Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) Mengapa judul tulisan ini demikian? Kata korban dalam jejak bahasa Indonesia kurang dimaknai secara dalam oleh masyarakat kita. Pemaknaan kata korban sangat jauh berbeda dengan kata victim dalam bahasa Inggris. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata korban diartikan sebagai “pemberian untuk menyatakan kebaktian, dan kesetiaan”. Ada pula kata kurban dalam kamus tersebut yang berasal dari bahasa Arab yang dicontohkan dalam kalimat “jangankan harta, jiwa sekalipun kami berikan sebagai korban”. Kata korban dalam bahasa kita tidak berkorelasi sama sekali dengan subjek yang mengalami kerugian, penderitaan dan kemalangan seseorang akibat perbuatan orang lain, kecuali untuk kasus bencana alam, kecelakaan dan penyakit. Dalam bahasa Inggris victim dimaknai sebagai seseorang atau sesuatu yang telah terluka, hancur, atau terbunuh atau telah menderita, baik karena tindakan seseorang atau sesuatu yang lain. Istilah victim yang berbeda dengan istilah korban tersebut terlihat dalam sebuah studi yang disebut viktimologi, berasal dari kata “victima” (bahasa latin) dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban sebagai victim, termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan yaitu, polisi, pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dan institusi lain.
Kata korban sebagai victim di sisi lain juga hanya dikenal oleh perspektif hukum terutama dalam konteks hukum pidana dan Hak Asasi Manusia. Dalam perspektif hukum pidana, korban sama dimaknai dengan “victim”, adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Dampak dari kurangnya pemaknaan atas kata korban yang tidak dikenal tersebut, sejumlah upaya untuk memperjuangkan keadilan, dan hak asasi manusia menjadi begitu sulit. Bagi masyarakat kita, kata “korban” yang mereka kenal adalah sama dengan pengorbanan, atau bila mengalami kerugian dan penderitaan dari peristiwa yang menyedihkan akibat kejahatan orang lain adalah sesuatu yang “harus diterima” begitu saja. Bila ada seseorang yang dikorbankan, misalnya akibat suatu kejadian yang keji seperti perkosaan, pembunuhan, penganiayaan, dianggap sebagai sebuah “karma” yang perlu diterima, atau kesialan belaka yang menimpa seseorang. Pemaknaan kata korban yang tidak dimaknai secara dalam tersebut membuat masyarakat kita kurang terbiasa untuk membangun empati pada nasib buruk orang lain, terutama akibat suatu perlakuan tidak adil. Rasa melihat sesuatu yang tidak adil terjadi pada orang lain adalah sebuah bentuk empati dan mendorong seseorang memiliki keinginan besar untuk menolong. Rasa yang dibentuk oleh kita sejauh ini adalah solidaritas atas identitas, bukan sebuah empati. Kelompok lebih diutamakan daripada hakekat ketidakadilan itu sendiri. Oleh sebab itu masyarakat kita tidak terlalu tersambung dengan istilah Hak Asasi Manusia, karena budaya yang membentuk kita abai terhadap rasa keadilan. Istilah tersebut (Hak Asasi Manusia) lebih dipahami sebagai suatu “tindakan yang egois”, yang memikirkan dirinya sendiri. Kita lebih terhubung pada pembelaan kolektif atas sebuah identitas yang dibanggakan oleh kelompok tertentu. Kita gagal mengurai sebuah “ketidakadilan” akibat istilah pengorbanan, bahkan cenderung menjadi hal yang lumrah bila menyakiti orang lain ataupun diri sendiri. Fenomena ini saya amati ketika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sulit sekali dipahami sebagai perangkat hukum yang melindungi korban. Banyak pihak melihat bahwa tidak ada yang terlanggar dari sebuah peristiwa perkosaan, bahkan dianggap sebagai budaya yang disetujui dan dianggap hal yang lumrah—suatu kesialan yang dialami korban dan harus diterima begitu saja. Ia bukan sesuatu yang terlanggar harkat dan martabatnya, harga dirinya, masa depannya, dan kesehatan fisik dan psikisnya. Budaya abai tersebut akibat kita tidak memiliki keseriusan untuk benar-benar memahami tentang kemanusiaan atau bahkan kemanusiawian. Budaya yang abai terhadap korban tersebut dapat kita lihat terhadap kasus pelecehan seksual. Bagi banyak orang, perempuan dilecehkan adalah kesalahan perempuan itu sendiri. Kata “mengundang” atau “menggoda” sering dilemparkan pada perempuan yang mengalami pelecehan. Pelecehan adalah sesuatu yang harus diterima akibat perbuatan korban sendiri. Tuntutan atas rasa keadilan bagi korban dianggap hal yang berlebihan terutama dalam hal kekerasan seksual, karena kekerasan seksual dipandang sebagai hal yang wajar. Bila data mengatakan satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan seksual, maka kita dapat membayangkan bahwa 1 dari 3 orang adalah pelaku kekerasan seksual – yang artinya kekerasan seksual sudah menjadi hal yang diwajarkan. Inilah asal mula persoalan dalam memaknai kata korban. Kata tersebut hingga hari ini masih sulit dimengerti, sama halnya dengan hak asasi manusia, apalagi hak asasi perempuan, dan kekerasan seksual. Alih-alih semakin memahami ketika dijelaskan, logikanya menjadi dipahami terbalik bahwa kekerasan seksual sebagai tindakan yang merayakan kebebasan seksual. Semoga Semesta menyelamatkan bangsa ini dari kebodohan.(JP) Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |