Sylvia Taliwongso berpose,1968
Oleh: Gadis Arivia Dunia saat ini sedang memikirkan soal Suriah yang diyakini pemerintahnya menggunakan senjata kimia pada tanggal 21 Agustus lalu, sehingga menewaskan 1429 orang termasuk anak-anak di Ghouta timur, dekat Damaskus. Senjata kimia dapat memusnahkan manusia dan membuat korban dalam keadaan mengenaskan. Ini tentu berita yang mengejutkan dunia internasional dan sangat memprihatinkan. Jadi tentu wajar kalau soal senjata kimia ini menjadi pusat perhatian dan diskusi yang amat penting. Senjata jenis ini membahayakan dunia dan mematikan. Di Indonesia saat ini juga ada sekelompok orang yang peduli dengan persoalan “senjata”. “Senjata” ini diyakini membahayakan budaya Indonesia bahkan katanya NKRI. Oleh sebab itu, berbondong-bondonglah sekelompok orang-orang tersebut menentang penggunaan “senjata” yang diyakini dimiliki para perempuan cantik Miss World. Apakah “senjata” Miss World yang sangat ditakuti oleh sekelompok orang-orang tersebut? FUI (Forum Umat Islam) yang berdemo tanpa lelah dan senang mengancam perempuan-perempuan cantik, tidak secara jelas mengungkapkan apa saja “senjata” peserta Miss World yang dapat merusak Indonesia. Tapi saya yakin para peserta Miss World tidak memiliki senjata kimia. Mereka pun tidak berbadan tegap, berambut cepak dan bermuka garang. Saya amati paras muka para peserta Miss World justeru sangat mempesona, ayu dan berbadan seksi. “Senjata” mereka yang terlihat nyata hanyalah pantat yang montok, paha dan pinggul yang aduhai serta payudara yang sempurna. Sebagian besar orang menggambarkan pemandangan tersebut sebagai pemandangan yang indah sama sekali tidak menakutkan, membuat orang ingin mendekat dan senyuman mereka membuat hati terasa nyaman dan sejuk. Bukankah pemandangan tersebut juga dimiliki di Indonesia dan lekat dengan budaya Indonesia? Indonesia dikatakan sebagai negara ramah dan penuh senyum. Perempuan Indonesia pun cantik-cantik, sejak zaman nenek moyang dulu selalu berpakaian kebaya yang menembus pandang ada pula kemben yang memperlihatkan pundak halus para perempuan Jawa, serta rambut yang terurai panjang. Tak ada yang protes pada masa lalu, payudara yang menyembul dari kain kebaya dianggap biasa-biasa saja, bagian dari keanggunan perempuan Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia telah lama mengirimkan peserta untuk mengikuti kontes kecantikan seperti Miss Internasional. Kecantikan yang dibanggakan bukan saja kecantikan lahiriah tapi juga intelegensia dan kualitas pribadi yang prima seperti kebaikan, persahabatan dan kepedulian. Siapakah perempuan-perempuan yang dikirim mewakili Indonesia? Ada nama-nama seperti Wiana Sulastini (1960), Sylvia Taliwongso (1968), Irma Hadisurya (1969), Louise Maria Maengkom (1970), Lydia Arlini Wahab (1974), Yayuk Rahayu Sosiawati (1975), Treesye Ratri Astuti (1976), Indri Hapsari Soeharto (1977), dan sebagainya. Berbagai prestasi diraih para duta Indonesia ini. Jadi Indonesia telah lama dan bangga menunjukkan kecantikan perempuan-perempuan Indonesia di ajang internasional. Kontes kecantikan memang bukan tanpa soal di mata para feminis. Kritik para feminis di masa lalu sering dilakukan. Terutama kontes kecantikan yang hanya mengeksploitasi tubuh perempuan atau memanipulasi perempuan-perempuan cantik ini dengan kepentingan penyelenggara yang rakus dengan bisnis ini. Para feminis mementingkan keadilan dan kebebasan untuk para peserta berekspresi. Terutama pencitraan “domestikasi” dan “murahan” adalah pencitraan yang ditentang oleh para feminis. Berbagai upaya perbaikan terhadap penyelenggaraan kontes kecantikan dilakukan dengan mengubah konsep. Konsep yang dikedepankan bukan hanya kecantikan tapi kecerdasan, talenta dan kepedulian terhadap isu-isu sosial. Pada perkembangannya, perempuan-perempuan yang mengikuti ajang kontes kecantikan internasional memang perempuan-perempuan yang bukan hanya cantik tapi juga sangat cerdas. Cantik, cerdas, mandiri dan bebas berekspresi, tentu adalah ciri-ciri perempuan yang diinginkan oleh dunia moderen, tapi apakah diinginkan juga oleh budaya tradisional dan agamis? Saya pikir disinilah letak perbedaan protes para feminis dan kaum konservatif. Para feminis mengkritik ajang kontes kecantikan untuk mengedepankan perempuan-perempuan yang bebas, cerdas dan mandiri serta inklusif (etnis dan agama minoritas termasuk disibilitas) sedangkan kelompok konservatif memiliki agenda lain yaitu domestikasi, kepatuhan, konformitas dan non-inklusif. Dua ideologi yang sungguh berbeda. Kelompok feminis menggaris bawahi keadilan dan kesetaraan gender sedangkan kelompok konservatif menggaris bawahi kepatuhan pada tradisi dan agama yang picik. Jurang pemahaman yang sangat kentara di antara kedua kelompok ini adalah pemahaman choice (pilihan). Kelompok feminis yang memiliki plat form demokrasi dan HAM menekankan hak setiap orang untuk memilih kehidupan yang diyakininya baik dan benar menurut pendapatnya sedangkan kelompok konservatif mengharuskan orang untuk mengikuti aturan-aturan yang dianggap baku, tanpa perdebatan dan tanpa kompromi bahkan seringkali dengan cara paksa. Setiap orang memiliki hak untuk memilih kehidupan yang dianggapnya baik dan benar. Termasuk memilih untuk cara berpakaian apakah tertutup atau terbuka. Setiap perempuan berhak memilih untuk mengikuti kontes pengajian ataupun kontes kecantikan, tanpa paksaan dan tanpa intimidasi. Pada akhirnya apa yang diributkan FUI dan Hisbut Tahrir tidak lah terlalu penting-penting amat. Percayalah Miss World tidak berbahaya dan “senjata” pantat, paha serta payudara tidak akan mematikan umat manusia. Payudara justeru menghidupkan manusia, air susu ibu tidak jatuh dari langit, dia datang dari sumber yang hanya dimiliki perempuan. Mengapa tidak merayakan tubuh perempuan? Tubuh perempuan sungguh sempurna. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|