Ini salah satu gambarannya, berdasarkan penelitian saya di suatu perusahaan sepatu olah raga merek branded di Tangerang, beberapa tahun yang lalu. Dari 9000-an buruh produksi, 7000-an diantaranya adalah buruh perempuan. Mereka pada umumnya menempati posisi yang paling rendah dalam struktur pekerjaan. Pada tingkat manajerial, sejak mandor, pengawas, kepala, manajer, pada umumnya laki-laki. Soal penempatan pegawai itu sesungguhnya hampir tidak kelihatan diskriminasi, tetapi struktur yang timpang itu jelas menunjukkan diskriminasi. Sebuah sepatu memerlukan proses 150 tahapan. Dalam proses itu terlihat ada pembagian kerja yang benar-benar tersegregasi antara perempuan dan laki-laki. Perempuan melakukan pekerjaan (yang distereotipkan) sebagai pekerjaan yang memerlukan ketelitian: menjahit, pasang kancing, dan sebagainya. Pekerjaan ini harus dilakukan penuh kewaspadaan, selama 8 jam kerja mata dan pikiran harus konsentrasi. Sebab bila lengah sedikit, tangan bisa terjahit mesin, atau juga paparan debu dari material sepatu. Laki-laki melakukan pekerjaan yang dianggap lebih berat dan berbahaya seperti: membuat sol sepatu (karet), mengelem. Pekerjaan ini risikonya adalah terpapar polusi kebisingan dan bau lem. Banyak perempuan dan laki-laki yang malas pakai masker, kata mereka menghalangi gerak. Pengawasan tentu saja sistematis ketat: ada aturan soal istirahat makan siang, pergi ke WC. Juga di tembok-tembok pabrik ada tulisan: pada jam kerja dilarang berkelahi dan berhubungan sex. Ini sangat menarik. Secara sosiologis, bila ada tulisan begini, maka berarti memang sering terjadi perkelahian dan hubungan perkelaminan pada jam kerja. Soal lembur: ada ketentuan pada jam lembur harus ada tambahan asupan gizi. Oleh perusahaan mereka diberi susu atau susu kedelai dari karton kecil. Tetapi tidak mereka konsumsi. Mereka kumpulkan susu-susu karton itu, lalu mereka buat arisan (ck ck ck...) Di mana letak diskriminasi terhadap buruh perempuan? Mengikuti Logika Konvensi CEDAW, Pasal 11. Pertama, statusnya dianggap lajang. Implikasinya: (a) meskipun perempuan itu punya suami dan anak, tidak mendapat tunjangan keluarga. (b) bila anak dari buruh perempuan sakit, maka dia tidak boleh membawa anaknya ke klinik perusahaan, tetapi buruh laki-laki bisa (karena dia dianggap lajang, mana bisa punya anak?) (c) sulit bagi mereka untuk mendapatkan haknya menikah dan punya anak. Kedua, upahnya secara kumulatif tentu lebih rendah daripada buruh laki-laki, karena ada pengabaian-pengabaian di atas (ini juga pelanggaran terhadap Konvensi ILO No. 100 tahun 1958). Ketiga, soal keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi: 8 jam bekerja, harus terus menerus alert, supaya tidak celaka. Ini bagaimana dengan buruh perempuan yang kemungkinannya memang hamil diantara 7000 orang? Keempat, cuti haid: banyak yang tetap masuk kerja, agar upahnya tidak dipotong. Kelima tentu saja diskriminasi secara tidak langsung untuk setara dengan buruh laki-laki karena penempatan struktur kerja di atas, dimana pekerjaan manajerial dan pengawasan lebih banyak didominasi laki-laki. Keenam, soal perempuan yang rentan PHK, soal pensiun, dan sebagainya. Jadi hak perempuan untuk tidak mengalami diskriminasi di tempat kerja seperti dalam Pasal 11 CEDAW itu, masih jadi persoalan. Buruh laki dan perempuan SAMA-SAMA mengalami alienasi dari hasil pekerjaannya. Mereka tidak menikmati capacity building. Sungguhpun 15 atau 20 tahun bekerja, belum tentu bisa membuat sepatu. Karena pekerjaan mereka hanyalah membuat kancing, membuat sol, menjahit bagian ujung sepatu, dan lain-lain. Orang seperti kita mungkin sudah menjadi gila karena rutinitas! Mengapa demo buruh didominasi oleh laki-laki? Kemana perempuan? Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|