Sartika Dian Nuraini ([email protected]) Bremen merupakan kota kecil di Jerman yang kaya akan narasi sejarah. Dalam tata kota yang masih mempertahankan bangunan-bangunan tua dari abad 1500 masehi itu, terjaga dengan baik artefak-artefak dan udara seni yang memberinya warna. Rasa takjub saya ketika memasuki kota Bremen belum tuntas saat menghadiri museum, yang khusus mengoleksi karya-karya seorang pelukis perempuan ternama. Dia mengawali jejak-jejak Ekspresionisme di Eropa: Paula Modersohn-Becker, perempuan yang melihat dunia dengan tubuhnya. Paula Modersohn-Becker (1876-1907) anak ketiga dari tujuh bersaudara, lahir di Dresden (8 Februari 1876), 139 tahun yang lalu. Paula Modersohn-Becker besar di lingkungan aristokrat yang dididik dengan kesadaran budaya dan intelektual yang mumpuni. Pengalaman melukisnya dimulai ketika ia datang ke London untuk bertemu dengan bibinya. Pada usia enam belas tahun, dia memutuskan pindah ke London dan mengikuti sekolah seni profesional. Dari sanalah, ia mengenal pelukis-pelukis seperti Otto Modersohn, Fritz Mackensen, Fritz Overbeck dan Heinrich Vogeler, dan mengilhami dirinya untuk menjadi pelukis. Pada awalnya, ayahnya enggan menyetujui keinginannya menjadi seorang seniman. Ayahnya memaksanya untuk ikut ujian menjadi guru, karena berpikir bahwa karier menjadi seniman adalah tidak mungkin bagi seorang perempuan pada masa itu. Menjadi guru, menurut ayahnya, akan memudahkan dia mendapat uang. Sampai pada akhir tahun 1898, orang tuanya tidak mendukung keinginan dan cita-citanya tersebut. Keputusannya menjadi seorang seniman adalah sebuah kenekatan tanpa pamrih. Sampai pada akhir studinya, ia menyewa sebuah ruang kecil di Worpswede yang dijadikan studio lukisnya. Disana ia bertemu Otto Modersohn, seorang pelukis terkenal pada masanya, juga seorang duda beranak satu. Kini, perwujudannya bisa kita lihat dan amati di Museum Paula Modersohn-Becker, yang men-display karya-karya Paula sepanjang masa. Ekspresi Seni Perempuan sebagai Tubuh yang Purba Seperti yang sudah banyak sekali diperbincangkan, pada awal abad 20, seniman perempuan belum banyak bermunculan. Mereka menghadapi semacam konflik antara avant-garde dan klasikisme Eropa pada masa itu. Gerakan avant-garde yang berbasis rakyat menyangkal habis-habisan seni dari para akademisi. Rakyat mulai membuka pameran-pameran paralel dan outlet seni yang mandiri. Para seniman yang bergerak dari masyarakat inilah yang pada akhirnya memuliakan lukisan-lukisan potret, lanskap, dan genre yang mengutamakan ekspresi-ekspresi wacana “real life”. Transformasi ini didukung oleh semakin masifnya gerakan feminisme saat itu. Memungkinkan akses perempuan untuk menjangkau karier di bidang-bidang yang mustahil dilakukan perempuan. Peran dan konsolidasi perempuan telah melahirkan berbagai perubahan: sebuah periode ketika perempuan tidak lagi dibatasi pada wilayah domestik saja, melainkan peran publik yang terus berkembang. Tetapi masalahnya, seniman perempuan saat itu masih dipandang sangat eksklusif, dan label “avant-garde” masih dikuasai laki-laki. Karena laki-laki dianggap memiliki “individualitas, orisinalitas, dan otonomi.” (Lisa Tickner, “Feminism, Art History, and Sexual Difference,” Genders 3 (November 1988): 101-2.) Menghadapi peran marginal ini, membuat banyak seniman perempuan saat itu harus bernegosiasi terus-menerus. Membangun citra diri sebagai perempuan dan sebagai subjek dalam seni dan produktif mendamaikan ketegangan identitas yang melekat pada mereka. “Perempuan bukan lagi sebagai objek di dalam tanda, tetapi sebagai subjek dalam tanda”, inilah jargon utama dari gerakan seni yang dilakukan perempuan; tentu saja di luar representasi yang telah berakar di lingkungan akademis saat itu. Paula Modersohn-Becker adalah sebuah contoh yang menarik dari perjuangan ini. Tanpanya, mungkin akan jarang sekali seniman perempuan lahir kembali. Karier Paula Modersohn-Becker ini cukup pendek, berkisar antara tahun 1897-1907. Tetapi cukup intensif dengan melahirkan 600-an lukisan dan 1000-an sketsa studi. Termasuk beberapa diantaranya ratusan lukisan potret. Ini menarik untuk ditelusuri mengingat keluarganya menentangnya dalam berkarier sebagai seniman. Dalam lukisan-lukisan potretnya yang terkenal, kita bisa memberikan sedikit interpretasi. Pertama bahwa pencarian identitas yang dilakukannya cukup konsisten; kedua, bahwa kehidupan sastra telah memengaruhinya; dan ketiga, bahwa posisi marginalnya ini membuatnya tumbuh ke dalam (sebuah ambisi yang besar untuk mengangkat perempuan dari subordinasi tak sadar). Dalam lukisan potret dirinya yang terkenal berjudul “Self Potrait with Amber Necklace” yang dilukis tahun 1906, Paula Modersohn-Becker menyatukan benang merah antara perempuan sebagai ibu bumi, dewi alam, spiritualitas yang primitif, dan sebuah kontroversi tentang seksualitas perempuan. Lukisan potret diri telanjang ini menantang yang konvensional, bahwa biasanya perempuan telanjang dan pasif dilukis oleh seorang seniman laki-laki, tetapi kali ini Paula melukis dirinya sendiri telanjang dihadapan kanvasnya, menjadi objek sekaligus subjek bagi keseniannya sendiri. Paula seperti ingin berteriak melalui lukisan ini, ia hadir dengan sebuah gaya yang autentik. Seperti tak ingin berjarak dengan kanvas dan catnya sendiri. Ia melampaui matanya, untuk melihat seni dari tubuhnya sendiri. Ada sebuah demarkasi tiba-tiba ketika kita melihat warna daging tubuh dan warna leher dan wajah yang kebiru-biruan. Warna tubuh yang sangat kuat dan terawat juga pose yang menghadap lurus ke depan, memberi nuansa tegas dan jujur. Memberi sebuah kesan tentang kemerdekaan dan kemandirian. Seperti tak ada koherensi antara tubuh-pikiran dan yang subjek-yang objek. Pada lukisan potret yang sama, masih dapat kita baca, dari latar belakang yang dipenuhi dengan bunga-bungaan. Juga bunga yang digenggam oleh tangan kanan dan kirinya, beberapa bunga yang sama tersemat pada kepalanya (membentuk mahkota). Ini merepresentasikan secara langsung perempuan dan alam sebagai satu hal yang tak dapat dipisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa, dengan formula berpikirnya sendiri, Paula telah membuat tubuhnya monumental dari ikon-ikon alam sebagai representasi ibu bumi yang mengimajinasikan sebuah esensi purba dalam tubuh perempuan. Ketegangan Domestik: Antara Marginalisasi dan Perbedaan Idealisme Paula dan Otto menikah pada tahun 1901. Otto saat itu sudah terkenal sementara Paula belum sama sekali. Dan Paula seringkali merasa terhina saat harus meminta uang kepada Otto untuk biaya hidup dan kebutuhan sehari-harinya. Setahun setelah menikah, Paula menulis dalam buku hariannya: “In the first year of my marriage I have cried a great deal… My experience tells me that marriage does not make one happier. It takes away the illusion that had sustained a deep belief in the possibility of a kindred soul” (“Pada tahun pertama pernikahanku, aku telah banyak menangis... Pengalamanku memberi tahuku bahwa pernikahan tidak memberikan suatu kebahagiaan pada seseorang. Pernikahan menghilangkan ilusi atas sebuah keyakinan yang mendalam dalam kemungkinan jiwa yang murni.”)-- (dikutip dari Mercier dari buku harian Modersohn-Becker, 274-5). Ini ditengarai oleh subordinasi yang dihadapi Paula. Pada pameran-pameran awal Paula, ia seringkali mendapat hujatan kritis dari para kritikus seni. Otto sendiri, walau dia terlihat sangat mendukung karier Paula, menulis di buku hariannya dan menuduh Paula sangat terinfeksi oleh konsep-konsep modern, yang baginya sangat egois dan individual. (Ruth Bass, “Self-Portrait with Bitter Lemon,” ArtNews 83.5 (May 1984): 103.) Dalam mengejar karier artistiknya yang singkat itu, Paula akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Otto pada Februari 1906, pergi ke Paris untuk mendalami seni. Ia pergi bersama Clara-Weshoff (seorang pematung perempuan yang menjadi sahabatnya, juga mantan istri penyair Reiner Maria Rilke). Di Paris itulah masa-masa keemasannya. Ia sangat produktif dan seringkali menghadiri pameran seni rupa yang ditemani oleh sahabatnya Rilke. Paula dan Rilke pun seringkali tak sependapat mengenai kehidupan seni dan keluarga. Bagi Rilke, seorang seniman harus merdeka dari memiliki anak untuk bisa mendapatkan kemurnian dalam berkarya. Rilke bercerai dari Clara, karena sepakat bahwa dalam mengejar karier artistik, keduanya tidak bisa dibebani oleh anak. Ini yang seringkali memberatkan Paula. Paula masih percaya bahwa kesenian adalah kehidupan itu sendiri, termasuk hal-hal tentang reproduksi tubuh dan kebahagiaan dari melahirkan seorang anak. Ibu Bumi: Genealogi Keperempuanan Paula Modersohn-Becker Lukisan potret diri yang berjudul “Self Portrait in her Sixth Wedding Day” (1906) dilukis justru saat Paula belum hamil. Sebuah ambivalensi mengingat ia telah menolak untuk menjadi ibu pada pertengahan musim semi. Saat itu, Paula benar-benar percaya bahwa dia adalah pelukis dan dengan melukis dia telah memberikan seluruh jiwanya. Dan pada September, hanya beberapa minggu setelah menolak menjadi ibu dan putus dari Otto, dia berubah pikiran. Dia meminta Otto untuk rujuk padanya dan menginginkan seorang bayi lahir dari tubuhnya. Tepat setelah surat permintaan rujuk itu diterima oleh Otto Modersohn, ia menjemput Paula kembali ke Worpswede. Memberanikan diri untuk mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan, bernama Mathilde. Satu tahun dalam masa kehamilannya, ia terilhami dengan banyak karya yang melampaui estetikanya selama ini. Dua puluh hari setelah melahirkan, ia terkena emboli dan serangan jantung yang fatal dan meninggal dunia. Lukisannya “Reclining Mother and Child” (1906) menjelma sebuah moksa antara kematian dan kehidupan setelahnya. Di atas segalanya, Paula telah membawa tubuh perempuan diatas kesenian itu sendiri. Seperti Penyair Rilke menulisnya dalam Requiem for A Friend, “Dan pada akhirnya kau melihat dirimu sendiri sebagai buah, kau melangkah keluar dari pakaianmu dan membawa tubuhmu yang telanjang itu di depan cermin, kau membiarkan dirimu masuk dalam tatapanmu; yang ada di depanmu, sebuah kebesaran, dan kau tak berbicara ‘ini aku; bukan; itu aku’. Tatapan yang begitu bebas dari rasa ingin tahu, yang telah menjadi, tidak ada posesi, oh kemiskinan yang paling murni, bahkan tak punya keinginan untuk diri sendiri; Tak inginkan apapun: begitu suci....” [] Tubuh-Sosial (der Sozialkoerper)
Tubuh-sosial (der soziale Koerper) adalah tubuh yang dibayangkan, diimajinasikan, didefinisikan oleh sebuah masyarakat-modern (Gesellschaft): sebuah corpus fictum atau corpus imaginatum, seperti yang dikenal dalam kitab suci dan hukum kenegaraan. Melalui analogi ini manusia mencari imajinasi sosial dari tubuh yang tak menceraikan antara realitas daging dan realitas sosial. Tubuh kolektif melayani setiap individu sebagai cermin—dan dalam lukisan corpus fictum dari sebuah epos yaitu dimana budaya melakukan perjalanannya, baik secara biologis dan secara struktural dalam sistem hukum. Sehingga konsep tubuh sosial menyediakan jawaban-jawaban berupa pengetahuan tentang tubuh. Di barat, gambaran tentang corpus fictum ini sering dikaitkan dengan persoalan ruang dan waktu. Der soziale Körper beschreibt den Prozess der Anpassung an und der Aneignung von gesellschaftlichen sozialen Normen (Sozialisation) durch den Menschen, welche über und durch den menschlichen Körper geschieht. Die Interaktion von menschlichen Körpern und der menschliche Körper an sich spielen in verschiedenen soziologischen Theorien eine Rolle. Der menschliche Körper ist ein durch und durch soziales Phänomen: Was auch immer Menschen mit ihrem Körper tun, welche Einstellung sie zu und welches Wissen sie von ihm haben, ist geprägt von der Kultur, Gesellschaft und Epoche, in der diese Körperpraktiken—vorstellungen und—bewertungen auftreten. (Gugutzer, 2007: 4) Perihal ini kemudian membangun komunikasi inter-intra komunitas (Gemeinschaft) yang melahirkan jejak-jejak definisi tubuh. Dalam jalur komunikasi ini fungsi-fungsi tubuh merupakan sub-bagian dan digerakkan oleh otak. Tesis ini yang kemudian membangun kedokteran modern, dimana tubuh adalah sekadar saja. Dia bukan pusat wacana. Karena pusat dalam kedokteran modern adalah otak. Definisi tubuh-kolektif ini tidak lepas dari resapan pandangan dunia filsafat barat yang menaruh tubuh dalam inferioritasnya. Hal ini kemudian merembes dalam cabang-cabang keilmuan lain. Kedokteran tak bisa melepaskan diri dari pengaruh ini. Bahkan otak merupakan manifestasi supremasi logos spermaticos. Yang dijabarkan dengan metafora tubuh perempuan sebagai ladang, tempat dimana sperma merupakan benih yang digunakan dalam bercocok-tanam. Mitos ini tak lagi mitos, karena sebegitu ilmiahnya dalam ilmu kedokteran. Tubuh kolektif, dus, dilahirkan oleh memori kolektif tentang pandangan dunia atas tubuh yang dibangun, dikonstruksi, diyakini, diafirmasi, direproduksi, disirkulasi dalam struktur masyarakat tradisional/komunitas (Gemeinschaft). Ini kemudian memberikan definisi secara spesifik pada tubuh dalam fungsi-fungsi teknisnya, bagaimana tugas reproduksi bagi perempuan serupa hukum Kantian yang tidak bisa ditolak, dikritisi, atau didiskusikan. Korelasi antara tubuh sosial dan gender adalah bahwa setiap masyarakat modern dalam setiap epos selalu dan akan melahirkan definisi baru yang tidak lepas dari pengetahuan atas tubuh biologis yang statis itu. Sebagai contoh, setelah ratusan tahun dalam pertumbuhan ilmu pengetahuan kedokteran, keributan diskursus dan lain-lain, bahwa hymen merupakan penanda dari keperawanan perempuan. Kegoblokan ini berulang-kali dinarasikan sebagai sesuatu yang ilmiah padahal dia berangkat dari mitos keperawanan yang sangat maskulin. Bahkan sampai sekarang, tak banyak perempuan berada dalam wilayah riset atau studi kedokteran yang meneliti tubuhnya sendiri. Angka ini lebih buruk lagi di negara-negara dengan penduduk Muslim besar seperti Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah-Selatan dan Asia Tenggara. Kodifikasi kultural atas tubuh memiliki kekuasaannya yang tanpa batas dalam sistem pandangan dunia dan kepercayaan kebanyakan Muslim di dunia. Bagaimana kodifikasi tubuh ini secara kultural diafirmasi sebagai sesuatu yang statis, universal, dan diafirmasi dengan kuat sebagai bagian dari ritual. Konstruksi ini dapat dikenali dalam ritual-ritual peribadatan yang memisahkan antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan. Juga bagaimana kodifikasi tubuh ini kemudian memengaruhi persepsi Muslim terhadap tubuhnya sendiri. Dalam perjalanannya, tubuh-sosial yang dipersepsi oleh memori kolektif ini saling berkomunikasi dan memengaruhi satu sama lain. Bagaimana barat mendefinisikan tubuh-sosialnya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana agama-agama Semit yang lahir di Timur Tengah mendefinisikan tubuh-sosialnya. Tesis-tesis tubuh ini melakukan perjalanannya, perjumpaannya, dan melakukan percakapan-percakapan. Dari percakapan itu, wacana-wacana dilahirkan. Dan sampai kepada setiap individu: apa, bagaimana, mengapa tubuhku? Yang Kapital, Yang Banal Percepatan dari pergerakan kapital dalam sistem ekonomi memiliki mentalitasnya yang sangat spesifik, yaitu memenuhi kebutuhan reproduksi makna tubuh dari sebuah komunitas dan masyarakat. Realitas pemaknaan tubuh paling suci sekalipun, akan mengalami perjalanan banalnya dalam definisi kapital. Contoh: bagaimana lukisan Yesus yang suci itu menjadi sangat profan dalam pasar lukisan. Bagaimana jilbab yang merepresentasikan kesederhanaannya itu bisa nangkring di mall dengan harga yang sangat mahal karena bermanikkan berlian. Metafora tubuh yang diambil dari jenis kelamin ini kemudian tentu saja memiliki efeknya bagi pertumbuhan definisi. Masyarakat sekarang tidak bisa lagi tidak mengatakan bahwa pemakai jilbab mampu korupsi. Perihal ini beda, dengan apa yang terjadi di tahun 80-an, bahwa pemakai jilbab tidak mungkin korupsi. Banalitas jilbab ini tidak hanya mengenai penerimaan dan afirmasinya, tetapi juga penolakannya. Karena tubuh sosial Eropa menyangka bahwa jilbab bukan merupakan manifestasi tubuh sosialnya, maka Prancis dan Jerman menolak ini. Penolakannya bukan pada jilbab, tetapi pada definisi tubuh-sosial yang bagi mereka, menutupi tubuh dan rambut itu tidak masuk dalam bagian definisi tubuh sosialnya. Tubuh-sosial Eropa tidak diwakili oleh perempuan yang memakai jilbab, tetapi diwakili oleh Ecclesia, Marianne, Britannia, Germania sebagai simbol kenegaraan, bahkan. Mereka merupakan kanon dan nomos, sebagai alegori simbol feminin (yang dapat mewakili kesuburan, dan lain-lain). Dalam pelarangan jilbab, mereka akan berkata bahwa “Tak seharusnya kita merampok kebahagiaan anak-anak perempuan kita”. Padahal mereka tidak tahu, banyak, beberapa anak perempuan yang mengafirmasi jilbab merasakan kebahagiaan dan tidak merasa dirampok keceriaannya. Tetapi adalah juga fakta, bagaimana Taliban juga merampok kebahagiaan anak-anak perempuan Afghanistan. Dus, arti selembar kain itu memiliki kaitan yang sangat erat dengan pemaknaan tubuh-sosial sebuah masyarakat. Dan dalam sebuah masyarakat, citra tubuh sosial ini juga memiliki suaranya yang tidak tunggal tetapi multi-vokal. Alegori tubuh perempuan dalam dunia Islam dicirikan dari bagaimana dia merepresentasikan tubuh dalam karya sastra, visual, dan seni musik—sebagai bagian penting yang mewakili ide dan konsep tentang tubuh. Jilbab merupakan alat yang dipakai dalam mendefinisikan perihal-perihal tersebut. Jilbab merupakan pemisah dari yang suci dari yang banal, karnal dan profan. Dia adalah pelindung, dia adalah keperawanan, dia adalah kesucian. Jilbab adalah hymen. Alegori menyampaikan dan mentransmisikan pesan-pesan rahasia kepada para pemirsanya sebagai sesuatu yang misterius sekaligus mahal. Simbol ini merupakan retorika yang bersifat demonstratif dan mudah untuk disampaikan tanpa berkata-kata. Tubuh-kolektif Islam dapat ditilik bagaimana Islam mendefinisikan tubuh perempuan. Tubuh secara alamiah dan ilmiah bukanlah produk ilmu Biologi, tetapi dia merupakan fenomena sosial yang dikonstruksi oleh masyarakatnya. Pergerakan tubuh dan bagaimana tubuh berinteraksi dengan tubuh lain merupakan pengetahuan sosial (Alkemeyer, 1943: 349). Debat atas tubuh-sosial dapat dirangkum secara sederhana sebagai berikut: bagaimana fondasi klasik tubuh dibangun oleh para sosiolog seperti Norbert Elias, Michel Foucault, Pierre Bourdieu, Erving Goffman dan Harold Garfinkel. Kemudian disusul oleh teori gender seperti Judith Butler, Nancy Fraser dan kemudian oleh antropolog seperti Helmuth Plessner, Peter L. Berger, Thomas Luckmann, yang mendiskusikan tubuh mulai dari bentuk-bentuk manipulasi dari normatif sampai dengan ruang-ruang performatif. Model sosial dari pergerakan tubuh sebagai bagian dari sejarah tubuh sebagai yang teknis (Marcel, Mauss, Leontjew), sebagai yang norma dan peraturan (Simmel), sebagai peradaban (Elias), sebagai disiplin (Foucault) telah lengkap dituliskan. Definisi tersebut membantu memahami tubuh sebagai fenomena sosial kaitannya dengan praktik jilbab. Sosiolog Prancis Marcell Mauss telah membangun sebuah interaksi “sosial-motorik” sekaitan dengan tubuh, dimana tubuh merupakan materialisasi budaya, seperti halnya teknik, alat-alat, mesin, dan alat bantu. Tubuh tak sungguh-sungguh merupakan entitas biologis belaka, seperti halnya jilbab tak melulu entitas penutup saja—dia memiliki ratusan, ribuan makna yang diartikulasikan oleh si pemakainya. Mauss melanjutkan bagaimana sesungguhnya perilaku tubuh bersumber dari aktivitas motorik jiwa (1989). Sedang Pierre Bourdieu menuliskan bahwa tubuh merupakan “habitus” dimana suara, proses biologis, secara implisit mengabarkan nilai dan kosmologi dari si pemiliknya (1987: 128). Dus, tubuh merupakan kosmologi utuh, merupakan etik, merupakan metafisik, merupakan politik yang saling bersentuhan satu dengan yang lainnya. Dengan ini juga daging merupakan bentuk lain dari sebuah pekerjaan berpikir. Tubuh dalam pandangan Bourdieu merupakan habitus yang menyusun peran-peran dasar sosial dari seseorang. Contoh ini dapat dilihat dari jilbab yang dipakai oleh bupati Karanganyar Rina Iriani, bagaimana secara metafisik dia menggambarkan dirinya sebagai manifestasi ratu adil. Secara politik, jilbab merupakan “catch-voter” dan trik politik paling kontemporer yang dinilai berhasil mendulang suara. Jilbab merupakan kapital politik. Secara etik, bagaimana jilbab mendefinisikan dirinya sebagai pemimpin perempuan akan lebih berwibawa di depan staf jika memakai jilbab. Secara seksual, jilbab melindungi dia dari segala bentuk pelecehan. Jilbab merupakan habitus yang memiliki ragam dimensi makna, yang dilahirkan oleh si pemakainya, yang dipengaruhi dari caranya memandang dan menilai tubuhnya. Sosialisasi Tubuh-Sosial & Reproduksi Prasangka Dilengkapi dengan peralatan ideologis dari teori feminis dan teori habitus dari Bourdieu, dapat diketahui secara eksplisit bagaimana reproduksi ketidakadilan sosial merupakan realisasi dari sosialisasi tubuh-sosial tersebut. Strukturisasi tubuh dimanifestasikan dengan jelas dalam sosialisasi tubuh-sosial, bagaimana tubuh individu (Individumkoerper) tidak mendapatkan tempatnya. Ketidakadilan ini berawal dari pemaksaan definisi tubuh-sosial atas tubuh individum. Tubuh-sosial ini disosialisasikan terutama oleh nilai, norma, kebijakan, hukum yang tersebar mulai dari ritual agama sampai dengan hukum kenegaraan. Darinya juga disosialisasikan oleh aktor-aktor penting yang mewakili tubuh sosial, dalam hal ini, misalnya oleh iklan, oleh pemimpin agama, pemimpin negara, dan lain-lain. Dan aktor-aktor sosial ini memainkan peran penting dalam reproduksi kekuasaan, baik yang adil maupun yang tak adil. Aktor-aktor sosial ini harus memiliki posisi yang penting dalam masyarakat sehingga pengaruhnya memiliki peran penting (Bittlingmayer, 2008: 56). Makna sosial dibangun dari bagaimana struktur sosial itu bertanggung jawab terhadap kelahiran kelas dan gender. Peran dari konsep atas tubuh ini juga memengaruhi pandangan dan prasangka buruk atas gender ketiga (LGBITQ). Jika dikaitkan dengan praktik berjilbab, waria tidak boleh memiliki privilese ini. Meskipun hal ini dapat terjadi, tetapi jika ditanyakan tentang dalil-dalilnya pasti akan ditolak. Sebagai fenomena tubuh-sosial, keberadaan waria berjilbab merupakan kemestian yang tidak dapat disangkal keberadaannya. Bagaimana eksistensinya dibangun dari bagaimana dia memberi makna atas tubuhnya, mendapatkan nilai dari tubuhnya dan bagaimana jilbab membantu dia mencapai pandangan dunia tersebut. Jilbab merupakan manifestasi konstruksi tubuh dan metafora yang membawa di dalam dirinya emosi, kehendak politik, dan spiritualitas yang terus-menerus dilakukan, dipraktikkan, dan merupakan pergerakan lapis-lapis kompleks budaya yang menyusun tubuh sosial masyarakat Muslim (Denk, Wahrnehmungs, und Handlungsmuster). Interaksi sosial atas jilbab juga direproduksi dalam pergerakan makna seseorang atas jilbab yang dipakainya. Dalam sehari-hari pencarian akan makna tubuh dapat ditemukan dalam identifikasi bagaimana perempuan berbeda, bagaimana laki-laki berbeda, bagaimana gender ketiga berbeda. Dan mereka didefinisikan tidak hanya dari fisik, hormon, atau kromosomnya, tetapi dari representasi (Darstellungen) dan interpretasi atas interaksi di antara mereka (Gildemeister, 2008). Interaksi merupakan penanda paling kini dari definisi tubuh. Jika sebelumnya definisi merupakan kata benda, tetapi kini dia beralih menjadi kata kerja. Bagaimana proses berinteraksi antar jenis gender membangun definisi-definisi tersebut. Interaksi itu kemudian melahirkan ekspresi tubuh, bentuk tubuh, massa dan ukuran tubuh, dan lain-lain. Dan darinya juga dilahirkan prasangka, ketakutan, ketidakpahaman, stigma, stereotip dan lain-lain atas dasar kejijikan, keanehan dan rasa malu. Dus, praktik berjilbab di kalangan waria merupakan salah satu contoh, bagaimana prasangka dan stigma dilahirkan dari percakapan atas makna jilbab dalam tubuh-sosial. Liyan Tubuh-sosial merupakan manifestasi dari memori kolektif sebuah masyarakat yang kemudian membentuk habitusnya. Kemudian, mereka yang tidak berada dalam horizon definisi tubuh-sosial tersebut adalah apa yang disebut sebagai liyan. Liyan tak melulu mereka yang dipinggirkan, tetapi liyan adalah juga yang nampak jelas berada dalam ruang mayoritas, tetapi dia mengafirmasi definisi tubuh-sosial secara terpaksa. Sekarang, bagaimana masyarakat akan mendefinisikan seorang perempuan yang beragama Islam? Atau guru yang beragama Islam? Maka jawab yang sering didapat adalah perempuan yang berjilbab. Ujaran ini kemudian menjadi semacam tubuh-sosial Islam (Sozialkoerper des Islam) yang menempati peringkat superior dibanding definisi lain. Masyarakat kontemporer Indonesia, paling tidak, tentu, masih bisa menemukan seorang perempuan yang mengaku dirinya Islam, tetapi tidak berjilbab dong. Mereka adalah partikularitas-partikularitas yang berada di luar habitus, dan semangat spiritualitas dan religiositasnya tidak dianggap sebagai Islam karena tidak berjilbab. Mereka yang ditolak oleh habitus dan tubuh-sosial ini adalah para liyan. Kepada mereka, prasangka terus dibunyikan. Liyan lain yang dapat disaksikan dalam praktik berjilbab di Indonesia adalah pemaksaan anak-anak perempuan non-Muslim untuk berjilbab jika ke sekolah, seperti di Padang, dan lain tempat. Mereka merupakan Liyan yang mau tidak mau mengafirmasi ini karena jika tidak, mereka akan hidup dengan tatap prasangka setiap hari. Prasangka ini tidak melulu, pada pandangan pertama, sebagai prasangka inter-agama, tetapi lebih pada prasangka atas tubuh. Prasangka atas tubuh ini jauh lebih opresif bagi perempuan. Pengalaman terburuk perempuan dalam sejarah peradaban adalah prasangka buruk masyarakat atas seluruh keindahannya sebagai bagian dari iblis dan setan. Padahal keindahan tubuh perempuan adalah terberi. Perempuan tidak mendesain payudara dan pahanya dalam sebuah rupa yang menggoda masyarakat. Mereka, anatomi tubuh itu, disana, ada, dan terberi. Prasangka atas tubuh perempuan ini bermain dalam pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah di Indonesia. Dia sesungguhnya tidak sedang memberi informasi kepada kita tentang “sebuah agama”. Tetapi dia sedang menyampaikan informasi tentang prasangka atas tubuh-tubuh. Jilbab merupakan bagian dari pertempuran tafsir yang sejak dulu hidup dan tak henti bertumbuh. Tetapi dia juga merupakan penanda dari kelahiran para liyan dalam tradisi patriarki. Dia tak ubahnya konde yang wajib dipasang jika upacara pada saat Soeharto berkuasa. Liyan lain adalah juga para waria yang mengafirmasi keperempuan di dalam dirinya, mencintai Islam, dan mempraktikkan jilbab. Bayangkan, bagaimana seseorang yang mencintai agamanya, dicegah hanya karena menjijikkan? Hanya karena mereka waria? Namun demikian afirmasi jilbab yang dilakukan dengan spiritualitas yang penuh merupakan kabar yang berbeda dari para liyan tersebut. Dan mereka juga bisa menjadi liyan juga, ketika dilarang memakai jilbab, misalnya di Turki, Prancis dan Jerman (tempat-tempat khusus dan spesifik, misalnya sekolah, gedung parlemen, dll.). Perempuan yang dipaksa melepas jilbabnya juga merupakan liyan yang tak masuk dalam tubuh-sosial masyarakat yang melarangnya. Jilbab merupakan pembantu pencari jawab atas makna tubuh-sosial sebuah masyarakat. Dus, jilbab tak memainkan makna sentral dalam hal ini, tetapi makna tubuh-sosial-lah yang sebenarnya membentuk bagaimana sebuah masyarakat memakai, mempraktikkan, memaksa memakai, atau melarang memakai jilbab. Referensi: Alkemeyer, Thomas. 2008. Bewegung als Kulturtechnik. In Gerold Becker, Anne Frommann, Hermann Giesecke et al.(Hrsg.): Neue Sammlung. Jahrgang 1943, Heft 3, hal. 349. Bittlingmayer, Uwe H. 2008. Ungleich sozialisierte Körper: Soziale Determinanten der Körperlichkeit 10–11-jähriger Kinder. In: Zeitschrift für Sozialisationsforschung und Erziehungssoziologie. Jahrgang 28, 2008, Heft 2, hal. 56. Bourdieu, Pierre. 1987. Sozialer Sinn. Kritik der theoretischen Vernunft- Suhrkamp, Frankfurt am Main. Hal. 128, französisch erschienen 1980. Gildemeister, Regine. 2008. Soziale Konstruktion von Geschlecht “Doing Gender”: Ein Überblick über gesellschaftliche Entwicklungen und theoretische Positionen. Wiesbaden: Gugutzer, Robert. Körperkult und Schönheitswahn-Wider den Zeitgeist. In Bundeszentrale für politische Bildung (Hrsg.): Aus Politik und Zeitgeschichte. 18/2007. hal.4. Mauss, Marcel. 1989. Die Techniken des Körpers. Fischer, Frankfurt am Main. (Hrsg): Soziologie und Anthropologie 2. zuerst erschienen in Journal de Psychologie Normale et Pathologique. Band 32, Heft 3–4, 1935. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|