Ditulis oleh Mariana Amiruddin Masih banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa istilah gender semata-mata merujuk pada perempuan. Masih banyak pula yang salah paham atau rancu dalam memahami istilah gender dan jenis kelamin (seks). Kesalahpahaman tersebut bahkan masih terjadi pada pihak-pihak yang berurusan dengan program-program kesetaraan gender di Indonesia. Saya tidak ingin mengatakan bahwa ini suatu kesalahan, tetapi ini suatu pekerjaan kita semua yang memiliki keahlian khusus di bidang studi gender (gender expert). Istilah gender memang perlu dipahami secara tuntas, sebelum kita menggunakannya, mengucapkannya, dan sebelum kita bekerja untuk hal tersebut. Ada banyak pengertian terkait dengan istilah gender. Gender memang bukan berakar dari bahasa Indonesia, dan gender bukanlah sekedar satu kata dengan satu pengertian. Gender adalah sebuah konsep yang menceritakan banyak hal mengenai kehidupan dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Istilah gender berangkat dari kesadaran kita bahwa manusia tidaklah satu, manusia bermacam-macam, dalam hal ini adalah jenis kelaminnya. Gender, merujuk pada suatu kebudayaan yang memperlakukan -- manusia berjenis kelamin -- laki-laki dan perempuan secara berbeda, yang padahal dalam prinsip kemanusiaan, mereka adalah dua jenis manusia yang memiliki hak-hak kemanusiaan yang setara. Gender merujuk pada suatu pandangan kebudayaan sosial masyarakat, yang membuat kehidupan perempuan dan laki-laki dibedakan, membuat pengalaman kehidupan dibedakan. Gender adalah istilah yang ingin menerangkan bahwa, ada faktor-faktor di luar eksistensi manusia yang mempengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Gender bukan soal jenis kelamin, sementara jenis kelamin adalah semata-mata bicara soal biologi. Perempuan punya rahim, payudara, bisa melahirkan, menyusui, mengandung, sedangkan laki-laki tidak. Laki-laki memiliki sperma untuk membuahi sel telur, laki-laki punya hormon khas, yang berbeda dengan hormon perempuan untuk melakukan fungsi biologisnya. Namun fungsi-fungsi biologi laki-laki dan perempuan ini kemudian dicampur-aduk dalam kehidupan sosial politik mereka. Padahal determinasi biologi laki-laki dan perempuan ini semata-mata perangkat reproduksi tubuh mereka, yang terjadi pula pada berbagai macam spesies mahluk lainnya, yang seharusnya tidak ada intervensi penilaian atau pandangan sosial apapun diluar fungsinya. Jenis kelamin bukanlah gender, tetapi eksistensi biologi mahluk manusia. Gender adalah di luar faktor-faktor biologi manusia, dan istilah gender sebetulnya ingin menjelaskan bahwa ada persoalan dalam dua jenis kelamin ini dalam kehidupan sosial politik mereka. Ada persoalan dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam menghadapi keadaan sosial politik mereka. Persoalan itu bukan dari diri mereka yang lahir dalam keadaan (berjenis kelamin) laki-laki atau perempuan, tetapi karena cara pandang sosial politik masyarakat terhadap mereka. Gender adalah istilah yang dapat kita umpamakan sebagai kunci yang berhasil membuka kotak misteri kehidupan manusia, dan ketika kotak misteri itu dibuka, nampak isinya berbagai macam masalah, yang ternyata masalah itu dapat mengakibatkan seseorang atas dasar jenis kelaminnya, mengalami diskriminasi atau ketidakadilan yang mengerikan. Mengurai masalah dari kotak misteri tersebut tidak mudah, karena kita perlu menyadari terlebih dahulu fakta-fakta bahwa misalnya seseorang mengalami pelecehan ataupun kekerasan seksual akibat jenis kelamin mereka. Perempuan, dan anak-anak perempuan adalah jumlah terbesar yang menjadi korban kekerasan seksual karena kekerasan tersebut terjadi semata-mata karena mereka perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga, sebagian besar perempuan, semata-mata karena mereka perempuan, istri, ibu, yang dalam kebudayaan kita terutama dalam perkawinan, adalah jenis kelamin yang harus tunduk dan patuh pada laki-laki atau suami, karena hanya jenis kelamin laki-laki yang diakui menguasai rumah tangga. Karena hubungan kuasa dan yang dikuasai inilah sangat rentan terjadi kekerasan. Di dalam rumah, suami akan sangat rentan melakukan kekerasan terhadap istri, sementara dalam kehidupan publik atau di luar rumah, sang suami di tuntut mencari nafkah, menghidupi seluruh kebutuhan keluarga secara ekonomi, harta benda, jaminan sosial dan kesehatan, yang padahal dalam dunia kerja mereka mengalami ketidakadilan yang sama, saat ada hubungan yang berkuasa dan yang dikuasai. Bagi laki-laki yang hanya memiliki jabatan rendah, dan ekonomi yang pas-pasan, mereka tidak menemukan kebahagiaan sekalipun ia memiliki seorang istri yang mendukungnya secara penuh. Tuntutan sosial politik yang berlebihan pada laki-laki untuk sukses dan mapan, adalah tuntutan yang membuat mereka harus istimewa, harus menjadi super. Bagi yang tidak berhasil menjadi superman, banyak mengalami frustasi, mengalami ketidakpercayaan diri, rusak mentalnya, dan rumah tangga menjadi sasaran, dan tindakan kekerasan rentan terjadi pada dirinya. Istilah gender ingin menjelaskan bahwa persoalan laki-laki dan perempuan berawal dari rumah. Dari tempat tidur, dapur, dan urusan rumah tangga. Kotak misteri yang selama berabad-abad tak terjangkau inilah ternyata terletak di dalam gudang alam bawah sadar rumah tangga sekelompok manusia bernama keluarga, yang tertutup rapat dan tidak bisa diketahui orang lain tentang hal-hal yang terjadi di dalamnya. Tanpa disadari persoalan rumah tangga ternyata terepresentasi dalam persoalan politik ekonomi dan hukum kita, yang mewakili hampir sepenuhnya kebudayaan kita yang belum tentu adil terhadap laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak diharapkan untuk menjadi pintar, bekerja, berkarir dan sukses di bidang-bidang tertentu, mereka hanya diharapkan mengelola rumah tangga, mengasuh anak. Sementara laki-laki ditempatkan berseberangan dengan perempuan, mereka harus sukses dalam kerja, harus pintar, harus punya karir yang tinggi, harus kaya raya. Tidak ada yang lebih tidak berharga dari seorang laki-laki yang miskin tidak mampu menafkhi keluarganya, daripada perempuan yang miskin tetapi bisa dinafkahi oleh suaminya. Tidak ada yang lebih terhina daripada seorang suami dinafkahi oleh istrinya sehingga ada istilah “numpang di ketiak istri”. Laki-laki akan mengalami frustasi dan kerendahan diri yang luar biasa. Atau dalam tradisi dan agama tertentu, seorang istri diperbolehkan dipukul oleh suaminya, apabila dia tidak ijin keluar rumah. Pemukulan pada istri adalah suatu tindakan yang dianggap amat sangat wajar dalam hal ini. Bukankah ini suatu keganjilan ketika kita bicara soal kemanusiaan? Istilah gender ingin menjelaskan bahwa kebudayaan telah membuat hubungan dua jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan, mengalami kesenjangan dengan jurang yang begitu dalam. Mereka “tidak nyambung” dalam berkomunikasi, mereka terbangun oleh mental dan cara berpikir yang berseberangan. Mereka berdiri di atas kebudayaan mereka masing-masing. Budaya perempuan sangat berbeda dengan budaya laki-laki. Nilai-nilai mereka terpecah menjadi dua. Mereka disebut maskulin dan feminin. Mereka tidak boleh bertukar peran, yang padahal hakekat manusia begitu indahnya, sama-sama memiliki pikiran, hati dan jiwa, yang seharusnya teraktualisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka dipenjara oleh peran-peran atas alasan jenis kelamin mereka, dan inilah fungsi dari konsep gender, dan dalam perkembangannya gender menjadi sebuah studi yang dapat dipelajari melalui berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, antropologi, sosiologi, politik, hukum, seni dan kebudayaan, juga sains dan teknologi. Istilah gender adalah sebuah pisau yang membentangkan kenyataan pahit konstruksi sosial dan budaya yang diyakini dan dipercaya sebagai kebenaran atau takdir manusia ternyata hanya membuat dua jenis kelamin manusia ini terus menerus dirundung masalah, tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya. Inilah yang disebut ketidakadilan gender. Apa akibat-akibat ketidakadilan gender? Kita mungkin pernah sedikit mendengar istilah “Kekerasan Berbasis Gender” (Gender Based Violence). Siapa lagikah dia? Berikut berbagai definisinya: PBB: kekerasan yang ditergetkan kepada seseorang atau sekelompok orang karena gender mereka. CEDAW: berakibat kerugian fisik, mental atau seksual atau penderitaan, ancaman tindakan, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya berdasarkan gender seseorang. Unifem: kekerasan yang disebabkan hubungan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Deklarasi PBB 1993: tidak terbatas berakibat pada kerugian fisik, seksual dan psikologis, tetapi mencakup pelecehan seksual, termasuk anak-anak perempuan, yang berhubungan dengan kekerasan, perkosaan, mutilasi alat kelamin perempuan, dan praktek tradisional lainnya yang berbahaya bagi perempuan, termasuk eksploitasi: perdagangan orang, perkawinan paksa, dan pelacuran paksa. Mungkin kita tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa kotak misteri kehidupan manusia yang dibongkar oleh studi gender ini ternyata berdampak pada pengalaman yang paling tidak berperikemanusiaan pada kehidupan banyak perempuan dan anak-anak perempuan. Berikut fakta-faktanya yang pernah dilansir oleh UNPA. 1 dari 3 perempuan telah dipukuli, dipaksa melakukan hubungan seks, dilecehkan, termasuk oleh anggota keluarganya. 1 dari 5 perempuan menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan dalam hidupanya. Sekitar 1 dari 4 perempuan disalahgunakan selama kehamilan, yang menempatkan ibu dan anak berisiko. Setidaknya 130 juta perempuan telah dipaksa menjalani mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) Pernikahan dini dapat memiliki konsekuansi serius termasuk berbahaya, penolakan pendidikan, masalah kesehatan, kehamilan prematur, berakibat tinggi kematian ibu dan bayi. Setiap tahun diperkirakan 800.000 orang diperdagangkan meintasi perbatasan, 80% dari mereka perempuan dan anak perempuan. Kebanyakan terjebak dalam perdagangan seks komersial. Tahukah anda bahwa terdapat budaya di NTT yang mewajibkan perempuan yang baru saja melahirkan, bersama anaknya selama 30 hari dikurung di dalam kamar tungku berasap (dapur)? Tahukah bahwa terdapat pandangan hampir sebagian besar dari kita, bahwa perempuan pantas diperkosa bila keluar malam atau berpakaian terbuka? Atau tahukah bahwa banyak laki-laki mengalami gangguan mental selama hidupnya atau percobaan bunuh diri karena tidak diterima dalam budaya maskulin yang menuntut mereka menjadi macho, sukses dan super? Siapakah yang menciptakan ini semua? Karena istilah gender merujuk pada suatu konstruksi kebudayaan manusia membuat kehidupan perempuan dan laki-laki mengalami ketidakadilan atas jenis kelaminnya, maka sekali lagi karena ini adalah sebuah konstruksi (ciptaan manusia), maka seharusnya ia dapat di dekonstruksi (diciptakan kembali) sebagai suatu kebudayaan, atau kehidupan yang lebih adil diantara mereka. Kita semua ingin kehidupan yang berkualitas, tidak tertindas, dan istilah gender dalam rangka untuk hal tersebut. Marilah kita mulai melakukan identifikasi masalah gender yang beredar di sekeliling kehidupan anda, lalu pikirkan bagaimana jalan keluarnya. Cobalah! |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|