Menatap lukisan-lukisan Dewi Candraningrum dalam Balai Sangkring 13 Maret 2015, kita akan disuguhkan warna warna cerah dalam kanvas dan warna gelap arang dalam kertas yang seakan menarik kita dalam suasana meditatif. Puluhan lukisan karyanya tersusun rapi dalam beberapa sub-tema diantaranya Bitches!, Tubuh Ekologi, Senggama, Lelaki Rahim, After the Rape, Daughters from Zambia dan Rahim Raksasi. Menurut Kris Budiman selaku kurator dalam pameran ini, dalam lukisan-lukisan Charcoal on paper atau arang diatas Kertas memperlihatkan garis-garis lirih dan permainan bayangan yang lirih serta meyodorkan kita gugusan tanda-tanda monokromatik yang menangkap makna-makna kesedihan, duka dan derita. Namun seperti yang dikatakan Dewi, kadang kesedihan rakus akan warna. Oleh karena itu sebagian karyanya dalam kanvas diterpa dengan karnival warna. Lihat saja dalam salah satu lukisan “Ita Martadinata” dalam “After the Rape”, Dewi memilih warna warna cerah. Martadinata Haryono atau lebih dikenal Ita Martadinata yang menjadi korban pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam kaitan kasus Mei 1998 dilukis dengan warna dominan biru dan putih. Sebagian orang sering mengasosiasikan gelap dan kesedihan, namun tidak untuk Dewi. Menurutnya kesedihan tidak melulu monokromatik, ia merayakan kesedihan dengan rakus akan warna. Menurutnya banyak gadis dan anak-anak perempuan penyintas kasus perkosaan menjadi takut, ditakuti, menakuti dan menjadi penakut karena telah kehilangan dokumen dirinya yang paling berharga. Dewi, meminjam ungkapan Roro Mendut “Jika engkau diperkosa, engkau hanya terluka sedikit saja. Dan kehormatanmu, harga dirimu, jati dirimu masih utuh. Engkau bukan perempuan bekas. Engkau perempuan utuh. Engkau tidak perlu takut. Engkau adalah mendut.” Ibu yang dilahirkan anaknya “Melukis adalah dunia lain Dewi Candraningrum. Ia sangat terobsesi dengan kerja melukis, mengolah warna semenjak beberapa tahun belakangan ini. Warna-warna dalam pandangannya merupakan ranah diksi yang jauh berbeda yang tidak membutuhkan sistematisasi dalam suatu tatanan.” Tutur Kris Budiman. Dewi yang sehari-hari berprofesi sebagai dosen sekaligus pemimpin redaksi Jurnal Perempuan lebih dikenal sebagai akademisi dan aktivis. Namun kejutan datang padanya di akhir 2012. Dia menambah satu lagi keahlian yang dimilikinya, yaitu melukis. “Saya dilahirkan oleh Ivan”, begitulah ungkap Dewi dalam potongan kalimat “Dalam perjalanan karir saya sebagai pelukis, yang sesungguhnya, tak bisa disebut sungguh-sungguh sebagai pelukis; saya dilahirkan oleh anak autis saya: Ivan Ufuq Isfahan. Saya menemani Ivan melukis, berkolaborasi dengannya, membuat finalisasi-finalisasi atas kanvas-kanvasnya sejak September 2012.” Dengan latar belakang Dewi sebagai dosen dan aktivis, pengunjung pameranpun datang dari berbagai kalangan mulai dari seniman, aktivis dan akademisi yang turut meramaikan pembukaan pameran “Dokumen Rahim”. Menurut Ida, aktivis perempuan dari LSM Combine, walaupun tema pameran mengenai perempuan sudah beberapa kali bahkan sering digelar di Yogya. Namun yang menjadi poin khusus, dengan profesi Dewi sebagai akademisi, aktivis dan pelukis menjadikan kalimat-kalimat atau caption dalam setiap sub-tema mampu membawa pengunjung lebih mendalam dalam memaknai lukisan. Walaupun sebaliknya diungkapkan oleh Aris seorang seniman dan pemusik. Beberapa caption yang ada justru mengaburkan pemahamannya dan lebih memilih memaknai sendiri lukisan tanpa melihat caption dari pelukis. Kepemilikan atas Rahim “Dokumen Rahim” sebagai tajuk pameran membawa kita pada pertanyaan apa yang dinamakan rahim? Lalu, siapa yang memilikinya? Rahim secara etimologis, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kantung peranakan untuk membawa janin bayi. Oleh karena itu, perempuan yang selalu dianggap sebagai pemilik rahim karena mereka mengandung dan melahirkan. Dan apabila ada perempuan-perempuan yang tak mampu atau mungkin menolak untuk mengandung, keperempuanan mereka akan dipertanyakan. Namun disisi lain, dalam satu kondisi yang sama yaitu mereka yang sama-sama mengandung, perempuan perempuan penyintas kasus perkosaan mendapatkan subordinasi dan diskriminasi. “Lelaki Rahim” sebagai salah satu sub-tema dalam pameran menyuguhkan kita mulai dari sketsa Widji Thukul, Munir sampai Yesus, yang kesemuanya dilukis dengan warna warna cerah bahkan merah jambu, yang sebagian orang mengasosisasikannya sebagai warna perempuan. Dari puluhan lukisan yang dikelompokan dalam beberapa sub-tema, “Lelaki Rahim” menjadi salah satu yang kelihatan menarik sebagian pengunjung. Mungkin beberapa bertanya, dimana letak rahim dalam “tubuh” lelaki? Apakah laki-laki benar-benar memiliki akta akan rahim? Dalam naskah pendek berjudul “Wajah Rahim dalam Sketsa-Sketsa: Sebuah Ikrar Penciptaan” Dewi Candraningrum mempertanyakan “Jika lelaki tak berahim, tak berpayudara-bersusu, apakah kemudian, kita tak bisa menyebut mereka sebagai ibu?”. Menurutnya kita telah banyak menemukan laki-laki yang merawat anaknya, merawat lingkungan, juga ikut meneriakan keadilan atas nama gender. Mereka, laki-laki juga ibu peradaban. Pada akhirnya, Kris Budiman menganggap pameran yang diberi tajuk “Dokumen Rahim” ini dianggap tepat. Menurutnya, melalui lukisan-lukisan Dewi telah berhasil mencatat pengalaman-pengalaman personalnya, perjumpaan-perjumpaan intersubjektifnya dengan beragam duka cerita manusia dan peristiwa, merekam dan meringkasnya kedalam satu kata yakni rahim. Dari ruang yang sakral yang dinamai rahim inilah kelak akan lahir anak-anak kasih sayang, disini rahim tidak lagi dibatasi oleh pembatasan biologis (seksual) apapun. Referensi: Naskah pendek “Wajah Rahim dalam Sketsa-Sketsa: Sebuah Ikrar Penciptaan” oleh Dewi Candraningrum dalam www.dewicandraningrum.com Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |