau dia menghempas siapapun yang dirasa tidak muda dan pesonanya mengurang. Konsep idol group dalam industri hiburan merepresentasikan mitos kecantikan yang masih membelenggu para perempuan, dan lucunya para perempuan ini enggan lepas dari belenggu tersebut. Berbeda dengan artis atau selebriti yang biasanya memiliki keahlian tertentu, seperti diva yang harus pandai sekali bernyanyi, aktris yang pandai bermain peran. Idol tidak memiliki kemampuan khusus seperti itu. Mereka bernyanyi bersama dan menjual dirinya sebagai ikon/anggota dari grup tersebut. Yang diutamakan adalah wajah yang menarik, tanpa kriteria cantik yang jelas. Lihat personel-personel JKT48 yang memiliki kecantikan khas masing-masing, misalnya saja Ve yang berkulit hitam manis dan semampai, Yupi yang berkulit putih, sipit, mungil menggemaskan, Melodi yang bermata bulat dan wajah Indonesia sekali, atau Haruka yang asli jepang. JKT48 tidak membuat standar cantik tapi juga tidak mematok para personelnya untuk menjadi sangat ahli dalam bidang menari, menyanyi, atau akting. Graduate dan perekrutan generasi menjadi hal yang penting. Karena dengan ini personel JKT48 akan selalu muda dan energik. Perlombaan nilai perempuan dalam idol group bisa diukur melalui suara para fans-nya yang biasa disebut wota (women otaku) yang menentukan karier para personel dalam grup tersebut. Nilai perempuan ada pada tubuhnya, pada wajahnya sehingga ada pernyataan yang umum dilontarkan “nasib perempuan tergantung pada wajahnya”. Keberhasilan pergerakan perempuan pada tahun 1970-an juga berimbas pada bergesernya feminine mystique menjadi beauty myth. Ketika perempuan sudah sadar atas kepemilikan tubuhnya kemudian media menyetir mereka untuk menjadi bahagia dengan tubuhnya dengan cara menjadi cantik. Kemudian para perempuan pun beramai-ramai berusaha menjadi cantik melalui berbagai penderitaan membeli banyak barang yang mampu membuat dia terlihat cantik, diet, high heels, meluruskan rambut, keriting bulu mata, dsb. Perempuan dituntut menjadi cantik, dengan standar kecantikan yang masih patriarkis. Lihat saja iklan pencerah wajah terkenal. Mereka memasang pria tampan yang terpesona dengan kecantikan si pemakai produk pencerah wajah tersebut. Hal ini merepresentasikan perempuan yang tampil cantik untuk orang lain, untuk pria. Bukan demi kepuasan dirinya sendiri. Begitu pula yang dialami member JKT48. Identitas mereka sebagai anggota didapatkan melalui serangkaian audisi dan training demi diakui sebagai idol, perempuan cantik bagaimanapun definisi cantik yang ia percayai. Mereka tidak dituntut untuk menjadi mahir pada hal tertentu, penggemar mereka menilai dari kecantikan dan rasa subjektivitas emosional terhadap sang oshi (idol kesukaan). Idol merepresentasikan para perempuan dengan nilai bahwa menjadi cantik lebih penting daripada ahli dalam bidang akademis, seni, aktivitas sosial, atau apapun. Perempuan pun menganggap wajah cantik adalah komoditas utama sementara cerdas dan memiliki kemampuan lain adalah bonusnya. Menjadi cantik lebih penting daripada menjadi pintar. Sehingga kecantikan dan kepintaran dianggap tidak mampu berjalan bersama-sama. Mengapa perempuan mengutamakan kecantikan dibandingkan mengasah kemampuan berpikir atau hobinya? Menurut saya, hal ini diakibatkan persepsi masyarakat yang masih menganggap perempuan sebagai pabrik anak. Wajah yang cantik akan mudah memikat para pria (fans) sehingga tertarik kemudian menikah dan beranak-pinak. Wajah cantik membuat kesempatan perempuan untuk mendapatkan pasangan dan meneruskan gennya menjadi lebih besar. Perempuan masih dianggap kunci dan simbol dari kesuburan dan keturunan. Maka penting bagi perempuan untuk mampu memikat lawan jenisnya demi bereproduksi. Sebenarnya, kemajuan pengetahuan dan teknologi saat ini tidak lagi memosisikan dan mewajibkan perempuan sebagai mesin produksi anak. Tetapi mitos kecantikan masih membelenggu. Wanita cantik lebih dihargai daripada yang kurang cantik, dan lagi, syarat cantik hanya dilekatkan pada wajah dan penampilan fisik sehingga perempuan terus-terusan menderita untuk menjadi cantik. Dan ironisnya mereka tetap menikmati penderitaan tersebut, termasuk saya! Sumber: Wolf, Naomi. 2002. The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Againts Women. New York: Harper Perennial. Galbraith, Patrick W and Jason Karlin (Eds). 2012. Idols and Celebrity in Japanese Media Culture. Japan: Tokyo University.
Rancha
16/1/2015 03:03:17 am
Nona, anda menulis mengenai mitos kecantikan dlm industri budaya. Tapi rasanya dlm tulisan anda saya kurang medapatkan poin dari mengapa ada standar bagi definisi kecantikan perempuan dlm industri budaya?
da aku mah apa tuh
17/1/2015 02:15:56 pm
pertama sih pengen nanya dulu, udah pernah turun lapangan brp lama? trs dapet data dari mana? observasi kegiatan mereka? wawancara member? wawancara fans? wawancara manajemen? atau......commonsense?
ddddgms
26/1/2015 02:47:33 am
gw mau nambahin point ke 4 diatas tentang "Menjadi cantik lebih penting daripada menjadi pintar"
kai
17/1/2015 05:52:08 pm
Judgement ,,,,semena mena, meskipun dengan mencantumkan daftar pustka.
Cm saran
18/1/2015 03:28:07 am
Tulisannya tidak didasari data. Sayang sekali. Kutipan dapusnya mana?. Tidak jelas. Sayang sekali.
orang italy
19/1/2015 03:16:37 am
Nadya ? Capucino buatanmu ? Numero unoooo
VRNDFNDR
26/1/2015 02:50:57 am
mb, eug kecewa kalo mb bilang ve itu hitam manis. mb nya nga riset ya? padahal kan di fakultas mb banya wota jg, atau kalau mau sesekali main lah ke fakultas yg punya patung di depan nya. kita mau kok ngobrol soal beginian. eug sedi liat rekan sealmamater bikin tulisan yang miskin data kayak gini...
pengen dijawab dong sama penulisnya
26/1/2015 07:19:23 am
mbak, kok dari sekian banyak yg kasih masukan ngga satu pun ada klarifikasinya? :D
KingKong
26/1/2015 10:40:55 am
Sebagian besar koreksi sudah disampaikan dalam komentar-komentar yg masuk sebelum saya, jadi hanya tersisa 2 hal yg ingin saya sampaikan sebagai kritik. Mudah-mudahan konstruktif ya... Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |