Nadirsyah Hosen Dosen Fakultas Hukum, University of Wollongong, Rais Syuriah PCI NU ANZ ([email protected]) Ingrid Mattson memulai bukunya “The Story of the Qur’an: Its History and Place in Muslim Life” bercerita mengenai Khawlah bint Tsa’labah. Khawlah hanya perempuan biasa, tapi Tuhan mendengar jeritan suara keadilan dari Khawlah. Aws ibn Samit, suami Khawlah, telah menggantung status pernikahannya dengan ucapan: “Bagiku, kamu seperti punggung ibuku”. Ucapan zhihar ini menurut adat Arab saat itu bermakna bahwa Aws tidak lagi bisa menyentuh Khawlah dan pada saat yang sama Khawlah belum bebas dari status pernikahan. Khawlah merasa ada sesuatu yang tidak adil di sini. Bukankah spirit pernikahan dalam Islam itu: “Perlakukan pasanganmu dengan baik, atau kalau tidak, lepaskanlah dengan baik-baik?” Ucapan Aws meski dibenarkan adat setempat, tapi jelas bertabrakan dengan keagungan etika ajaran Islam. Khawlah pun mendatangi Nabi dan meminta keadilan. Khawlah kecewa karena Sang Nabi mengindikasikan bahwa adat setempat masih berlaku sampai Allah menganulirnya. Dan Muhammad, sang manusia agung itu belum berani mengambil keputusan selama Allah belum menurunkan wahyu. Khawlah terus memohon keadilan pada Allah dan menunggu di dekat sang Nabi, seraya berharap ada wahyu yang turun merespons jeritan nurani Khawlah. Allah pun berkenan merespon Khawlah: “Allah benar-benar telah mendengar wanita yang mendebatmu (wahai Nabi) tentang hal ihwal suaminya yang menjatuhkan sumpah zhihar kepadanya dan mengeluhkannya kepada Allah. Allah mendengar perkataan yang kalian berdua perdebatkan. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu.… Sesungguhnya mereka mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS 58:1-2) Berkat kegigihan Khawlah memperjuangkan keadilan, sebuah surat dalam Alquran dinamai al-mujadilah (perempuan yang menggugat). Lewat jeritan keadilan Khawlah, Allah menurunkan ketentuan baru mengenai praktik zhihar dalam adat masyarakat Arab. Siti Aisyah, yang kelak juga mengadu pada Allah meminta keadilan saat dituduh berbuat zina dan kemudian dibela Allah dalam Alquran, memuji Khawlah dan juga Allah SWT atas peristiwa “al-mujadilah” ini. Begitulah, Profesor Ingrid Mattson menekankan bagaimana pesan keadilan yang disuarakan perempuan biasa-biasa saja seperti Khawlah, bisa langsung direspons oleh Allah. Keadilan tidak mengenal jenis kelamin. “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil” (QS 5: 8). Wa Allahu a’lam. Ini salah satu gambarannya, berdasarkan penelitian saya di suatu perusahaan sepatu olah raga merek branded di Tangerang, beberapa tahun yang lalu. Dari 9000-an buruh produksi, 7000-an diantaranya adalah buruh perempuan. Mereka pada umumnya menempati posisi yang paling rendah dalam struktur pekerjaan. Pada tingkat manajerial, sejak mandor, pengawas, kepala, manajer, pada umumnya laki-laki. Soal penempatan pegawai itu sesungguhnya hampir tidak kelihatan diskriminasi, tetapi struktur yang timpang itu jelas menunjukkan diskriminasi. Sebuah sepatu memerlukan proses 150 tahapan. Dalam proses itu terlihat ada pembagian kerja yang benar-benar tersegregasi antara perempuan dan laki-laki. Perempuan melakukan pekerjaan (yang distereotipkan) sebagai pekerjaan yang memerlukan ketelitian: menjahit, pasang kancing, dan sebagainya. Pekerjaan ini harus dilakukan penuh kewaspadaan, selama 8 jam kerja mata dan pikiran harus konsentrasi. Sebab bila lengah sedikit, tangan bisa terjahit mesin, atau juga paparan debu dari material sepatu. Laki-laki melakukan pekerjaan yang dianggap lebih berat dan berbahaya seperti: membuat sol sepatu (karet), mengelem. Pekerjaan ini risikonya adalah terpapar polusi kebisingan dan bau lem. Banyak perempuan dan laki-laki yang malas pakai masker, kata mereka menghalangi gerak. Pengawasan tentu saja sistematis ketat: ada aturan soal istirahat makan siang, pergi ke WC. Juga di tembok-tembok pabrik ada tulisan: pada jam kerja dilarang berkelahi dan berhubungan sex. Ini sangat menarik. Secara sosiologis, bila ada tulisan begini, maka berarti memang sering terjadi perkelahian dan hubungan perkelaminan pada jam kerja. Soal lembur: ada ketentuan pada jam lembur harus ada tambahan asupan gizi. Oleh perusahaan mereka diberi susu atau susu kedelai dari karton kecil. Tetapi tidak mereka konsumsi. Mereka kumpulkan susu-susu karton itu, lalu mereka buat arisan (ck ck ck...) Di mana letak diskriminasi terhadap buruh perempuan? Mengikuti Logika Konvensi CEDAW, Pasal 11. Pertama, statusnya dianggap lajang. Implikasinya: (a) meskipun perempuan itu punya suami dan anak, tidak mendapat tunjangan keluarga. (b) bila anak dari buruh perempuan sakit, maka dia tidak boleh membawa anaknya ke klinik perusahaan, tetapi buruh laki-laki bisa (karena dia dianggap lajang, mana bisa punya anak?) (c) sulit bagi mereka untuk mendapatkan haknya menikah dan punya anak. Kedua, upahnya secara kumulatif tentu lebih rendah daripada buruh laki-laki, karena ada pengabaian-pengabaian di atas (ini juga pelanggaran terhadap Konvensi ILO No. 100 tahun 1958). Ketiga, soal keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi: 8 jam bekerja, harus terus menerus alert, supaya tidak celaka. Ini bagaimana dengan buruh perempuan yang kemungkinannya memang hamil diantara 7000 orang? Keempat, cuti haid: banyak yang tetap masuk kerja, agar upahnya tidak dipotong. Kelima tentu saja diskriminasi secara tidak langsung untuk setara dengan buruh laki-laki karena penempatan struktur kerja di atas, dimana pekerjaan manajerial dan pengawasan lebih banyak didominasi laki-laki. Keenam, soal perempuan yang rentan PHK, soal pensiun, dan sebagainya. Jadi hak perempuan untuk tidak mengalami diskriminasi di tempat kerja seperti dalam Pasal 11 CEDAW itu, masih jadi persoalan. Buruh laki dan perempuan SAMA-SAMA mengalami alienasi dari hasil pekerjaannya. Mereka tidak menikmati capacity building. Sungguhpun 15 atau 20 tahun bekerja, belum tentu bisa membuat sepatu. Karena pekerjaan mereka hanyalah membuat kancing, membuat sol, menjahit bagian ujung sepatu, dan lain-lain. Orang seperti kita mungkin sudah menjadi gila karena rutinitas! Mengapa demo buruh didominasi oleh laki-laki? Kemana perempuan? Mengenal Beragam Cara Sunat Perempuan WHO (World Health Organization) tahun 2004 menyebutkan setidaknya ada enam cara sunat perempuan. Pertama, menghilangkan bagian permukaan klitoris dengan atau tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris. Kedua, pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minora. Ketiga, pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar diikuti dengan menjahit atau menyempitkan lubang vagina (infibulasi). Keempat, menusuk, melubangi klitoris dan labia, atau merapatkan klitoris dan labia, diikuti tindakan memelarkan dengan jalan membakar klitoris atau jaringan di sekitarnya. Kelima, merusak jaringan di sekitar lubang vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cuts). Keenam, memasukkan bahan-bahan atau tumbuhan yang merusak ke dalam vagina dengan tujuan menimbulkan pendarahan demi menyempitkan vagina. Semua cara tersebut oleh WHO dinyatakan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan harus diakhiri. Lalu, siapa yang berhak melakukan sunat perempuan? Umumnya, sunat dikerjakan oleh para perempuan yang dituakan dalam masyarakat, dan biasanya mereka berprofesi sebagai dukun, bidan, perawat dan dokter. Umumnya, sunat perempuan selalu mengakibatkan sakit yang luar biasa, baik pada saat berlangsungnya maupun setelah sunat. Sungguh aneh karena kebanyakan sunat perempuan justru dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, dan jarang dilaksanakan oleh laki-laki. Artinya, seharusnya perempuan menjadi peka melihat perlakuan tidak manusiawi terhadap kaumnya dan segera memutuskan untuk tidak mengulangi kesalahan yang fatal tersebut. Kapan pelaksanaan sunat perempuan? Tidak ada waktu yang ditentukan, setiap masyarakat punya kebiasaan yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Dalam praktiknya, ditemukan sangat bervariasi, biasanya tergantung pada adat dan kebudayaan masyarakat setempat. Umumnya, sunat perempuan dilakukan pada saat anak perempuan masih dalam usia bayi, yaitu ketika berusia antara 7 sampai 10 tahun. Akan tetapi, di beberapa negara, seperti pada masyarakat Somalia sunat perempuan seringkali dilakukan pada usia 17 sampai 60 tahun. Sedangkan di Etiopia usia sunat perempuan biasanya dilakukan pada kisaran usia yang lebih tua antara 30 dan 52 tahun. Umumnya, yang paling banyak dilakukan adalah ketika anak perempuan masih balita, yakni antara 4 sampai 7 tahun. Sementara di Indonesia, umumnya sunat dilakukan saat anak perempuan masih bayi, yaitu pada hari ke-7 setelah kelahiran, dan biasanya dilakukan oleh dukun bayi dan tenaga medis, seperti bidan dan dokter. Praktik sunat perempuan dalam masyarakat pun mengambil beragam bentuk, terdapat perbedaan cara yang signifikan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dijumpai cara sunat yang membahayakan tubuh perempuan, dan bahkan dapat mengancam nyawa perempuan, seperti kebiasaan masyarakat di sebagian wilayah Afrika. Di wilayah tersebut, sunat perempuan dilakukan secara ekstrim, yakni dengan menyayat sebagian besar atau seluruh bagian klitoris. Tidak semua praktik sunat dilakukan secara sadis dan kejam. Dalam praktiknya terdapat masyarakat yang melakukan sunat dengan hanya memotong sedikit ujung klitoris. Bahkan, ada juga cara sunat yang tidak memotong klitoris sama sekali, hanya memoles klitoris dengan kunyit yang sudah dibuang kulitnya. Cara sunat yang sadis dalam bentuk excision atau clitorydectomy umumnya dilakukan dengan memotong klitoris yang sering diikuti dengan pengangkatan labia minora. Adapun sunat dengan cara infibulasi atau pharaonic circumcision dilakukan dengan memotong klitoris yang diikuti dengan pengangkatan labia mayora serta menempelkan kedua sisi vagina dengan jalan menjahit atau menyatukan secara alami jaringan yang terluka dengan menggunakan benang atau lainnya. Sunat dalam bentuk infibulasi amat membahayakan kesehatan dan merusak alat reproduksi perempuan karena menutup lubang vagina dan cuma menyisakan lubang kecil sebesar kepala korek api untuk keluarnya cairan menstruasi. Tambahan pula, praktik sunat perempuan yang ekstrim tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pemotong tradisional yang tidak steril, seperti gunting, pinset, pecahan kaca, besi tipis, jarum atau benda-benda tajam lainnya. Cara lain yang tidak kalah sadisnya adalah sunat dalam bentuk infibulasi. Secara bahasa, kata infibulasi berasal dari bahasa Romawi “fibula” yang artinya menyatukan atau menempelkan. Saat itu, masyarakat Romawi menerapkan praktik infibulasi pada para budak perempuan untuk meningkatkan daya jual mereka di pasar. Sementara masyarakat Mesir mengadopsi praktik infibulasi ini untuk tujuan membuat perempuan Mesir lebih diminati dan sekaligus untuk menjaga keperawanan mereka. Perempuan yang diinfibulasi tidak akan memiliki besar lubang vagina yang normal. Tujuan utama infibulasi adalah mempertahankan virginitas atau keperawanan perempuan yang belum menikah. Karena itu, lubang vagina sengaja diperkecil agar perempuan merasa sakit dan tidak nyaman jika melakukan hubungan seksual. Jika perempuan yang mengalami infibulasi hendak melakukan hubungan seksual, maka bekas jahitan tersebut harus dibuka kembali atau defibulasi, dan nantinya juga akan dibuka lebih lebar lagi untuk kepentingan persalinan. Sunat perempuan pada masyarakat Indonesia pun dilakukan dengan beragam cara. Diantaranya, dengan memotong sedikit atau melukai sebagian kecil alat kelamin bagian luar atau ujung klitoris. Tidak sedikit masyarakat Islam melakukannya secara simbolis, yaitu dengan menorehkan kunyit yang sudah dibuang kulitnya pada bagian klitoris bayi atau anak perempuan. Sejumlah hasil observasi terhadap sunat perempuan di Indonesia menunjukkan, telah terjadi pemotongan genitalia sekitar 75% kasus, dan dari kasus tersebut, banyak yang mengeluhkan timbulnya rasa sakit. Hal ini membuktikan, sunat perempuan yang dilakukan biasanya tanpa persetujuan, baik dari anak perempuan itu sendiri maupun dari orang tua mereka, dan yang paling penting, sunat perempuan ternyata tidak memberikan manfaat apa pun. Bahkan, sunat perempuan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, terutama, hak anak dan hak seksualitas, serta hak dan kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dijamin dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1990. Menarik dicatat, ada kecenderungan menguatnya praktik sunat perempuan setelah era reformasi seiring dengan menguatnya gerakan islamisme di Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru. Di masa Orde Baru tidak terdengar gerakan sunat perempuan seperti terjadi akhir-akhir ini, bahkan di beberapa tempat muncul gerakan sunat massal bagi perempuan. Sebelumnya, sunat massal hanya dikenal bagi anak laki-laki. Pada tahun 2004 penulis mengunjungi kegiatan sunat massal bagi perempuan yang mengerikan di sejumlah wilayah, antara lain di daerah Jawa Barat dan Madura. Penulis menyaksikan secara langsung di Pesantren As-Salam, Jawa Barat kegiatan sunat massal bagi perempuan dan terkumpul sebanyak lebih 120 orang perempuan, mulai dari usia bayi sampai 60 tahun. Mereka disunat dengan menggunakan gunting dan bagian klitoris yang dipotong cukup besar sehingga menimbulkan pendarahan yang parah. Sampai sekarang penulis merasa trauma dan tidak dapat melupakan bunyi dentingan gunting para bidan yang melakukan sunat perempuan di tempat itu. Melacak Sejarah Sunat Perempuan Istilah sunat dalam bahasa Arab adalah khitan. Kata itu secara etimologis berarti memotong. Berbagai buku fikih klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sunat adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang menutupi hasyafah atau ujung kepala penis. Adapun sunat perempuan dalam bahasa Arab disebut khifadh berasal dari kata khafdh artinya memotong ujung klitoris pada vagina. Sejumlah studi menyimpulkan, sunat perempuan dilakukan pertama kali di kawasan Mesir sebagai bagian dari upacara adat yang diperuntukkan khusus bagi perempuan yang telah beranjak dewasa. Tradisi sunat perempuan di Mesir merupakan akulturasi budaya antara penduduk Mesir dan orang-orang Romawi yang saat itu tinggal di Mesir. Data-data historis mengungkapkan, sunat perempuan telah diperkenalkan dalam kitab suci Taurat yang dibawa Nabi Musa as untuk diimani dan ditaati orang-orang Yahudi dari bangsa Israel. Akan tetapi, jauh sebelumnya tradisi sunat telah dilakukan Nabi Ibrahim as dan diyakini sebagai petunjuk yang datang dari Tuhan. Sunat dalam kitab Taurat dijadikan sebagai tanda yang membedakan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain. Tanda ini terkait dengan janji kedatangan Mesias (Nabi Isa as.) yang akan turun dari garis keturunan bangsa Israel, khususnya orang-orang Yahudi. Selain itu, sunat pada zaman tersebut hanya dikhususkan untuk laki-laki, sedangkan perempuan tidak diperkenankan. Sampai kini, sunat perempuan dalam realitas sosiologis masih banyak dilakukan di negara-negara Islam atau wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim. Paling tidak, tradisi ini dilakukan pada lebih dari duapuluh negara Islam, khususnya di lingkungan masyarakat Muslim bermazhab Syafii di Afrika misalnya, negara Mesir, Kamerun, Kenya, Tanzania, Ghana, Mauritania, Sierra Leone, Cad, Botswana, Mali, Sudan, Somalia, Etiopia, dan Nigeria. Sedangkan di Asia, praktik ini umumnya dilakukan di lingkungan masyarakat Muslim, seperti Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, Brunei dan Indonesia. Menarik dicatat, tradisi sunat juga dilakukan umat Islam yang tinggal di Amerika Latin, seperti Brasil, Meksiko bagian Timur, dan Peru. Masyarakat Muslim yang bermukim di beberapa negara Barat, seperti Belanda, Swedia, Inggris, Prancis, Amerika, Kanada, Australia, juga masih melakukan sunat perempuan, meski undang-undang setempat telah melarangnya. Selain itu, sunat perempuan ini juga dipraktikkan di Uni Emirat Arab, Yaman Selatan, Bahrain, dan Oman. Perlu dicatat, praktik sunat perempuan bukan hanya ditemukan di kalangan Muslim, tetapi juga ditemukan di lingkungan non-Muslim, seperti penganut Kristen Koptik di Mesir, penganut Yahudi di Palestina. Akan tetapi, menarik juga diungkapkan bahwa praktik sunat perempuan justru tidak umum dilakukan di wilayah asal turunnya Islam, yaitu Arab Saudi. Demikian pula wilayah Islam lainnya, seperti Suriah, Lebanon, Iran, Irak, Yordania, Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Bahkan, di Turki yang bermazhab Hanafi, tidak mengenal praktik sunat perempuan. Begitu juga di Afghanistan dan negara-negara Islam di Afrika lainnya. Pengalaman penulis ketika berkunjung ke Suriah tahun 2000 menemukan bahwa kelompok perempuan terpelajar di sana sama sekali tidak mengetahui tentang sunat perempuan, dan beberapa perempuan yang penulis temui mengaku tidak disunat. Berbagai Alasan dan Tujuan Sunat Perempuan Secara ringkas alasan dan tujuan sunat perempuan dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, untuk menjaga kelangsungan identitas budaya. Ada anggapan di masyarakat, menjalankan ritual tradisi atau budaya merupakan tahap inisiasi yang penting bagi seorang perempuan untuk memasuki tahap kedewasaan dan menjadi bagian resmi dari sebuah kelompok masyarakat. Kedua, untuk menjaga kelanggengan relasi gender yang timpang dan tidak adil. Pengangkatan klitoris dianggap sebagai proses penghilangan organ laki-laki pada tubuh perempuan sehingga feminitas perempuan akan sempurna. Selain itu, praktik sunat ini juga dimaksudkan untuk membentuk kepatuhan dan kelemahan perempuan dengan trauma yang didapatkan sehingga perempuan mendapat pengajaran tentang perannya dalam masyarakat. Sunat menjadikan perempuan meyakini bahwa dirinya adalah inferior dan subordinat laki-laki. Dalam hal ini, alasan sosiologis lebih menguat, yakni untuk identifikasi warisan budaya, inisiasi anak perempuan memasuki tahapan kedewasaan, integrasi sosial dan pemeliharaan kohesi sosial. Ketiga, untuk menjaga dan mengontrol seksualitas serta fungsi reproduksi perempuan. Masyarakat meyakini bahwa sunat membuat gairah seksual perempuan dapat dikontrol. Perempuan dilarang memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu karena akan membahayakan masyarakat. Sebab, jika perempuan tidak bisa menahan rangsangan seksualitasnya akan terjerumus ke dalam praktik seks di luar nikah. Bahkan, lebih jauh dari itu, perempuan yang tidak disunat akan sangat diragukan kesetiaannya terhadap pasangan atau suami. Perempuan harus disunat agar kelak tidak tergoda menjadi pelacur atau penjaja seks. Perempuan tidak dimaksudkan untuk menikmati kepuasan seksual, melainkan diciptakan untuk memberi kepuasan seksual pada laki-laki. Inilah pandangan bias gender yang merebak luas di masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa sunat bagi perempuan lebih kepada alasan psikoseksual. Tujuannya, mengurangi atau menghilangkan bagian yang sensitif di sekitar vagina, terutama klitoris. Dengan demikian dimaksudkan untuk mengekang keinginan seksual perempuan, menjaga dan memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum menikah; dan menjaga kesetiaan perempuan dalam pernikahan; sebaliknya menambah kenikmatan seksual laki-laki. Sunat juga diyakini sebagai upaya meningkatkan kesuburan perempuan dan menjamin lancarnya persalinan. Keempat, untuk menjaga kebersihan, kesehatan, dan keindahan tubuh perempuan. Sunat perempuan yang dilakukan masyarakat biasanya dikaitkan dengan tindakan penyucian diri bagi perempuan. Selain itu, dengan alasan ini masyarakat percaya perempuan akan menjadi lebih subur dan mudah melahirkan. Jadi, sunat dilakukan lebih untuk kepentingan laki-laki yang akan menjadi pasangan perempuan. Alasan kebersihan dan keindahan menjadi jelas karena anggapan masyarakat bahwa bagian tubuh perempuan, terutama bagian klitoris yang menonjol keluar dianggap kotor dan tidak enak dipandang sehingga harus dibuang untuk kebersihan dan agar tampak lebih menarik. Kelima, untuk alasan keagamaan. Umumnya umat Islam yang melakukan sunat perempuan menyebut alasan keagamaan. Mereka meyakini sunat sebagai kewajiban dalam Islam, walau secara historis sunat bukan diperkenalkan oleh Islam karena sudah dipraktikkan jauh sebelum datangnya Islam. Masyarakat menganggap sunat bagi laki-laki atau perempuan adalah simbol keislaman. Melakukan sunat dianggap sebagai proses mengislamkan. Jika tidak disunat tidak diperkenankan membaca Alquran dan melakukan salat lima waktu. Menurut penulis, pemahaman tersebut sungguh keliru karena keislaman dan keimanan seseorang tidak dapat dilihat dari apakah seseorang itu disunat atau tidak disunat. Bahkan, sunat tidak termasuk dalam pembicaraan tentang rukun Islam dan rukun iman. Seluruh umat Islam sepakat bahwa rukun Islam ada lima, yakni syahadat, salat lima waktu, puasa, zakat dan haji bagi mereka yang mampu. Seluruh umat Islam juga hampir sepakat bahwa rukun iman ada 6 yaitu iman kepada Allah swt, para Rasul, Kitab-kitab Allah, Para malaikat, hari akhirat dan takdir. Memahami Bahaya Sunat Perempuan Sepintas terlihat bahwa isu sunat perempuan adalah urusan agama, tetapi jika disimak lebih saksama akan terkuak sejumlah kepentingan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran agama. Memang betul sejumlah penelitian mengungkapkan ada alasan bersifat teologis mengapa para orang tua melakukan sunat terhadap anak perempuan atau mengapa para perempuan yang sudah berumur tetap memaksakan diri untuk disunat. Umumnya mereka menjelaskan, sunat adalah kewajiban seorang Muslim dan Muslimah karena menjadi simbol keislaman. Mereka meyakini, kalau seseorang belum disunat berarti belum sempurna keislamannya. Namun, persoalan sunat perempuan dalam masyarakat hendaknya dipahami bukan sekadar urusan agama atau adat-tradisi, melainkan ada unsur motivasi yang lebih kuat, yakni upaya melanggengkan nilai-nilai patriarkal dan bias gender demi kepentingan dan kesenangan kaum laki-laki. Fatalnya, semua ini dilakukan dengan justifikasi teks-teks suci Alquran dan hadis Nabi. Alasan lain yang mengemuka dalam praktik sunat perempuan adalah untuk tujuan membangun “eksistensi perempuan” agar lebih islami. Banyak keluarga muda yang orang tuanya sendiri tidak mempraktikkan sunat perempuan, tapi mereka justru mempratikkan sunat pada anak perempuannya dengan alasan memenuhi anjuran agama agar menjadi lebih islami. Selain itu, praktik sunat perempuan dalam masyarakat Indonesia lebih karena alasan tradisi budaya dan motif ekonomi. Seringkali profesi sebagai bidan atau dukun yang melakukan sunat perempuan merupakan pekerjaan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari seorang ibu kepada anaknya, dan itu seringkali menghasilkan pendapatan yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Akibatnya, kalau praktik sunat perempuan dihilangkan, otomatis pendapatan keluarga juga akan hilang. Sementara itu, di kalangan tenaga medis sunat perempuan juga tak kalah memberikan masukan ekonomi untuk mereka. Para bidan atau tenaga medis lainnya, baik di rumah sakit atau klinik pribadi tak jarang menjadikan sunat perempuan sebagai layanan satu paket dengan tindik telinga dan melahirkan. Institusi tersebut biasanya sudah mematok tarif satu paket dan tidak mau menghilangkan item tambahan biaya untuk tindik dan sunat tersebut. Tidak heran sering muncul keluhan orang tua yang keberatan anaknya ditindik dan disunat karena dilakukan tanpa seizin dan sepengetahuannya. Dilihat dari fungsi dan manfaatnya, sunat bagi perempuan sangat berbeda dengan sunat bagi laki-laki. Sunat bagi laki-laki terbukti membawa kebaikan dan manfaat terkait kesehatan dan kebersihan tubuhnya. Hal itu karena kulit yang terletak pada ujung penis yang biasa jadi sarang penyakit dibuang atau dipotong. Dengan demikian, tujuan sunat bagi laki-laki adalah menjadikan penis atau organ seksualnya lebih sehat dan bersih, bahkan menjadi suci dari segala najis yang melekat. Selain itu, menjadikan laki-laki dapat lebih menikmati hubungan seksual ketika menikah nanti. Akan tetapi, sangat berbeda dengan laki-laki, sunat pada perempuan justru dapat menimbulkan masalah kesehatan pada perempuan. Sebab, segala jenis operasi pada organ genital perempuan akan menyebabkan timbulnya gangguan fisik dan juga gangguan psikis yang serius pada perempuan. Gangguan fisik dan psikis ini bisa terjadi dalam waktu jangka pendek, atau dapat juga muncul dalam jangka panjang. Ini tergantung pada tingkat ketahanan diri perempuan, keadaan lingkungan psikososial, dan faktor-faktor lainnya. Secara psikologis, sunat perempuan dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas jaringan di daerah genital, terutama klitoris, untuk mengurangi gairah seks perempuan. Tapi, justru inilah yang kemudian berdampak buruk bagi perempuan. Dalam jangka panjang perempuan akan cenderung tidak bisa menikmati hubungan seksual dalam pernikahannya. Bahkan, dari sisi psikologi seksual, sunat perempuan ini dapat meninggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan, rasa rendah diri dan tidak sempurna. Secara fisik, dampak langsung sunat pada perempuan juga akan menimbulkan rasa sakit, pendarahan, shock, tertahannya urine, serta luka pada jaringan sekitar vagina. Pendarahan dan infeksi ini pada kasus tertentu akan berakibat fatal pula, bahkan membawa risiko berupa kematian. Sementara dampak jangka panjang selain rasa sakit dan disfungsi seksual adalah timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat, serta kesulitan saat melahirkan. Sunat Perempuan dalam Perspektif Islam Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya nilai kesetaraan semua manusia dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Karena itu, Islam mengajarkan bahwa kenikmatan seksual merupakan hak bagi perempuan dan laki-laki, hak kedua belah pihak, istri dan suami. Secara tegas Alquran mengilustrasikan istri dan suami seperti pakaian satu sama lain, keduanya harus saling melengkapi dan saling mengisi. Bagi keduanya Allah swt telah menjadikan cinta dan kasih sayang yang tak bertepi.[1] Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tradisi sunat telah dilakukan sejak masa nabi Ibrahim as, jauh sebelum Islam. Di semenanjung Arab, tradisi sunat perempuan telah dipraktikkan pada zaman Jahiliyah sebelum kehadiran Nabi Muhammad saw. Alquran sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam Islam sama sekali tidak mencantumkan perintah sunat, baik bagi laki-laki apalagi untuk perempuan. Alquran hanya menyebut sebuah ayat yang memerintahkan manusia mengikuti ajaran (millah) Nabi Ibrahim as.[2] Ayat itulah kemudian ditafsirkan sebagai perintah mengikuti tradisi Ibrahim, termasuk tradisi sunat bagi laki-laki. Tradisi sunat perempuan yang berkembang di berbagai lapisan masyarakat Muslim di Indonesia, terutama sejak era reformasi ini, muncul karena kekeliruan dalam menafsirkan ajaran Islam. Akibat keliru menafsirkan, sebagian umat Islam menganggap praktik sunat bagi laki dan perempuan adalah keharusan dan bahkan dianggap sebagai syarat bagi keislaman seseorang. Hal paling penting dicatat, tidak ada perintah yang tegas dalam Alquran untuk melakukan sunat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Demikian pula, tidak ada perintah agama agar organ vital perempuan, khususnya klitoris dipotong, dilukai atau dihilangkan. Hadis-hadis yang menguatkan tradisi sunat bagi laki-laki hanya menyebutkan bahwa sunat itu merupakan salah satu dari fitrah manusia yang lima, yakni: khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak. Artinya, sunat bagi laki-laki hanyalah merupakan salah satu bentuk fitrah manusia. Seperti dijelaskan dalam dua hadis riwayat Muslim dan Nasa’i berikut: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ سُفْيَانَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ. رواه مسلم. أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ عَنْ بِشْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَنَتْفُ الضَّبْعِ وَتَقْلِيمُ الظُّفْرِ وَتَقْصِيرُ الشَّارِبِ وَقَفَهُ مَالِكٌ. رواه النسائي. Lalu, mengapa muncul pandangan bahwa Islam menganjurkan sunat perempuan? Adapun argumen teologis yang sering digunakan oleh kelompok pro-sunat perempuan bukan berasal dari Alquran, melainkan hanya diambil dari kitab fikih, dan itu pun hanya didasarkan pada sejumlah hadis lemah (dhaif), antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal: حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ يَعْنِي ابْنَ الْعَوَّامِ عَنِ الْحَجَّاجِ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ. رواه أحمد. Artinya: Khitan (sunat) itu dianjurkan untuk laki-laki (sunnah), dan hanya merupakan kebolehan (makrumah) bagi perempuan. Jelas bahwa hukum sunat bagi laki-laki bukan wajib sebagaimana diyakini banyak orang Islam, melainkan hanyalah anjuran atau dalam istilah hukumnya disebut sunah. Sunah artinya suatu perbuatan yang jika dilakukan akan mendatangkan pahala bagi pelakunya, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa. Selanjutnya, dalam hadis tersebut dikatakan, sunat perempuan bukanlah anjuran seperti halnya sunat laki-laki, melainkan sekadar kebolehan, tidak ada konsekuensi hukum sama sekali. Walaupun disebutkan dalam hadis tersebut sebagai suatu kebolehan, tetapi dalam banyak hadis lain ditegaskan, kalau pun seseorang mau melakukannya, lakukanlah dengan tidak melukai vagina. Misalnya, Abu Daud meriwayatkan: “Potong sedikit saja pada kulit atas perpuce atau kulit yang meliputi klitoris, dan jangan potong terlalu dalam (jangan memotong klitoris), agar wajah perempuan lebih bercahaya dan lebih disukai oleh suaminya.” Bahkan, Ahmad ibn Hanbal menyampaikan hadis lain yang mengatakan, praktik sunat tidak diperintahkan pada masa Rasul saw. حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْحَرَّانِيُّ عَن ابْنِ إِسْحَاقَ يَعْنِي مُحَمَّدًا عَنْ عُبَيِدِ اللَّهِ أَوْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ كَرِيزٍ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ دُعِيَ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ إِلَى خِتَانٍ فَأَبَى أَنْ يُجِيبَ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ إِنَّا كُنَّا لَا نَأْتِي الْخِتَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نُدْعَى لَهُ. رواه أحمد. Sejumlah kajian hadis menyimpulkan, hadis-hadis tentang sunat perempuan jika dilihat dari perspektif sanadnya, maka tidak ada yang mencapai derajat hasan atau sahih. Hadis-hadis yang ada justru hanya membolehkan pemotongan sedikit sekali pada bagian prepuce perempuan. Bahkan, ada nada ancaman agar pelaksanaan sunat perempuan tidak sampai membahayakan perempuan. Artinya, kalaupun Islam membolehkan praktik sunat perempuan, maka itu semata-mata demi menghormati tradisi nenek-moyang sebelum Islam, yakni tradisi Nabi Ibrahim as. Akan tetapi, pelaksanaannya harus dipastikan tidak menimbulkan kemudaratan (dharar) bagi perempuan. Tambahan lagi, seluruh kitab hadis utama atau sering disebut Kitab Enam (al-kutub al-sittah) tidak memuat hadis-hadis tentang sunat perempuan, kecuali kitab Sunan Abu Dawud. Meski begitu, Abu Dawud sendiri mengakui bahwa teks hadis terkait sunat perempuan dalam kitabnya itu berstatus lemah (dhaif) dan hadis yang dimaksudkan itu adalah teks hadis dari Ummu Athiyah.[3] Masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk juga masyarakat Islam, telah berupaya menghapuskan berbagai praktik sunat perempuan karena amat membahayakan kesehatan tubuh dan juga jiwa perempuan. Bahkan, dalam banyak kasus ditemukan sunat perempuan adalah suatu bentuk upaya menindas dan menghancurkan kemanusiaan perempuan. Sebagai contoh, di negeri Mesir telah ditetapkan undang-undang yang melarang keras pelaksanaan sunat perempuan. Undang-undang tersebut merujuk pada Fatwa Ulama Mesir Tahun 2007 yang melarang pelaksanaan sunat perempuan. Demikian pula di tingkat internasional, PBB melalui Pasal 12 CEDAW (Konvensi PBB tahun 1979 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan) secara tegas melarang praktik sunat perempuan dan menganggapnya sebagai bentuk nyata kekerasan terhadap perempuan. Kesimpulan Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa sunat perempuan harus dihentikan pelaksanaannya. Disamping karena tidak memberikan manfaat medis sedikit pun bagi perempuan, malah yang terjadi adalah perusakan tubuh perempuan dengan cara memotong, melukai atau menghilangkan bagian dari alat vital perempuan yang penting terkait fungsi yang paling utama dalam kehidupan manusia, yakni fungsi reproduksi. Praktik sunat perempuan dalam fakta di lapangan lebih banyak menimbulkan kemudaratan karena dilakukan secara sadis dan tidak manusiawi. Kaidah hukum Islam secara tegas mengatakan, kalau suatu perbuatan lebih banyak mendatangkan mudarat (keburukan, bahaya dan bencana) dari pada kemaslahatan (kebaikan, faedah dan manfaat), maka perbuatan itu dinilai makruh dan harus ditinggalkan. Landasan hukumnya sangat jelas, yakni kaidah hukum Islam berbunyi: la dharara wa la dhirar. Maksudnya, segala bentuk tindakan yang mengakibatkan kemudaratan dan kerusakan bagi tubuh manusia harus dihapuskan. Namun, alasan yang sangat pokok adalah karena tidak ada satu pun ayat Alquran—sebagai sumber paling mendasar dalam hukum Islam—yang memerintahkan pelaksanaan sunat perempuan. Yang pasti, sunat hanyalah sebuah tradisi yang telah dilestarikan selama berabad-abad jauh sebelum Islam turun sehingga masyarakat, terutama umat Islam, sulit meninggalkannya dan bahkan memandangnya sebagai bagian dari ajaran agama. Keislaman dan keimanan seorang Muslim dan Muslimah tidaklah ditentukan oleh sunat, melainkan seberapa jauh dia beriman kepada Allah swt dan melakukan amal-amal saleh yang memberi manfaat kepada sesama manusia dan juga kepada makhluk lain. Agama Islam diturunkan untuk membawa kemaslahatan bagi semua manusia: perempuan dan laki-laki, bukan kemudaratan dan kerusakan. Bahkan, Islam datang membawa rahmat bukan hanya bagi manusia, melainkan juga bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Wallahu a’lam bi ash-shawab. Catatan Belakang [1] Lihat Alquran surah al-Baqarah, 2:187 dan ar-Ruum, 30:21. [2] Alquran, surah al-Nahl, 16:123. [3] Ibn al-Atsir, Jami’al-Ushul, juz V h. 348, No. hadis 2936. Lewat tulisan anda menemukan teman yang selalu menerima tanpa menghakimi karena tulisan adalah keluarga yang selalu menerima- anonim.
Ini adalah pengalaman pribadiku, sebagai salah satu korban KDRT yang sempat dipisahkan dari anak-anak dan diusir dari rumah karena ada perempuan lain dalam rumah tangga. Trauma berkepanjangan pastilah menghantui. Bagaimana tidak, kesakitan yang aku alami akibat pukulan fisik, sumpah serapah dan makian yang harus aku terima begitu dalam membekas. Tak jarang semua makian dan sumpah serapah itu diam-diam aku amini dalam hati, sehingga muncul sikap menyalahkan diri sendiri. Aku memang perempuan tak tahu diuntung dan perempuan tak bermoral. Tiba-tiba rasa sakit tak terkira menghunjam, perasaan sudah berkorban dan mengalah sedemikian rupa tapi harus menerima pengkhianatan dari satu-satunya orang yang dengannya kita bersetia hati. Aku dikaruniai dua anak perempuan yang memiliki karakter berbeda. Masing-masing menjalani masa traumanya secara berbeda pula. Si sulung yang melihat kejadian KDRT yang menimpa ibunya sedang memasuki masa remaja, menjadi pemurung dan pendiam di lingkungan sekolah dan teman sebayanya. Menurut diagnosis dari tim dokter di RSJ Soerojo Magelang, si sulung dinyatakan depresi dan mendapat terapi obat. Karena aku tidak bisa mendampinginya saat kami dipisahkan, hanya pernah mendengar ceritanya lewat sms bahwa tiap pagi dia harus minum obat yang rasanya seperti karet. Dan di sekolah dia menjadi mengantuk. Di rumah dia menjadi uring-uringan dan pemarah. Beruntung dalam kasus ini si kecil belum ditemukan tanda-tanda depresi. Menurut dokter si kecil bisa mengompensasikan kesedihan dan kemurungannya karena tidak bertemu dengan ibunya dengan cara bermain. Walhasil dia masih tumbuh sebagai anak yang wajar. Lepas dari dampak psikis yang ada, secara fisik si sulung maupun si kecil dua-duanya menunjukkan tanda-tanda obesitas dan kelebihan berat badan. Aku ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana menghapus trauma akibat kekerasan dalam rumah tangga. Aku dan anak sulungku mempunyai hobi yang sama dalam hal menulis. Bedanya aku suka menulis non fiksi seperti artikel, opini, memoar dll. Sedangkan anakku lebih suka menulis fiksi terutama cerpen atau novel. Dengan menulis non fiksi kita butuh membaca, merenung dan berpikir. Hal ini sedikit melenakan beban yang tak tertanggungkan. Di momen lain aku menangis, meratap, marah dan mengumpat lewat tulisan untuk diri sendiri. Belum ada rencana apapun soal tulisan, tapi kami menikmatinya sebagai sebuah obat hati. Dari hobi menulis, kami berdua melewati masa-masa sulit akibat trauma. Tentunya, tanpa menafikan peran dokter, psikolog, teman dan keluarga yang selalu memberi dukungan, aku sangat merasakan bagaimana energi negatif akibat kesedihan yang mendera bisa terlepaskan dengan menulis. Dan setelah itu, muncul sebuah kelegaan yang luar biasa. Sementara bagi anakku dunia imaji dan ideal yang menjadi harapannya bisa menjadi sumber ide yang tak kering dalam ceritanya. Aku bertekad menghentikan terapi obat yang harus dijalani anakku dengan memotivasinya lewat kebiasaan menulis. Karena banyak pihak yang menyatakan bahwa terapi obat pada anak usia 12 tahun sangat merugikan. Pengaruh obat anti depresan dalam jangka waktu lama pasti berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan syarafnya. Awalnya, aku khawatir bagaimana mengatasi depresi anakku tanpa obat. Akan tetapi ternyata cara ini cukup ampuh. Setelah membiasakan diri dan memotivasi anak menulis bersama, kini anakku tak perlu melanjutkan minum obatnya lagi. Memang harus diakui, selain menulis faktor kuat yang membuat anakku terlepas dari depresi dan stres adalah bersatunya kembali ibu dan anak yang lama dipisahkan. Psikolog Katharina Amelia Hirawan mengemukakan bahwa menulis merupakan sebuah terapi terutama bagi penderita gangguan psikologis. Bahkan seorang Psikolog dari Universitas New South Wales, Keren Baikie mengemukakan bahwa ketika kita menuliskan peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan, emosi dan bersifat traumatis, kesehatan fisik dan mental kita dapat menjadi lebih baik dibandingkan ketika kita menulis dengan topik yang netral. Kesimpulan ini merupakan hasil studi Keren Baikie dengan meminta semua partisipannya untuk menuliskan tiga sampai lima peristiwa dalam waktu 15 menit dan hasilnya benar-benar signifikan. Dalam jangka panjang terapi menulis ekspresif ini mampu mengurangi kadar stres, mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit, mengurangi tekanan darah, meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, memperbaiki fungsi lever, paru-paru, meningkatkan mood dan mengurangi trauma. Karena menulis merupakan sebuah terapi, mungkin kita akan bertanya: menulis apa dan di media apa yang efektif? Jawabannya pasti bergantung pada tingkat kenyamanan kita masing-masing. Di era teknologi, manusia semakin dimanjakan dan dimudahkan. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari kita disuguhi curcol dan kicauan di facebook dan twitter. Menulis secara simpel curhatan lewat jari jemari dengan toots keypad telepon genggam, laptop maupun komputer. Ini adalah menulis yang paling simpel dan mudah. Dengan media ini banyak sahabat kita di dunia maya memedulikan dan dengan sukarela memberi solusi atau paling tidak memberi penguatan agar kita sabar, tabah dan lebih kuat menghadapi masalah. Coba kita lihat di era buku diary berjaya. Sampai sekarangpun kebiasaan menulis diary masih sering dilakukan anak-anak remaja atau ABG (Anak Baru Gede). Diantara kita mungkin juga mengalami hal ini, menuangkan curcol di buku harian setiap harinya. Nah, coba bedakan perasaan yang muncul setelah kita menyelesaikan curhatan kita di buku harian dengan sebelum menuliskannya. Pasti perasaan kita jauh lebih nyaman dan tenang setelah menulis diary. Tak jarang pula buku harian juga merupakan ungkapan kemarahan, sumpah serapah, dan caci maki yang selama ini kita pendam. Begitu menumpahkannya semua di buku diary pastilah emosi kita mereda dan muncul sikap positif kembali memandang hidup. Tak jarang kita menemukan solusi dari masalah yang sedang kita tulis seketika itu juga, sehingga kita tak perlu terlalu lama memikirkan dan memendamnya. Sayangnya seiring bertambahnya usia dan waktu, kita mulai meninggalkan kebiasaan menulis diary. Mungkin kita merasa sudah tua dan tak pantas lagi menulis buku harian sebagaimana para remaja. Tetapi jika mengingat manfaat dan kegunaan menulis sebagai sebuah terapi seperti uraian di atas, bukankah kita patut melanjutkannya? Karena ini bukan soal patut tidak patut, pantas tidak pantas, tapi bagaimana cara memanajemeni emosi kita dari hal yang negatif akibat tak samanya harapan dengan kenyataan. Dalam berbagai kesempatan Writing Camp yang dilakukan oleh Katharina Amelia Hirawan, ia seringkali menemukan bahwa bukan saja menulis menjadi terapi tetapi menjadi media pengembangan diri, dan sangat fantastis karena memunculkan banyak bakat-bakat baru dalam menulis yang akhirnya memotivasi menjadi penulis buku. Ibu dua putri dan pendiri Biro Psikologi Sinergi Consultan Surabaya itu mengisahkan, pernah ada seorang baby sitter yang mampu menulis buku mengenai peran baby sitter hanya dalam waktu empat hari. Ini merupakan salah satu hasil terapi psikologis dengan menulis. Demikianlah, bagaimana menulis bisa merupakan terapi bagiku dan anakku. Semoga dengan berbagi bersama Anda, banyak manfaat yang bisa kita petik bersama. Apakah karena tidak ada perempuan yang berminat jadi tentara, polisi, atau tidak mampu melakukan tugas-tugas kemiliteran atau polisional ? Bukan, tetapi karena hukum di kemiliteran itu yang membatasi perempuan untuk berkarier maksimal setara seperti laki-laki. Di Angkatan Udara ada seorang perempuan jadi Jenderal, di Angkatan Laut ada satu jenderal perempuan. Di kepolisian pernah ada beberapa polisi perempuan jadi jenderal, dan saat ini mungkin tinggal seorang, yang pernah jadi Kapolda Banten (data ini masih perlu diverifikasi). Di Angkatan Darat, sepertinya belum pernah ada Jenderal perempuan. Mengapa? Karena ada peraturan yang menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, ASAL TIDAK MELUPAKAN KODRATNYA. Artinya, perempuan boleh menjadi ABRI, tetapi dia akan ditempatkan di bagian administrasi dan logistik. Oleh karena itu (hampir) tidak ada yang bisa jadi jenderal karena tidak pernah berpengalaman tempur. Padahal untuk menjadi jenderal, syarat utamanya harus punya pengalaman tempur! Jadi perempuan yang berhasil menjadi jenderal di AU atau AL itu pastilah perempuan super hebat, sehingga tidak bisa dicegah untuk meraih puncak prestasi. KEPOLISIAN Kalau kita melihat data tentang struktur jabatan di kepolisian di seluruh provinsi di Indonesia, maka akan didapati semakin tinggi pangkat, semakin banyak laki-laki dan semakin sedikit perempuan. Bahkan di seluruh provinsi, angka perempuan di struktur-struktur tinggi jumlahnya nol. Semuanya didominasi laki-laki. Kemana perempuan? Dalam perekrutan, berapa ribu-pun polisi baru, maka ada kuota bagi perempuan polisi, yaitu 500 saja. Mengapa? Karena katanya kapasitas tempat pendidikan polwan hanya 500. Jadi bila ada rekrutmen polisi di berbagai daerah, berapa ratus pun perempuan yang melamar, maka yang dipilih cuma dua atau tiga perempuan dari setiap daerah. Padahal ada banyak penelitian mengatakan: polwan sangat diminati masyarakat, karena tidak mudah disogok, bisa mengatasi kejahatan dengan cara yang humanis. Ada tradisi (bukan peraturan tertulis), bahwa bila suami istri menjadi polisi, maka pangkat istri tidak boleh lebih tinggi dari suaminya. Ada beberapa kawan polwan pangkatnya kolonel, kepada mereka ditanya, “Apakah ibu mau jadi Jenderal, tetapi suami ibu tidak jadi Kapolda?” atau “Suami ibu tidak jadi Gubernur Akpol?”. Bisa dipastikan para perempuan itu memilih pensiun sebagai kolonel daripada suaminya tidak menjadi jenderal dan pejabat. Di beberapa daerah, bahkan di Aceh, saya pernah berjumpa polwan yang mengatakan, "Bu, sebenarnya kami bisa menjaga keamanan, menjaga pilkada, tetapi atasan kami bilang, kamu pulang saja urusi suami dan anak!” Jadi bukan karena perempuan tidak bisa dan tidak mampu, tetapi pembedaan, pembatasan, pengucilan berdasarkan jenis kelamin itu datang dari para tokoh dan pembesar yang berkuasa pula merumuskan berbagai produk hukum di negeri kita. Wahai para perempuan, jangan pernah berputus asa. Jadilah warga bangsa yang pandai dan berkarakter, mengabdi bangsa dan masyarakat. Apakah kita pernah berdebat tentang Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar terutama siapa yang paling pantas disebut pahlawan? Apakah kita pernah memperdebatkan mereka karena suku atau tipe perjuangan yang melekat pada mereka? Sejarah dipenuhi berbagai tokoh laki-laki. Pahlawan bangsa dikerubuti oleh laki-laki. Foto-foto pahlawan kita di sekolah-sekolah dipenuhi oleh foto laki-laki. Tetapi kita tak pernah memperdebatkan tokoh-tokoh itu satu dengan lainnya. Itulah yang terjadi pada tokoh-tokoh perjuangan perempuan: pada setiap Hari Kartini. Kartini dipermasalahkan karena Jawa-nya. Kartini dipermasalahkan karena tidak berjuang memegang pedang seperti Cut Nyak Dien dan Kristina Martatiahahu, atau membuat sekolah seperti Dewi Sartika, atau menerbitkan koran seperti Roehana Koedoes. Kartini dipermasalahkan karena hanya menulis surat-surat kepada seorang perempuan Belanda. Kartini dipermasalahkan karena menjadi istri keempat. Tapi apakah kita tahu bahwa Kartini adalah anak perempuan yang dinikahi diusia belia, yang reproduksinya belum sempurna, dan mengalami kematian saat melahirkan? Tahukah bahwa masa itu menjadi seorang perempuan Jawa itu lebih mengerikan daripada menjadi seorang perempuan Minangkabau? Atau tahukah bahwa menjadi seorang perempuan bangsawan Jawa di masa feodal-konial abad ke-19 adalah tidak lebih baik daripada menjadi perempuan rakyat jelata ketika bicara soal kebebasan diri? Tahukah bahwa menjadi seorang kutu buku seperti Kartini, dengan wawasannya yang mendunia itu, dia tak bisa berbuat apa-apa karena posisinya waktu itu? Kartini ibarat hidup dalam penjara. Sebagaimana tahanan penjara politik macam Pramoedya Ananta Toer, Kartini hanya bisa melawan dengan menulis. Menulis surat adalah salah satu cara supaya pemikiran-pemikirannya tentang pembebasan didengar. Kartini bersuara lewat surat-surat, sebagaimana orang-orang tahanan politik yang dipenjara. Penyiksaan yang dialaminya adalah bagaimana kebahagiaan intelektualnya dipenggal. Bagaimana kecerdasannya dikerdilkan, karena dia seorang anak perempuan Jawa yang bangsawan, yang dipelihara di penjara bertembok keraton dan diharuskan berjalan dengan sangat pelan atau berjongkok-jongkok kepada yang lebih tua, atau bahkan kepada saudara laki-lakinya sendiri. Kartini sedemikian dibatasi karena dia seorang perempuan Jawa. Kartini demikian karena ia ingin menjaga Bapaknya. Bapaknya adalah pengantar kebebasannya pada apa yang disebut buku atau bacaan, wawasan, dan pendidikan. Setiap tahun, intepretasi terhadap apa yang dilakukan Kartini penuh perdebatan. Yang mengherankan bagi saya adalah, apakah kita pernah betul-betul membaca tuntas seluruh isi surat-suratnya? Apakah kita pernah menganalisa benar-benar segala kalimat yang diciptakannya dalam surat-surat itu? Sehingga untuk sementara kita bisa melepaskan Jawa dan bangsawan yang melekat pada diri Kartini, lalu segera fokus pada apa saja yang ditulisnya dalam surat-surat itu? Apakah kita bisa membayangkan bangsa macam apa Indonesia ini ketika di abad ke-19? Demikian pula terhadap tokoh-tokoh perempuan lainnya. Kita hidup dan diciptakan dari bangsa yang berulangkali menghilangkan jejak-jejak sejarah tokoh-tokoh pendahulu kita. Kita hidup dari tokoh-tokoh yang dimanipulasi oleh rezim politik yang pernah lama berkuasa. Kita digunting dan dilipat oleh materi-materi pendidikan yang memalsukan dan menutup sebagian sejarah. Kita adalah generasi yang ahistoris. Dan akibatnya sering menjadi mis-intepretasi terhadap tokoh-tokoh yang mendahului kita. Kita tak tahu bagaimana awal kita sehingga kartu tanda penduduk kita dicantumkan sebagai warga negara Indonesia, sehingga kita bisa mengatakan bahwa kita adalah orang Indonesia. Kita adalah generasi yang tidak punya eksistensi tentang “siapa diri dan bangsa kita”. Citra Kartini sebagai “Ibu-Ibu Berkebaya” dibawah Orde Baru Ibu yang berkebaya adalah sama dengan perempuan ideal yang mencintai bangsa. Ibu yang berkebaya adalah perempuan lembut yang mencintai dan memelihara keluarga. Ibu yang berkebaya adalah tidak banyak bicara, duduk dengan kaki rapat dan menunduk, tidak pernah protes dan memilih diam apabila dirundung masalah. Inilah citra yang terus menerus dihadirkan oleh Orde Baru. Kebaya yang awalnya hanya pakaian khas orang Jawa, menjadi sebuah ideologi citra ideal perempuan Indonesia. Saya merasakan betul waktu saya duduk di bangku SD, di Madiun, Jawa Timur, dengan postur tubuh saya yang lebih cocok sebagai perempuan Sumatera, dipaksa memakai kebaya. Alangkah tak enaknya citra ini dipaksakan pada saya. Saya yang biasa berlari-lari bebas bermain kasti dan memanjat pohon atau bermain sepeda dengan teman sebaya, tiba-tiba tidak bisa bergerak sama sekali karena kain yang dililitkan ke pinggul sampai kaki saya dengan sangat ketat. Waktu itu saya menangis keras di sekolah. Saya diledeki oleh teman-teman perempuan lainnya, karena mereka sangat biasa berkebaya, mereka sangat cocok mengenakannya. Sementara saya seperti badut. Dan anak-anak laki-laki mengatakan saya seperti barongsai karena mata saya sipit tidak seperti mata orang jawa yang belok, serta bedak dan lipstik yang dipaksakan melekat di wajah saya, serta konde yang digantungkan di kepala saya lebih seperti benda yang berat sekali menyangkut di kepala. Itulah bagaimana anak-anak dididik oleh negara dalam mencitrakan seorang Kartini. Itu terjadi bertahun-tahun dan sampai sekarang, citra itu belum lepas sampai ke akar-akarnya. Sehingga bila kita mengatakan Kartini memperjuangkan Emansipasi Wanita, lalu ada kalimat lanjutan “namun jangan lupa dengan kodratnya”. Apakah demikian yang dimaksud Kartini soal Emansipasi? Apakah Kartini pernah bicara soal kodrat? Kita tak pernah tahu, bahwa apa yang kita rayakan saat ini dengan simbol-simbol Kebaya, Kecantikan, Emansipasi versus Kodrat, adalah sesuatu yang justru sangat dilawan dan dikritik habis oleh Kartini. Salah Kaprah tentang Emansipasi versus Kodrat Seorang presenter dengan sangat yakin membuka acara di televisi yang memperingati Hari Kartini dengan menggunakan kalimat penutup “emansipasi boleh, asal tidak kebablasan, asal tidak melupakan kodratnya.” Kata “kodrat” sering diselipkan setiap kali kita mengatakan kata “emansipasi perempuan”. Kesalahan terjadi lagi, dan seperti biasanya berulang kali. Emansipasi diambil dari bahasa Inggris, emancipation, sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah upaya untuk mendapatkan hak politik, derajat yang sama, dalam kehidupan manusia. Emansipasi bukan hanya soal perjuangan wanita. Tokoh-tokoh pemimpin pria dalam banyak sejarah politik, sering menggunakan istilah ini. Gagasan “emansipasi” masa revolusi industri justru dikeluarkan oleh pria yang pada waktu itu memiliki banyak kesempatan untuk sekolah tinggi, beraktualisasi, berkarya, dan memimpin. Suara mereka lebih didengar, dan diantara mereka menganggap emansipasi perlu dilakukan untuk merebut keadilan seluruh manusia. Abraham Lincoln pernah mengeluarkan dekrit dengan tema Emancipation Proclamation (Proklamasi Emansipasi) ketika terjadi perang saudara di Amerika. Dekrit ini mengumumkan tentang pembebasan budak. Martin Luther King kemudian menyambut gagasan emansipasi Lincoln dalam pidatonya “I have a dream” yang menyatakan “… A great American, in whose symbolic shadow we stand today, signed the Emancipation Proclamation. This momentous decree came as a great beacon light of hope to millions of Negro slaves who had been seared in the flames of withering injustice. It came as a joyous daybreak to end the long night of their captivity. Martin Luther King menyambut emansipasi sebagai keputusan penting, sebagai cahaya mercusuar, sebagai harapan besar bagi jutaan budak Negro “yang dilumuri api ketidakadilan”. Emansipasi baginya sebuah fajar yang mengakhiri malam panjang pembuangan Negro di Amerika. Sementara itu filsuf Jerman, Karl Marx, memakai istilah “emansipasi politik” untuk menjelaskan gagasan kesamaan derajat warganegara hubungannya dengan negara, kesamaan di depan hukum tanpa memandang agama, harta benda, atau ciri orang perorang lainnya. Seperti dalam pernyataan Marx "Every emancipation is a restoration of the human world and of human relationships to man himself..” Bila Lincoln menyebut emansipasi untuk menghentikan perbudakan, Lincoln menyebutnya sebagai “cahaya mercusuar, meraih harapan”, dan Marx menyebut emansipasi sebagai kesamaan derajat, maka seharusnya kita sudah paham maksud istilah ini. Bahwa di abad ke-21 kini, seluruh sejarah dunia telah melalui proses emansipasi. Reformasi di Indonesia, juga proses emansipasi. Jadi, emansipasi tidak ada urusannya dengan kodrat, atau kebablasan. Emansipasi wanita perlu dilakukan dimana seorang manusia mengalami situasi rentan terhadap kekerasan, pelecehan seksual, bahkan perbudakan seks. Hampir di setiap negara industri, tempat-tempat prostitusi menjual perempuan untuk eksploitasi, diantaranya adalah masih anak-anak. Karena itulah emansipasi menjadi istilah yang digunakan agar seorang wanita diperlakukan manusiawi. Karena itulah tidak ada urusannya dengan kodrat ataupun kebablasan. Nah, emansipasi apapun, baik wanita, kaum minoritas, kaum miskin, kaum cacat, yang hidupnya mengalami ketidakadilan, prinsip emansipasi dipakai untuk mengembalikan mereka dihargai sebagai manusia. Sekali lagi saya begitu geli, di sini, begitu mendengar kata “emansipasi”, maka bayangan orang otomatis: wanita yang ingin mengalahkan laki-laki (padahal, kita tidak sedang berlomba kan?), galak (padahal siapapun bisa galak) dan lain sebagainya. Alasan emansipasi adalah alasan seseorang untuk keluar dari penindasan, perbudakan, diskriminasi. Jadi, kalau kita semua merasa ada perlakuan yang tidak adil pada diri kita, lalu kita menuntut keadilan, itu sama dengan melakukan tindakan emansipasi. Kesalahpahaman kita pada emansipasi terjadi selama puluhan tahun. Kata “persamaan” diartikan dengan “sama”. Padahal persamaan yang dimaksud adalah “kesetaraan” yang dalam bahasa Inggris disebut “equality”. Karena itu setiap kali kita mendengar kata “emansipasi”, segeralah kita mengartikannya dengan “suatu tindakan yang menyatakan bahwa setiap orang berharga, bernilai. Bahwa tak ada seorangpun yang boleh merendahkan orang lain, baik agama, suku, dan harta benda yang ia miliki.” Emansipasi bukan hanya untuk perempuan, tapi untuk semua (tulisan saya tentang Emansipasi ini pernah dimuat di Majalah Esquire). Surat-Surat Kartini yang Subversif Kartini yang “untuk sekolahpun” dia tidak diperkenankan punya kehendak dan untuk jalan di depan orang yang lebih tua ia masih harus berjongkok dan menundukkan kepala sampai wajahnya tak terlihat. Hanya melalui surat-surat itulah Kartini membebaskan dirinya. Dalam surat-suratnya itu Kartini berusaha menunjukkan dirinya bukan sebagai identitas kebudayaan maupun ras tertentu. Meskipun seringkali Kartini bicara tentang identitas ras, status sosial, budaya maupun bahasa, tetapi ia selalu menekankan sebagai seseorang yang harus terlepas dari itu semua. Puja-pujinya pada negeri Eropa adalah sekaligus kritikannya pada orang-orang Eropa bermental penjajah. Dan puja-pujinya pada tanah Jawa adalah sekaligus kritiknya pada orang-orang Jawa yang berperilaku white mask, black face (meniru kelakuan penjajah). Saya melihat Kartini berusaha menunjukkan bahwa patern-patern yang oposan itu (antara ras yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, priyayi dan rakyat jelata, putih dan coklat) harus dibongkar dan pada akhirnya identitas itu tidak diperlukan lagi untuk dipergunakan sebagai sesuatu yang esensial, melainkan sesuatu yang kontekstual. Banyak perempuan-perempuan yang dididik sama seperti yang dilakukan Ayahnya pada Kartini, tapi paling-paling hasilnya adalah perempuan Jawa yang berperilaku seperti perempuan Eropa (seperti yang dikatakan dalam suratnya). Kebanyakan perempuan-perempuan bangsawan tersebut seseorang yang masih mau diciptakan, bukan menciptakan. Kartini tidak demikian. Ia bukan menjadi perempuan yang terperangkap dalam oposisi ras, kebudayaan maupun bahasa. Ia adalah perempuan yang berpikiran “post”. “Semua orang tahu dan mengerti betapa berbahayanya keadaan kami lalu beberapa dari mereka berkata bahwa ini adalah salah ayah yang telah mendidik kami seperti ini. Tidak! Tidak! Jangan menyalahkan ayah! Dia tidak mengira kalau pendidikan yang kami terima darinya berakibat seperti yang terjadi pada salah seorang anaknya. Kabupaten-kabupaten lain yang mendidik anak-anak mereka sama dengan cara ayah mendidik kami paling banter hanya berhasil membuat gadis-gadis Bumiputera bisa berbahasa Belanda dengan perilaku ala Eropa. Mengenai beberapa perempuan Eropa yang mendapat didikan Eropa, dampaknya tidak akan lebih dari ini.” Kartini lahir sebagai feminis bukan dilahirkan dari teori-teori feminisme, karena seorang feminis adalah dilahirkan, bukan diciptakan. Kartini dan pikirannya bukan sesuatu yang terpisah, atau tidak memisahkan antara pengalaman dengan persepsi, pengalaman dengan diskursus. Bagi saya pengalaman yang tidak terpisah-pisah ini memiliki validitas yang paling bisa dipertanggungjawabkan, Kartini adalah feminis yang memuat validitas itu. Ketika membicarakan birokrasi pemerintahan Hindia Belanda, dia tidak menceritakannya dengan berjarak, dia sangat mengungkapkannya dengan penuh subyektifitas yaitu melihat persoalan sosial masyarakat dengan tidak melakukan jarak atas teks-teks yang dipersepsikannya. Kartini bukan tipikal seseorang yang cerdas karena melakukan berbagai kutipan pikiran orang lain, melainkan mengolah apa yang ia pikirkan dari pikiran-pikiran yang pernah dia ketahui dan dengan pikirannya itu dia punya kemampuan analisa diri dan di luar dirinya. Soal “Cercah cahaya dalam gelap gulita” yang diungkapkan Kartini bagi saya adalah personifikasi atas kemampuannya sebagai seseorang yang memanfaatkan kesempatan membaca buku-buku dari luar, dan kemampuannya menjadikan buku-buku tersebut sebagai inspirasi keliarannya. Cercah cahaya itu bukan personifikasi dari sebuah identitas atau bangsa bernama Negeri Belanda. Seperti yang dinyatakan Kartini, tidak hanya dirinya yang memiliki kesempatan itu, tetapi bagaimana perempuan lain tidak menggunakan itu sebagai ajang meraih kebebasan, melainkan ajang kembalinya “penciptaan identitas atas orang lain”. Seperti yang diungkapkannya kepada Stella: “Aku juga musuh formalitas. Apa peduliku soal peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa yang konyol itu saat berbincang denganmu dalam tulisanku ini...” Ketika Kartini mengatakan “Aku juga musuh formalitas,” jelas bahwa Stella pernah mengeluhkan hal yang sama, dengan konteks tradisi di Eropa yang juga penuh formalitas. Artinya bahwa kebebasan bukanlah milik Barat, dan juga bukan milik Jawa, dan Kartini bersama Stella tidak sedang membicarakan blok-blok kebebasan itu serta membandingkan satu dengan lainnya. Perbincangan mereka adalah perbincangan lintas budaya dan dalam setiap budaya, perempuan menjadi seseorang yang paling tidak bebas. “Jika seorang gadis berjalan, dia harus berjalan dengan tenang, langkahnya harus lamban dan pelan sepelan bekicot; jika kamu berjalan lebih cepat sedikit saja orang akan mencacimu sebagai kuda liar.” Dan lihat bagaimana Kartini berhasil membongkar tradisi itu mulai dari dirinya: “... tapi mulai aku ke bawah kami sudah mengabaikannya. Kami tidak lakukan itu lagi. Hidup kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan! Kami semua; aku, adik-adikku baik laki-laki maupun perempuan merasa setara dan kami berteman.” Kartini melakukan pembongkaran itu tidak harus dengan mengklaim, bahwa kebebasan ini adalah kebudayaan Barat, tetapi bahwa kebebasan itu harus datang dari diri sendiri. “Pertama kali orang-orang memang membenci kebebasan dan keakraban kami, kami bahkan dijuluki anak salah didik. Aku dijuluki ‘kuda kore’ atau kuda liar karena jarang sekali berjalan melainkan pecicilan kesana kemari. Dan mereka memanggilku apalagi ya? Aku sering tertawa keras-keras!!! hingga gigiku kelihatan. Tapi sekarang ketika mereka melihat dan merasakan keakraban di antara kami, ketika etika leluhur kami menghilang, orang-orang mulai iri melihat kedekatan kami.” Dan Kartini melakukannya tanpa harus menjadi orang Barat. Kartini tetap seorang perempuan Jawa. Bagaimana sindiran Kartini terhadap orang Belanda itu terlihat ketika datang seorang Belanda dan kecewa melihat putri-putri Bupati bukanlah putri-putri yang berpakaian mewah dan eksotis, melainkan putri-putri yang berpakaian sederhana. “Baru-baru ini datang seorang Belanda, tampaknya ia telah mendengar tentang kami, setidak-tidaknya ia minta untuk bisa dikenalkan kepada “para putri”. Permintaannya diluluskan dan oh, kami begitu gembira!” “Bupati” katanya lirih kepada ayah tapi terdengar juga oleh kami – nada suaranya mencerminkan kekecewaan yang besar, “sebutan puteri-puteri membuat saya berpikir tentang pakaian yang begitu gemerlapan, pesona ke-Timuran nan indah, tapi anak-anak Anda sederhana sekali”. Kami menyimpan tawa yang tertahankan ketika kami mendengar dia mengucapkan ini. Astaga, ungkapan ketidaktahuannya itu, dengan mengatakan bahwa cara kami berpakaian begitu sederhana dia telah menghadiahkan sebuah pujian yang setinggi-tingginya yang belum pernah kami terima dari orang lain; kami seringkali was-was kalau kami terpengaruh dan berakhir sia-sia.” Kartini telah menertawakan cara-cara pandang feodal baik Barat maupun Timur yang masih sibuk soal pakaian dan penampilan yang menunjukkan identitas kelas. Membongkar identitas Perempuan, Jawa, Bangsawan, Islam Kartini tak cuma melekat identitas perempuan, Jawa dan Bangsawan, ia juga membongkar identitas Islamnya. Dalam beberapa surat ia berseloroh tentang identitas Islam yang tidak punya ide tentang kebebasan karena ada kesengajaan orang Islam dibiarkan buta atas teks-teksnya sendiri. Dan perempuan dalam Islam seperti juga dalam banyak kebudayaan, tidak ada keberpihakan sama sekali terhadap perempuan. Kemustahilan demi kemustahilan akan kebebasan itu semakin nyata di masa depannya. “Tentang ajaran agama Islam, aku tidak bisa lebih banyak bercerita padamu. Penganut agama Islam dilarang untuk memperdebatkannya dengan penganut agama lain. Sejujurnya, aku sampai beragama Islam hanya karena nenek-moyangku juga beragama Islam. Bagaimana aku bisa menghidupi ajaran itu jika aku tidak tahu ajaran, atau tidak boleh tahu? Al Quran terlalu suci untuk diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini, tidak ada yang tahu bahasa Arab. Memang, orang-orang diajari membaca Al Quran tapi mereka tidak tahu apa yang mereka baca. Menurutku ini lucu, mengajar orang untuk membaca tanpa harus tahu artinya, seperti kau mengajariku buku bahasa Inggris dengan bagus tapi tanpa memberitahuku artinya sepatah katapun... Tapi kita bisa menjadi orang baik tanpa harus menjadi religius kan Stella? Dan yang paling penting adalah menjadi orang baik... Oh Tuhan, kadang aku berpikir bahwa agama lebih baik tidak ada saja. Karena justru agamalah penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah dan bukan menjadi tali pemersatu umat manusia. Saudara kandung saling berselisih hanya karena berlainan keyakinan. Perbedaan antara Gereja juga mengakibatkan dinding pemisah bagi dua hati yang berkasih-kasihan. Aku sering bertanya pada diriku sendiri; apakah agama merupakan sebuah rahmat kalau prakteknya malah seperti ini? Kata orang, agama akan menjaga kita dari perbuatan dosa, namun berapa banyak dosa yang telah diperbuat atas nama agama?” Kartini mengungkapkan ketakutannya yang amat sangat dalam hal poligami, dimana Hukum Islam mengijinkan laki-laki kawin dengan empat perempuan. Dan masa menikah inilah yang paling dibencinya. Apa yang dibencinya adalah ketika tradisi Islam bercampur dengan Jawa, bahwa Jawa mengharuskan anak gadis menikah dengan laki-laki yang dipilihkan ayahnya, dan Islam membolehkan laki-laki berpoligami. Kartini tidak punya pilihan apa-apa dan merasa perkawinan akan membunuh dia sedalam-dalamnya dan memang masa itu pun terjadi. “Aku tidak akan pernah, tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencitai, pertama kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang laki-laki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang Ayah hanya karena dia sudah bosan dengan yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Kalau seperti ini, siapa yang tidak mau melakukannya? Mengapa tidak? Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan ataupun skandal; Hukum Islam mengizinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai sebuah dosa. Bagiku semua benih perbuatan yang menyakitkan orang lain (termasuk menyakiti hewan) adalah dosa. Bisa kau bayangkan derita seorang istri yang melihat suaminya pulang membawa perempuan lain yang kemudan harus diakuinya sebagai istri sah suaminya? Sebagai saingannya? Jika demikian, suami itu bisa ‘membunuh’ istrinya... Mustahil rasanya sang suami memberi kebebasan padanya!” Kartini, Melahirkan Wacana Post Jauh setelah Kartini, lahir seorang lelaki Palestina yang lama tinggal di Barat, adalah Edward Said yang dalam ide postkolonial melakukan dekonstruksi yang sama dengan Kartini dan mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma orientalismenya di tahun 1978 (bandingkan bagaimana surat-surat Kartini ke Stella yang juga mengkritik Multatuli dalam Max Havelaar tentang pemerintahan Hindia Belanda). Bahwa, Timur (dalam konteks Kartini adalah Hindia) adalah sebentuk panggung tertentu yang didirikan dihadapan Barat. Bahwa kolonialisme pun dapat lahir dari ‘negeri yang terjajah’! Maka tak ada lagi teritorial verbal tentang penjajah dan yang dijajah. Kekuasaan dan penindasan dapat dilakukan oleh siapapun dalam bentuk apapun, tanpa harus ditempatkan dalam dikotomi tertentu. Jauh setelah Kartini lahir seorang Michel Foucault di tanah Prancis yang mengatakan bahwa kekuasaan ibarat sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana. Maka bukan lagi kekuasaan berbentuk vertikal: penguasa di atas dan yang tertindas di bawah, melainkan berlaku ‘dari’ dan ‘ke segala’ arah. Sejalan dengan Kartini yang mengatakan bahwa Ayahnya bukan ”penguasa”, melainkan orang yang ”berpengaruh”, dan kekuasaan itu bukanlah di tangan ayahnya yang bangsawan. Kartini sudah melangkah jauh untuk mencoba memberikan pandangan yang tidak berangkat dengan sejumlah generalisasi seperti yang dilakukan Multatuli. Kartini menegaskan bahwa orang Barat tidak akan pernah bisa merasakan atau mengalami benar-benar apa yang dirasakan orang-orang Hindia, sekalipun dia seorang Antropolog. Kartini sudah menggelar feminisme yang mengarah pada perdebatan seputar “perbedaan” atau pluralitas kebenaran, bahwa kebenaran bukanlah tunggal. Secara tidak verbal Kartini telah menawarkan konsep perbedaan dan keragaman dalam menentang oposisi-oposisi itu. Kartini bagi saya lebih jauh dari identitas kebangsaan, ia sudah menjadi masyarakat dunia sejak awal. Ia sudah jauh sekali meninggalkan ide tentang nation meskipun waktu itu Bangsa Indonesia belum lahir. Kartini bukanlah sebuah keajaiban dunia, melainkan orang yang membuktikan kebenaran tentang teori free will, bahwa kehendak bebas memang menjadi takdir setiap diri manusia dimanapun dia berada. Dan itulah yang disebut Emansipasi. Bekasi, 21 April 2014 Oleh: Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan) Kita telah melampaui era memperingati hari Kartini dengan hanya melihat sosok tubuhnya dan memaknainya cukup sebatas busana kebaya, lomba memasak atau menyanyikan lagunya. Peringatan hari Kartini yang demikian menumpulkan pemikiran. Sebab Kartini tidak pantas hanya dinilai dari sosok tubuhnya semata melainkan ide-ide brilian yang lahir dari otaknya yang cemerlang tentang kesetaraan dan kebebasan perempuan, justeru inilah yang harus kita rayakan. Jadi hendaknya kebaya Kartini disimbolkan sebagai pembebasan perempuan, bukan ornamen tubuh semata, namun untuk merangsang kegairahan pemikiran melawan dominasi. Segala bentuk dominasi seperti penjajahan, pembodohan, pengekangan agama dan tradisi serta penindasan perempuan. Sebab Kartini perempuan Jawa yang hidup di abad ke-19 telah memikirkan semua itu dan menuangkannya dalam bentuk tulisan yang dimuat dibuku “Habis Gelap, Terbitlah Terang” (HGTT). Kartini dilahirkan sebagai anak bangsawan lengkap dengan seluruh keistimewaan. Tetapi dia mampu keluar dari kenikmatan-kenikamatan itu untuk mengejar mimpi-mimpi manusianya. Ia keluar dari kamar tidurnya untuk melihat dunia yang lebih luas. R.A Kartini cucu Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak yang terkenal suka dengan kemajuan. Beliaulah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan dengan pelajaran Barat. Lahir dari latar belakang berpendidikan membuatnya rajin membaca dan mahir menulis. Tulisan-tulisannya kepada sahabat penanya di Belanda, Nona Zeelandelaar, mengegerkan dunia, menggoncangkan pemikiran dan menggetarkan hati. Menggugat Tradisi Kami gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah. Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah-saya mesti masuk “tutupan”; saya dikukung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya dengan tiada setahu kami…(Jepara, 25 Mei 1899, HGTT, 2009:25). Kartini mengungkapkan kegeramannya pada tradisi yang mengekang anak perempuan termasuk dirinya yang “dipingit” dari umur 12 hingga 16 tahun. Ia menggambarkan betapa sedihnya dan marahnya diperlakukan demikian. Teringat aku, betapa aku, oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu mengempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu, dan kepada dinding batu bengis itu. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:30). Sikap feodal tiada henti-hentinya ia kritik karena menghilangkan kemartabatan orang. Adikku harus merangkak, bila hendak lalu di mukaku. Kalau ada adikku duduk di kursi, apabila aku lalu, haruslah dengan segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tiada kelihatan lagi. Tiada boleh adik-adikku berkamu dan berengkau kepadaku, hanya dengan bahasa kromo boleh dia menegurku; tiap-tiap kalimat yang disebutnya, haruslah dihabisinya dengan sembah. (Jepara, 18 Agustus 1899, HGTT, 2009: hal.28). Menggugat Akses Pendidikan Kartini paham betul bahwa feodalisme tumbuh subur di dalam masyarakat yang tidak berpendidikan. Oleh sebab itu, ia menganggap bahwa pendidikan adalah harga mati agar masyarkat berpikiran maju. Salah satu gerbang perluasan cara berpikir adalah menguasai bahasa asing. Kartini yang fasih berbahasa Belanda menghayal ingin pula fasih berbahasa lainnya karena ia ingin membaca literatur-literatur sebanyak mungkin. Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak—kami tahu berbasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu. (Jepara, 25 Mei 1899, HGTT, 2009: hal.27). Perang melawan kebodohan dipahaminya sebagai cara untuk membawa bangsa Bumiputra maju dan keluar dari penjajahan. Pendapatnya yang jujur dan terbuka ini ia kemukakan kepada teman Belandanya: Pemerintah tiada akan sanggup menyediakan nasi di piring bagi segala orang Jawa, akan dimakannya, tetapi Pemerintah dapat memberikan daya upaya, supaya orang Jawa itu dapat mencapai tempat makanan itu ada. Daya upaya itu ialah pengajaran. Memberi anak negeri pengajaran yang baik, sama halnya seolah-olah Pemerintah menyerahkan suluh ke dalam tangannya, supaya dapat ia sendiri mencari jalan yang benar, yang menuju ke tempat nasi itu. Bapak akan berusaha sekuat tenaganya akan mengajukan anak negeri, dan aku pun akan turut membantunya. (12 Januari 1900, 2009:34). Menggugat Perkawinan Suatu saat ketika Kartini tiba di sekolah lebih awal, ia memperhatikan bahwa teman Belandanya sedang asyik belajar bahasa Perancis. Maka bertanyalah Kartini apa gunanya temannya itu belajar bahasa Perancis. Temannya bercerita bahwa setelah ia mendapatkan surat tamat belajar, Ia akan meneruskan pendidikannya ke Belanda dan menjadi guru. Temannya bertanya apakah yang akan dilakukan Kartini. Kartini terdiam karena Ia sama sekali tidak tahu apa yang akan dilakukannya nanti. Sepulang dari sekolah, Ia bertanya kepada saudaranya apa yang akan dilakukannya nanti. Saudaranya menjawab dengan meyakinkan, “Apa lagi, jika tidak menjadi ‘Raden Ayu’.” Awalnya, Kartini girang mendengar pernyataan saudaranya, namun setelah ia amati nasib Raden Ayu disekelilingnya, ia tidak suka.(HGGT, 2009:3). Bentuk perkawinan yang ada di masyarakat menurutnya adalah bentuk perkawinan yang tidak adil. Kartini tidak dapat menghormati laki-laki. Ia dengan lantang protes: Manakah boleh aku dapat hormati yang sudah kawin dan sudah jadi bapak, tetapi meskipun begitu, oleh karena telah puas beristrikan ibu dan anak-anaknya, membawa perempuan lain pula ke dalam rumahnya, perempuan yang dikawininya dengan sah menurut hukum Islam? Dan siapa yang tiada berbuat demikian? Dan mengapa pula tiada akan berbuat demikian? Bukan dosa, bukan kecelaan pula; hukum Islam mengizinkan laki-laki menaruh empat orang perempuan. Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa. Segala perbuatan yang menyakitkan sesamanya, dosalah pada mataku. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:29). Sikapnya menentang poligami sangat jelas. Kadang Ia menganggap bahwa perkawinan itu menindas dan bukan membahagiakan. Ucapan keras menentang perkawinan ia suarakan sebagai berikut: Mengertikah engkau sekarang apakah sebabnya maka sangat besar benciku akan perkawinan? Kerja serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:29). Menggugat Agama Kekecewaan Kartini pada sikap laki-laki dalam perkawinan membuatnya juga mempertanyakan agama. Mengapa agama memihak laki-laki? Mengapa agama tidak membiarkan perempuan untuk memilih tidak menikah? Lalu, bukankah pula atas nama agama, mereka yang telah memadu kasih harus berpisah karena berkeyakinan berbeda? Serentetan pertanyaan-pertanyaan kritis Kartini mengalir. Orang yang seibu-sebapak berlawanan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang esa itu. Orang yang berkasih-kasihan dengan amat sayangnya, dengan amat sedihnya bercerai-cerai. Karena berlainan tempat menyerbu Tuhan, Tuhan yang itu juga, terdirilah tembok membatas hati yang berkasih-kasihan. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Kartini paham bahwa agama cenderung tidak menyatukan manusia melainkan mencerai beraikan manusia. Agama tidak membawa perdamaian namun justeru penyebab kekerasan. Ya Tuhanku, ada kalanya aku berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, karena agama itu, yang sebenarnya harus mempersatukan semua hamba Allah, sejak dari dahulu-dahulu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, jadi sebab perkelahian berbunuh-bunuhan yang sangat ngeri dan bengisnya. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu! (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Pemikiran Kartini tentang agama termasuk permikiran yang moderat dan toleran. Ia percaya bahwa manusia bisa menjadi baik tanpa harus menghafal Al-Quran, bahkan mungkin lebih penting menjadi orang baik saja. Meskipun tidak secara eksplisit ia menentang agama akan tetapi apa yang ia garis bawahi adalah bahwa manusia sejak awal tidak memilih agamanya sendiri, oleh sebab itu, menjadi orang baik merupakan kewajiban karena tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri. ...sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam...Orang diajar di sini membaca Qur’an tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu. Sekalipun tiada jadi orang saleh, kan boleh juga orang jadi orang baik hati.. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu! (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Melestarikan Pemikiran Kartini yang Radikal Kartini memang tidak pernah terlibat dalam sebuah pergerakan apalagi mengorganisir sebuah protes di lapangan. Bentuk protes yang ia lakukan hanyalah lewat tulisan-tulisannya yang mencoba memahami apa yang terjadi di lingkungannya. Tulisan-tulisannya tidak dituangkan ke dalam bahasa Melayu atau Jawa melainkan ke dalam bahasa Belanda dan ditujukan kepada teman Belandanya di Belanda. Apakah karena Kartini menyadari tulisan-tulisannya tidak akan ditanggapi bila ia menggugat masyarakatnya secara langsung? Atau bahkan dapat membahayakan dirinya bila pemikirannya diketahui oleh masyrakatnya sendiri? Sebenarnya pemikiran Kartini tidak istimewa di zamannya. Beberapa pemikir perempuan lainnya seperti Dewi Sartika juga memiliki pemikiran yang maju tentang hak-hak perempuan. Dewi Sartika bahkan dengan nyata membuat sekolah di tahun 1904 yang disebut dengan “Sekolah Istri”. Jadi, semangat Kartini pada zamannya adalah semangat yang juga dirasakan oleh sebagian perempuan pada zamannya. Apalagi, ada beberapa kritik terhadap Kartini yang akhirnya menyerah pada budaya patriarki dan menikah dengan pria yang telah beristri pula. Apakah karena Kartini tidak dapat menolak permintaan ayahnya? Ataukah Kartini tidak dapat membebaskan dirinya sendiri dari pengepungan budaya patriarkis yang sudah sedemikian mengakar dan menggurita? Kartini memang bukan sekedar kebaya. Tapi makna kebaya Kartini hendaknya diinterpretasikan secara kritis. Pemikiran Kartini masih terus harus direnda agar “kebaya” itu menjadi sempurna. Merenda pemikiran Kartini di segala ruang dan sudut bangsa, menjadikan bangsa kritis yang menghargai kesetaraan. Nah, sekarang kita sudah mengenakan kebaya Kartini, tapi sudahkah kamu membaca tulisannya? Ambil buku itu dan rubahlah dunia! Oleh: Ming Ming Lukiarti, SE, MM (Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng - Rembang) [email protected] Pergerakan perempuan dalam aksi tolak tambang pabrik semen di Rembang berperan sangat penting karena mereka selalu menjadi garda paling depan dalam setiap aksi. Perempuan-perempuan yang terdiri dari warga desa sekitar rencana lokasi tambang pabrik semen di Rembang ini mayoritas adalah sebagai petani. Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang dalam kesehariannya bekerja membantu suami bekerja di sawah dan ladang. Rencana penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang membuat warga khawatir akan risiko dan dampak buruk yang mengancam sumber mata air mereka. Terutama para petani perempuan, mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air untuk mengairi sawah, ternak dan kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci dan memasak. Karena mereka sebagai perempuan juga ikut bertanggungjawab terhadap kebutuhan sehari-hari. Rencana lokasi tambang berada pada gunung Watuputih yang terletak di desa Tegaldowo, Timbrangan, Pasucen dan Kajar. Dalam penelitian Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1998 disebutkan bahwa perbukitan Gunung Watuputih merupakan bentang alam karst dengan fenomena khas berupa lapies, gua kering dan berair dan lembah kering. Formasi ini terdiri dari batu gamping dolomitan, dengan organisme pembentuknya terutama ganggang, koral, dan foraminifera, yang terbentuk pada lingkungan laut dangkal pada zaman Pliosen. Pergerakan Masyarakat Rembang dari berbagai desa baik itu di sekitar rencana lokasi tambang dan pabrik atau yang jauh dari rencana lokasi bergabung dalam satu jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang (JM-PPK Rembang). Berdirinya kelompok ini tidak terlepas dari peranan perempuan karena ketua koordinator utamanya adalah juga seorang perempuan. Dalam jaringan ini ada kelompok-kelompok yang disebut paguyuban di masing-masing desa, tiap desa memiliki nama paguyubannya sendiri. Perempuan yang terdiri mulai dari remaja sampai ibu-ibu mengadakan pertemuan rutin untuk membahas agenda pergerakan dan penguatan kapasitas. Dalam setiap pertemuan mereka mendatangkan tokoh perempuan yang bersedia berbagi ilmu pengetahuan kepada mereka guna penguatan kapasitas dalam pergerakan. Mulai dari berbagai keterampilan mengolah hasil bumi menjadi penganan yang menarik sampai pada belajar mengenai dampak dan risiko bencana yang akan timbul apabila gunung watuputih ditambang. Setiap kegiatan mereka adakan secara sukarela dan swadaya, para pembicara juga hadir secara sukarela. Mereka sadar betul akan bahaya tambang semen yang mengancam kelestarian lingkungan hidup dan masa depan anak cucu mereka.
Tambang Ancaman Bagi Perempuan Tidak jauh dari rencana lokasi tambang semen di kecamatan Gunem ada beberapa penambangan yang sudah beroperasi lama. Kawasan penambangan berada pada desa Tahunan kecamatan Sale Kabupaten Rembang. Ada beberapa perusahaan tambang yang beroperasi dan menjadi contoh nyata penyumbang kerusakan baik itu kerusakan alam, kesehatan maupun moral. Kerusakan alam berupa matinya beberapa sumber mata air dan menurunnya debit mata air yang berada tidak jauh dari lokasi penambangan. Debu dari polusi truk pengangkut batu beterbangan dan menutupi daun-daun pada tanaman yang berakibat pada rusaknya tanaman petani dikarenakan tanaman yang tertutup debu tidak bisa berfotosintesis dengan sempurna. Selain itu debu juga membuat sesak nafas. Ancaman yang mengerikan adalah tentang virus HIV/AIDS. Paling tinggi angka penderita HIV/AIDS adalah di kecamatan Sale yang merupakan kawasan pertambangan. Di Sale sering terjadi protes warga karena mulai menjamurnya kafe-kafe dan warung remang-remang. Disitulah diduga awal mula penyebaran virus HIV/AIDS. Hal ini tidak jauh beda seperti kasus di Sekotong Lombok Nusa Tenggara Barat. Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Nusa Tenggara Barat Soeharmanto mengatakan tambang rakyat berpotensi menjadi daerah penyebaran HIV dan AIDS. Pasalnya kawasan itu diduga juga menjadi lahan bagi wanita pekerja seks. Kasus HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Rembang dari tahun 2004-2013 mencapai angka 149 kasus. Grafiknya cenderung naik dari tahun ke tahun. Dan yang mengerikan, dari 149 penderita, 80 diantaranya dinyatakan meninggal dunia. Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang, penderita HIV/AIDS tersebar di seluruh Kecamatan. Mulai dari Kecamatan Sale yang memiliki jumlah penderita paling banyak dengan 21 kasus, Kragan 19 kasus, Lasem 17 kasus, Rembang 16 kasus, Pamotan 12 kasus, dan Sumber 11 kasus. Untuk Kecamatan Sluke, Pancur, dan Kaliori masing-masing sembilan kasus. Sulang dan Gunem sama-sama 7 kasus. Kecamatan Sarang 6, Sedan 5, dan Bulu hanya satu kasus. Khusus tahun 2013 sampai dengan bulan September diketahui ada 29 kasus, 13 penderita di antaranya berasal dari kalangan Ibu Rumah Tangga. Sangat menyedihkan jika melihat banyak perempuan menjadi korban akibat kultur sosial yang berubah akibat keberadaan perusahaan tambang. Pelanggaran Hukum dan Dampak Bagi Perekonomian Warga Rencana Pendirian dan penambangan pabrik semen di Rembang terus berjalan, PT. Semen Indonesia masih terus menjalankan prosesnya, begitu juga dengan PT.SIR, dan PT. GMM serta menyusul Bosowa, meskipun sudah ada penolakan keras dari warga sekitar dan aktivis lingkungan. Rencana pendirian pabrik semen tersebut didukung oleh pemerintah Kabupaten Rembang. Ijin Usaha Lokasi Penambangan yang sudah dikantongi oleh Semen Indonesia masuk dalam kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih yang merupakan kawasan lindung geologi, hal tersebut sangat jelas tertuang dalam Perda No 14 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Rembang tahun 2011 pasal 19. Serta tertuang dalam Perda No 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah pasal 63 yang menyatakan bahwa Cekungan Air Tanah Watuputih Merupakan Kawasan Lindung imbuhan air. Letak titik koordinat Cekungan Air Tanah Watuputih telah disebutkan dalam Keppres RI No 26 tahun 2011. Pemerintah selalu mengatakan bahwa rencana penambangan dan pendirian pabrik semen ini akan meningkatkan perekonomian daerah melalui peningkatan PAD, namun semua itu belum tentu benar, mari kita berhitung seberapa besar kerugian yang akan diderita jika kerusakan alam akibat penambangan pabrik semen terjadi. Dalam Neraca Wilayah dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Rembang menyebutkan bahwa berdasarkan catatan pertumbuhan ekonomi tahun 2011 di Rembang adalah 4,4%. Sumbangan sektor pertanian adalah 44,75%, sektor perdagangan 17,38% dan paling kecil adalah sektor pertambangan sebesar 1,67%. Sumbangan sektor pertanian masih menempati nilai tertinggi, hampir mencapai 50%, ini berarti sumbangsih dari sektor pertanian sangat mempengaruhi perekonomian di Rembang. Bayangkan saja jika sektor pertanian mati, lantas apa yang akan terjadi pada kabupaten ini? Separuh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan hilang. Akan tetapi sebaliknya jika sektor pertambangan dihapuskan maka PAD hanya berkurang 1,67%, angka tersebut bisa ditutupi dari usaha ekonomi kerakyatan. Jika pemerintah mau memberdayakan warga eks karyawan tambang dalam kegiatan ekonomi kerakyatan sesuai dengan kemampuan dan sumber yang ada, maka angka 1,67% tersebut mudah saja dikejar, daripada harus mempertaruhkan sektor pertanian yang menyumbang 44,75%. Dari potensi yang ada, pemerintah harus jeli memperhatikan segala keperluan untuk memajukan usaha pertanian. Penambangan hanya akan menimbulkan perusakan alam, apalagi jika dilakukan dikawasan lindung. Umur ekonomis perusahaan tambang sangat terbatas, berbeda dengan umur ekonomis lahan produktif pertanian yang tidak terbatas. Pelestarian Kawasan Karst Bukti-bukti lapangan semakin menguatkan bahwa Kawasan karst Gunung Watuputih harus dilindungi terkait temuan-temuan ratusan mata air , gua dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit bagus. Proses produksi semen akan berpotensi merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan juga warga Rembang dan Lasem yang menggunakan jasa PDAM (PDAM mengambil mata air yang bersumber dari gunung Watuputih). Dalam data temuan JM-PPK Rembang ada 49 gua dan 109 mata air yang berada dekat pada rencana lokasi penambangan. Pelestarian kawasan karst Watuputih sebagai tulang punggung kebutuhan air masyarakat Rembang merupakan hal penting yang perlu diperjuangkan. Save the Karst. Seorang teman perempuan, sebaya saya, pernah bercerita. Suatu malam, ketika ia pulang dari kantor, tempatnya bekerja, ia melewati kawanan geng motor yang semuanya laki-laki. Tetapi di depannya ada juga seorang perempuan, berperawakan tinggi, mengenakan stiletto tinggi, berambut panjang, mengenakan make-up tebal, serta perhiasan yang mencerminkan keglamorannya. Perempuan itu melewati sekawanan lelaki geng motor. Dan terdengarlah itu, siulan, teriakan mereka, seperti gema alarm yang memekakkan jalan di gang itu untuk perempuan glamor tersebut. Tetapi, ketika teman saya—yang berbadan agak gemuk dan pendek—lewat di depan lelaki geng motor itu, tak ada siulan atau pun teriakan sama sekali. Sepi. Sesampainya di rumah, teman saya itu menelepon saya. Dia sedih dan merasa dilecehkan, justru karena ia tidak mendapat siulan dan teriakan dari lelaki geng motor tersebut. Keluhan teman saya tersebut membuat saya ikut berpikir sebagai sesama perempuan. Saya kembali teringat beberapa semester kuliah feminisme yang saya ambil di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo, sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Kuliah itu menurut saya sudah lengkap, saat ditutup oleh satu tema tentang feminisme gelombang ketiga: tentang representasi perempuan dalam media. Premisnya bisa kita kutip: “lelaki beraksi, perempuan muncul. Perempuan ada untuk dilihat dan dinikmati sebagai objek seksual.” Kemudian saya mempertanyakannya kembali dengan membandingkan pengalaman dari teman perempuan saya tersebut: apakah premis yang saya kutip itu masih berlaku sebagai pembenaran dalam feminisme kontemporer saat ini? Tersebutlah feminisme gelombang keempat, yang tiba-tiba muncul dalam salah satu portal isu dan website tentang feminisme yang sebenarnya sejalan dengan keluhan teman saya itu. Dalam beberapa artikel senada, kisah teman saya dikategorisasikan sebagai kisah perempuan dalam feminisme gelombang keempat: yaitu perempuan yang merasa tidak terhormat dan tidak bahagia, hanya karena tidak bisa menjadi objek seksual laki-laki, atau tak ada laki-laki yang “menatap dan menikmatinya”. Feminisme gelombang keempat ini, kali pertama diperkenalkan oleh Kira Cochrane dengan esai jurnalistik yang eksploratif sepanjang 70 halaman, berjudul All the Rebel Women: The Rise of the Fourth Wave Feminism (Perempuan-perempuan Pemberontak: Kebangkitan Feminisme Gelombang ke Empat). Tulisan ini ditujukan untuk membongkar dan mengetahui bagaimana posisi perempuan yang berada di tengah-tengah arus feminisme yang semakin fragmentatif. Esai dari Cochrane menurut saya penting, karena ia menawarkan perspektif otonomi diri. Seringkali disebut dalam feminisme sebagai “subjektivitas”. Yang membedakannya adalah pada sikap kesadaran feminisme yang mengambil jalan tengah dari semua perspektif yang ada. Cochrane dengan sangat cerdas merangkum seluruh perkembangan dalam feminisme, dan secara signifikan telah mendesak perempuan-perempuan muda yang tumbuh bersama arus teknologi untuk memilih jalannya sebagai perempuan yang merdeka dari pembodohan media atas perempuan. Cochrane mengidentifikasi beberapa penanda baik itu teknologi, grassroots, bahkan ke hal-hal tentang seksisme yang seringkali dialami perempuan masa kini. Masalah yang seringkali dialami perempuan, menurut Cocrane, adalah intersectional problem, dimana perempuan yang telah sadar akan pemikiran tentang kesetaraan gender, tetapi masih saja mengalami semacam marginalisasi. Misalkan, seorang perempuan yang berkulit putih masih saja mengalami opresi dalam satu komunitas lelaki yang menggodanya, maupun perempuan yang mencemburui kecantikannya dalam konteks politik kecantikan yang dikonstruksi media. Di sisi lain, seorang perempuan berkulit hitam justru mengalami opresi hanya karena ia berbeda dengan komunitas dengan kulit yang berbeda dengannya di mana ia tinggal. Analisa ini penting, paling tidak untuk melihat di titik mana kita sedang berdiri: apakah identitas keperempuanan ditentukan dari luar (objektivitas tubuh perempuan oleh media)? Saat kita mengalihkan masalah ini keluar, kepada masyarakat atau sistem psikologi masyarakat, sebagai semacam politik perhatian, kita memang bisa mengalami dilema seperti yang diceritakan teman saya di atas. Yaitu tentang perasaan menjadi perempuan yang didefinisikan dari luar. Tetapi kita bisa saja mengatakan bahwa ini adalah ketidakadilan politik perhatian secara psikologis yang dialami perempuan. Saat seorang perempuan ingin memuaskan dirinya dalam politik perhatian ini, seperti berdandan dan sebagainya, pada saat itulah dia bisa menjadi objek masyarakat dengan sukarela. Bisakah atau seharusnyakah perempuan membiarkan politik perhatian ini menguasainya agar dirinya diakui sebagai perempuan di hadapan para lelaki (identitas dari luar)? Jawaban “tidak” untuk pertanyaan ini barangkali bisa dengan enteng dilakukan oleh mereka yang memiliki kesadaran feminisme yang kuat atau memiliki kesadaran subjektivitas yang kuat. Permasalahan ini berangkali sudah dengan sendirinya selesai. Tak usahlah memperhatikan komentar, perhatian, dan sebagainya dari luar, yang bukan dari dirinya sendiri atau yang bukan dari kesadaran subjektivitasnya. Tapi, dari manakah lahirnya kesadaran subjektivitas ini atau kenapa sebagian perempuan memiliki kesadaran subjektivitas yang tinggi, namun sebagian malah emoh dan lebih memilih mengikuti kesadaran sebagai objek demi ambisi menjadi perempuan? Saat kecil, atau bahkan saat seorang bayi lahir, saat itulah seorang dibuatkan identitasnya. Pakaiannya sudah memiliki identitas yang bergender, namanya sudah memiliki identitas yang sudah dibedakan apakah perempuan atau lelaki, perlakuan terhadap bayi itu sudah tergenderkan, bahkan perasaan-perasaan yang dihadapkan pada bayi itu juga dibedakan. Semakin dewasa, identitas itu semakin jelas dan terpatokkan pada bayi yang lahir itu. Bayi itu tak bisa mengelak, tak bisa memilih, atau memiliki kesadaran subjektivitas. Dunianya sudah sedemikian terbentuk. Tidak ada esensialisme awal yang begitu mendasar bahwa perempuan lahir sebagai perempuan. Menjadi perempuan adalah sebuah asuhan sosial, bukan pilihan subjektivitas (?). Apakah menjadi kelumrahan jika perempuan, dalam feminisme gelombang keempat, lebih berhasrat untuk menjadi objek seksual, karena sudah menjadi alasan logis dari asuhan sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini mengarah pada makna menjadi perempuan, khususnya menjadi perempuan dilihat dari dalam keperempuanan atau femininitas, sebelum menjadi perempuan yang diimperatif dari luar. Terkadang, meski terkesan mundur dan kalah, adalah sangat penting untuk melihat ke dalam diri sendiri, sebelum kemudian mendapatkan pengakuan dari luar. Atau, dengan bahasa yang jargonistik-filosofis: mengukur dan mendalami dan menjadi aku-perempuan, sebelum mengakui bahkan berhasrat menjadi kamu-perempuan di hadapan orang lain atau yang dikukuhkan oleh orang lain. Dengan perspektif berbeda, sebenarnya persoalan ini bisa sangat sepele untuk dijawab. Apabila memang perempuan “diharuskan” memenuhi selera laki-laki yang membawa beban mata-media, apakah laki-laki hanya “melihat dan terhisap” oleh hidangan tubuh perempuan saja? Saya kira tidak. Mata-media-lelaki menjadi pelik di sini, karena tidak semua laki-laki yang memiliki ketajaman intelektualitas cenderung hanya perlu untuk memandang sebatas tubuh perempuan tanpa referensi inteletualitas, keunikan karakternya, dan subjektivitasnya. Mata-media-lelaki telah sedemikian lama bergerak ke depan, mencari batas-batas lain dalam diri perempuan, atau menyitir istilah Malia Lienau, gazing beyond a women, melihat ke dalam keunikan yang dimiliki setiap individu perempuan. Di sini, untuk tidak memasuki debat panjang perihal epistemologi-menjadi-feminis/perempuan, barangkali kita bisa kembali pada pengalaman-pengalaman personal yang tidak membiarkan hanya sekadar kesadaran dan penubuhan belaka. Melainkan juga pengalaman yang berkait dengan momen-momen kesadaran individu. Dalam pengalaman yang terefleksikan, yang diperoleh bukan hanya kekhasan yang memuncak menjadi perempuan bahkan menjadi sesosok ibu, tapi menjadi sesosok manusia yang “tanpa-rupa-perempuan”. Yaitu semacam pengalaman transendental yang dengan pasti mengatakan “aku-perempuan”. Mungkin semacam Drupadi di atas ranjang kebesarannya, tak bisa didefinisikan oleh para Pandawa. Dan puncaknya, siapkah kita meninggalkan versi lama keperempuanan dari diri kita? Waktu bergulir begitu cepat, tanpa terasa sepuluh tahun sudah berlaku Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disingkat UU PKDRT. UU PKDRT disahkan pada tanggal 22 September 2004. Sebuah undang-undang yang lahir atas keinginan negara untuk melindungi hak asasi manusia di lingkup rumah tangga khususnya perempuan. Bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Lahirnya undang-undang ini memberi angin segar kepada masyarakat umum bahwa negara melindungi warga negaranya sampai di wilayah privat, yakni rumah tangga. Konsekuensi dari pemberlakuan undang-undang ini, hal-hal yang dahulu dianggap tabu dan aib dibicarakan di luar rumah sekarang bisa menjadi delik pidana. Bagi pelakunya bisa dikenakan sanksi penjara untuk menciptakan efek jera. Semangat pemberlakuan undang-undang PKDRT adalah menitikberatkan pada upaya perlindungan terhadap perempuan atau istri, karena merupakan pihak yang paling sering dirugikan akibat perlakuan laki-laki atau suami. Sejak kelahirannya undang-undang PKDRT tak sedikit mengalami kendala dan masalah. Hal ini bisa dipahami karena budaya masyarakat Indonesia dimana kebanyakan suku-sukunya menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Kaum perempuan atau istri lebih dianggap sebagai konco wingking yang wilayah kerjanya hanya meliputi kasur, dapur, sumur (wilayah domestik). Cara pandang dan kultur seperti ini menempatkan kedudukan dan posisi perempuan dalam subordinasi laki-laki. Kuatnya budaya patriarkal dan berkembangnya sistem kekeluargaan yang patrilineal menjadi penghambat dalam membuka kesadaran masyarakat luas bahwa KDRT adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM. Kita bisa melihat bagaimana sejumlah argumentasi yang mengatasnamakan agama menyatakan bahwa memukul istri bukanlah kekerasan karena hal itu dilakukan sebagai bentuk rasa sayang dan melindungi perempuan atau istri melakukan kesalahan berikutnya. Suatu hal yang di luar nalar, bagaimana perbuatan memukul dikatakan sebagai tindakan sayang. Sebuah ironi memang. Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, perempuan atau istri korban KDRT yang rata-rata tidak mempunyai akses ekonomi karena dilarang bekerja setelah berumah tangga takut melaporkan kekerasan yang menimpanya. Bisa dimaklumi bagaimana mereka para istri atau perempuan lebih memilih diam dan tidak melapor karena selain berhadapan dengan pandangan minor membuka aib keluarga, perempuan juga tak berani melihat masa depan mereka yang suram tanpa bantuan ekonomi dari para suami atau laki-laki. Alasan-alasan di atas menyebabkan mayoritas perempuan korban KDRT menyelesaikan masalahnya tidak ke ranah hukum dengan melaporkan pelaku KDRT. Tetapi mereka lebih memilih berdamai dengan pelaku atau suami. Jikapun mereka sulit menerima kembali pelaku sebagai suami dan kepala rumah tangganya maka hal terbanyak yang ditempuh adalah lewat gugatan cerai di Pengadilan Agama. Hal lain yang mempersulit adalah belum adanya kepastian bagi para perempuan korban untuk mendapatkan perlakuan adil dalam hukum. Ketika mereka melapor, alih-alih mendapat perlindungan dan keadilan, banyak istri atau korban KDRT justru dikriminalisasi oleh suaminya dengan cara melaporkan balik si korban. Banyak pasal yang digunakan untuk membuat tuduhan balik dan menjerat si istri, seperti: pasal pencurian dalam rumah tangga, pasal penelantaran anak dan yang paling sering dikenakan adalah pasal pencemaran nama baik. Bukan karena kebetulan jika para perempuan frustasi dan kalah dalam upayanya mencari keadilan karena faktanya banyak Aparat Penegah Hukum (APH) kita yang tidak memiliki sensivitas dan responsif terhadap korban. Rumitnya prosedur mendapatkan bantuan hukum bagi perempuan yang secara ekonomi lemah dan dilemahkan karena sudah tidak mendapat nafkah dari suami adalah serangkaian persoalan pula. Pelaksanaan undang-undang PKDRT harus berhadapan dengan sejumlah persoalan baik di ranah budaya, hukum dan abainya aparat penegak hukum dalam mengawal pelaksanaan undang-undang. Perubahan cara pandang dan pemberlakuan undang-undang PKDRT jelas merupakan tantangan. Di usianya yang kesepuluh, kiranya perlu dilakukan kajian ulang secara mendalam. Sehingga UU PKDRT tak hanya indah dikonsep tetapi pahit dalam fakta dan realitas. Agar upaya pembelaan terhadap para korban KDRT tidak menyisakan persoalan dan berujung kebuntuan. Jakarta, 8 April 2014 |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|