Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
Wacana Feminis

Feminisme dan Covid-19

11/5/2020

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, Pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, UI, 1991-2017, Adjunct Professor di bidang sosiologi dan sociology of gender di Montgomery College, Maryland, USA.
​
*Naskah dipresentasikan dalam Forum Menyalakan Lilin Masa Depan, 10 Mei 2020 (Zoom Webinar)

Pendahuluan
Pandemi Covid-19 bermula dari kota Wuhan, China, terdeteksi pada bulan Desember 2019. Pada pertengahan bulan Januari 2020, virus ini dengan cepat menjalar ke seluruh dunia dan dalam waktu singkat jutaan orang terinfeksi serta ratusan ribu orang meninggal dunia. Hampir di setiap negara, pemerintah setempat menerapkan aturan lockdown dan social distancing guna menghentikan penyebaran virus. Covid-19 bukan saja mengakibatkan krisis kesehatan melainkan juga krisis ekonomi dan sosial.
​

Catatan ini berupaya menjelaskan secara praxis dampak virus Corona pada perempuan dan anak perempuan dari kerangka berpikir feminisme. Saya memilih pijakan feminisme sebab hanya dengan lensa feminisme kita dapat melihat dengan kritis adanya persoalan ketidakadilan, eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan serta kelompok marginal lainnya. Catatan ini hanya menyajikan secara singkat butir-butir pemikiran feminisme dalam mengurai Covid-19 dan persoalan gender.

Saat Krisis
Di setiap ada situasi krisis, kelompok yang paling rentan adalah kelompok marginal seperti perempuan dan anak perempuan. Sebab dalam keadaan krisis, ketimpangan, kesenjangan, eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan selalu hadir. Misalnya, LBH Apik mencatat 59 kasus kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan dan kekerasan seksual dari tanggal 16 Maret hingga 30 Maret. 17 kasus dari 59 kasus tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (Jakarta Post 2020). Di negara lain seperti India, juga melaporkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga dalam minggu pertama lockdown, dan sama halnya dengan negara Prancis yang mengalami peningkatan sepertiga dalam minggu pertama lockdown. Hal ini tidak mengejutkan karena belajar dari kasus epidemi Ebola di Afrika Barat, di tahun 2015, Guinea mencatat peningkatan tajam kekerasan terhadap perempuan sebesar 4.5 persen. Peningkatan kekerasan seksual juga terjadi di Liberia. Akses kesehatan reproduksi juga menjadi masalah sebab klinik-klinik kosong karena takut pada virus Ebola dan ini merugikan perempuan (Reuters 2015).

​Gendered Effect
Beberapa hal yang bisa saya catat saat ini yang menjadi masalah di saat pandemi yang memiliki efek bergender (kesenjangan, ketimpangan, dan diskriminasi) adalah sebagai berikut:
Picture
Gambar 1. Covid-19 dan Efek Bergender
nterseksionalitas
Kecendrungan dari analisa gender arus utama atau pembangunan; status sosial, kesehatan, kultural dan ekonomi hanya menempelkan konsep gender sebagi isu perempuan atau yang saya sebut sebagai “stempel gender”. Cara menganalisis seperti ini tidak mengaitkan persoalan diskriminasi, rasisme, eksploitasi, kepemimpinan yang lemah, sistem ekonomi buruk, serta hukum yang bias gender.
 
Interseksionalitas digunakan sebagai kerangka pemikiran dalam melihat keadaan secara terang benderang karena adanya keterbatasan konsep. Misalnya bila data yang ada tidak cocok dengan kerangka pemikiran feminis, sulit untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat dan gagal dalam mengidentifikasi persoalan. Bila kita gagal dalam mengidentifikasi persoalan maka kita akan gagal mencari solusi (Wawancara Kimberlé Crenshaw 2020).
 
Sebagai contoh pendekatan “stempel gender” adalah bantuan sembako. Bantuan ini merupakan bantuan sesaat dan reaktif, tanpa didasari data yang terkait kerangka pemikiran feminis. Respons pemerintah yang tidak menggunakan data terpilah gender, hasilnya hanya sesaat, dan tidak tepat sasaran serta tidak menghasilkan perubahan yang bermakna. Itu sebabnya, Indonesia setiap kali ada krisis kembali “business as usual” (bagi-bagi sembako) tanpa mengaitkan adanya sistem penindasan yang perlu dibongkar.
 
Sebagi contoh, di Amerika Serikat hal serupa terjadi. Covid-19 menyerang kelompok miskin dan marginal berkali-kali lipat dibandingkan dengan penduduk kulit putih. Daerah miskin yang berpenduduk padat (akses kesehatan, pendidikan yang tidak memadai) mengalami angka kematian yang signifikan dan jumlah infeksi virus Corona berjumlah besar. Hal ini disebabkan pemerintah abai menggunakan lensa interseksionalitas, maka ketika Amerika mengalami krisis, kesenjangan, diskriminasi, rasisme dan eksploitasi menyeruak di ranah publik.
 
Di Indonesia, kita melihat kesalahan yang sama. Kebijakan bias gender sering terjadi karena tidak menggunakan lensa interseksionalitas. Contohnya keputusan Presiden Jokowi untuk memberikan insentif Rp 10 juta kepada Dokter dan Rp 7.5 juta kepada perawat (CNN Indonesia, 2020), kebijakan semacam ini hasil minim pengetahuan gender ditambah tidak memahami lensa interseksionalitas, alhasil, menunjukkan kelemahan dalam kepemimpinan. Lensa interseksionalitas dalam kasus ini, menunjukkan adanya diskriminasi terhadap mereka yang bekerja sebagai careworkers dan profesi perawat tidak dinilai penting dibandingkan dokter. Cara berpikir semacam ini fatal, sebab Indonesia sebagaimana kita ketahui bergantung pada ekonomi careworkers, maka tentu saat krisis melanda, ekonomi Indonesia menjadi porak poranda.
​
Perlunya Ekonomi Berperspektif Feminis
Ekonomi yang selama ini dibangun di negara ini adalah ekonomi yang mengandalkan pekerjaan gratis perempuan yang tidak dihargai karena dianggap sebagai pekerja care work (kerja yang melayani, mengasuh dan merawat orang lain). Padahal BNP2TKI mengakui bahwa pekerja migran Indonesia yang berada di luar negeri menyumbangkan devisa sebesar Rp. 70 triliun (2018). Perlu diketahui bahwa 54% pekerja migran adalah perempuan (2014). Namun perlindungan terhadap pekerja migran tidak memadai, baik ketika berangkat bekerja ke luar negeri maupun saat kembali. Buruh migran perempuan kerap mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikannya. Menurut Bazzi & Bintoro, 2015, terdapat kordinasi yang buruk antara pemerintah setempat dan pemerintah di negara penerima pekerja migran. Kebanyakan pekerja tidak memahami isi kontrak kerja, buta pengetahuan finansial dan pasar kerja, serta kurangnya pelatihan dari pemerintah. Ekonomi berperspektif feminis menggarisbawahi ketidakadilan sistem ekonomi yang merugikan perempuan. Beberapa hal yang disoroti adalah kesenjangan berpendapatan, segregasi gender dalam pekerjaan dan diskriminasi serta eksploitasi. Lensa ekonomi feminis mampu mengurai ketertinggalan perempuan dalam pasar kerja. Partisipasi perempuan di pasar kerja rendah karena soal perkawinan, memiliki anak di bawah umur dua tahun, tingkat pendidikan yang rendah (terutama level pendidikan tinggi), dan penggantian struktur ekonomi dari sektor pertanian, transisi dari area rural ke urban (AIPEG 2017; Jakarta Post 2020).

Semua faktor yang telah disebut di atas menyebabkan sejak awal posisi perempuan di pasar kerja sangat lemah. Saat Covid-19 menjangkit, perempuan semakin terpuruk. Berikut adalah beberapa konsep feminis yang perlu diperhatikan dalam membincangkan perempuan dan ekonomi.

  • Kesenjangan Berpendapatan
Perbedaan berpendapatan antara laki-laki dan perempuan yang bekerja penuh waktu sangat besar. Kesenjangan berpendapatan disektor formal sebesar 34% sedangkan di sektor informal sebesar 50% (AIPEG 2017). Kesenjangan terjadi bukan karena perempuan tidak produktif melainkan karena terdapat praktek diskriminasi. Terdapat bukti adanya keadaan Sticky floor practice pada sektor formal, yakni perempuan yang bekerja pada level bawah lebih mengalami kesenjangan pendapatan. Sedangkan perempuan yang bekerja di sektor informal kesenjangan pendapatan lebih besar. Selain itu, di level bawah, promosi pekerjaan sangat jarang (AIPEG 2017).

  • Segregasi Gender dalam Pekerjaan
Praktik menempatkan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (mana kerja yang cocok untuk perempuan dan mana kerja yang cocok untuk laki-laki), ini merupakan masalah besar. Apa yang perusahaan atau tempat kerja lakukan adalah men-genderkan pekerjaan (We gender jobs). Misalnya, perawat dan guru adalah pekerjaan yang cocok untuk perempuan sedangkan IT dan pekerja bangunan cocok untuk laki-laki. Hal ini terjadi lewat dua cara, employer selection hypothesis dan selective exit hypothesis. Yang pertama, pemilik usaha (atau hiring manager), menetapkan mana pekerjaan yang cocok untuk laki-laki dan mana pekerjaan yang cocok untuk perempuan (masculine jobs dan feminine jobs). Sedangkan yang kedua, selective exit hypothesis, perempuan meninggalkan pekerjaan karena menghadapi tekanan. Lingkungan kerja yang hypermasculine mengakibatkan pengalaman buruk bagi perempuan yang bersaing di dunia kerja, juga adanya kesenjangan gaji.
 
Konsentrasi perempuan dalam ekonomi ada pada pekerjaan informal yakni pekerja domestik, pekerja paruh waktu, dan usaha kecil. Pekerjaan semacam ini lebih banyak diduduki oleh perempuan dari pada laki-laki dengan rasio 3: 1. Lebih banyak perempuan miskin yang melakukan pekerjaan di sektor informal sebesar 80% dibandingkan 34% perempuan kelas menengah-atas.

  • Diskriminasi dan Perlakuan Berbeda
Baik di sektor formal maupun di sektor informal, perempuan mengalami diskriminasi. Adanya seksisme agresif (hostile) maupun halus (benevolent). Ada 42% perempuan pernah mengalami seksisme di tempat kerja (Wade 2020). Perempuan kerap mengalami ancaman simbolis, misalnya, kehadiran perempuan dianggap mengancam identitas grup dominan. Perempuan pun mengalami double bind. Konsep double bind yakni, di satu sisi perempuan dituntut bekerja keras ikut dalam persaingan dunia kerja yang hypermasculinity, tetapi di sisi lain, perempuan dituntut untuk menjadi feminin terutama bila berada dihadapan atasan. “To be successful at her job, a woman needs to do masculinity, but to be accepted by her boss, colleagues, clients, she needs to do femininity” (Wade 2020). Perempuan juga menghadapi Mommy Tax, dimana perempuan yang hamil dan membesarkan anak akan mau tidak mau memperlambat laju kariernya. Beberapa istilah lainnya adalah:
 
Glass ceiling. Perempuan yang bekerja di posisi atas mengalami hambatan yang tak terlihat. Misalnya hambatan sikap diskriminatif, pelecehan seksual, dan sebagainya. Sikap diskriminatif yang dialami perempuan dapat dialami baik dari atasan laki-laki maupun perempuan. Eksekutif perempuan di perusahaan top dunia juga mengalami hambatan-hambatan tersebut.
 
Glass clif. Bila perempuan berhasil masuk ke posisi atas dan memecahkan glass ceiling, mereka mengalami risiko “jatuh” dari posisi mereka. Perempuan yang berada di posisi puncak mengalami tekanan dari laki-laki yang ingin bertahan di level atas, dan adanya ekspektasi untuk selalu bekerja dengan sempurna. Perempuan di level ini hidup di bawah “kaca pembesar”, setiap gerak-gerik dan penampilan mereka diamati. Maka, penelitian menunjukkan kebanyakan perempuan yang bekerja di level atas, mengundurkan diri, karena mengalami kelelahan secara fisik dan mental.
 
Glass escalator. Laki-laki yang bekerja di bidang pekerjaan dominan perempuan, mengalami peningkatan karier yang cepat sebab perempuan cenderung untuk mendukung laki-laki yang bekerja di lingkungan mayoritas perempuan. Beberapa penelitian memperlihatkan laki-laki diuntungkan bekerja di tempat dimana dia menjadi minoritas. Laki-laki digunakan sebagai token karena mau bekerja di lingkungan perempuan, sehingga dia mengalami dukungan yang posistif dan kadang lebih sukses dari perempuan di bidang yang sama (Kanter 1977).

Care Crisis
Sudah saya sebut di atas bahwa sebelum masa pandemi, status perempuan di Indonesia sudah goyah karena adanya masalah diskriminasi, eksploitasi, dominasi dan kekerasan. Kini pada masa pandemi, perempuan yang mayoritas bekerja di bidang care work, mengalami krisis besar. Ini disebabkan karena pemerintah terlalu lama memarginalkan perempuan dan mengacuhkan kontribusinya pada sektor ekonomi. Di masa pandemi Covid-19, dunia bergantung pada careworkers dan caregivers yang mayoritas adalah perempuan dan anak perempuan. Di bidang careworkers, mayoritas perempuan yang berprofesi di bidang keperawatan, berada di garda depan menghadapi pandemi Covid-19 di rumah sakit. Di media sosial, dokter yang mayoritas adalah laki-laki mendapatkan perlakuan istimewa, berbeda dengan perawat. Pekerja dokter lebih sering di agung-angungkan sedangkan pekerja perawat dianggap biasa saja. Bahkan di dalam pembagian insentif, perawat mendapatkan insentif yang lebih kecil dari para dokter.
 
Perempuan paling banyak menjadi pekerja esensial, bekerja di pasar, pengasuh anak dan usaha kecil sepeti makanan. Perempuan dominan di pekerjaan caregivers, mereka menanggung beban rumah tangga, memasak, mengasuh anak, melayani suami, menjaga orang tua yang sakit, dan sebagainya. Careworkers dan caregivers tidak memiliki kemewahan berdiam di rumah seperti para CEO, pengacara, direktur, dan sebagainya, yang rata-rata memiliki caregivers bahkan careworkers di rumah. Mereka yang tergolong kelas atas diuntungkan oleh sistem ekonomi yang berorientasi profit dan bukan berorientasi pada kesejahteraan rakyat kecil. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin terlihat dengan gamblang dalam masa krisis saat ini. Mereka yang kaya, memiliki jabatan (atau bekerja di tempat mapan) mendapatkan pelayanan testing Covid-19 dengan cepat dan terjamin. Sedangkan mereka yang tergolong dalam careworkers dan caregivers tidak memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan fasilitas testing, mudah terkena pandemi informasi, dan tidak memiliki akses internet yang memadai untuk tetap mengikuti pendidikan yang sebagian  besar dijalankan secara daring.

Male Crisis
Saya melihat banyak persoalan yang dihadapi oleh laki-laki di masa pandemi Covid-19. Menurut data yang dihimpun oleh negara-negara maju, lebih banyak laki-laki yang meninggal dunia karena virus Corona ketimbang perempuan. Hal ini bukan disebabkan faktor biologis melainkan faktor sosiologis, gaya hidup yang salah. Laki-laki menurut para ahli lebih banyak yang merokok, konsumsi alkohol berlebihan serta kurang memerhatikan kesehatan. Menurut Tony Porter (Chief Executive A Call to Men), laki-laki di saat krisis malu untuk menunjukkan kelemahannya dan selalu ingin tampil superior serta tidak mau meminta pendapat pasangannya. Laki-laki bukan saja mengalami kesehatan fisik yang buruk namun juga kesehatan mental yang rapuh. Hal ini disebabkan oleh persoalan maskulinitas dan budaya patriarki yang mengokohkan eksistensi laki- laki. Ini adalah salah satu penjelasan mengapa di dalam masa krisis, laki-laki cenderung melakukan kekerasan fisik dan verbal. Hal lain, laki-laki tidak dapat menghadapi tekanan finansial sehingga membuat mereka lebih mudah marah dan agresif. Identitas kesuksesan finansial melekat pada laki-laki, mereka diukur martabatnya melalui “uang”. Karena itu, mereka malu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, yang dianggap remeh-temeh, domain perempuan. Karakteristik “man box” ini sangat berbahaya bukan saja bagi diri laki-laki itu sendiri, melainkan juga bagi keluarganya, dan masyarakat yang lebih luas.

Agenda Feminis
Pandemi Covid-19 menunjukkan sistem ekonomi dan sosial kita sangat rapuh. Terbukti setiap kali ada krisis, negara tidak mampu untuk menjamin keamanan masayarakat, kesejahteraan ekonomi dan sosial. Dalam keadaan yang chaos, perempuan dan anak perempuan masuk di dalam kelompok rentan bersama dengan kelompok-kelompok marginal lainnya termasuk kelompok LGBTIQ. Oleh sebab itu, penangan krisis tidak bisa hanya bersifat reaktif (karena ini hanya menempelkan “band aid” sementara), tetapi sangat perlu dan urgen melakukan perubahan secara total. Beberapa agenda yang bisa diperjuangkan:

  • Feminist power. Pemimpin perempuan terbukti lebih handal menangani krisis. Kepemimpinan mereka mengedepankan etika kepedulian. Contohnya, Jacinda Arden dari Swedia, Erna Solberg dari Norway, Katrin Jakobsdottir dari Islandia, Angela Markel dari Jerman, Tsai Ing-wen dari Taiwan, Sliveria Jacobs dari Caribbean nation. Mereka menggunakan pendekatan kepemimpinan yang otentik, transparan pada masyarakat (termasuk data Covid-19) dan bertindak konkret. Pemimpin perempuan paham pendekatan interseksionalitas dan telah memasukkan pendekatan interseksionalitas di dalam kebijakan-kebijakan mereka. Mereka telah merevisi total sistem ekonomi yang terpusat pada pemilik modal dan ganti fokus pada pekerja careworkers dan caregivers yang merupakan kelompok andalan penangkal krisis.
  • Kebijakan makroekonomi yang menitikberatkan pada kerja-kerja perawatan (care work). Perlu menteri yang membuat kebijakan yang mengaitkan gender dan ekonomi, menggunakan lensa interseksionalitas.
  • Kebijakan yang mengandalkan perspektif feminis. Menteri Audun Lysbakken (Menteri berjenis kelamin laki-laki yang membidangi pemberdayaan perempuan dan anak), menggarisbawahi pentingnya kebijakan pro-gender karena terkait dengan kepentingan laki- laki. Investasi pada perempuan yang merupakan populasi terbesar (51%), menghasilkan ekonomi yang produktif.
  • Sistem pendidikan berbasis keadilan gender dan diversitas gender. Di dalam situasi pandemi Covid-19, hampir seluruh pengajaran dialihkan secara daring. Pekerja di bidang pendidikan primer mayoritas adalah perempuan. Lensa interseksionalitas menangkap kesenjangan pendidikan yang menghantam kelas masyarakat bawah di masa krisis.
  • Perlu penggantian sistem secara total! Pandemi Covid-19, memaksa kita untuk melakukan evaluasi sistem ekonomi, sosial dan kultural yang ada. Perubahan perlu terjadi. (JP)

Comments are closed.

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    September 2021
    July 2021
    June 2021
    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024