Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Wacana Feminis

Alasan untuk Tidak Menikah Muda Bagi Perempuan

24/11/2014

1 Comment

 
Nadya Karima Melati
(Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Indonesia) 
nadyazurakarima@gmail.com
PictureDok. Pribadi
Saya menapaki tahun ketiga di perguruan tinggi. Ada jokes yang cukup populer bagi mahasiswa tingkat akhir seperti saya, “Anda Memasuki Semester dimana pengen Nyerah dan Nikah” tak ayal, seminar tentang pernikahan marak sekali di kampus-kampus dan pesertanya tidak pernah sepi. Dan lebih uniknya lagi, peserta seminar bertema pernikahan tersebut kebanyakan adalah perempuan. seakan-akan menikah adalah solusi segala permasalahan perempuan. Hal ini tidak bisa ditepis begitu saja, perempuan dibesarkan dengan kisah-kisah seperti Putri Salju, Putri Duyung, Timun Mas, Bawang Merah Bawang Putih, Lutung Kasarung yang semua akhir ceritanya ditutup dengan kabahagiaan pernikahan. Seakan-akan menikah adalah sumber penyelesaian segala problematika kehidupan. Tidak heran, bagi banyak perempuan, pernikahan adalah sebuah cita-cita.

Cinta adalah alasan paling besar bagi perempuan tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Angka putus sekolah perempuan karena menikah usia 7-12 tahun sebesar 27,78 persen (Data Statistik Pendidikan, cbs, 2006). Belum lagi anak-anak perempuan yang terpaksa putus sekolah karena hamil di usia sekolah. Lembaga pendidikan menganggap anak perempuan ini sudah rusak dan tidak layak bersekolah karena hamil sebelum waktu ideal. Beberapa perempuan yang lulus pendidikan hingga SMA tergerus lagi untuk mencari kerja saja dan kemudian menikah oleh rekan kerjanya yang lebih tua. Ataupun yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi hingga ke tingkat semester atas seperti saya ini, digoda lagi oleh bujukan cinta dengan iming-iming menikah. Sehingga hanya tersisa 2% perempuan yang berhasil menerima gelar doktor di seluruh dunia.

Melalui esai ini saya mengimbau bagi perempuan muda untuk tidak buru-buru menikah atas nama cinta. Pertama karena tubuh dan rahim yang belum siap. Pada umumnya perempuan sudah mengalami menstruasi sejak usia 14 tahun kurang atau lebih. Tetapi belum tentu rahim sudah siap untuk dibuahi. Kematangan rahim berada di usia 20-35 tahun. Jika melahirkan dibawah usia yang dianjurkan, perempuan akan rentan mengalami kecemasan saat hamil, kesehatan menurun atau kelahiran bayi prematur.

Kedua, jika perempuan memilih menikah dan membina rumah tangga di usia muda dan meninggalkan sekolah, perempuan akan memiliki ketergantungan finansial yang tinggi kepada kepala rumah tangga yang sesuai undang-undang perkawinan negara adalah suami atau laki-laki. Ketergantungan finansial membuat perempuan lebih mudah mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena perempuan akan sulit lepas dari sang suami dan menganggap adegan demi adegan kekerasan sebagai bumbu rumah tangga.

Lalu, menikah di usia muda akan melenyapkan kesempatan-kesempatan mencoba hal-hal baru. Karena ketika menikah berarti kita berkomitmen terhadap pasangan hidup kita dan pastinya dilanjutkan membina keluarga. Sering identitas perempuan melebur dan kesempatan mencoba hal-hal baru akan berganti menjadi mengurus anak dan suami. Perempuan tidak memilih kesempatan untuk mendaki Himalaya, belajar diving, makan masakan Afrika, keliling dunia dan lain-lain. Kehidupan permpuan akan terpusat dalam urusan keluarga dan itu saja.

Terakhir, perempuan yang orientasinya sudah terlanjur terpusat pada anak dan keluarga akan melewatkan kontribusinya untuk membangun bangsa dengan cara lain selain berreproduksi. Seringkali hamil dan melahirkan menjadi alasan bagi perempuan berkontribusi dan berkarya dengan menjadi mesin penghasil anak. Padahal ada banyak cara mengabdi pada negara kita selain beranak. Kita bisa menulis, membuat film, mengajar ke daerah pedalaman, menjadi aktivis politik, menyebarkan dan mewujudkan ide-ide dalam membangun sumber daya manusia yang adil dan beradab, mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tantangan terbesar bagi perempuan dari godaan nikah adalah lingkungan yang menganggap hidup adalah arena balapan. Mereka saling kejar-mengejar siapa yang lulus duluan, nikah duluan, hamil duluan, anaknya lulus duluan, dan seterusnya. Terkadang, kita larut dalam balapan tanpa menikmati esensi hidup.  

1 Comment
galaz anugrah
24/8/2020 02:31:19 pm

jadi kakak mendasarkan argumen ini dengan asumsi tentang kemungkinan terburuk dari keputusan menikah muda bagi perempuan. padahal di lain sisi juga ada kemungkinan terbaik.

Juga mendasarkan kedewasaan dengan usia wajarnya, tak mengapa. hanya saja kedewasaan juga tidak selalu terkait dengan usia secara penuh.

saya tidak sepenuhnya mendukung pernikahan muda, malah saya cenderung mendukung bagaimana kakak menyarankan teman-teman perempuan untuk berfikir lebih matang sebelum menikah daripada hanya ikut-ikutan.

sekali lagi, bahwa contoh kasus yang terjadi akan sangat beragam sesuai kondisi masing-masing orang. ada yang lingkungannya tidak mendukung bahwa perempuan tak menikah bebas berkarya karena keamanan dsb. ada yang kondisi finansial dan fisiknya mampu untuk menikah.

dan sekali lagi untuk tidak ikut-ikutan, termasuk pandangan saya ini yang saya tulis di usia 21 dan belum menikah.

menyepelekan peran wanita sebagai ibu juga tidak baik, negara hebat ada karena keluarga hebat yang mempunyai ibu yang bisa mendidik anaknya dengan baik pula,

selaras dengan kakak ini untuk menyarankan wanita mencari ilmu hingga siap menjadi ibu yang baik. dan kembali setiap kita punya bias termasuk kakaknya dan saya. mungkin pendapat kakak berdasarkan pada wanita "pada umumnya" yang mengenyam pendidikan "sama" dengan laki-laki, namun tidak mendapatkan pendidikan sebagai ibu. karena adil tidak selalu harus sama, coba bayangkan bagaimana jika seekor gajah disuruh memanjat pohon seperti monyet tentu tidak adil. justru jika setiap kita mendapatkan sesuai apa yang kita butuhkan maka disitulah letak keadilan. menempatkan sesuatu pada tempatnya, bukan sembarangan

dan menyarankan wanita menjadi "feminis" barat yang mendukung perjuangan wanita untuk bebas berkarya seperti laki-laki. yang mana juga tidak sepenuhnya ingin sama, tetapi hanya ingin peran yang enak-enak saja seperti pekerja kantoran dan lain-lain disebutkan diatas. tentu perjuangan semacam ini jangan sampai juga menjadi tameng dimana wanita menjadi terlau bebas dalam hal negatif yang mengandalkan sisi kewanitaan tidak pada tempatnya.

sehingga jika wanita kembali ke fitrahnya dan laki-laki bersikap adil terhadap wanita maka terjadi keseimbangan. bukan malah wanita menjadi laki-laki dan yang laki-laki menjadi banci

saya hanya mengarahkan sedikit anjuran kakak supaya terjadi keseimbangan :). koreksi saya jika salah, mari belajar bersama

Reply



Leave a Reply.

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    September 2021
    July 2021
    June 2021
    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa