Saya sudah kenal Jurnal Perempuan sejak masih mahasiswa S-1. Waktu itu minat saya pada isu-isu perempuan besar sekali, tetapi sangat minim referensi. Saya selalu mencari terbitan terbaru Jurnal Perempuan di toko buku Gramedia, waktu itu sulit sekali mencarinya, tetapi selalu saya bisa menemukannya di rak-rak buku yang hampir tak terlihat. Jurnal Perempuan masih dalam format besar, dipenuhi gambar-gambar. Membaca tulisan-tulisan di dalamnya bagi saya adalah sesuatu yang sama sekali baru, dan memuaskan dahaga saya pada dunia ilmu yang kering kerontang di tahun 1990-an. Sebelumnya, saya adalah seorang fundamentalis. Saya ikut gerakan bawah tanah Islam radikal (sekarang disebut fundamentalis) yang waktu itu untuk melawan rezim Soeharto. Sejak SMA saya adalah orang yang sangat berminat dengan kajian-kajian agama, barangkali karena saya tidak menemukan kajian-kajian filsafat, atau buku-buku sejenisnya, saya hanya menemukan kajian-kajian agama. Hampir lebih dari lima tahun saya bergelut di dunia fundamentalis, sampai akhirnya saya menemukan novel yang memacu jantung saya, yaitu Nawal El Saadawi dan Fatima Mernissi, dua penulis feminis dari Mesir dan Maroko. Saya mengenal feminisme bukan dari pemikiran Barat, tetapi dari mereka yang lahir di Timur Tengah. Dari kedua tokoh feminis itulah, membawa saya sampai menemukan Jurnal Perempuan, yang dapat memberikan pemikiran saya tentang hak-hak perempuan di Indonesia. Minat terhadap masalah perempuan bertumbuh dari kedua feminis tersebut ditambah bacaan-bacaan kritis dari Jurnal Perempuan, membawa keinginan saya untuk mengambil S2 Kajian Wanita UI. Waktu itu saya baru lulus S-1 dan banyak dosen menertawakan saya. Saya tidak mengerti apa yang lucu dengan Kajian Wanita. Tetapi tertawaan itu tidak mengubah minat saya untuk melanjutkan sekolah. Terlalu lama bergelut di dunia fundamentalisme, saya merasa banyak hal yang tertinggal, banyak hal yang belum saya tahu, saya harus mengejar semuanya. Saya ingin hal-hal terbaru menyegarkan rasa haus saya atas informasi dan pengetahuan. Akhirnya saya berhasil lulus tes di Kajian Wanita UI, dan disanalah saya “dipaksa” untuk menghabiskan semua buku-buku tentang teori-teori feminisme, langsung membaca terbitan asli pengarangnya. Menulis dan mempresentasikannya di depan teman-teman sekelas. Kate Millet, Karen Horney, Helene Cixous, Deborah Cameron, Simone De Beauvoir, adalah beberapa buku yang mengantarku pada teori-teori yang lebih besar seperti psikoanalisa, postmodernisme, postkolonial, studi literatur, dan filsafat hermeneutik. Saya ketagihan belajar waktu itu, dan Jurnal Perempuan bagi saya adalah satu-satunya referensi yang bisa saya temukan untuk konteks Indonesia. Semua ilmu ini adalah sesuatu yang saya cari sejak kecil. Sejak saya kecil, saya sering melihat teman saya dilecehkan sepulang sekolah, diraba pantatnya saat naik bus, dijamah payudaranya saat berjalan kaki. Saya merasa ada hal yang tidak adil, dan ketidakadilan itu terjadi karena saya, atau kami adalah perempuan. Sampai akhirnya saya lulus S2 yang sebelumnya ada mata kuliah magang di Jurnal Perempuan, akhirnya saya tidak melihat ada hal lain yang bisa saya lakukan selain bergabung di Jurnal Perempuan. Dosen-dosen saya semuanya waktu itu orang-orang yang tidak pernah saya tahu, kecuali bahwa ada tokoh-tokoh Suara Ibu Peduli seperti Gadis Arivia dan Karlina Supelli. Saya sering menemukan mereka di surat-surat kabar, saya membacanya dengan antusias, bahwa dalam hal politik, perempuan banyak menyumbang perjuangan. Saya melihat perjuangan perempuan tidak hanya oleh RA Kartini saja, atau Dewi Sartika saja, tetapi di masa kini, perempuan-perempuan lain bisa bicara politik. Sejak lepas masa reformasi Indonesia dan Orde Baru jatuh, saya begitu bahagia. Zaman yang paling membahagiakan dalam masa-masa mudaku. Aku bekerja di tempat yang aku suka, yang aku bisa membaca dan menulis, meliput berbagai kejadian yang berkaitan dengan perjuangan perempuan, keliling hampir di setiap daerah provinsi di Indonesia, mendapatkan pengalaman banyak dari perempuan-perempuan yang berbeda dengan kita di Jakarta. Aku menjadi seorang jurnalis radio di Radio Jurnal Perempuan. Hidupku seluruhnya bersama Jurnal Perempuan, dan tidak ada yang membuat aku berpaling darinya. Sampai akhirnya selama 10 tahun aku di sana, dan diujung tahun ke sepuluh, ternyata aku sudah lepas dari jabatan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan. Ternyata jenjang karirku hampir seluruhnya di Jurnal Perempuan, mulai dari bawah sekali. Waktu berjalan begitu cepat sekali. Ternyata banyak hal yang saya alami, yang saya sumbangkan dan juga yang saya dapatkan, bahwa Jurnal Perempuan menjadi alat perjuangan saya langsung dari dalam hati, tanpa syarat, tanpa tawar menawar. Saya tidak pernah menawar apapun dari Jurnal Perempuan, kecuali bahwa idealisme tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan adalah yang paling depan. Saya tidak merasa bahwa saya bekerja, tetapi saya beraktivitas, berkarya. Sekarang, saya bukan Direktur lagi di Jurnal Perempuan, tetapi saya tidak bisa melepas kegairahan saya pada perjuangan perempuan. Perjuangan perempuan adalah cerita tentang diri kita sendiri, mulai dari tempat tidur sampai di parlemen. Mulai dari rumah tempat kita tinggal, keluarga dan lingkungan kita, sampai kaki kita menginjak tempat pemungutan suara di Pemilu yang semuanya adalah untuk melakukan perjuangan, baik untuk hidup kita sendiri, maupun untuk perempuan Indonesia. Jurnal Perempuan tidak bisa lepas dari pikiran saya, selalu melekat dalam ingatan-ingatan saya dan selalu ingin berkunjung ke kantor dan melihat keadaan teman-teman baru saya di sana. Mereka adalah keluarga saya, dalam sulit dan bahagia, dalam lelah dan semangat yang sama. Saya ingin Jurnal Perempuan terus hidup dan maju, karena hidup dan majunya adalah hidup dan majunya saya juga, hidup dan majunya perempuan-perempuan yang membutuhkan bacaan sebagaimana masa kuliah saya dulu, banyak dibutuhkan bagi orang-orang yang haus atas pengetahuan sekaligus perjuangan untuk keadilan. Selamat Ulang tahun Jurnal Perempuan, tetap di hati orang-orang yang berjuang, yang ingin membawa Indonesia yang adil dan ramah pada perempuan. Tambun, 27 Juli 2014 Suatu pagi di LIPI. Saya memulai presentasi: Do you speak feminism? Satu ruangan 'bengong'. Padahal itu seminar akademik tentang "Politik Keadilan". Saya paham, bahwa feminisme masih merupakan bahasa asing di kampus-kampus kita. Jadi, bila kalangan akademisi saja masih buta huruf tentang sejarah ketidakadilan, apalagi birokrasi, parlemen dan sistem peradilan kita. Feminisme adalah sinopsis dari konstruksi besar ketidakadilan. Hanya pada pengalaman perempuanlah seluruh praktik diskriminasi membekas. Seorang perempuan tidak lahir merdeka. Ia lahir dalam stigma: bahwa ia berkedudukan di bawah laki-laki. Bahwa ia bukan penyandang hak politik. Bahwa ia bukan pengucap ayat-ayat surga. Bahwa ia bukan pemikir rasional. Bahwa ia harus submisif dalam seks. Bahwa ia bukan dirinya..! Imperatif ini bekerja dalam psikologi politik kekuasaan: bahwa tubuh perempuan adalah objek seksual. Bahwa kamera infotainmen adalah mata laki-laki. Bahwa perkosaan tak mungkin berkali-kali. Bahwa sogokan seks adalah hak pembimbing akademik. Bahwa APBN bukan urusan perempuan. Kita sedang memajukan demokrasi. Membangun institusi-institusinya. Tetapi kultur politik justru tumbuh dalam suasana patriarkis, feodalistik dan doktriner. Feminisme adalah pikiran tentang keadilan, justru karena pengalaman perempuan telah menempuhnya panjang dalam sejarah. Peradaban telah berbuat curang kepada separuh umat manusia, hanya karena ia bukan laki-laki. Doa pagi seorang laki-laki di sebuah budaya bunyinya sungguh mencengangkan: "Tuhan, terima kasih karena aku tak dilahirkan sebagai budak, dan tak dilahirkan sebagai perempuan". Tetapi tentu kita tahu siapa yang melahirkannya. Dalam sebuah sidang Mahkamah Konstitusi, sebagai saksi ahli saya menguraikan dalil "feminist legal theory". Seorang pengacara protes. Ia jijik dengan istilah itu karena menganggapnya itu urusan homo dan lesbi. Hakim tak berusaha meluruskan. Agaknya ia juga tak paham. Saya katakan, saya tak mengganti kelamin. Saya hanya mengganti cara berpikir. Ruang pengadilan seharusnya berisi argumen hukum, bukan khotbah moral. Sesungguhnya, pada tubuh perempuan, melekat seluruh jenis ketidakadilan: ekonomi, politik, seksual, hukum, kultur, teologi. Dari sinisme akademisi hingga perda-perda misoginis, diskriminasi itu membuat kita buta huruf tentang peradaban. Perempuan tak lahir merdeka. Ia lahir untuk memerdekakan dirinya. Dengan itu ia memerdekakan peradaban. Jurnal Perempuan adalah sebuah tata bahasa untuk mengakhiri diskriminasi itu. Jurnal Perempuan adalah sebuah politik penguatan: bahwa perempuan adalah dirinya sendiri. Selamat Ulang Tahun JP. Setelah meniti karier di berbagai perusahaan nasional dan multinasional—terakhir di Astra Grup Company—akhirnya pada tahun 2000 saya memutuskan untuk bergabung dengan Jurnal Perempuan (JP). Sebelumnya saya sudah mengenal JP dari kegiatan-kegiatannya, saya pernah hadir di beberapa acara diskusi yang diadakan oleh JP, sejak itu rasanya saya sudah jatuh cinta dengan JP, dan ingin sekali menjadi bagian dari gerakan yang dilakukan oleh JP. Akhirnya kesempatan itu datang. Saya masih ingat pada waktu itu saya langsung diwawancara oleh pendiri yang merupakan Direktur Eksekutif pada masa itu, beliau ditemani oleh Wakil Direktur dan satu orang manajer program. Saat itu hal yang paling terkesan ketika diwawancara adalah suasana kantor JP, yaitu sebuah rumah yang begitu nyaman, karena sebelumnya tempat saya bekerja berlokasi digedung perkantoran, ditambah sikap mereka terhadap saya sangat cair, tidak kaku dan penuh kekeluargaan, walaupun materi pertanyaan wawancara yang diajukan tetap profesional disamping prosedur rekrutmen dijalankan sesuai apa yang saat itu sedang dibutuhkan oleh JP. Dalam hati saya merasakan perlakuan ini sangat berbeda ketika saya harus pindah dari suatu perusahaan ke perusahaan lain dengan proses perekrutan yang begitu berjenjang, sampai pada titik proses saya baru akan bertemu dengan Pimpinan Perusahaan tersebut setelah minimal 3 kali datang. Saat itu saya yakin bahwa JP adalah mungkin tempat terakhir saya berkarier. Dalam perjalanannya, selama saya bergabung di Jurnal Perempuan sampai hari ini diusianya yang ke-18, JP sendiri sudah terbit sebanyak 81 edisi, ini merupakan bukti bahwa JP terus berkiprah. Banyak hal tidak ternilai yang saya dapat. JP telah menjadi rumah kedua dan saya belajar hidup di JP. Karya-karya dan program JP sungguh luar biasa dan saya bangga menjadi bagian dari itu semua, ikut berkontribusi dalam pemikiran dan strategi pendekatan program kepada masyarakat. Saya menyenangi kegiatan event dan diskusi ke berbagai wilayah di Indonesia, menjadikan saya memiliki pengalaman begitu luas, terjun langsung pada isu-isu perempuan dalam pembuatan film dokumenter—seperti Perdagangan Perempuan dan Kekerasan berbasis gender—merupakan hal yang tidak terlupakan. Dalam usianya yang ke-18 tahun, JP kini telah tumbuh berkembang menjadi bagian dari masyarakat, namun perjuangan belum selesai. Selamat ulang tahun Jurnal Perempuan, tetaplah berjuang demi kemajuan perempuan Indonesia, semoga JP bisa bertahan sampai seribu tahun lagi. Delapan belas tahun yang lalu, saat feminisme masih dianggap kata yang tabu, seorang teman yang kebetulan adalah pustakawan, memperkenalkan saya kepada Jurnal Perempuan. Sebuah kekosongan seolah terisi. Media massa di Indonesia tidak sedikit saat itu. Namun, berita-berita tentang perempuan seringkali timpang. Berita pemerkosaan masih sering menyalahkan perempuan. Tokoh-tokoh yang diangkat adalah lelaki, sedangkan bila tokoh perempuan diangkat pun, kecantikan dan peran mereka terhadap keluargalah yang ditonjolkan. Jurnal Perempuan telah memulai. Menampilkan perempuan tidak semata sebagai tubuh indah yang dikagumi, atau sosok yang hanya menjadi pendamping lelaki. Tetapi sebagai perempuan dengan berbagai kerumitan, dinamika, keberagaman. Karena perempuan tidak hanya satu atau dua. Karena perempuan mempunyai keunikan sendiri. Mungkin Jurnal Perempuan tidak mempunyai oplah ratusan ribu atau jutaan seperti media massa lainnya. Mungkin, jurnal ini tidak sepopuler berbagai majalah atau jurnal populer lain. Namun, seorang Nabi seringkali menghadapi berbagai halangan, berbagai kesendirian dan kesepian. Karena ia melawan arus. Sebuah hal yang tidak mudah. Seorang Nabi seringkali mengalami pengucilan bahkan penganiayaan dalam masyarakatnya sendiri. Tentu saja, Jurnal Perempuan bukanlah Nabi. Tapi visi dan misi yang disampaikan menyerupai Nabi; tanpa harus dinobatkan sebagai Nabi, tanpa harus dikultuskan atau membangun sebuah fundamentalisme baru. Justru karena itulah, Jurnal Perempuan harus tetap hidup. Harus tetap berlanjut. Hari ini, 25 Juli 2014 adalah hari istimewa bagi Jurnal Perempuan. Delapan belas tahun sudah Jurnal Perempuan hadir sebagai jurnal feminis yang secara konsisten menghadirkan pengetahuan, memberikan pencerahan dan mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender sejak pertama kali terbit pada 1996. Apa kata Keluarga Besar Jurnal Perempuan di Ulang Tahunnya yang ke-18? Simak hasil liputan Nataresmi berikut: Hanifah (Mpok Ipeh) bergabung di Jurnal Perempuan sejak Mei 2011 sebagai pengurus rumah tangga kantor JP. Mpok Ipeh adalah koki andalan yang bertugas menyiapkan makan siang di kantor JP. Perempuan asli Betawi ini mengaku senang bergabung di Jurnal Perempuan karena tugasnya tidak berat. Selain itu, ia mendapat jatah libur pada hari Sabtu dan Minggu, juga tanggal merah. Sehingga waktu untuk berkumpul dengan keluarga jadi banyak, ujarnya. Suasana kekeluargaan yang akrab juga menjadi kelebihan JP di mata Mpok Ipeh. Menurut Mpok Ipeh, saat berlangsung gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) yang dihelat tiap dua bulan sekali merupakan waktu yang ditunggu-tunggu olehnya. Ia senang bisa berjumpa dengan banyak orang yang peduli dengan JP. Kata Mpok Ipeh: ”Selamat Ulang Tahun ke-18 untuk JP. Semoga terus Jaya!” Andri Wibowo biasa dipanggil Gery, adalah garda depan pemasaran dan distribusi produk-produk JP baik jurnal, buku, maupun merchandise. Ia bergabung dengan JP sejak tahun 2010. Bergabung di JP diakui Gery telah mengubah pola pikirnya selama ini dan menjadi lebih tercerahkan serta semakin banyak ilmu. Gery juga bangga mengaku sebagai laki-laki feminis jauh sebelum bergabung dengan JP. Pengalaman berkesan bagi Gery bersama JP salah satunya ketika sedang 'turun ke jalan' untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Bagi Gery, aksi demonstrasi dianggapnya sebagai pembelaan bagi kaum terzalimi. Dalam usia JP ke-18 tahun, Gery berharap agar staf dan organisasi JP saling memberikan timbal balik terbaik. Di samping itu, harapnya, JP selalu menjadi organisasi terdepan dalam mewacanakan isu gender, memberikan pendidikan kepada publik agar cita-cita kesetaraan bisa terwujud. ”Selamat panjang umur, JP!” Nazmiyah Sayuti (Nana), nahkoda JP yang baru bergabung di Jurnal Perempuan sejak Maret 2014. Selain publikasi jurnal dan buku, Nana mulai mengedepankan visi kewirausahaan sosial dalam visi JP. Tujuannya untuk mendukung operasional dan agar kelembagaan organisasi memiliki tata kelola baik. Dalam pandangannya, Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) merupakan elemen unik JP yang penting dalam platform kewirausahaan sosial ini. SJP sendiri adalah suatu jejaring yang dimulai dari pembaca setia JP, lantas berkembang menjadi stakeholder. Ke depan diharapkan SJP, tentu saja bersama JP, mampu berperan sebagai pelaku perubahan dalam masyarakat madani. Ibu dua anak ini juga merekam peristiwa berkesan sejak hari pertama bergabung dengan JP. Saat dilantik sebagai direktur eksekutif di acara SJP gathering di rumah pengusaha perempuan Martha Tilaar, ia melihat munculnya spontanitas genuine dari para sahabat JP. Ke depan, ia berharap JP bisa terus mengembangkan visi misi untuk mencapai pencerahan dan kesetaraan gender. Menyambut hari jadi Jurnal Perempuan ke-18, Nazmiyah memberikan ucapan, ”Selamat ulang tahun, Jurnal Perempuan, semoga sehat, makmur dan sejahtera!” Theresia Masang, perempuan asal Manggarai yang lahir dan besar di Depok ini, bergabung dengan JP sejak Agustus 2012. Penyuka kopi ini bertanggung jawab mengurusi bagian keuangan. Menurut Essy, panggilannya, setelah bergabung dengan JP pikirannya menjadi lebih aware tentang isu gender dan bahwa feminis ternyata bukan kelompok garis keras, tapi mendukung kesetaraan bahkan berani membela kaum minoritas. Kesan tentang feminis yang selama ini ditakuti oleh laki-laki ternyata tidak terbukti. Selain pola pikir, perubahan juga berimbas pada sikapnya, ia mencontohkan, dulu saat teman-temannya meledek waria, ia suka ikutan, namun sekarang padangannya terhadap waria pun berubah, jadi lebih empatik dan tidak lagi diskriminatif. Di usia 'remaja' JP, Essy berharap agar JP dibaca lebih banyak orang, tidak hanya akademisi dan lingkungan terbatas. Agar wawasan orang-orang pun bertambah, termasuk ibu rumah tangga. Untuk JP, semoga bertambah dewasa, cantik dan disenangi orang, tambah berkembang dan berguna. Hasan Ramadhan boleh dianggap sebagai punggawa JP yang cukup setia. Ia bahkan ingat pertama kali bergabung di JP yaitu 15 Agustus 2006. Berbagai pengalaman sudah dialaminya. Suka duka, senang dan sedih sudah dilewatinya bersama JP. Seperti yang lain, laki-laki Betawi penyuka bakso ini pun merasa mendapatkan banyak ilmu dari JP. Wawasan kesetaraan serta seabrek pengalaman lain tidak mungkin diperoleh di tempat lain. JP ini seperti pondok pesantren bagiku, seloroh Hasan. Saat ini tugas Hasan adalah mengelola administrasi kantor JP. Sebelumnya, ia mengurusi bagian informasi dan dokumentasi JP. Di usia ke-18, Hasan berharap JP bisa bertahan lebih lama, mencapai edisi hingga ratusan. Semoga! Tidak lupa, Hasan mengucapkan selamat ulang tahun untuk JP, ”Selamat ulang tahun, terus membawa pencerahan untuk bangsa Indonesia.” Agustu Pattihahuan, Nyong Ambon Manise ini bertugas sebagai salah satu penjaga keamanan kantor Jurnal Perempuan. Penyuka sepakbola dan pendukung timnas Belanda ini menyukai suasana akrab di dalam JP. Ia menganggap tugasnya di JP tidak membebani, selain mendapatkan banyak pengalaman bertemu orang-orang hebat. Ke depan, JP pasti lebih baik lagi, ucapnya yakin. ”Selamat ulang tahun ke-18, JP!” Asep Suherman menjadi salah seorang petugas keamanan di JP sejak April 2011. Semenjak bergabung di JP, ia mengaku menemukan banyak ilmu yang semula tidak dikuasainya. Mengoperasikan komputer, berselancar di internet, menuliskan pendapat, kemampuan baru yang menjadikan JP sebagai tempat belajar baginya. Sebelum bekerja di JP, Asep sama sekali tidak mengenal wacana kesetaraan gender. Sekarang ia paham, keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan memang perlu dipahami banyak orang. Setelah menyadari pentingnya kesetaraan, Asep yang belum setahun menikah ini, mengaku mempraktikkannya dalam rumah tangga sendiri. Istri saya sangat senang bersuami saya, selorohnya. Di usia JP ke-18 ini, Asep berharap JP bertambah maju dan tentu saja berdampak pada peningkatan kesejahteraan karyawan. ”Selamat ulang tahun JP, makin jaya dan terus bersemangat memperjuangkan keseteraan gender bagi masyarakat luas, jangan menyerah, Keep fighting!” Selamat Ultah JP, terus memberi pencerahan dan mempromosikan kesetaraan! Keterangan foto (kiri-kanan):
Pendiri JP-Gadis Arivia, Dewan Redaksi-Mariana Amiruddin, Dewan Redaksi-Sulistyowati Irianto Dewan Redaksi-Soe Tjen Marching, Dewan Redaksi-Nur Iman Subono, Dewan Redaksi-Manneke Budiman Wakil Direktur-Deedee Achriani, Pemimpin Redaksi-Dewi Candraningrum, Sekretaris Redaksi-Anita Dhewy Redaksi-Nataresmi Disusun oleh: Anita Dhewy dan Nataresmi Oleh: Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan) Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada tanggal 25 Juli 1996 resmi menjadi rumah pengetahuan yang memiliki misi mengumpulkan, menyusun dan merawat pengetahuan perempuan di Indonesia. Gairah menularkan pengetahuan perempuan terwujud satu bulan kemudian ketika Jurnal Perempuan lahir pada bulan Agustus 1996. Jurnal Perempuan adalah jurnal feminis pertama di Indonesia. Kelahiran Jurnal Perempuan disambut dengan sepi pada waktu itu sebab ia lahir pada masa Orde Baru yang membatasi bahasa dan pengetahuan perempuan. Kata “perempuan” saja pada waktu itu tidak diterima oleh pemerintah yang lebih menganjurkan pemakaian kata “wanita”, sejalan dengan Dharma Wanita serta ideologi “ibuisme” yang bergantung pada jabatan suami yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). LSM perempuan ketika itu sangat sedikit dan kebanyakan yang ada adalah organisasi perempuan yang berafiliasi pada program pemerintah sehingga produksi pengetahuan tentang perempuan diseragamkan bahkan dijaga dan direproduksi untuk kepentingan kekuasaan. Jurnal Perempuan memang lahir begitu saja. Ia terlempar ke dunia dalam kesunyian. Tidak ada pemotongan pita apalagi modal besar di belakangnya. Kehadirannya tak pernah dianggap penting. Ia murni lahir dari kecintaan terhadap ilmu, jalan yang sering dianggap sepi peminat. Oleh sebab itu, Jurnal Perempuan pada awal penerbitannya menemukan habitatnya di kampus. Pada saat itu, wacana gender di kampus masih terbatas dan ruang lingkup pembahasannya masih seputar “wanita dan pembangunan.” Intinya, bagaimana perempuan berkontribusi pada pembangunan (baca program pemerintah) dan bukan bagaimana pemerintah memberdayakan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Pada terbitan perdana, Jurnal Perempuan menggebrak publik dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan. Isu yang nyaris tak digubris oleh media yang saat itu masih dikontrol oleh pemerintahan Orde Baru. Mengapa Perempuan Disiksa? merupakan artikel empu JP Vol.01 Agustus/September 1996. Artikel ini berbicara tentang perkosaan, pelecehan seksual, penyunatan anak perempuan, dan penganiayaan terhadap ibu dan anak. Paragraf pertama artikel ini berbunyi: Mungkin hanya ada dua pengalaman yang benar-benar dirasakan perempuan secara universal. Pengalaman saat melahirkan, memberikan kehidupan bagi mahluk-mahluk kecil yang amat mereka sayangi dan ketakutan akan kekerasan… (hal.3). Membaca kembali terbitan pertama Jurnal Perempuan, jurnal ini jelas ingin merekonstruksi realitas dengan bahasa-bahasa yang baru. Merajut realitas yang lebih egaliter dan berkeadilan. Untuk itu, terbitan perdana ini memuat kamus yang menerangkan hal yang paling elementer seperti perbedaan kata wanita=pria=perempuan. Kamus ini berlanjut pada terbitan Jurnal Perempuan selanjutnya hingga hari ini. Jurnal Perempuan sadar bahwa pengetahuan perempuan yang dibentuk oleh kepentingan patriarki berabad-abad lamanya harus dibongkar terlebih dahulu dan disusun ulang dengan bahasa yang setara dan memberdayakan. Pengetahuan tentang perempuan yang dibangun oleh Jurnal Perempuan tidak berhenti pada artikel-artikel ilmiah saja. Jurnal ini memuat cerpen dan puisi serta ulasan budaya yang dianggap membentuk khasanah pengetahuan perempuan. Puisi-puisi Toeti Heraty (salah satu pendiri Jurnal Perempuan) dihadirkan dan dirayakan. Misalnya puisi berjudul Manifesto dianggap tepat menghiasi halaman Jurnal Perempuan edisi pertama. aku tuntut kalian ke pengadilan, tanpa fihak yang menghakimi siapa tahu suap menyuap telah meluas-menjulang sampai ke Hakim Tertinggi Siapa jamin, ia tak berfihak sejak semula Karena dunia pula semesta pria yang punya.. Seorang feminis, Audre Lorde, pernah mengatakan, “Peralatan sang tuan tidak akan dapat membongkar milik rumah sang tuan…” . Ucapan ini ingin menegaskan bahwa selama perempuan masih memiliki cara berpikir, ekspresi dan bahasa yang dikonstruksi dan dipaksakan oleh laki-laki, maka, pengetahuan dan kehidupan perempuan tidak akan pernah muncul. Perempuan membutuhkan ruang untuk menemukan dan menciptakan dunianya dan terutama memiliki “peralatan” berpikir sendiri. Kini sudah 18 tahun Jurnal Perempuan hadir di tengah-tengah masyarakat dengan pembaca setia yang beragam; kalangan akademisi, profesional, aktifis, anggota parlemen, pemerintah hingga ibu rumah tangga. Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) kini beranggota lebih dari 500 orang yang mendanai dan mendukung kegiatan Jurnal Perempuan. SJP pertama di daerah telah terbentuk di Jawa Tengah pada tanggal 14 Juni 2014. Diharapkan SJP-SJP daerah lainnya akan segera menyusul. Dukungan dari berbagai kalangan masyarakat membuat kami terharu dan tak percaya bisa bertahan selama ini. Dedikasi staf Jurnal Perempuan dari mulai Jurnal Perempuan lahir hingga sekarang luar biasa. Mereka bekerja tanpa pamrih dengan sepenuh hati dan serius mengejar deadline, menulis, berjualan, berpameran tanpa henti. Meski mereka bekerja dengan fasilitas yang serba minim dan kekurangan, namun energi dan kegembiraan selalu terpancar mengisi kehidupan kantor Jurnal Perempuan. Jurnal Perempuan bukan saja mengubah mind set budaya patriarki dengan tulisan-tulisannya, namun juga ikut memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia. Berbagai demonstrasi telah diorganisir oleh Jurnal Perempuan termasuk demonstrasi di Bundaran HI pada bulan Februari 1998 atas nama Suara Ibu Peduli (SIP). Demonstrasi “susu” bermaksud menggulingkan rezim Suharto yang berkuasa selama 32 tahun. Pada masa Reformasi, Jurnal Perempuan ikut berperan menegakkan pluralisme dan menolak fundamentalisme agama garis keras. Bagi feminisme, sebuah wacana tidak berhenti hanya pada wacana semata. Wacana harus aplikatif dan bahkan berkontribusi pada perubahan. Jurnal Perempuan tak akan lelah berjuang dan berkontribusi. Saya berharap api pencerahan dan kesetaraan yang dinyalakan Jurnal Perempuan 18 tahun yang lalu terus menerangi pengetahuan perempuan dan membangun bangsa yang berkeadilan gender. Semoga. Mariana Amiruddin: Mengawal Komitmen Kepemimpinan Jokowi-JK tentang Hak-hak Perempuan 2014-201924/7/2014
Selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden RI yang ketujuh, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sebelum pemilihan presiden, kami telah melakukan klasifikasi program aksi untuk perempuan kepada kedua calon presiden. Di dalam visi dan misinya, Jokowi-JK akan menerapkan strategi pengarusutamaan gender dimana persoalan perempuan masuk di seluruh bidang kehidupan dan merupakan tanggung jawab negara. Kekerasan terhadap perempuan diterapkan dalam pelaksanaan seluruh UU melalui kapasitas kelembagaan dan alokasi anggaran serta pemantauan dan evaluasi yang efektif. Tidak hanya itu, masalah kekerasan seksual akan dijadikan UU. Perempuan adalah bagian dari pemilih presiden, dan setengah dari negeri ini berwarga negara perempuan. Oleh karena itu suara mereka harus didengar. Harapan kami adalah, selain kabinet yang akan dibentuk nanti dalam lembaga eksekutif, parlemen juga perlu menjadi lembaga yang kooperatif dan ikut melindungi dan menegakkan UU yang berkaitan dengan hak-hak perempuan Indonesia, terutama pembuatan UU mengenai kekerasan seksual, melihat setiap dari 3 perempuan di dunia mengalami pelecehan seksual dari segala umur. Setiap tiga perempuan dari kita yang hidup di dunia ini pernah mengalami pelecehan bahkan kekerasan seksual. Ini persoalan serius yang perlu ditindaklanjuti. Berikut adalah program aksi Kepemimpinan Jokowi-JK mengenai hak-hak perempuan, yang wajib kita kawal sampai pada tahap pelaksanaan dan hasil yang akan didapatkan. 1. KESEHATAN
2. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
3. TENAGA KERJA PEREMPUAN Menginisiasi pembuatan peraturan perundangan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di dalam maupun di luar negeri. Memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh migran melalui: memberikan pembatasan dan pengawasan peran swasta; Menghapus semua praktik diskriminatif terhadap buruh migran terutama buruh migran perempuan;
4. PERDAGANGAN PEREMPUAN Pemberantasan tindakan kriminal yang menjadikan anak dan perempuan sebagai objek eksploitasi di dunia kerja, dan objek transaksi dalam masalah kejahatan perdagangan manusia (human trafficking) baik di dalam negeri maupun lintas negara. 5. PEREMPUAN DALAM POLITIK DAN PEMBANGUNAN Dalam kebijakan pemberdayaan perempuan, kami akan memberi penekanan pada 7 (tujuh) prioritas utama.
6. PENDIDIKAN DAN GENDER
7. PERDAMAIAN DAN KONFLIK Pelanggaran HAM Masa Lalu:
Selain berita tentang pemilihan presiden, akhir-akhir ini kita disibukkan oleh pemberitaan penutupan lokalisasi Dolly oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya di bawah kepemimpinan Tri Risma Harini. Di hampir setiap kota besar terdapat daerah lokalisasi pelacuran, yaitu Sunan Kuning dan Gambilangu di Semarang, Dolly di Surabaya, Pasar Kembang di Yogyakarta, Gunung Bolo di Tulung Agung, dan Saritem di Bandung. Namun sikap Pemerintah Daerah terhadap lokalisasi juga selalu mendua, di satu sisi dianggap tidak ada, tetapi tetap ditarik retribusi kepada pemilik wisma. Belakangan ini lokalisasi-lokalisasi tersebut banyak yang dihapuskan, hal mana pelacuran meluas ke panti-panti pijat, karaoke, klub malam, diskotek dan atau melalui sarana komunikasi, serta ke wilayah kantong-kantong kemiskinan dan di jalanan. Sesungguhnya masalah prostitusi di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Aktivitas prostitusi mempunyai sejarah panjang di dalam masyarakat Indonesia, mulai dari keberadaan para selir untuk para laki-laki bangsawan, para Nyai bumiputra untuk para pejabat VOC, para perempuan penghibur untuk para kuli kereta api serta perkebunan pada masa Hindia Belanda, serta pemaksaan pemerintah penjajah Jepang pada perempuan bumiputra untuk menjadi perempuan penghibur (juugun ianfu) bagi para tentara militer Jepang. Namun demikian hal ini sungguh masih menarik untuk didiskusikan karena pada kenyataan adanya prostitusi selalu dianggap seolah-olah “tidak ada”, dan kalaupun ada maka perlakuan paradoksal yang merugikan perempuan selalu terjadi. Antara moralitas dan bisnis yang menguntungkan, antara menyalahkan perempuan sebagai pendosa dan memaklumi hasrat para laki-laki sebagi penikmat jasa prostitusi yang dianggap wajar. Disamping itu pada masa tertentu (biasanya bulan puasa) seringkali dilakukan “sweeping” dan atau penggusuran tempat-tempat yang dianggap “sarang maksiat” ini. Dimana perempuan yang dilacurkan selalu dijadikan simbol dari perbuatan “maksiat” tersebut. Bahkan di beberapa daerah ada aturan dalam perda yang menyebutkan bahwa akan dikenai sanksi wanita yang penampilan dan perilakunya menyerupai “pelacur”. Jadi wacana tentang prostitusi didominasi oleh nilai-nilai moralitas yang menempatkan perempuan sebagai pendosa, kotor, sampah masyarakat dan untuk itu harus dilokalisir dan bahkan “dimusnahkan” agar tidak mencemari/mengotori masyarakat Timur yang mulia dan menjunjung tinggi adat dan sopan santun. Sementara itu, di pihak lain, gerakan pembela hak perempuan sebagai pihak yang mempunyai kepedulian terhadap isu ini, memiliki pandangan yang tidak sama. Dalam teori feminisme sendiri terdapat pendapat yang berbeda dalam melihat masalah ini. Setidaknya ada dua kubu besar yang melihat fenomena prostitusi terhadap perempuan ini secara berbeda. 1. Pro Legalisasi Prostitusi Tuntutan untuk legalisasi prostitusi ini berakar dari pemahaman bahwa prostitusi sebagai hak atas pekerjaan dan untuk itu harus diperlakukan sebagaimana sektor pekerjaan yang lain, dan karena itu harus diformalkan melalui kebijakan resmi negara, yang harus diatur melalui perangkat hukum, menjadi objek pajak, dan dilindungi hak-hak ketenagakerjaannya oleh aparatur negara. Mereka memandang bahwa pekerjaan prostitusi harusnya dianggap sebagai hak yang wajar sebagaimana beberapa perempuan bekerja menggunakan tangannya sebagai sekretaris dan dosen menggunakan pikirannya untuk bekerja di kampus. “Semuanya harus dianggap sama.” Karena itu kelompok ini juga mempromosikan sebutan pekerja seks bagi perempuan yang dipekerjakan di bisnis prostitusi. Sebagaimana hak pekerja yang lain maka mereka juga mempromosikan pentingnya serikat pekerja seks yang dapat memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja. Dari sinilah istilah Pekerja Seks berawal (yang sekarang populer digunakan oleh masyarakat luas). Disamping itu mereka juga menganggap bahwa aktivitas prostitusi adalah hubungan seks orang dewasa yang wajar sebagaimana hubungan seks orang dewasa yang lain termasuk di dalam institusi perkawinan, yaitu yang dilakukan sesama orang dewasa dan atas kesadaran sendiri sebagai pilihan (consent). Karena itu stigma moral seharusnya dihilangkan. Karena yang menakutkan selama ini bukanlah seks sebagai pekerjaan itu sendiri, melainkan stigma yang menempel pada sektor ini. Karena itu legalisasi dimaksudkan adalah untuk melindungi “pekerja seks” dari eksploitasi, pelecehan dan stigma. “Pekerja seks” mempunyai hak keamanan sosial, karena pekerjaan mereka yang serba tidak aman itu. Hal itu dimaksudkan agar pekerja seks tidak lagi mengalami kekerasan dari negara, dari germo/mucikari dan atau klien. Apalagi secara ekonomis, mereka berkontribusi pada pemasukan nasional atau GDP (Gross Domestic Produc) dalam bentuk pajak. Beberapa negara yang menerapkan kebijakan legalisasi antara lain adalah Belanda, Jerman dan Australia. Namun demikian banyak kritik terhadap pandangan diatas, dengan fakta, bahwa dalam pelaksanaannya legalisasi justru memperkuat negara dengan aparatusnya seperti polisi dan institusi lainnya untuk menindas perempuan yang dilacurkan (pedila) dan bukan memberdayakan perempuan sebagaimana yang dimaksud. Hal ini karena mayoritas pedila berasal dari keluarga miskin, berpendidikan rendah, kurang informasi. Di Belanda dan Jerman, angka “permintaan/demand” jasa prostitusi pun meningkat, artinya jumlah konsumen lokal dan luar negeri juga meningkat. Sehingga “persediaan/supply” perempuan lokal tidak cukup memenuhi “permintaan” tersebut, sehingga didatangkan perempuan dan anak perempuan dari luar negeri. Mereka jauh lebih murah, lebih muda, lebih eksotik dan tentunya lebih mudah dikontrol. Karena mereka berasal dari negara-negara miskin dari Asia, Afrika dan Eropa Timur. Selain itu, legalisasi prostitusi ternyata gagal mengubah struktur berpikir tentang stigmatisasi pekerja seks. Bahkan justru lebih menguatkan alienasi (pengasingan) karena pekerjaan seks yang telah sangat diasosiasikan dengan “perempuan dengan derajat rendah”. Sistem prostitusi legal di negara-negara tersebut ternyata juga gagal menghapuskan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, terutama pada perempuan yang berasal dari negara-negara miskin. Para perempuan ini tidak mampu melindungi dirinya dari HIV/AIDS dan penyakit seksual menular lainnya, dirampas dokumen perjalanannya, diancam dengan kekerasan dan deportasi, dipaksa bekerja keras dan terisolir dalam kondisi perbudakan. 2. Kelompok Abolisionis Pandangan yang lain menganggap bahwa prostitusi adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM dan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan dianggap bagian dari perdagangan dan eksploitasi seksual dan ekonomi. Dengan dasar argumen bahwa negara telah melanggar hak warga negaranya terutama perempuan dan anak miskin karena mereka tidak bisa menikmati haknya, terutama hak ekonomi dan sosial (pendidikan, kesehatan). Hal inilah penyebab utama jatuhnya perempuan dan anak dalam jurang prostitusi. Selain itu juga ada yang menjadi faktor pendorong utama yaitu kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (‘Situasi Trafficking terhadap Perempuan di Semarang”, LBH APIK Semarang 2010) Karena itu kelompok ini menggunakan istilah Prostituted Women atau Perempuan yang Dilacurkan (disingkat dengan Pedila) untuk menyebut perempuan yang dipekerjakan dalam industri prostitusi. Karena diyakini bahwa sejatinya tidak pernah ada perempuan yang sukarela bekerja di dunia prostitusi, sistem yang tidak adillah yang “menjatuhkan” mereka ke jurang yang penuh eksploitasi dan kekerasan tersebut. Pandangan ini berawal di New York, Amerika Serikat pada 1977, dimana terjadi sebuah tragedi seorang wanita muda terbunuh secara brutal dan dilempar keluar dari jendela gedung bertingkat. Namun, karena dia hanyalah seorang “pelacur” dan jendela tersebut adalah jendela sebuah rumah bordil, maka polisi tidak begitu menanggapi serius pembunuhan tersebut (Trafficking, Prostitusi dan Industri Seks Global, Makalah yang dipresentasikan pada UN Working Group tentang Perbudakan Kontemporer, Oleh : Dorchen A. Leidholdi, Co–Executive Director Coalition against Trafficking in Women) Padahal ada prasangka dalam masyarakat bahwa pedila mendapatkan penghasilan besar dari “pekerjaannya” tanpa harus bekerja keras. Dalam kenyataan tidaklah demikian, uang tersebut biasanya berpindah ke tangan orang yang menjerumuskannya dalam dunia prostitusi dan atau mucikarinya (yang kadang-kadang mucikari ini hanya sebagai pengelola wisma, masih punya bos lagi yaitu pemilik wisma yang biasanya orang yang mempunyai jabatan formal yang terhormat, kemudian dia juga menyetor secara berkala pada pihak keamanan). Dan masih banyak rantai ekonomi lain, yaitu calo, pedagang, dan bank thithil (rentenir) serta pacarnya (kiwil) juga para pedagang mulai dari kosmetik, baju, alat-alat kesehatan sampai alkohol dan narkoba. Mulanya uang diambil secara paksa, namun perlahan berubah seperti sebuah kebiasaan bahwa uang selalu berakhir pada ”sang penguasa”. Begitu setiap harinya, akhirnya seolah-olah korban sampai pada takdirnya, yang oleh sebagian pihak disimplifikasi seolah-olah sebagai sebuah pilihan. Menyimak penelitian PKBI Lampung pada April 2007 ada tiga alasan yang melatarbelakangi mereka bekerja sebagai Pedila yaitu alasan ekonomi (kemiskinan), tidak punya keterampilan dan KDRT serta sakit hati dikhianati laki-laki (pacar, suami). Disamping itu, bila dikaitkan dengan kondisi korban perkosaan dan kekerasan seksual lain maka kita akan menyadari penderitaan para korban sebenarnya adalah bagaimana melanjutkan hidup, mengatasi trauma akibat kekerasan yang bertubi-tubi dan berlangsung secara intensif dan dalam jangka waktu panjang. Begitu juga yang dirasakan oleh para pedila, karena itu kelompok abolisionis menyebut prostitusi sebagai “Perdagangan Perkosaan”. Parahnya, itu bukannya antara satu pembeli dan penjual, tetapi merupakan sekelompok pembeli (pelaku perkosaan) yang terjadi setiap hari selama bertahun-tahun. Temuan LBH APIK Semarang menyebutkan bahwa banyak diantara penghuni lokalisasi yang menjadi korban perkosaan pacarnya, atau orang dekatnya, banyak pula yang menjadi korban KDRT oleh suaminya. Ada yang dijual oleh pacarnya yang telah memperkosanya, ada pula yang dijual oleh suaminya. Si narasumber (perempuan muda) tak kuasa menolak, karena dia merasa dirinya telah kotor dan tidak ada masa depan lagi buat gadis yang tidak perawan (dia diperkosa oleh lima orang sekaligus/gank rape, salah satunya adalah pacarnya sendiri. Banyak pengakuan yang kurang lebih hampir sama. Penelitian PKBI tersebut juga menyebutkan bahwa seorang pedila rata-rata melayani tamu antara 6 – 10 orang per hari/minggu. Jadi adalah mitos belaka bahwa pekerjaan itu ringan dan menyenangkan. Karena penderitaan itulah mereka seringkali terjebak pada penggunaan narkoba, minum minuman keras, merokok dan terjebak pada harapan adanya “sang pangeran” yang sewaktu-waktu “menyelamatkan mereka” dengan keluar dari lokalisasi. Hubungan antara Prostitusi dan Trafficking Industri seks melibatkan mucikari dan pengusaha di industri seks yang sering memisahkan korban dari keluarga dan teman ke tempat asing dimana mereka tidak mempunyai kontrol sama sekali. Jadi perpindahan tempat juga merupakan unsur penting. Selain itu, terkadang pelanggan juga menuntut keunikan. Misalnya di Indonesia bagian Timur seringkali “mengimpor” perempuan dari Jawa dan Sulawesi Utara karena ciri-cirinya disukai oleh laki-laki yang menjadi pelanggan. Selain itu, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, industri seks merotasi para pedila antar kota, untuk memastikan keragaman pelanggan dan kontrol pengusaha industri seks. Pada dasarnya perdagangan seks dan prostitusi saling bersinggungan. Para objek eksploitasi seksual komersial memiliki karakteristik yang sama, yaitu miskin, muda usia, memiliki sejarah kekerasan dan kurangnya dukungan dari keluarga. Luka dan penderitaan yang dialami pedila dan perempuan yang diperdagangkan juga sama, yaitu tekanan pascatrauma, depresi parah, jeratan utang, kerusakan sistem reproduksi, luka akibat kekerasan dan pemukulan, terinfeksi penyakit seksual serta ketergantungan pada alkohol dan narkoba. Prostitusi dan trafficking adalah permasalahan hak asasi yang sama, secara lokal maupun global. Keduanya merupakan bagian dari suatu sistem dominasi patriarki, yang menjadikan kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai komoditas yang menguntungkan. Korban dilemahkan dengan kemiskinan, diskriminasi, kekerasan dan ditinggalkan begitu saja dalam keadaan traumatik, sakit dan miskin. Apakah penutupan lokalisasi adalah solusi? Karena merupakan masalah multidimensi maka untuk mengatasinya juga membutuhkan solusi multidimensi, ekonomi, politik hukum, budaya dan psikososial. Studi yang dilakukan oleh Norma Hotaling di Swedia menemukan hal yang menarik dan sangat berguna: yaitu mendidik dan “mengancam/memperingatkan” pembeli, seperti yang telah diterapkan oleh pemerintah Swedia dengan penangkapan pembeli prostitusi, ternyata telah secara drastis menurunkan “permintaan/demand” terhadap jasa prostitusi, disamping itu KDRT dan insiden bunuh diri pada pasangan (perkawinan atau pacaran) juga menurun. Mengapa sasaran solusi juga ditujukan pada laki-laki yang menjadi pembeli atau konsumen? Karena bila dibandingkan dengan para Pedila yang berada pada situasi tidak punya pilihan, maka para laki-laki konsumen jasa prostitusi mempunyai pilihan untuk memutuskan bahwa dengan membeli pedila, berarti dikenai sanksi hukum dan sosial yang dapat menghancurkan atau mengancam reputasi dan status sosial mereka sendiri atau membuat keputusan lain yaitu tidak membeli jasa prostitusi. Untuk itu selama satu dekade (10 tahun) pemerintah Swedia melancarkan program pendidikan untuk para laki-laki, paralel dengan program dukungan dan pelayanan untuk para pedila sebagai korban, serta mengenakan sanksi tegas terhadap konsumen jasa prostitusi dan pelaku kekerasan dengan melakukan penangkapan besar-besaran. Terbukti bahwa menurunkan “permintaan/demand” akan jasa prostitusi dengan menuntut pertanggungjawaban pembeli/konsumen, merupakan solusi yang efektif. Di Indonesia, UNICEF pernah memperkirakan terdapat 100.000 anak diperdagangkan setiap tahunnya. Sebagian besar untuk tujuan eksploitasi seksual. Disamping itu Kajian cepat ILO-IPEC tahun 2004, di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur memperkirakan terdapat 23.880 pedila dewasa dan 7.452 anak-anak yang dilacurkan. Sedangkan untuk wilayah Jakarta diperkirakan ada 23.520 pedila dewasa dan 5.100 anak-anak yang dilacurkan dan di Jawa Barat diperkirakan ada 22.380 pedila dewasa dan 9.000 anak-anak yang dilacurkan. Dalam masyarakat kita, nilai-nilai yang bersifat double standard dan hipokrit dalam masyarakat berkontribusi menyuburkan praktik prostitusi. Keberadaannya seperti ada dan tiada. Di satu sisi, pelacuran sudah diketahui eksis ada sejak dulu, namun tidak dianggap sebagai masalah yang harus direspons secara serius dan menyeluruh. Padahal praktik pelacuran dinyatakan Badan Dunia (Unicef, Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan/CEDAW) sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk anak dan merupakan bentuk perbudakan modern terhadap perempuan. Namun demikian, praktik pelacuran dipandang hanya dari segi moralitas yang justru menyalahkan si korban (blaming the victim) sedangkan masalah yang dialami korban seringkali diabaikan. Selain masyarakat juga menghadapi masalah sosial akibat prostitusi yaitu antara lain kesehatan masyarakat (baik medis maupun sosial), dan perluasan praktik prostitusi yaitu “hari ini menjadi korban, esok kemungkinan justru menjadi pelaku dan seterusnya”. Inilah yang terjadi pada si germo cilik dari Surabaya. Berbagai masalah psikososial, ekonomi, budaya, hukum dan kesehatan sebagai akibat dari prostitusi diabaikan begitu saja dan direduksi pada masalah moral semata. Kerugian yang ditimbulkan tidak saja mengenai korban dan keluarganya, tetapi juga masyarakat dan negara, karena menyangkut mutu generasi yang akan datang. Studi yang dilakukan oleh LBH APIK Semarang tentang Pemahaman Seksualitas pada Pemuda tahun 2010 menunjukkan bahwa sebagian besar responden laki-laki menyatakan bahwa adalah wajar laki-laki muda membeli jasa prostitusi karena itu merupakan “pengalaman dan pembelajaran” bagi mereka agar nanti bisa berhubungan seks dengan istri apabila sudah menikah kelak. Karena sebagai suami harus bisa mengajari istri, termasuk dalam hal hubungan seksual. Selain itu mereka juga menganggap hal itu wajar karena nafsu seks laki-laki yang lebih besar daripada perempuan dan karena itu harus disalurkan. Padahal kenyataan anak yang dilacurkan bertentangan dengan Konvensi Hak Anak (1989) yang menyatakan bahwa negara wajib melindungi anak dari segala bentuk ekploitasi dan penyalahgunaan seksual, termasuk eksploitasi dalam kegiatan pelacuran dan pornografi (pasal 34). Hal yang sama juga dinyatakan dalam Undang-undang Perlindungan Anak bagian kelima pasal 59 tentang perlindungan khusus. Demikian pula dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1979 (CEDAW) memperkuat prinsip-prinsip 1949 dalam Konvensi anti Trafficking. Konvensi CEDAW tegas menyebutkan perlunya disediakan perlindungan oleh Konvensi Perdagangan 1949 untuk perempuan dan anak perempuan – untuk mengatasi baik perdagangan dan eksploitasi untuk pelacuran pada perempuan dan anak. Pasal 6 Konvensi CEDAW menyatakan: "Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat, termasuk perundang-undangan, untuk menekan segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi pada perempuan.” Selain itu, dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai "kekerasan yang ditujukan kepada perempuan karena dia adalah seorang perempuan atau yang memengaruhi perempuan secara tidak proporsional termasuk tindakan yang menyebabkan kerugian fisik, mental atau seksual atau penderitaan, ancaman tindakan seperti itu, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya. Perdagangan dan eksploitasi prostitusi adalah termasuk bentuk yang paling umum dari kekerasan berbasis gender. Untuk itu Komite CEDAW merekomendasikan bahwa negara harus mengambil langkah pencegahan khusus dan langkah-langkah hukum serta sanksi untuk mengatasi perdagangan manusia dan eksploitasi seksual. Negara peserta dalam laporan mereka harus menjelaskan sejauh mana semua masalah ini dan langkah-langkah yang telah dilakukan, termasuk ketentuan pidana, pencegahan dan langkah-langkah rehabilitasi yang telah diambil untuk melindungi perempuan yang terlibat dalam prostitusi atau tunduk pada bentuk-bentuk perdagangan manusia dan eksploitasi seksual lainnya. Demikian pula, Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Mengenakan sanksi Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo) tahun 2000 menegaskan bahwa “eksploitasi terhadap orang-orang yang dilacurkan adalah trafficking—bukan bentuk pekerjaan—ketika seseorang melakukan salah satu saja dari tindakan sebagai berikut, memaksa, mengancam dengan kekerasan, menipu atau menyalahgunakan kerentanan seseorang, maka itu bisa dikategorikan sebagai tindak kejahatan perdagangan/ trafficking”. Jadi, walaupun tujuan akhirnya adalah penghapusan prostitusi, namun jelas pandangan Abolisionis ini sangat berbeda secara mendasar dengan pendekatan moralis. Karena menurut golongan moralis prostitusi merusak moralitas masyarakat, sehingga si perempuan yang harus “diperbaiki”, dan mengabaikan faktor lain yang lebih kuat. Sayangnya anggapan ini didukung oleh negara. Sedangkan kaum abolisionis memosisikan prostitusi sebagai perdagangan anak dan perempuan, dan melanggar HAM, melecehkan integritas tubuh perempuan sebagai individu dan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Jadi untuk itu pemerintah harus melaksanakan langkah-langkah sistemik yang melindungi korban dan memberi sanksi pada pelaku tindak pidana perdagangan orang termasuk konsumen/ pembeli jasa prostitusi. C. Strategi yang Ditawarkan Belajar dari Pemerintah Swedia yang mengembangkan respons peraturan berseberangan (antithetical) dengan ideologi patriarki yang dominan. Pada tahun 1999 Pemerintah Swedia menerapkan UU Anti Prostitusi, dengan tidak hanya mengenakan sanksi tegas terhadap mucikari, pemilik rumah bordil/wisma dan pengusaha industri seks lainnya (karaoke, panti pijat dll), dan juga dengan menerapkan sanksi tegas bagi pelanggan (pembeli). Setelah itu pemerintah Swedia juga mengampanyekan peringatan/ancaman terhadap pelanggan industri seks bahwa membeli jasa prostitusi, terutama terhadap anak, merupakan tindakan kriminal yang akan dikenai sanksi berat. Hasilnya sangat efektif, selain terjadi penurunan, ternyata dengan sendirinya juga meningkatkan penolakan masyarakat terhadap prostitusi. Beberapa pemerintah daerah telah melakukan kebijakan yang berbeda-beda untuk mengatasi masalah prostitusi ini. Termasuk Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim yang menutup lokalisasi dan memberi “pesangon” kepada para pedila sebesar 3 juta rupiah. Pendekatan yang demikian itu masih menyederhanakan masalah dan mereduksi berbagai dimensi yang menggelayuti permasalahan ini, dengan menjadikan pedila hanya sebagai objek penanganan. Formulasi kebijakan moralis mengabaikan permasalahan lain yang sangat penting terutama aspek pelanggan/pembeli/konsumen, aspek korban yang terkait dengan psikososial dan reintegrasi sosial korban (penyiapan keluarga dan masyarakat untuk menerima kembali). Berikut ini adalah berbagai langkah penting yang seharusnya dilakukan:
Ming Ming Lukiarti (Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang) [email protected] Sudah sebulan perempuan-perempuan perkasa itu menduduki jalan masuk area lokasi Pabrik Semen Indonesia yang sedang dibangun sejak peristiwa 16 Juni 2014 kemarin. Kejadian yang tak mungkin dilupakan oleh mereka, ketika suatu subuh mereka berduyun-duyun berangkat dari desa menuju lokasi tapak pabrik dengan naik truk. Dengan mulut dilakban, mereka berjalan berduyun-duyun menuju tapak pabrik. Mereka melakukan aksi pemblokiran jalan untuk menolak acara peletakan batu pertama yang dilaksanakan oleh PT Semen Indonesia, Tbk. Ratusan aparat TNI dan Polri berjaga-jaga di sepanjang jalan masuk lokasi tapak pabrik. Ibu-ibu terus merangsek, merebahkan tubuhnya ditengah jalan, menghalang-halangi jalan menuju tapak pabrik. Ibu-Ibu diangkat aparat kemudian disingkirkan di tepian jalan. Mereka bersikukuh menduduki tengah jalan. Puluhan ibu-ibu itu tanpa lelah dan takut kembali merebahkan dirinya di tengah jalan. Aparat mulai bertindak represif, ibu-ibu dilemparkan ke semak-semak di tepian jalan. Dua ibu-ibu jatuh pingsan dan terluka karena duri semak, ada yang bajunya robek karena ditarik aparat. Ditengah desakan aparat yang demikian keras, ada beberapa ibu-ibu yang memberanikan diri melepas baju, setengah telanjang. Iya, mereka setengah telanjang menantang aparat. Tindakan itu diambil ditengah desakan yang demikian keras, disaat mereka tak lagi mampu berkata dan melawan dengan tenaga. Jerit dan tangis terus mengiris, ada beberapa warga yang ditangkap. Mereka ditangkap dengan tuduhan wartawan palsu, karena mereka membawa kamera dan mendokumentasikan aksi tersebut. Salah satu yang ditangkap adalah seorang ibu-ibu yang dituduh sebagai provokator. Tindakan kekerasan tidak berhenti sampai disitu, sampai pada malam hari ketika ibu-ibu memutuskan untuk bermalam dan membuat tenda di lokasi tersebut, aparat tidak mengizinkan dan mengobrak-abrik tenda yang akan didirikan. Tangis, jerit dan sholawat pecah ditengah kegelapan hutan Gunung Bokong. Ketika ada warga yang membawakan makanan dan keperluan penerangan juga tidak boleh masuk, pengawalan aparat begitu ketat, ketakutan semakin menyelimuti perempuan-perempuan itu, mereka terus menangis dan bersholawat berserah diri kepada Yang Kuasa. Sampai kemudian dibolehkan membuat tenda serta penerangan di lokasi tersebut. Perjuangan ibu-ibu bukan tanpa alasan, bukan “pokoe”, namun mereka punya landasan yang kuat yaitu menyelamatkan lingkungannya dari ancaman tambang semen. Mereka yang mayoritas sebagai petani merasa terancam akan rencana keberadaan tambang semen yang lokasinya berada di desanya yaitu desa Tegaldowo dan Timbrangan Kecamatan Gunem. Tanggapan Pemerintah Ibu-ibu menuntut agar alat berat segera dikeluarkan dan aktivitas pembangunan pabrik semen dihentikan. Perwakilan warga mendatangi kantor Gubernur untuk menyampaikan surat keberatan Izin Lingkungan yang telah dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah berikut dengan dasar-dasar pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pihak pabrik semen. Namun Gubernur sama sekali belum menanggapi secara resmi surat keberatan tersebut. Sampai ketika Gubernur datang berkunjung ke tenda ibu-ibu, Gubernur bertanya kepada mereka “Sudahkah membaca Amdal?” Spontan Sukinah (38) warga Tegaldowo langsung menjawab dalam bahasa Jawa “Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami”. Sukinah menjelaskan kepada Gubernur mengenai keberadaan perusahaan tambang kecil yang sudah beroperasi di dekat pemukiman desanya, dengan keberadaan perusahaan tersebut, pertanian warga sudah terganggu. Namun Gubernur malah bertanya mengapa warga tidak protes terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan tambang tersebut. Pertanyaan serupa yang selalu disampaikan orang-orang yang belum tahu bagaimana sejatinya arah perjuangan ibu-ibu. Dengan lantang Yani menjawab, “kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang”. Gubernur menawarkan pertemuan “rembukan” antara warga dan pihak pabrik semen didampingi pakar masing-masing, warga dijanjikan waktu seminggu untuk mencari pakar yang sanggup mendampingi. Setelah perjalanan mencari pakar yang bersedia mendampingi, warga menyanggupi tantangan Gubernur, kemudian mengirim surat secara langsung kepada Gubernur mengenai kesanggupan warga untuk dipertemukan dengan pihak pabrik semen dengan didampingi pakar masing-masing. Namun sampai batas waktu yang telah ditentukan warga sama sekali belum mendapat surat balasan dari Gubernur. Larangan Badan Geologi Pada tanggal 1 Juli 2014, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Repubrik Indonesia mengirim surat bernomor 3131/05/BGL/2014 kepada Gubernur Jawa Tengah mengenai tanggapan rencana penambangan batu gamping di wilayah Kabupaten Rembang. Dalam surat tersebut Kepala Badan Gelologi menyampaikan bahwa menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No 26 tahun 2011 tentang Cekungan Air Tanah Indonesia, menyatakan bahwa batu gamping tersebut yang akan ditambang olek perusahaan semen merupakan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Akuifer CAT Watuputih terbentuk pada batu gamping formasi paciran, termasuk dalam kategori akuifer dalam aliran celahan, rekahan dan saluran dan bahwa CAT Watuputih sebagian besar wilayahnya merupakan daerah imbuhan air tanah. Berdasarkan pasal 40 ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008, tentang Air Tanah, mengamanatkan bahwa untuk menjaga daya dukung dan fungsi daerah imbuhan air tanah dilakukan dengan cara mempertahankan imbuhan air tanah dan melarang kegiatan pengeboran, penggalian atau kegiatan lain dalam radius 200 meter dari lokasi kemunculan mata air. Berdasarkan pasal 40 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008, tentang Air Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008, tentang Air Tanah, untuk menjaga daya dukung akuifer dilakukan dengan mengendalikan kegiatan yang dapat mengganggu sistem akuifer. Menurut penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan kegiatan yang dapat mengganggu sistem akuifer adalah antara lain pembuatan terowongan dan penambangan batuan. Berdasarkan alasan tersebut, Badan Geologi menyatakan untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih maka agar tidak ada kegiatan penambangan batu gamping pada area tersebut. Surat dari Kepala Badan Geologi tersebut merupakan kabar gembira bagi warga namun tidak bagi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Rembang. Pada tanggal 7 Juli 2014, Gubernur Jawa Tengah mengadakan pertemuan antara Badan Geologi bersama Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Rembang, Pihak Semen Indonesia dengan pakar dan pakar dari warga. Dalam kesempatan itu warga turut diundang untuk menyaksikan pertemuan, namun sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara dalam forum. Dalam pertemuan tersebut Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Rembang menyatakan keberatannya mengenai surat dari kepala Badan Geologi. Pertemuan tersebut belum membuahkan hasil dan masih buntu, Gubernur memutuskan akan membawa permasalahan ini ke Menteri dan Presiden. Pernyataan dalam surat tersebut mendukung fakta lapangan yang ditemukan oleh SCA (Semarang Caver Association) dan JM-PPK Rembang bersama warga mengenai penemuan sejumlah mata air dan gua di sekitar lokasi rencana Izin Usaha Penambangan (IUP) Pabrik Semen Indonesia. Penemuan tersebut jauh berbeda dengan yang tertera dalam Dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) PT Semen Indonesia Tbk. Dalam dokumen AMDAL disebutkan hanya ada 50 mata air, namun fakta dilapangan ditemukan 109 mata air. Jumlah sumur hanya disebutkan 58 namun fakta dilapangan lebih dari 900 sumur, di dalam AMDAL tidak disebutkan jumlah gua yang berada disekitar IUP, namun faktanya ada 49 gua yang empat diantaranya ada sungai bawah tanah dan ditemukan pula fosil-fosil yang menempel pada dinding gua. Selama ini Gubernur selalu menyatakan tidak pernah ada yang memberikan penjelasan mengenai pelanggaran yang dilakukan PT Semen Indonesia serta alasan mengapa warga menolak, padahal dalam kesempatan bertemu dengan Gubernur, warga sudah mengirimkan surat keberatan Izin Lingkungan yang didalamnya sudah dituliskan mengenai dugaan pelanggaran serta menyampaikan secara langsung hasil karya ilmiah dari SSC (Student Speleological Club) Yogyakarta mengenai pemetaan dan potensi gua di watuputih dan hasil penelitian resmi oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa tengah pada tahun 1998 mengenai Penelitian Ar Bawah Tanah Watuputih. Menurut hasil penelitian oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber daya Mineral pada tahun 1998, perbukitan Gunung Watuputih merupakan bentang alam karst yang terbentuk pada zaman Pliosen dengan fenomena khas berupa lapies, gua kering dan berair, lembah kering, dan bentuk depresi yang teramati dari foto udara. Sebagian gua pada batu gamping karst merupakan gua kering yang berbentuk vertikal, serta masih bersifat alami dan tidak dimanfaatkan untuk keperluan tertentu. Secara hidrogeologis, pada tempat-tempat tertentu akan terbentuk saluran bawah permukaan yang mengalirkan air tanah ke daerah luah sehingga memungkinkan terdapatnya mata air dengan debit relatif besar. Tetap Bertahan Hampir sebulan Ibu-ibu bertahan ditenda keprihatinan. Memasuki bulan puasa mereka masih bertahan tanpa lupa menjalankan syariat agama. Di bawah tenda seadanya, dengan terik matahari yang menyengat dan dingin yang menusuk serta guyuran hujan deras tidak menyurutkan langkah mereka. Tudingan miring media yang tidak netral maupun sekelompok orang yang pro dengan pendirian pabrik semen tidak membuat mereka gentar. Sukinah, salah satu perempuan perkasa itu mengaku sudah diizinkan suaminya untuk memperjuangkan ini. Suaminya tirakat di pondok pesantren demi mendoakan istrinya yang sedang berjuang mempertahankan tanah mereka. Demikian juga dengan ibu-ibu yang lain, mereka sudah berbagi tugas dengan suaminya mengenai urusan rumah tangga. Istri berjuang di tenda, suami mengurus sawah, ladang dan rumah. Seringkali bapak-bapak ke tenda membawa anak mereka untuk menjenguk ibu-ibu yang bertahan. Malam hari mereka juga ada yang bertugas menjaga ibu-ibu yang bertenda di tengah hutan itu. Bulan yang suci bagi umat muslim ini semakin membuat ibu-ibu khusyuk dalam beribadah untuk memohon kekuatan, kesabaran dan keikhlasan kepada Allah SWT dalam berjuang. Kehidupan ditenda yang tidak seperti biasanya harus mereka jalani. Beribadah, tidur, memasak, mandi ditempat seadanya. Segala cobaan selalu menerpa mereka. Fitnah, cemoohan dan cacian, namun mereka selalu belajar ikhlas dan terus fokus kepada tujuan, yaitu menolak penambangan dan pendirian pabrik semen demi menyelamatkan ibu bumi dan masa depan anak cucu kelak. Ditengah terpaan isu dan berita yang selalu menyudutkan, ternyata masih banyak yang peduli dengan pergerakan ini. Ada beberapa kota di Indonesia mengadakan aksi solidaritas untuk warga Rembang seperti di Semarang, Salatiga, Solo, Yogyakarta, Tertane, Makassar, Bandung, Jakarta, Surabaya, Tuban, Pati, Blora, Palembang dan masih banyak lagi. Gema suara semakin membesar dan membuat ibu-ibu semakin bersemangat. Pemerintah selalu berpihak pada pemodal dan sama sekali tidak memedulikan keberadaan ibu-ibu di tenda keprihatinan. Belum ada pembahasan mengenai tuntutan ibu-ibu. Seharusnya pemerintah mengeluarkan moratorium untuk pabrik semen supaya menghentikan kegiatan pembangunan pabrik semen yang masih menyisakan banyak persoalan. Kebohongan-kebohongan yang dilakukan selama proses pembebasan tanah harus diusut tuntas. Warga mengakui mau menjual tanahnya dikarenakan pada awalnya makelar tanah menawarkan akan membeli tanah mereka untuk program penghijauan penanaman jarak, mahoni dan jati yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada petani lagi. Selama proses pembujukan dalam pembelian, mereka merasa terganggu dengan desakan makelar yang terus saja mendatangi mereka, sampai akhirnya mereka melepaskan tanahnya. Modus semacam ini membuat kita teringat pada masa penjajahan, ketika VOC merampas lahan warga untuk kepentingannya sendiri. Menguasai sumber daya alam demi kepentingan kelompok bukan kepentingan rakyat. Sampai saat ini masih ada tanah yang belum terjual, namun mereka yang belum menjual tanahnya selalu diancam akan dikeruk tambang jika tidak menjualnya. Intimidasi selalu dilakukan, yang memprihatinkan ada oknum perangkat desa dan aparat yang terlibat. Keterancaman kerusakan ekologi jelas meresahkan masyarakat yang mayoritas sebagai petani. Penambangan kawasan karst akan merusak sumber mata air. Sumber mata air di Gunung Watuputih juga dimanfaatkan oleh PDAM (Perusahaan Air Minum Daerah) Rembang untuk melayani puluhan ribu masyarakat Rembang dan Lasem. Kebutuhan lahan yang sangat luas untuk perusahaan-perusahaan semen akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian, sehingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Selain itu, hal ini juga akan menurunkan produktivitas sektor pertanian pada wilayah sekitar, karena dampak buruk yang akan timbul, misalnya, matinya sumber mata air, polusi debu, dan terganggunya keseimbangan ekosistem alamiah. Pada ujungnya, semua hal ini akan melemahkan ketahanan pangan daerah dan nasional. Perjuangan perempuan melawan tambang tidak hanya terjadi di Rembang, banyak perempuan di belahan tanah air ini yang berjuang melawan tambang seperti Yosepha Alomang, dia perempuan dari tanah Papua yang berjuang melawan Freeport, Mama Aleta dari tanah Molo NTT berjuang mempertahankan tanahnya dari ancaman tambang, ibu-ibu petani kendeng di Pati yang berhasil mengusir Semen Gresik dan masih banyak perempuan-perempuan yang berjuang untuk menjaga kelestarian ibu bumi. Perempuan adalah tulang punggung kehidupan, pemilik rahim yang akan melahirkan anak-anak bangsa, semua lahir dari rahim perempuan. Tidak ada yang perlu ditakutkan dalam setiap perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan. Api itu masih menyala di Rembang: Kejujuran dan Kebenaran. Selamatkan Bumi Rembang. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|