Abby Gina *Tulisan ini pernah dimuat dalam Wawancara pada JP 94 PRT Domestik dan Migran Arum Ratnawati bergabung dengan ILO (International Labour Organization) pada tahun 2002. Sejak tahun 2013 hingga sekarang ia menjabat sebagai Kepala Penasihat Teknis Proyek Promote ILO. Sesuai dengan misi ILO, program-program ILO berupaya mendorong terciptanya peluang bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif secara bebas, adil, aman dan bermartabat. Salah satunya adalah program Promote ILO, melalui program ini ILO mengadvokasi hak-hak PRT (Pekerja Rumah Tangga). Promote ILO merupakan sebuah program yang mempromosikan pekerjaan layak bagi PRT. Bagi Arum, upaya untuk mempromosikan kerja layak bagi PRT menjadi sangat penting mengingat masih kentalnya pandangan di masyarakat yang menganggap bahwa PRT bukanlah sebuah profesi, melainkan hanya sekadar perpanjangan dari kerja domestik perempuan di rumah. Arum melihat bahwa ada persoalan gender dalam profesi PRT, persoalan gender ini berdampak pada kerentanan PRT dalam lingkungan kerja. Bagi Arum, PRT domestik dan migran adalah kelompok rentan karena tidak sedikit di antara mereka yang terlanggar hak-haknya sebagai manusia dan sebagai pekerja. Menurut Ibu Arum apakah kerentanan PRT domestik dan migran berhubungan langsung dengan persoalan gender? Saya kira iya, hal ini berkait dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Masyarakat masih melihat bahwa pekerjaan rumah tangga adalah hal yang lekat dengan perempuan, sehingga saat PRT melakukan pekerjaan rumah tangga, keterampilan tersebut tidak dipandang sebagai sebuah hal yang diperoleh melalui proses pembelajaran melainkan sebagai hal yang terberi. Kemampuan melakukan pekerjaan domestik dipandang sebagai hal yang sudah melekat begitu saja pada perempuan, sehingga pekerjaan tersebut tidak dihargai sebagaimana profesi lain. Ada tantangan untuk membuka pandangan masyarakat bahwa pekerjaan rumah tangga sesungguhnya juga membutuhkan keterampilan dan keterampilan itu bukan suatu yang terberi. Bisa dijelaskan bagaimana kerentanan perempuan dalam bidang kerja keperawatan dan mengapa ini perlu mendapat perhatian serius dari negara? Kerentanan yang dihadapi PRT berelasi langsung dengan persoalan gender selain itu kerentanan tersebut juga berelasi dengan ketiadaan perlindungan bagi PRT. Tidak ada perlindungan PRT yang mengatur tentang apa saja hak-hak mereka. Hal ini menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak PRT. Misalnya yang sedang marak saat ini adalah tentang pembayaran tunjangan hari raya (THR). Para pengambil kebijakan belum tegas menyatakan bahwa mendapat THR adalah salah satu hak PRT. Beberapa waktu lalu menteri menyatakan bahwa PRT berhak atas THR, namun dalam implementasinya banyak terjadi pelanggaran, seperti PRT tidak menerima THR atau hanya menerima tambahan bonus dengan jumlah yang seadanya. Selain itu para PRT hidup di ranah privat yang tidak ada pengawasan dari luar, hal ini meletakkan PRT dalam posisi yang rentan. Lalu para PRT tidak dapat menyuarakan aspirasi mereka karena mereka tidak dapat ikut dalam organisasi. Persoalan lain adalah, kalaupun ada peraturan terkait perlindungan PRT, baik majikan maupun PRT umumnya tidak mengetahuinya. Misalnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 tahun 2015 menjelaskan bahwa PRT memiliki sejumlah hak, namun kenyataannya seberapa banyak majikan yang mengetahui tentang aturan tersebut? PRT mengalami berbagai jenis kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan fisik. Berdasarkan kasus-kasus yang ada, banyak terjadi kekerasan fisik. Hal ini terjadi karena masyarakat masih belum melihat PRT sebagai pekerja yang sesungguhnya, selain itu relasi kuasa antara majikan dan PRT tidak ada pengaturan yang jelas, berbeda halnya dengan pekerja di kantor. Relasi kuasa juga terjadi di dalam hubungan kerja di kantor, namun demikian ada sejumlah etik yang harus kita jalani bersama. Menurut Ibu Arum sejauh apa pentingnya negara meratifikasi konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak untuk PRT dan pengesahan UU Perlindungan PRT? Jumlah PRT di Indonesia sangatlah besar. Estimasi berdasarkan metodologi estimasi yang dikembangkan oleh ILO Jakarta, jumlah PRT di Indonesia ada sekitar 4 juta jiwa, ini adalah angkatan kerja yang cukup besar dan kontribusi mereka bagi masyarakat juga besar. Keberadaan mereka mendukung dan memungkinkan pihak-pihak lain untuk dapat bekerja secara produktif di luar rumah. Visi ILO adalah kerja layak bagi semua, termasuk pula bagi PRT, untuk itu menjadi penting melakukan realisasi kerja layak bagi PRT di Indonesia. Decent work for all ini menjadi program ILO. Dengan meratifikasi konvensi ILO berarti setidaknya sudah ada standar- standar yang dapat dijadikan acuan. Sejauh apa pentingnya organisasi PRT dalam rangka memberikan perlindungan dan meningkatkan bargaining position PRT terhadap majikan? Salah satu yang menyebabkan kerentanan PRT adalah karena mereka tidak berorganisasi. Pekerja lain berorganisasi sehingga mereka dapat menyuarakan aspirasi-aspirasi mereka, sehingga penting bagi PRT untuk masuk di dalam organisasi lalu dari sana mereka akan memperjuangkan hak-hak mereka, tentunya dengan dukungan berbagai pihak. Penting bagi PRT untuk berada di garis depan dalam upaya melakukan advokasi tersebut. Ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan bargaining position PRT, yaitu pelatihan keprofesionalan, keterampilan mereka sebagai pekerja juga harus ditingkatkan. Menurut Ibu Arum apakah Kementerian Ketenagakerjaan sudah bersinergi secara efisien dengan kementerian lain dalam hal menjamin hak-hak PRT domestik dan migran? Sejauh ini belum ada kementerian lain yang terlibat dalam isu ini, dalam hal ratifikasi Konvensi ILO 189 hanya Kementerian Luar Negeri yang terlibat. Sejauh ini pendekatan yang digunakan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dalam upaya melindungi hak PRT adalah dengan langkah step by step. Hal ini berdampak pada belum diratifikasinya Konvensi ILO 189. RUU Perlindungan PRT digulirkan tiga belas tahun lalu, namun hingga saat ini belum ada payung hukum yang menjamin hak PRT. Mengapa proses legislasi menjadi mandeg? Hal ini disebabkan oleh isu itu sendiri ya. Ketika kita bicara soal perlindungan PRT, kebijakan tersebut akan berdampak pada kita sendiri. Berdasarkan observasi kami saat mengadvokasi isu ini pada anggota DPR atau pemerintah, dalam banyak hal mereka memosisikan diri sebagai majikan dan bukan sebagai pengambil keputusan. Secara historis dan nilai turun-temurun, para majikan masih melihat PRT bukan sebagai pekerja. Jika UU ini disahkan otomatis ada konsekuensi-konsekuensi tertentu. Konsekuensi tersebut sesungguhnya memang sudah selayaknya dimiliki oleh PRT, namun karena pengambil keputusan meletakkan diri sebagai majikan, hal ini berdampak pada alotnya pengambilan keputusan untuk disahkannya UU ini. Dukungan terhadap UU ini masih sangat perlu dicari, kita butuh banyak pihak di DPR dan di pemerintah yang mendorong UU ini. Sejauh ini saya lihat, pemerintah tidak ada inisiasi untuk mendorong UU ini. UU ini diinisiasi oleh DPR. Pemerintah cenderung menunggu dari DPR dan tidak ada inisiatif untuk lebih mendorong UU tersebut, padahal di DPR UU tersebut sudah berkali-kali mental. Kemnaker memilih langkah step by step dengan alasan bahwa masyarakat belum siap dengan kehadiran UU ini. Kemnaker sejauh ini mengeluarkan peraturan menteri (Permen), yang memandatkan bahwa peraturan perlindungan PRT dilakukan pada tingkat provinsi dengan alasan ada unsur- unsur budaya atau kearifan lokal yang harus dipertimbangkan. Ini adalah implikasi dari pilihan pendekatan yang dilakukan oleh Kemnaker. Apakah aturan-aturan dari Kemnaker sudah efektif dalam menjamin hak-hak PRT sebagai pekerja? Peraturan Kemnaker misalnya tidak menetapkan bahwa PRT berhak memiliki libur satu hari dalam seminggu, atau memiliki hak cuti 12 hari dalam setahun seperti pada pekerja lainnya. Hal tersebut diserahkan kepada kesepakatan antara majikan dan PRT. Saya pikir Permen ini terlalu lemah, karena apa yang seharusnya menjadi hak PRT malah diserahkan kepada kesepakatan antara majikan dan PRT meskipun Permen ini menetapkan misalnya mendapatkan THR merupakan hak dari PRT dan bahwa majikan harus menyertakan PRT dalam program jaminan sosial, tapi hak-hak lain dari PRT tidak disebutkan di sana. Selain itu sosialisasi terhadap Permen ini masih minim, mungkin disosialisasikan pada dinas-dinas di tingkat lokal namun tidak disosialisasikan pada publik bahwa ada peraturan menteri semacam itu. Jadi efektivitas aturan Kemnaker masih sangat kurang. Yang lebih banyak menggunakan aturan tersebut adalah kelompok aktivis untuk melakukan awareness raising, tapi di luar itu saya pikir belum banyak yang tahu tentang aturan ini. Sejauh ini apa yang dilakukan ILO Indonesia untuk mengadvokasi hak- hak perempuan PRT? Program ILO untuk mendorong negara-negara anggota untuk meratifikasi, melakukan awareness raising, melakukan fasilitasi untuk melakukan pengorganisasian kerja layak bagi PRT. ILO Jakarta melaksanakan proyek Promote yang mempromosikan tentang kerja layak bagi PRT. Program ini sudah berlangsung sejak 2013. Fokus kami adalah membangun kapasitas organisasi PRT untuk dapat melakukan advokasi, melakukan awareness raising, pengorganisasian, untuk memberdayakan PRT sehingga PRT dapat memperbaiki kondisi kerja dan kondisi kehidupannya. Kami berharap saat program ini berakhir, organisasi PRT telah memiliki kapasitas- kapasitas dan sehingga perjuangan tadi dapat tetap berlanjut. Misal melalui Jala PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) kami mendukung pelatihan-pelatihan pengorganisasian, pelatihan paralegal, dan lain sebagainya. Kami bekerja sama dengan tiga organisasi yaitu Jala PRT beserta mitra-mitranya, kemudian Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran, dan Jarak (Jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat Penanggulangan Pekerja Anak). Kerja sama dengan Jarak dalam upaya menghapuskan PRT anak. Kami bekerja di empat provinsi. Kami juga membangun pengetahuan tentang PRT di Indonesia dengan mengembangkan metodologi untuk estimasi jumlah PRT dengan menggunakan Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional), dan melakukan sejumlah penelitian lainnya. Di tingkat regional ada knowledge sharing antar negara-negara di Asia Pasifik. Bisa dijelaskan bagaimana persoalan PRT anak? Di ILO ada yang namanya usia minimum memasuki usia kerja. Secara umum usia memasuki dunia kerja adalah 15 tahun, begitu pula di Indonesia. Khusus untuk pekerjaan rumah tangga, usia minimum di Indonesia adalah 18 tahun, karena pekerjaan tersebut dianggap sebagai sektor yang membahayakan anak-anak. Misalkan seorang anak bekerja sebagai PRT tanpa pengawasan, kita tidak dapat mengetahui yang terjadi pada dirinya di dalam rumah tersebut. Pengaturan terkait PRT anak merupakan bagian dari perlindungan anak sekaligus juga bagian dari ketenagakerjaan. Anak dibawah usia minimum tidak boleh memasuki dunia kerja, karena mereka seharusnya berada di dunia pendidikan. Sudah ada sinergi antara Kemnaker dengan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Dalam UU Perlindungan Anak terdapat larangan melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sudah mengatur bahwa usia minimum anak masuk dunia kerja adalah 18 tahun, aturan ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak. Konvensi- konvensi ILO sendiri sebenarnya membolehkan anak berusia 15-17 tahun untuk bekerja pada sektor domestik ini asalkan ada protective measures-nya. Di Indonesia tidak ada contoh konkret mengenai protective measures untuk melindungi PRT anak. PRT anak harusnya tetap bisa bersekolah, PRT anak tidak boleh bekerja terlalu lama, tapi bagaimana cara mengawasinya? Ini agak sulit. Kemnaker tidak memiliki instrumen untuk mengawasi hal itu oleh karenanya mereka memutuskan membuat batasan usia kerja di sektor ini pada usia 18 tahun. Salah satu aspek krusial dalam RUU Perlindungan PRT adalah tentang perjanjian kerja. Bisa dijelaskan urgensi dari perjanjian kerja bagi PRT domestik dan migran? Setiap pekerja, khususnya PRT perlu memiliki surat perjanjian kerja. Sebelum ada undang-undang, keberadaan perjanjian kerja membantu memformalkan hubungan PRT dengan majikan agar keduanya memiliki aturan kerja yang jelas. Jika tidak ada perjanjian kerja, maka hubungan keduanya menjadi tidak jelas dalam arti termasuk hubungan kerja atau bukan. Perjanjian kerja memberi manfaat bagi kedua belah pihak, ia melindungi PRT dan juga majikan. PRT menjadi rentan bila melakukan kerja tanpa perjanjian kerja tertulis. Umumnya perjanjian kerja PRT dengan majikan berupa perjanjian lisan, namun ini membuat rentan posisi PRT karena bila terjadi hal-hal yang tidak sesuai perjanjian atau pelanggaran terhadap hak PRT, maka kasus tersebut menjadi sulit untuk dibawa ke ranah hukum. Sebagai contoh soal pesangon, pada dasarnya pesangon adalah hak pekerja, tapi karena di Indonesia belum ada aturan yang menjamin hak tersebut, maka andaikan seseorang memberhentikan PRT tanpa memberikan pesangon, hal tersebut dianggap bukan masalah. Berbeda halnya bila PRT dan majikan memiliki kontrak kerja, maka PRT bisa membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. Sebaliknya bila tidak ada kontrak kerja, majikan dengan mudah dapat mengatakan bahwa tidak ada aturan hukum yang mengharuskan dia (majikan) untuk membayar pesangon. Tantangannya adalah masih banyak teman-teman PRT yang enggan menggunakan kontrak kerja. Masih ada perasaan tidak enak bila harus membuat kontrak kerja tertulis. Pentingnya kontrak kerja tertulis ini masih harus terus disosialisasikan pada PRT dan majikan. Selain menghadirkan UU Perlindungan PRT, apa upaya konkret yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan PRT domestik dan migran? Hak PRT untuk berorganisasi harusnya dijamin. Persoalannya adalah bila seorang PRT tidak memiliki waktu kosong atau tidak memiliki hari libur bagaimana PRT dapat berorganisasi? Menurut saya kuncinya adalah di UU Perlindungan PRT, undang-undang tersebut selain menjamin hak-hak PRT juga harus memuat tentang peningkatan keterampilan PRT. Pemerintah harusnya memberikan pelatihan keterampilan pada PRT, seperti halnya pemerintah memberikan pelatihan keterampilan bagi pekerja lainnya. Perjuangan UU Perlindungan PRT sangat membutuhkan waktu, hal yang penting dilakukan dalam proses mendorong terwujudkan UU tersebut adalah dengan membuat ketetapan bahwa PRT memiliki hari libur, satu hari dalam satu minggu. Dari situ kawan-kawan PRT memiliki waktu untuk berorganisasi dan memperjuangkan hak-haknya. Kebanyakan PRT yang mengikuti organisasi adalah mereka yang memiliki hari libur, sementara PRT live in (tinggal bersama majikan) sulit untuk berorganisasi. Berdasarkan data Sakernas masih banyak PRT yang bekerja 7 hari dalam seminggu, ini artinya mereka tidak memiliki hari libur. Kami (ILO) membandingkan rata- rata jam kerja PRT dengan rata-rata jam kerja pekerja secara umum. Data yang kami dapatkan memperlihatkan bahwa rata-rata jam kerja PRT lebih tinggi dibandingkan rata-rata jam kerja pekerja pada umumnya. Dalam masyarakat masih ada anggapan bahwa PRT adalah posisi yang rendah dan marginal, tuntutan akan hadirnya UU Perlindungan PRT diharapkan dapat meregulasi masyarakat untuk bertindak humanis dan adil pada PRT, namun apakah untuk mengubah cara berpikir dan bertindak masyarakat terhadap PRT cukup diupayakan lewat undang- undang atau dibutuhkan regulasi-regulasi lainnya? RUU adalah langkah awal selanjutnya tergantung pada implementasinya. Saya kira perlu lebih banyak dilakukan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kesadaran. Harus ada program-program yang mendukung undang-undang ini. Kesadaran kritis dari kawan-kawan PRT juga harus dibangun salah satunya lewat organisasi-organisasi PRT. Organisasi tersebut mengadakan edukasi, pendidikan kritis pada anggotanya, dari situ kepercayaan diri PRT dibangun dan di sisi lain mereka juga ditingkatkan profesionalitasnya. Salah satu bentuk pelatihan yang didapatkan PRT dalam organisasi adalah cara untuk melindungi diri sendiri, misalkan PRT diminta oleh majikan untuk menyerahkan KTP untuk disimpan majikan, maka PRT bisa menjelaskan pada majikan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan. Ini sebabnya pendidikan kritis menjadi sangat penting. Penting pula untuk menumbuhkan awareness raising pada majikan. Bagaimana pandangan Ibu Arum tentang pengupahan bagi PRT? Dalam pembahasan perlindungan PRT, persoalan pengupahan kami anggap hal yang akan kita atur belakangan, tidak harus sama dengan UMR, tapi kami berharap secara berproses upah PRT akan sampai pada UMR. Persoalannya begini, bila dari awal sudah membahas tuntutan gaji setara UMR, maka pembahasan mengenai aturan tersebut akan semakin sulit diterima dan ini berdampak pada berhentinya proses perjuangan untuk mengegolkan perlindungan-perlindungan pada PRT. Namun demikian, Konvensi ILO mengamanatkan bila ada ketetapan UMR untuk pekerja lain, maka seharusnya ketetapan tersebut juga berlaku untuk PRT di negara tersebut. Idealnya, saat negara menentukan adanya UMR maka PRT mendapatkan sejumlah UMR tersebut. Mandat dari konvensi ILO adalah PRT merupakan seorang pekerja sama seperti pekerja lainnya, tidak lebih, tidak kurang, tapi untuk mencapai target tersebut dibutuhkan berbagai pendekatan yang berbeda. Di Filipina, mereka sudah meratifikasi Konvensi ILO dan sudah memiliki UU Nasional. Bisa jadi UU Nasional tersebut masih belum memenuhi apa yang dimandatkan oleh konvensi ILO, namun setidaknya sudah ada komitmen dari negara tersebut untuk berproses ke arah pemenuhan hak-hak PRT. Hal ini berbeda dengan negara Indonesia, kita belum punya. Di Hongkong ada standar penggajian pada PRT live in (tinggal dalam) dan PRT live out (tinggal luar). Majikan harus memberi tambahan gaji pada PRT live out, karena menghitung beban hidup seperti biaya sewa dan lain sebagainya, sehingga gaji PRT live out lebih besar dari pada PRT live in. Ada berbagai inovasi menarik dari negara-negara lain. Di Filipina juga ada aturan yang mengatur jam istirahat PRT, jam istirahat minimal seorang PRT adalah delapan jam dan hal itu tidak boleh diganggu gugat. Aturan di setiap negara dapat berbeda-beda karena belum semua negara menerapkan aturan sesuai dengan konvensi. Pengupahan yang layak masih dalam proses. Persoalannya adalah bila tidak ada dialog sosial antara pemerintah (Kemnaker) dengan pemangku kebijakan lainnya. Misalnya Jala PRT banyak melakukan dialog dengan parlemen, tapi kesempatan melakukan dialog dengan pemerintah sangat terbatas. Kemnaker berargumen bahwa masyarakat belum siap untuk memperlakukan PRT sebagai pekerja. Masih ada pandangan bahwa PRT di Indonesia diperlakukan sebagai anggota keluarga. Persoalannya kata “dianggap sebagai keluarga” ini bersifat ambigu. Apakah kekeluargaan diterapkan dalam hal pengupahannya atau dalam hal kesetaraan? Saya ragu soal itu.(JP). Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |