Oleh: Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan) Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada tanggal 25 Juli 1996 resmi menjadi rumah pengetahuan yang memiliki misi mengumpulkan, menyusun dan merawat pengetahuan perempuan di Indonesia. Gairah menularkan pengetahuan perempuan terwujud satu bulan kemudian ketika Jurnal Perempuan lahir pada bulan Agustus 1996. Jurnal Perempuan adalah jurnal feminis pertama di Indonesia. Kelahiran Jurnal Perempuan disambut dengan sepi pada waktu itu sebab ia lahir pada masa Orde Baru yang membatasi bahasa dan pengetahuan perempuan. Kata “perempuan” saja pada waktu itu tidak diterima oleh pemerintah yang lebih menganjurkan pemakaian kata “wanita”, sejalan dengan Dharma Wanita serta ideologi “ibuisme” yang bergantung pada jabatan suami yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). LSM perempuan ketika itu sangat sedikit dan kebanyakan yang ada adalah organisasi perempuan yang berafiliasi pada program pemerintah sehingga produksi pengetahuan tentang perempuan diseragamkan bahkan dijaga dan direproduksi untuk kepentingan kekuasaan. Jurnal Perempuan memang lahir begitu saja. Ia terlempar ke dunia dalam kesunyian. Tidak ada pemotongan pita apalagi modal besar di belakangnya. Kehadirannya tak pernah dianggap penting. Ia murni lahir dari kecintaan terhadap ilmu, jalan yang sering dianggap sepi peminat. Oleh sebab itu, Jurnal Perempuan pada awal penerbitannya menemukan habitatnya di kampus. Pada saat itu, wacana gender di kampus masih terbatas dan ruang lingkup pembahasannya masih seputar “wanita dan pembangunan.” Intinya, bagaimana perempuan berkontribusi pada pembangunan (baca program pemerintah) dan bukan bagaimana pemerintah memberdayakan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Pada terbitan perdana, Jurnal Perempuan menggebrak publik dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan. Isu yang nyaris tak digubris oleh media yang saat itu masih dikontrol oleh pemerintahan Orde Baru. Mengapa Perempuan Disiksa? merupakan artikel empu JP Vol.01 Agustus/September 1996. Artikel ini berbicara tentang perkosaan, pelecehan seksual, penyunatan anak perempuan, dan penganiayaan terhadap ibu dan anak. Paragraf pertama artikel ini berbunyi: Mungkin hanya ada dua pengalaman yang benar-benar dirasakan perempuan secara universal. Pengalaman saat melahirkan, memberikan kehidupan bagi mahluk-mahluk kecil yang amat mereka sayangi dan ketakutan akan kekerasan… (hal.3). Membaca kembali terbitan pertama Jurnal Perempuan, jurnal ini jelas ingin merekonstruksi realitas dengan bahasa-bahasa yang baru. Merajut realitas yang lebih egaliter dan berkeadilan. Untuk itu, terbitan perdana ini memuat kamus yang menerangkan hal yang paling elementer seperti perbedaan kata wanita=pria=perempuan. Kamus ini berlanjut pada terbitan Jurnal Perempuan selanjutnya hingga hari ini. Jurnal Perempuan sadar bahwa pengetahuan perempuan yang dibentuk oleh kepentingan patriarki berabad-abad lamanya harus dibongkar terlebih dahulu dan disusun ulang dengan bahasa yang setara dan memberdayakan. Pengetahuan tentang perempuan yang dibangun oleh Jurnal Perempuan tidak berhenti pada artikel-artikel ilmiah saja. Jurnal ini memuat cerpen dan puisi serta ulasan budaya yang dianggap membentuk khasanah pengetahuan perempuan. Puisi-puisi Toeti Heraty (salah satu pendiri Jurnal Perempuan) dihadirkan dan dirayakan. Misalnya puisi berjudul Manifesto dianggap tepat menghiasi halaman Jurnal Perempuan edisi pertama. aku tuntut kalian ke pengadilan, tanpa fihak yang menghakimi siapa tahu suap menyuap telah meluas-menjulang sampai ke Hakim Tertinggi Siapa jamin, ia tak berfihak sejak semula Karena dunia pula semesta pria yang punya.. Seorang feminis, Audre Lorde, pernah mengatakan, “Peralatan sang tuan tidak akan dapat membongkar milik rumah sang tuan…” . Ucapan ini ingin menegaskan bahwa selama perempuan masih memiliki cara berpikir, ekspresi dan bahasa yang dikonstruksi dan dipaksakan oleh laki-laki, maka, pengetahuan dan kehidupan perempuan tidak akan pernah muncul. Perempuan membutuhkan ruang untuk menemukan dan menciptakan dunianya dan terutama memiliki “peralatan” berpikir sendiri. Kini sudah 18 tahun Jurnal Perempuan hadir di tengah-tengah masyarakat dengan pembaca setia yang beragam; kalangan akademisi, profesional, aktifis, anggota parlemen, pemerintah hingga ibu rumah tangga. Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) kini beranggota lebih dari 500 orang yang mendanai dan mendukung kegiatan Jurnal Perempuan. SJP pertama di daerah telah terbentuk di Jawa Tengah pada tanggal 14 Juni 2014. Diharapkan SJP-SJP daerah lainnya akan segera menyusul. Dukungan dari berbagai kalangan masyarakat membuat kami terharu dan tak percaya bisa bertahan selama ini. Dedikasi staf Jurnal Perempuan dari mulai Jurnal Perempuan lahir hingga sekarang luar biasa. Mereka bekerja tanpa pamrih dengan sepenuh hati dan serius mengejar deadline, menulis, berjualan, berpameran tanpa henti. Meski mereka bekerja dengan fasilitas yang serba minim dan kekurangan, namun energi dan kegembiraan selalu terpancar mengisi kehidupan kantor Jurnal Perempuan. Jurnal Perempuan bukan saja mengubah mind set budaya patriarki dengan tulisan-tulisannya, namun juga ikut memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia. Berbagai demonstrasi telah diorganisir oleh Jurnal Perempuan termasuk demonstrasi di Bundaran HI pada bulan Februari 1998 atas nama Suara Ibu Peduli (SIP). Demonstrasi “susu” bermaksud menggulingkan rezim Suharto yang berkuasa selama 32 tahun. Pada masa Reformasi, Jurnal Perempuan ikut berperan menegakkan pluralisme dan menolak fundamentalisme agama garis keras. Bagi feminisme, sebuah wacana tidak berhenti hanya pada wacana semata. Wacana harus aplikatif dan bahkan berkontribusi pada perubahan. Jurnal Perempuan tak akan lelah berjuang dan berkontribusi. Saya berharap api pencerahan dan kesetaraan yang dinyalakan Jurnal Perempuan 18 tahun yang lalu terus menerangi pengetahuan perempuan dan membangun bangsa yang berkeadilan gender. Semoga. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|