Nikodemus Niko Mahasiswa Doktoral Sosiologi, Pascasarjana FISIP, Universitas Padjadjaran ([email protected]) Kemiskinan di negeri ini kian hari bukan semakin membaik, sebaliknya justru semakin memburuk. Seperti yang kita ketahui bahwa korupsi yang merajalela menjadi satu diantara sumber-sumber kemiskinan. Si miskin akan sangat sulit untuk mengubah nasib, sebab memang dimiskinkan. Perempuan adalah pihak yang paling menderita menghadapi kemiskinan ekstrem di Indonesia. Tidak jarang diantaranya mengalami kekerasan dalam rumah tangga, rentan terhadap pelecehan dan perkosaan, dan ada yang dinikahkan walau masih berusia muda. Mosse (2007) berpendapat bahwa ideologi yang paling kuat dalam menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik dan privat, yang umumnya disebutkan bahwa laki-laki di ruang publik dan perempuan di ruang privat. Hal ini yang kemudian memanifestasi ketidakadilan gender terjadi di berbagai tingkatan struktur, bahwasannya ada ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dalam relasi kuasa. Ketimpangan ini yang menurut Indraswari (2009) sebagai penyebab utama terjadinya kemiskinan pada perempuan, yang mana perempuan diputus akses-aksesnya terhadap sumber daya. Hari ini, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan pemenuhan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar perempuan yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Hak asasi perempuan satu diantaranya adalah terbebas dari kemiskinan, yang pada kenyataannya tubuh miskin perempuan, utamanya di pedesaan semakin parah. Data World Poverty Clock (2019) mencatat 12.783.505 orang masyarakat di Indonesia yang mengalami kemiskinan ekstrem. Apabila dilihat dari pembagiannya data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tahun 2019 mencatat bahwa kemiskinan tertinggi ditemukan pada anak-anak dan lansia, lagi-lagi secara jumlah, perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Perempuan miskin di pedesaan menopang penghasilan dan hidup dari bertani, berkebun dan sumber hutan. Hari ini kita menyaksikan alam dan hutan dibabat habis dan diganti dengan perusahaan-perusahaan yang tidak ramah terhadap alam, perkebunan kelapa sawit misalnya. Persoalan kelapa sawit di pulau Kalimantan dan Sumatra tidak bisa dilihat dari sektor ekonomi semata, dari segi lingkungan, sangat merusak ekosistem hutan. Kemudian, konflik-konflik yang terjadi ikut menyengsarakan perempuan. Perebutan hak atas tanah untuk dapat dijadikan uang, bahkan pertumpahan darah antar keluarga terjadi karena perebutan lahan. Keberadaan perusahaan sawit memperburuk lingkungan sosial yang tadinya miskin, akan bertambah miskin dan terekslusi. Sosiolog acapkali mendiskusikan transisi sosial hari ini yang bertransformasi dari sistem dunia tradisional menuju sistem modern. Pemaksaan sistem modern ini yang turut memperparah kemiskinan yang terjadi di pedesaan. “Si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin”, pepatah lama ini masih relevan dalam melihat situasi hari ini. Sudah saatnya kemiskinan tidak bisa dilihat sebagai definisi-definisi saja, melainkan sudah semestinya mendesak pemerintah mengentaskan kemiskinan perempuan hingga ke akar-akarnya. Apa akar kemiskinan perempuan? Ketidakadilan gender! Ketidakadilan gender ini yang kemudian melahirkan kemiskinan itu sendiri, pelemahan fisik, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan pada perempuan. Saya ingin mengulas tentang hasi riset saya tentang kemiskinan perempuan suku Dayak Benawan di Kalimantan Barat, bahwasannya ketidakadilan gender melahirkan keterbatasan perempuan mengakses pendidikan, keterbatasan perempuan mengakses hak atas kesehatan reproduksi, dan semua itu memiskinkan perempuan. Artinya bahwa kemiskinan terjadi karena ada relasi kuasa pemiskinan (pembiaran tubuh-tubuh miskin) sendiri. Program pembangunan pemerintah hanya itu-itu saja, dan kehidupan masyarakat dalam komunitas tersebut hanya begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Bahkan banyak keluarga yang kemudian meminjam uang di bank dan atau credit union (CU) yang kian memperparah kemiskinan itu sendiri. Upaya pembangunan Sumber Daya Manusia masyarakat di wilayah desa tertinggal dengan penguatan sumber daya lokal, tanpa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal, itulah yang terjadi. Saya berkesimpulan bahwa kemiskinan itu sendiri merupakan suatu keadaan yang tidak mutlak. Artinya bahwa kemiskinan dapat berubah sewaktu-waktu (dinamis), tentunya dengan adanya pemberdayaan diri oleh tubuh atau kelompok yang miskin. Tahapan pemberantasan kemiskinan ini sendiri adalah membunuh patriarki yang mendarah daging dalam komunitas-komunitas masyarakat di pedesaan. Bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan; narasi ini perlu pengkajian ulang. Bahwa rakyat jelata selalu terpinggirkan dalam penyuaraan hak-hak yang semestinya didapatkan sebagai warga negara. Jurnal Perempuan (2006) pernah menyebutkan bahwa perempuan merupakan golongan mayoritas dari orang miskin di dunia dan jumlah perempuan yang hidup di desa-desa miskin meningkat 50% semenjak tahun 1975, ditambah lagi perempuan merupakan mayoritas penyandang buta huruf di dunia. Kondisi yang sama masih terjadi hingga hari ini, justru bisa jadi lebih parah. Banyaknya kasus-kasus temuan Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan seperti kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, perkosaan, KDRT dan kasus lain yang merupakan sebagai akibat dari kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan perempuan akan melahirkan penyengsaraan-penyengsaraan lainnya terhadap perempuan. Daftar Pustaka: Anonim 2019, World Poverty Clock, Federal Ministry for Economic Cooperation and Development, Retrieved from: https://worldpoverty.io/index.html Indraswari 2009, "Perempuan dan Kemiskinan", Jurnal Analisis Sosial Vol. 14, No. 2 (2009), Pp. 40-52. Jurnal Perempuan 2006, Hak Asasi Perempuan Belum Menjadi Bagian Institusional Hukum, Edisi 45, Hal. 78-81. Mosse, J. V 2007, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Niko, N 2019, Kemiskinan Perempuan Dayak Benawan sebagai bentuk Kolonialisme Baru, Jurnal Pemikiran Sosiologi. Vol 6 (1): 58-76. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |