Dr. Gadis Arivia Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan Sejarah SIP adalah Sejarah Pergerakan Feminis Pengasahan ide demonstrasi SIP (Suara Ibu Peduli) dimulai sejak bulan November 1997 di Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) yang ketika itu giat melakukan kegiatan “zero tolerance”, yaitu berkampanye untuk anti kekerasan terhadap perempuan. Kala itu merupakan pertama kali YJP bekerja sama dengan badan dunia seperti UNIFEM, meskipun kegiatan tersebut hanyalah project kecil, penyebaran aksi dan kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan. Dari kegiatan tersebut, sejumlah poster dan T-Shirt dicetak. Namun, kegiatan tersebut secara internal telah merancang staf YJP untuk terus‐menerus berdiskusi soal kekerasan terhadap perempuan dan implikasinya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Adalah Nur Iman Subono yang suatu hari membawakan cerita tentang ibu‐ibu di Plaza de Mayo. Nur Iman Subono, staf YJP pada waktu itu juga adalah pengajar politik di FISIP UI dan pemerhati bidang politik Amerika Latin. Dikatakan bahwa[1]:
Cerita ibu‐ibu Plaza de Mayo begitu mengesankan dan menjadi topik pembicaraan terus-menerus di YJP. Sampai pada suatu ketika saya berdiskusi dengan beberapa redaksi Jurnal Perempuan yang ketika itu selain Nur Iman Subono juga termasuk Karlina Leksono-Supelli (Karlina bergabung dengan YJP pada bulan Agustus 1997 sebagai editor Jurnal Perempuan), menyampaikan ide melakukan demonstrasi. Ide ini juga saya sampaikan kepada teman Korea bernama Eun Sook[2] yang ketika itu aktif membantu sebagai intern YJP. Ide ini kemudian semakin bergulir dan disepakati untuk mengadakan pertemuan pertama dengan mengundang teman-teman aktivis perempuan di kantor YJP, Gedung BOR Megaria pada tanggal 13 Februari 1998.[3] Intinya adalah untuk mengajak teman-teman membahas kemungkinan berdemonstrasi dengan satu tujuan melawan rejim Orde Baru, menjatuhkan Soeharto. Pertemuan pertama dihadiri sekitar 15 orang, antara lain Myra Diarsi (Rumah Ibu), Julia Suryakusuma, Robin Bush (mahasiswa asal Amerika Serikat‐kini bekerja di Asia Foundation), Yuniyanti Chuzaifah, Tati Krisnawaty, Salma Safitri (Solidaritas Perempuan) dan teman- teman LBH APIK antara lain seperti Iyik. Selebihnya, adalah seluruh staf Yayasan Jurnal Perempuan seperti Nur Iman Subono, Karlina Leksono-Supelli, Umi Lasmina, Liza Hadiz, Nazaruddin, dan lain-lain. Penggunaan Kata “Ibu-ibu” dan “Susu” sebagai Kamuflase Pada pertemuan ini dibahas strategi yang akan digunakan termasuk kamuflase menggunakan kata “ibu-ibu” sebagai strategi politik. Penggunaan kata perempuan juga sempat mencuat di dalam rapat, yakni Suara Perempuan Peduli, namun, karena politik Orde Baru menggunakan bahasa “wanita” dan cenderung bersimpati pada kegiatan “ibu-ibu” (seperti Dharma Wanita), maka, dirasakan lebih tepat.[4] Segala sesuatu diperhitungkan dengan detil termasuk isu yang akan diusung. Kami sadar kami tidak bisa merencanakan membawa spanduk “Turunkan Soeharto”, maka, perlu memikirkan concern apa yang dapat menarik simpati publik. Pada masa itu, ide susu sesungguhnya ide yang sudah sering dibicarakan di YJP. Sambil merapatkan tema‐tema edisi Jurnal Perempuan dan mengedit artikel-artikel JP, sambil pula dibicarakan terus-menerus kemungkinan suksesnya memakai ide susu untuk suatu usaha subversif. Kebetulan di dekat rumah saya, di Hero Gatot Subroto, mengalami kelangkaan susu karena harga susu naik hingga 400% (ketika itu anak saya berumur 3 tahun dan 8 bulan membutuhkan susu) dan kebetulan saya menyaksikan seorang ibu yang kebingungan mencari susu. Setelah kejadian tersebut, keesokan harinya saya diskusikan dengan Nur Iman Subono dan Eun Sook soal ide susu sebagai penggunaan “tanda”. Jadi, memang tidak pernah ada concern mendalam tentang keprihatinan masalah susu dan ibu-ibu. Agar rencana berjalan sempurna maka YJP pada tanggal 20 Februari menggunakan nama SIP (untuk pertama kalinya secara publik), menjual susu murah.[5] Kami memperkirakan harus ada “bukti” dan rekayasa bahwa kami benar-benar prihatin soal susu. Pokoknya, rencana demonstrasi sudah sangat matang. Susu diperoleh staf YJP, Himah Sholihah, langsung dari pabrik dengan harga negosiasi.[6] Namun tentunya perlu dana untuk itu maka dimulailah penggalangan dana pertama, 3 hari setelah rapat, yaitu tanggal 16 Februari terkumpul Rp. 5.950.000,-[7] dan berturut-‐turut hingga penyelenggaraan susu murah pada tanggal 20 Februari terkumpul kurang lebih Rp 10.000.000,-, namun setelah berdemonstrasi simpati dan keinginan SIP/YJP meneruskan penjualan susu murah terus didukung hingga mencapai ratusan juta rupiah.[8] Pengelolaan penjualan susu murah ini ditangani sepenuhnya oleh staf YJP; Ani, Nazar, Supri, Robin, Himah Sholihah, dan lain-lain. Malam sebelum penjualan, beberapa aktivis perempuan (seperti ibu Sri dari Kalyanamitra) ikut membantu memasukkan bubuk susu ke dalam plastik. Pada tanggal 20 Februari 1998, kembali YJP mengadakan rapat kedua, sebagai pimpinan rapat, saya melaporkan penjualan susu yang dilakukan pada pagi harinya. Tanpa diduga peminat susu murah begitu banyak, orang mengantri, bahkan pada hari Sabtu sempat menimbulkan dorong-mendorong hingga pintu depan kantor YJP pecah. Malam itu, berkumpul lebih banyak lagi aktivis perempuan dengan wajah-wajah baru seperti Dina (Walhi), Agung Putri (Elsam), Riga Adiwongso (FE UI), Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi (Pendiri YJP dan dosen Filsafat UI), Gayatri, Nursjahbani Kacasungkana, Ita F. Nadia, Dr. Kartini Sjahrir (Antropolog) dan lain-lain.[9] Malam itu ditetapkan lokasi demonstrasi, yaitu Bundaran HI. Mengapa Bundaran HI? Karena dianggap tempat yang strategis untuk bisa bertemu dan pakaian kantor menjadi pilihan agar bisa menyatu dengan pekerja-pekerja kantoran lainnya yang banyak terdapat di sekitar Bundaran HI. Pakaian kantor dengan titik-titik meeting point ditentukan, para demonstran akan berjalan dari segala penjuru, menjinjing tas kantor yang isinya poster-poster dan bunga‐bunga. Malam itu juga dituntut komitmen teman-teman aktivis untuk ikut berdemonstrasi pada tanggal yang ditentukan, yaitu tanggal 23 Februari 1998. Beberapa di antara teman-teman mengurungkan niat mereka ikut berdemonstrasi dengan alasan masing‐masing. Pada akhir pertemuan terkesan tidak akan banyak teman-‐teman yang ikut berdemonstrasi apalagi diungkapkan hari Senin tanggal 23 Februari kemungkinan siaga satu, yaitu tembak di tempat bagi para pendemonstran. Akhir minggu dijalankan secara cemas oleh staf YJP karena pertemuan akhir tidak mendapatkan sinyal yang positif. Namun, selama Sabtu dan Minggu, apalagi ketika itu penjualan susu semakin kuat dan juga pertama kali berhadapan dengan ibu‐ibu, bapak-‐bapak bahkan anak-anak tanggung yang semuanya berebutan susu. Di saat mengantri mereka mengeluhkan harga-‐harga yang melambung, harapan masa depan yang suram. Ibu-ibu mengeluhkan kesulitan ekonomi. Hari Minggu tanggal 22 Februari 1998, kembali diadakan rapat kecil kali ini melibatkan Rocky Gerung. Kebimbangan sirna setelah setiap rencana didiskusikan termasuk rencana kesiapan tim pembela dari LBH terjun di pinggiran lapangan, akhirnya sebagai ketua YJP pada saat itu, saya mengambil keputusan untuk terus melanjutkan rencana aksi. Pembagian tugas dilakukan, Karlina Leksono mengajukan diri sebagai koordinator lapangan, Julia Suryakusuma menjadi juru bicara, orang yang dipercaya menangani media. Myra Diarsi menyiapkan segala keperluan aksi termasuk apa yang harus dibacakan, lagu-lagu yang dinyanyikan. Teman‐teman YJP mendukung kuat dan solid menghadapi hari esok. Meskipun aksi hanya diikuti beberapa teman‐teman aktivis dan seluruh staf YJP namun aksi berjalan dengan baik. Tampak teman-teman aktivis Julia Suryakusuma, Yuniyanti Chuzaifah, Myra Diarsi, Gayatri, Nori Andriyani, Tati Krisnawaty membawa suster, Tinneke Arif (Filsafat UI), Wilasih (Wiwil aktivis dari Salatiga), dan lain-lain. Aksi tidak berjalan lama sekitar 30 menit dan penangkapan berjalan cepat. Seketika Karlina, Wiwil, dan saya diangkut ke atas truk. Kami ditahan satu malam dan dicurigai “ditunggangi” oleh kaum oposisi (salah satu pertanyaan adalah apakah kami berkiblat pada ideologi komunis dan lain sebagainya). Sidang dilakukan pada tanggal 4 Maret, menyampaikan pledoi[10] yang telah kami siapkan dan keputusan ditunda hingga Senin, 9 Maret 1998. Kami dinyatakan bersalah melanggar pasal 510 KUHP tentang arak‐arakan dan didenda Rp 2.250,- atau kurungan 2 minggu. Kami menolak keputusan itu namun sidang selanjutnya tidak pernah terjadi karena Soeharto berhenti pada tanggal 21 Mei dan perkara kami tidak dilanjutkan. Politik Representasi[11] Satu hal yang perlu dicatat di dalam tulisan-tulisan di media tentang demo SIP adalah tidak terbayangkan “tanda” SIP yang dilempar ke masyarakat dan “simbol” penangkapan telah menghasilkan beragam interpretasi. Interpretasi yang paling mengemuka adalah “ibu-ibu”, “peduli”, “anak‐anak” pendeknya kembali pada interpretasi domestik dan penuh romantisasi. Tentunya sebagai feminis, saya berkeberatan, meskipun “tanda” tersebut kami mainkan dengan sempurna. Namun pada akhirnya, ada kompromi yang dicapai di dalam diri, bahwa, di dalam politik representasi permainan ”tanda” memang menjadi bagian, untuk mereka yang cerdas, hasil interpretasi “tanda” bukan berhenti pada “ibu-ibu” akan tetapi pada pentingnya demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan menyatakan pendapat. Selebihnya adalah bumbu‐bumbu “tanda”. Lalu di manakah “ibu-ibu” seperti yang dimaksud media bahkan yang tertera oleh website Suara Ibu Peduli sendiri?[12] Kompas 13 Juni 2000, tulisan Maria Hartiningsih mengungkapkan, “SIP melangkah makin jauh. Gerakan yang dimulai dari sekelompok ibu yang turun ke jalan di Bundaran HI tanggal 23 Februari 1998 untuk memprotes kenaikan harga susu itu telah bermetamorfosa ke dalam bentuk yang semakin jelas”. Di dalam artikel ini pun pelabelan “ibu-ibu” Bundaran HI dilakukan sebagai “perempuan kelas menengah berpendidikan tinggi”. Selanjutnya artikel ini mengangkat SIP “sesungguhnya”, yaitu ibu-ibu dari berbagai wilayah di Jakarta. Jelas tulisan tersebut salah karena tidak ada “ibu-ibu” seperti yang digambarkan oleh media, “ibu-ibu” itu baru bermunculan setelah aksi feminis di Bundaran HI dan dukungan terhadap mahasiswa, yaitu “nasi bungkus reformasi”. Ibu-ibu sungguhan datang setelah reformasi diraih, yang berperan, berkonsep dan berstrategi adalah para feminis sejati! Setelah penangkapan dan pengadilan (Karlina, Wilasih, dan saya) aksi para perempuan aktivis diteruskan dengan mendukung para mahasiswa, mulai tanggal 19 Mei hingga 23 Mei. Dana yang terkumpul selama 1998-‐1999 untuk penjualan susu dan aksi mahasiswa adalah Rp 1.120.541.865,-‐[13] dari berbagai elemen masyarakat. Nasi bungkus yang disalurkan sebanyak 70.576 bungkus yang sebagian besar berasal dari warung nasi padang di hampir seluruh Jakarta. Kotak aqua yang disalurkan sebanyak 1.947 boks dan 2.811 boks snack serta ribuan buah-buahan. Ini belum termasuk sumbangan masyarakat makanan “mentah” ada telur, ayam hidup dan sebagainya. Sumbangan juga digunakan untuk dukungan Newsletter mahasiswa “Bergerak”, T‐Shirt “Reformasi Total”[14] dan sebagainya. Kegiatan ini terus didukung oleh para feminis hingga reformasi diraih. Menerima begitu saja representasi yang serba pasti sama dengan memaklumi sistem kekuasaan sosial yang memvalidasi dan mengesahkan sejumlah citra perempuan dan menolak citra lain. Inilah yang menjadi persoalan di saya dan juga telah saya tuliskan di buku saya “Feminisme Sebuah Kata Hati” (2006: 280), bahwa:
Politik representasi SIP dilakukan secara produktif dan mengkonstruksi representasinya. Oleh sebab itu, perlu perangkat intelektual untuk melakukan denaturalisasi SIP. Politik representasi perempuan yang dilakukan oleh para aktivis dengan lihai menggunakan representasi untuk menyingkap misrepresentasi maupun menawarkan kemungkinan baru yakni melawan kekuasaan yang dominan. Men Doing Feminism Satu hal yang menarik dari politik representasi SIP adalah melahirkan kemungkinan baru peran laki-laki feminis, hal ini sering dilupakan. Di tingkat aksi SIP dapat dikatakan ada sejumlah laki-laki feminis yang berperan misalnya Rocky Gerung, Nur Iman Subono, Robin, Nazaruddin, Misyono, Stanley, Tigor, dan masih banyak lagi laki-laki yang berkontribusi secara positif. Apa yang mereka lakukan adalah menetapkan pijakan laki-laki progresif (male progressive stand point) yang berlawanan dengan cara pandang laki-laki (male view point). Laki-laki yang terlibat dalam demonstrasi SIP di Bundaran HI adalah upaya mereka untuk masuk ke dalam relung pengalaman perempuan. Yang saya maksud dengan pengalaman adalah sebuah proses, rangkaian kejadian, di mana orang tersebut ikut mengalami dan menghirup bersama suatu kejadian. Bisa juga dikatakan seseorang yang ikut dalam observasi pengalaman seseorang dan merasakannya. Namun, laki-laki feminis SIP ini bukan saja mencoba memahami akan tetapi lebih dari itu, berusaha merekonstruksi segala kesedihan, penindasan, pilu, dan ketegangan atas dasar informasi yang mereka olah dengan suatu imajinasi untuk perubahan. Male progressive stand point, berusaha untuk merekonseptualisasi lagi peran laki-‐laki, maskulinitas dan secara aktif melakukan investigasi diri hingga titik kesadaran perlunya mengubah dunia. Di sini dituntut suatu pemahaman moral laki-laki dan bagaimana sebaiknya dunia dihuni dan dibagi bersama perempuan. Catatan Kritis SIP yang memiliki tanda “ibu‐ibu” (ibu‐ibu dari Depok, Bojong Gede, Cilandak, Rempoa, dan sebagainya) datang ke kantor YJP setelah reformasi diraih dan berniat untuk membantu kegiatan di kantor karena reformasi masih begitu awal dan YJP memutuskan untuk masih mempertahankan SIP karena khawatir akan terjadi konflik lagi (Semanggi II memang kemudian terjadi). Awal kedatangan ibu‐ibu ke kantor YJP tentu disambut meskipun ratusan orang dan puluhan elemen juga datang menawarkan bantuan (dari siswa SD hingga politikus). Perdebatan hangat terjadi di kalangan pimpinan YJP mengenai keberadaan ibu‐ibu sungguhan ini. Terutama apakah YJP sebagai organisasi yang berorientasi feminis dan memiliki produk kajian feminisme mempunyai “ruang” untuk mereka? Meskipun beberapa kali rapat intern perdebatan‐perdebatan ini muncul, namun, saya pada waktu itu optimis terhadap kontribusi yang bisa diberikan oleh ibu‐ibu. Menurut hemat saya, ibu‐ibu perlu dilibatkan dalam reformasi, tetapi alasan gerakan SIP yang saya pertahankan adalah tetap sebagai proyek politik bukan proyek “ibu-ibu”. Di sinilah mungkin perbedaan pendapat yang terjadi antara saya di satu pihak dengan Karlina Supelli bersama Dinny Yusuf di pihak lain.[15] Bagi saya, suatu proyek politik berbasis isu (yaitu anti Orde Baru) ketika itu tidak perlu dilembagakan karena ia merupakan pemikiran lepas yang bertujuan untuk melakukan perubahan. Ia harus lintas status perkawinan (bukan hanya ibu-ibu), agama, ras, dan etnisitas. Namun, ia harus memiliki pendirian feminis, platform yang sama: women’s rights is human rights. Maka, ketika pada bulan Agustus 1999, “SIP jilid dua” ingin memisahkan diri dari YJP, karena ingin melembagakan gerakan itu menjadi organisasi formal untuk kepentingan pemberdayaan kaum ibu, hal itu saya sambut dengan baik, karena kebutuhan keseharian dari SIP memang sudah berubah selama perjalanan waktu satu tahun lebih. Saya pikir, pada akhirnya ibu-ibu yang memerlukan wadah yang mereka kelola dan pikirkan sendiri. Jadi kalau ditanyakan apa sebetulnya SIP itu, maka menurut saya SIP adalah suatu gerakan politik yang berlangsung dalam periode awal reformasi, dengan maksud membuka ruang keberanian perempuan untuk terlibat dalam perubahan politik. Kami memilih Hotel Indonesia (pusat Ibukota) sebagai panggung politik dan memilih tanggal 23 Februari 1998, dimana status Siaga Satu (tembak di tempat) diberlakukan di Ibukota. Jadi, ide utama SIP sepenuh-penuhnya bersifat politik perempuan. SIP adalah sebuah percobaan politik feminis yang dihadapkan langsung pada kekuasaan! Daftar Pustaka: Agung Ayu, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, “Di Antara Belantara Jakarta”, Elkasa, 2007. Azizah, “Gerakan Perempuan di Indonesia, Tahun 1998-1999: Tinjauan Deskriptif Pada Gerakan Suara Ibu Peduli”, Unas, 2005. Gadis Arivia, “Feminisme Sebuah Kata Hati”, Kompas, 2006. Linda Hutcheon, “Politik Posmodernisme”, Jendela, Yogja, 2004. Nur Iman Subono, (editor), “Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli”, YJP, 1999. Tom Digby dan Sandra Bartky, “Men Doing Feminism”, Routledge, NY, 1998. Yayasan Jurnal Perempuan, Laporan Suara Ibu Peduli, 1998-‐1999. Catatan Akhir: [1] Nur Iman Subono dalam diskusi internal redaksi YJP, Desember 1997. [2] Eun Sook menghadiri semua pertemuan yang ketika itu diberi kode dengan kata “aerobik” karena menggunakan kata pertemuan “merancang demonstrasi” bukan suatu ucapan yang populer kala itu. [3] Lihat arsip undangan rapat ditandatangani oleh saya sendiri. [4] Dapat dilihat di daftar hadir pertemuan 13 Februari 1998. [5] Baca pemberitaan Kompas soal susu murah, Sabtu, 21-‐02-‐1998. [6] Antara lain dari Nestle, namun staf-‐staf di sana juga menyumbang secara spontan sebesar Rp 200.000,-‐ [7] Dana berasal dari Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi, Gadis Arivia, dan Andrea (individu bekerja di Bank Dunia). [8] Lihat laporan YJP tentang laporan kegiatan SIP, Februari 1998-‐1999, laporan keuangan hingga April 23 meliputi sumbangan tanpa nama sebesar Rp 50.000.000,-‐ [9] Lihat daftar hadir. Memang ada juga yang tidak tercatat, daftar hadir sempat diacak agar bila terjadi sesuatu tidak dapat dilacak oleh aparat pemerintah. [10] Lihat di buku Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli, YJP, 1999. [11] Dalam teori politik representasi saya memakai teori Linda Hutcheon. [12] Website SIP (www.suaraibupeduli.org) tertulis: “Suara Ibu Peduli (SIP) didirikan pada tanggal 19 Februari 1998 oleh ibu-‐ibu dan perempuan dari berbagai latar belakang sosial dan pendidikan yang berkeinginan untuk menyuarakan kepeduliannya atas berbagai masalah yang terjadi di masyarakat akibat krisis ekonomi dan politik di Indonesia. SIP menjadi perkumpulan pada tahun 2002 dengan akta notaris tertanggal 21 Juni 2002. [13] Lihat laporan keuangan YJP tentang SIP 1998-‐1999. Pengeluaran sebesar Rp 1.194.743.958,-‐ selisih ditanggung YJP sebesar Rp 74.202.093,-‐ [14] Untuk membedakan dengan “Reformasi Damai”, yaitu kelompok mahasiswa yang mempunyai kaitan dengan garis agama tertentu yang kuat. [15] Dinny Yusuf tidak terlibat sejak awal berdirinya SIP yaitu saat rencana aksi pertama demo SIP di Bundaran HI tanggal 23 Februari 1998. Dengan ini, saya meluruskan beberapa pernyataannya di skripsi Azizah, “Gerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1998-‐1999: Tinjauan Deskriptif Pada Gerakan Suara Ibu Peduli”, Unas, 2005 hal. 101 dan di buku “Di Antara Belantara Jakarta”, editor Agung Ayu, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, 2007, hal. 197-‐198. “Migrants united will never be divided!” chanted the many women joined march by International Migrant Alliance, the first-ever global alliance of Migrant Worker, in commending the labor’s day. 27 years ago the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant and Members of their Family was signed as multilateral treaty by United Nations which governs the protection of migrant workers and families policy. Still, many migrant workers are insecure. Lola’s story on Alex Tizon’s piece “My Family’s Slave” is not a history, the same agony still remains today.[1] International Labour Organization (ILO) reported there are 11.5 million migrant domestic workers worldwide which represents 17.2 per cent of a total estimate of 67.1 million domestic workers globally. Analyzing as a share of migrant workers, migrant domestic workers (MDW) represent 7.7 per cent of a global estimate of 150.3 million migrant workers. Disaggregated by sex, this share is even higher, representing 12.7 per cent, or 8.45 million of the 66.6 million female migrant workers worldwide. Domestic work is a highly female dominated sector which represents 73 per cent of all migrant domestic workers is women (Gallotti, 2015). The link between domestic work and female international labour migration is well established which created the feminization of labour (ILO). These women become the most exploited and abused workers in the world. They are potentially subjected to physical and psychological abuse and sexual exploitation (Explore Women's Right). In East Asia, MDWs face exploitation and discrimination largerly left out of countries labour policy and legislation. 71 per cent of MDW in East Asia experienced exploitation during the recruitment process, 49 per cent suffered limited freedom of movement, 32 per cent had identity and travel documents confiscated and 63 per cent faced exploitative practice while working abroad (Islam, 2016). This plight categorized them as a vulnerable worker due to the condition of uncertainty hours of work and income, risk of having their workplace entitlements denied, and lack of capacity to secure (Sargeant, 2014). As a phenomenon of globalisation, MDW can conclude in to the Non-Traditional Security (NTS) issues. NTS emerged in attempt to search a new security doctrine that could explain the overlapping nature of nation state’s various interests, one that could reconcile the traditional challenges facing states with non-traditional threats (Siulun, 2008, p. 61). To date, at least there are two approach which mostly be used in the migrant labour issues, first is Securitizing approach by the Copenhagen School and second is human security approach. Securitization emphasized on speech-act approach where there is securitizing actor and referent object. According to the five sectors—military, environmental, economic, societal, political— offered by Securitization theory, migration is belong to the societal sector. Societal insecurity only exists when communities define a potentiality as a threat for them. Buzan and Waever argue that societal security is about collective group and their identity, it is totally different with social security which is about individuals and is largely economic and refers to individual level. Thus, they only use the term societal for communities with an identities. It is somehow problematic when societal term is often juxtapose to society term to designate the wider and unclear state population (Buzan & Waever, 1998 ). Following such definitions, MDW will be more likely to be a migration issue and be seen as a receiving country’s threat rather than humanitarian issue. The case of increasing undocumented migrant labour in Malaysia for instance, the victims are remarked as public enemy by Malaysian enforcements that make them treated in terms of threat to national security (Kudo, 2013). However, securitization remains the state’s privilege while extending security beyond the state as a referent object. A better analysis offered by the human security framework. It brings the focus from state to human dimension of migration. Consequently, this framework produces a concrete policy like treaty and policy both in the host and home country. The home country will held a capacity building for migrant workers since it argues the problem is based on the quality of the worker. While, the host country will make sure the protection by joining and ratifying the human right convention especially those which concern on protection of migrant workers. The question is, is it systematic enough to deal with the structural and cultural problem of MDW? Firstly, there is no legal standard for the quality requirement. Secondly, the norm treaties and convention does not really see the constructed problem of MDW. Let say that human security approach give a wider sight in this case, but to unfold what behinds this issue need a gender as category of analysis. Without explaining what becomes the fundamental problem, still, it cannot reach a radical solution. In this lacuna, the Feminist Security Studies potentially will shed light. Seeing FSS only for a grievance of women in the military war or arms conflict is like wasting the rich analysis of feminism into the vain. I argue that FSS is appropriate to analyze the DMW issue. The framework can be taken from Jennifer K Lobasz’s analysis on human trafficking issue (in Sjoberg, 2010). Since the human trafficking issue and domestic migrant working are both victimize women in a dominant scale, in this way both are able to make women as the category of analysis in which the human security theories do not. Lobasz divulges the lack of traditional security approach to international human trafficking on two levels: ethical and pragmatical. Ethically, traditional security is wrong by making the state as referent object, not people, that pragmatically resulted the policy product focuses on state. Thus, feminists have made two essential contributions to the analysis of international human trafficking—which can be applied to MDW issue too—there are: expanding the focus of analyses to account for the exploitation of trafficked persons and paying attention to how the concept of human trafficking is socially constructed in the first place (Sjoberg, 2010, p. 216). This feminist contribution in human trafficking approach can be a basic in mapping approach to MDW as security issue. Yet, how FSS can be applicable enough to this issue? To formulate the FSS more comprehensive in analysing MDW, it needs some contributions from the Marxian lense and even more postcolonial. In this realm, the notion of segregated work by gender may give an important clue to unfold the vulnerability of domestic migrant worker. There is a division of working, domestic and public. This division naturally be seen as a gendered work, where women are mostly engaged to domestic, while man to public. It is matter when the domestic work assumed as immaterial work since it does not produce any material aspects as public does, this work then become undervalued (Federici, 2012). This construction influences the division of labour where household work does not have a prestige and women as the second sex are congruent with this job. While MDW’s oppression is conducted in racial and class hierarchy, a sisterhood solidarity cannot only based on gender identity but has to consider the political and cultural context like what Mohanty adressed. Henceford, FSS need not only a Marxian perspective but also a post-colonial lense since the phenomena of MDW is effect of global capitalist system in the post-colonial era. After all, FSS still need to develop both ontologically and epistemologically in order to give systematic analysis in the realm of the MDW issue. It is important for FSS since MDW is an international issue involving many aspects such as economy, culture, race and state domain. Seeing it from the lensse of FSS will probably change the policy not merely about how to strengthen the skill of labour from the sender countries, nor making many new norm legalizations such as treaty and convention. The solution should concern to the construction of domestic job itself. With such analysis, there will be a policy of making the domestic worker as same as productive work by providing security, such as a right for having a life insurance, fixed waged and fixed working time. References Barry Buzan, W. W. (1998 ). Security: A New Framework of Analysis. USA: Lynne Rienner Publishers. Explore Women's Right. (n.d.). Retrieved 12 14, 2017, from Human Right Watch: http://hrw.org/topic/womens-rights/domestic-worker Federici, S. (2012). Wages against Housework (1975) in Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. Brooklyn, NY: PM Press. Gallotti, M. (2015). Global estimates on migrant workers . Geneva, Switzerland: ILO Labour Migration Branch. ILO. (n.d.). Migrant Domestic Worker. Retrieved 12 14, 2017, from http://ilo/org/global/topics/labour-migration/policy-areas/migrant-domestic-workers/lang-en/index.htm Islam, M. R. (2016, June 25). Migrant Domestic WorkersLeft Out Policy in Asia. Retrieved 12 15, 2017, from Eastasiaforum: http://eastasiaforum.org/2016/06/25/migrant-domestic-workers-left-out-of-policy-in-asia/ Kudo, S. (2013). Securitization of undocumented migrants and the politics of insecurity in Malaysia. Procedia Environmental Sciences 17, 947 – 956. Sargeant, M. (2014). Domestic Workers: Vulnerable Workers in Precarious Work. E-Journal of International and Comparative, Volume 3, No. 1, 1 - 19. Siulun, M. G. (2008). Security and Migration in Asia:The Dynamics of Securitizaation. USA and Canada: Routledge. Sjoberg, L. (2010). Gender and International Seurity: Feminist Perspective. USA and Canada: Routledge. End Note [1] "My Family's Slave" is a non-fiction short story biography by the Pulitzer Prize–winning journalist Alex Tizon. It was posthumously published as the cover story of the June 2017 issue of The Atlantic. See on https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2017/06/lolas-story/524490/ |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|