Selamat pagi. Apakah pikiran generasi muda tentang "Keindonesiaan"? Pernahkah anda memikirkannya sebagai masalah dengan kedalaman filosofis? Generasi yang menolak digurui karena yakin pada kemampuannya sendiri. Generasi yang memandang dunia sebagai "sphere of possibilities". Minggu lalu saya berceramah tentang "kondisi globalisasi" di Tempo Institute. Dalam diskusi, seorang peserta menerangkan bahwa tak mungkin menyeragamkan cara berpikir masyarakat Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Dia menganggap bahwa "teori-teori besar cenderung menggurui" masyarakat lokal, dan itu menimbulkan reaksi antipati. Apa sebetulnya isi pikiran yang hendak ia sampaikan? Saya tertarik pada kalimat "menggurui" itu. Jadi, bukan ide dan pikiran global itu yang jadi soal tetapi cara menyampaikannya yang "menggurui". Ini soal pedagogi. Kita tidak meloloskan argumen dengan nalar semata. Keinginan untuk menghadirkan pertukaran pendapat membutuhkan suasana egaliter terlebih dahulu. Reaksi antipati adalah "defence mechanism" yang disediakan evolusi untuk menghadapi "yang asing". Semacam reaksi alergi terhadap zat asing yang memasuki tubuh. Menggurui adalah sikap otoriter. Ia tidak berasal dari niat menghasilkan pengetahuan. Fungsi pedagogi adalah mengaktifkan perdebatan metodik. Anda tidak menegakkan wibawa akademisi dengan jabatan. Kewibawaan hanya tumbuh dari penghormatan kolegial terhadap sikap pedagogis anda. Menggurui menghalangi kehendak bebas individu untuk mencapai pengetahuan dalam suasana egaliter. Terlebih dalam era keberlimpahan informasi dan sumber pengetahuan, sikap menggurui terasa sebagai sinyal kekurangan pengetahuan. Generasi tak dapat didikte. Guru-guru mereka ada di dunia maya. Dan kebebasan mereka untuk menyusun alam pikirannya sendiri harus dihormati. Universitas seharusnya menjadi pelopor kultur egaliter. Generasi baru berhak tumbuh dalam semangat itu. Itulah pentingnya sebuah generasi memiliki "free will". Ketika filsafat mempromosikan "free will" sebagai dasar kehidupan kampus, itu bukan dimaksudkan sebagai tema kuliah metafisika semata. Anda tidak membicarakan "free will" sambil membungkuk-bungkuk pada otoritas. Sikap palsu inilah yang merongrong kesetaraan kolegial. Free will adalah suatu etika politik. Dasarnya bukan metafisik, tetapi etik. Artinya, kehendak anda hanya disebut kehendak bebas bila ia tidak berada di bawah kehendak orang lain. Setujukah anda bila "kekerasan seksual" diatur tersendiri sebagai undang-undang khusus (lex specialis) di luar pengaturan KUHPidana? Artinya, delik "kejahatan seksual" akan dirumuskan berlainan dengan definisi kejahatan dalam KUHPidana. Kemarin saya memberi kuliah umum soal itu di FHUI, dengan pendekatan feminist legal theory. Beberapa dosen Fakultas Hukum UI agaknya berupaya menjadikan matakuliah ini "wajib" dalam kurikulumnya. Terlihat urgensi untuk merevisi kurikulum dalam upaya merelevankannya dengan tuntutan asas keadilan terhadap perempuan. Mata kuliah ini tumbuh dari upaya filsafat feminis untuk menghasilkan perspektif kritis dalam membaca "peristiwa hukum". Anda tahu bahwa di negeri ini setiap 2 jam terjadi 3 kekerasan seksual pada perempuan, dan hukum tak mampu memprosesnya. Artinya, ada masalah mendasar dalam sistem hukum, sehingga perlu terobosan paradigma. Terutama dalam segi pembuktian, persyaratan-persyaratan hukum acara tak mampu memahami konstruksi peristiwa kejahatan seksual sebagai kejahatan terhadap integritas tubuh dan seluruh psikologi perempuan. Rumusan konvensional tentang kekerasan seksual, selalu sekadar dilekatkan pada segi "kesusilaan". Konstruksi patriarkis sebagai latar kekerasan seksual tak diperhatikan. Kritik teori hukum feminis adalah bahwa cara membaca hukum telah mengabaikan hal paling mendasar, yaitu relasi kuasa dari kejahatan. Begini: bila seorang laki-laki menyerang seorang laki-laki, maka si penyerang akan menghitung korbannya sebagai "mampu menyerang balik". Tetapi bila korbannya adalah perempuan, maka si laki-laki penyerang akan menganggap bahwa korbannya "tak mampu menyerang balik". Jadi, dari awal telah terjadi ketimpangan kekuasaan. Ada surplus arogansi pada laki-laki, dan defisit moril pada perempuan, karena ia mengadopsi pikiran umum bahwa ia memang tak berdaya. Artinya, dalam serangan seksual, selalu ada "pretext" kekuasaan. Mengusulkan sebuah "lex specialis" untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual adalah upaya untuk mengubah paradigma hukum yang bias gender itu. Itu seharusnya menjadi urusan akademis yang serius dan konsisten. Kampus diminta untuk menghasilkan argumen filosofis yang kuat. Tetapi hambatan terbesar dalam upaya pembaruan hukum adalah sikap palsu di kalangan akademisi. Mereka bicara tentang keadilan bagi korban, tetapi pada saat yang sama menampilkan sikap patriarkis menindas koleganya. Patriarkisme dapat dipraktikkan siapa saja! Feminisme memang bukan sekadar soal kecerdasan akademis. Feminisme pertama-tama adalah soal kecerdasan etis. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|