Malam ini, 20 Desember 2015, saya menghadiri peringatan Milangkala Madrais ke-180, semacam perayaan maulid tokoh pendiri Sunda Wiwitan, salah satu aliran kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pangeran Madrais lahir 27 Sep 1827 (bertepatan dengan 9 Mulud 1755 Saka), wafat dalam usia 112 tahun, usia yang sangat panjang untuk ukuran kita sekarang. Dimasanya, Pangeran Madrais memberontak terhadap kekejaman kolonial Belanda dan menolak tunduk pada penjajah. Akibatnya, beliau dituduh sebagai murtad, ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dibuang ke Digul, Papua. Keberanian menegakkan keadilan ini harus diteladani oleh kita semua. Beliau juga pernah memimpin gerakan kelompok tani untuk menyerang Belanda dan merebut kembali tanah-tanah pertanian yang dirampas Belanda. Madrais meyakinkan para petani bahwa tanah-tanah tersebut adalah warisan dari leluhur yang tidak boleh dimiliki Belanda. Perjuangan berdarah ini terekam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah ini, beliau mengubah orientasi perjuangan dengan pendekatan budaya. Pangeran Djatikusuma, pemimpin komunitas penganut Sunda Wiwitan adalah cucu Pangeran Madrais, sejak tahun 1990-an menjadi tokoh panutan kelompok ini. Beliau dikenal sebagai tokoh Sunda Wiwitan yang sangat menekankan pentingnya kerukunan dan perdamaian, serta menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Beliau juga dikenal tokoh lintas agama yang tergabung dalam ICRP. Selain merayakan maulid Pangeran Madrais, Pangeran Djatikusuma juga menjadikan momen ini untuk menyerahkan tanggung jawab pembinaan komunitas kepada putra-putrinya yang berjumlah 10 orang sambil memberikan pesan-pesan moral kepada mereka yang kelak menggantikan tugasnya memimpin komunitas Sunda Wiwitan. Pesan-pesan itu, antara lain: mereka harus selalu bersatu, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, menjaga tradisi dan memeliharanya dengan baik, menjaga keserasian dan kelestarian lingkungan, jangan berselisih, jangan berebut harta, jangan saling menyakiti, dan jangan tergoda hal-hal duniawi. Para pewaris itu kelak diharapkan dapat membimbing masyarakat dan menjadi panutan. Malam ini anak-anak Pangeran Djatikusuma yang berjumlah 10 orang, hanya satu laki-laki yangmenyatakan sumpah setia untuk melanjuntukan kepemimpinan beliau dan bertekad menjalankan semua titahnya. Tampaknya, malam ini Pangeran Djatikusuma telah memberikan sinyal pergantian tugas kepada pewarisnya, sepuluh anaknya untuk mengemban amanah yang tidak ringan itu. Menarik bahwa Pangeran Djatikusuma tidak membuat pembedaan sedikit pun antara anak laki-lakidan anak perempuan (tidak ada diskriminasi gender), juga antara anak sulung dan anak bungsu. Semua anaknya mendapatkan tugas dan amanah yang sama dan setara. Masing-masing bertanggung jawab sesuai wilayah dan bidang kerja yang telah ditetapkan. Acara pengambilan sumpah dilakukan, setiap anak menghadap, sungkem pada ayahanda dan ibunda dengan penuh khidmat. Sungguh indah penerapan nilai-nilai demokrasi dalam tradisi budaya ini. Saya mengenal komunitas ini sejak 1998, ICRP organisasi kami memperjuangkan hak-hak sipil komunitas Sunda Wiwitan, khususnya terkait dengan hak menuliskan identitas kepercayaan mereka dalam KTP, hak mendapatkan akta nikah ketika menikah, akta lahir bagi anak-anak mereka dan lainnya. Kami mengadvokasi pemerintah agar mereka dapat diperlakukan secara adil, mendapatkan perlakuan setara dengan warga negara lainnya, tanpa diskriminasi sedikit pun. Mereka juga warga negara penuh yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya. Masa Reformasi telah 17 tahun berlalu, namun kebijakan pemerintah terhadap kelompok penghayat kepercayaan belum juga berubah, masih diliputi unsur-unsur diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan pemerintah Jokowi belum memandang penting keberadaan kelompok ini, khususnya dalam konteks penjaga kelestarian tradisi Sunda yang merupakan salah satu akar budaya Indonesia.Selamat untuk Pangeran Djatikusuma dan seluruh komunitas Sunda Wiwitan. Rahayu dan Sampurasun! Disampaikan dalam acara diskusi tentang Pentingnya Dialog Agama di Timika, Papua, pada 17 Desember 2015 Pendahuluan Indonesia sebuah negara kepulauan terbesar dengan penduduknya lebih dari 250 juta jiwa, menduduki peringkat keempat di dunia. Luas wilayahnya lebih dari dua juta km2 membentang di garis khatulistiwa. Terdiri dari 17.000 pulau, besar dan kecil, sebagian besar tidak berpenghuni. Penduduknya sangat heterogen, terdiri lebih dari 200 suku bangsa dan memiliki lebih dari 300 bahasa. Bahkan, untuk wilayah Papua saja dijumpai ada ratusan suku dan bahasa. Menunjukkan betapa pluralnya bangsa Indonesia. Meskipun bahasa mayoritas adalah bahasa Jawa, namun para pendiri bangsa sepakat memilih bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan selanjutnya disebut Bahasa Indonesia. Selain beragam suku bangsa dan bahasa, mereka juga terdiri dari beragam corak budaya, agama, dan kepercayaan. Diantara agama yang dianut penduduk adalah Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, Baha’i, Sikh, Yahudi, dan lebih dari 400 kepercayaan lokal (indigenous religion). Indonesia sangat unik, walaupun mayoritas penduduk menganut Islam, namun para pendiri bangsa—yang sebagian besar terdiri dari tokoh-tokoh Muslim yang taat—tidak menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Mereka justru memilih Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara. Pancasila terdiri dari lima prinsip yang berisi nilai-nilai luhur yang mencerminkan esensi ajaran semua agama yang berkembang di negeri ini. Karena itu, semua pemeluk agama tidak sulit menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai alat pemersatu bangsa. Dengan fakta sosiologis seperti itu tidak ada pilihan lain bagi kita bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan harmoni kecuali mengintensifkan dialog agama. Terlebih lagi, dalam banyak hal hubungan antar agama di Indonesia saat ini masih berada pada level toleransi dan belum sampai ke tahap pluralisme. Oleh karena itu, dibutuhkan dialog agama yang konstruktif dan kontinu sebagai jembatan menuju masyarakat agama yang humanis dan pluralis sesuai nilai-nilai Pancasila dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Memahami dialog agama secara benar Pertanyaannya, dialog agama seperti apa yang perlu dikembangkan? Pertama, dialog agama yang semua pihak harus jujur dan berani mengungkapkan common understanding dan fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai. Dialog merupakan “a way of knowing or understanding.” Dialog berbeda dengan debat. Dalam dialog target yang hendak dicapai adalah mutual understanding bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam dialog. Kedua, dialog agama bukan sekedar face-to-face conversations, seperti dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau semacamnya. Dialog adalah proses komunikasi yang terus-menerus untuk memahami pemikiran, ajaran, tradisi, budaya, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders). Ketiga, dialog agama akan efektif manakala masing-masing partisipan memiliki niat tulus dan komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama dua syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran dimana-mana. Keempat, dialog agama harus dapat meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan, seperti umumnya dalam debat. Jadi dialog berangkat dari komitmen yang tulus masing-masing individu atau kelompok keagamaan untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dengan “kepala dingin” meskipun hati begitu mendidih. Kelima, dialog agama harus berakhir dengan aksi konkret melawan semua musuh-musuh agama. Dialog agama bukan hanya terbatas pada perkataan melainkan perbuatan nyata dalam wujud aksi-aksi kemanusiaan. Misalnya berbagai kelompok agama berkolaborasi dan bekerjasama untuk melawan musuh-musuh agama. Musuh agama sangat jelas, yaitu ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kelaparan, dan sebagainya. Keenam, dialog agama adalah sebuah proses transformasi. Dialog agama harus mampu mentransformasikan atau mengubah para pengikut agama yang semula sangat keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan menjadi lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. Dialog harus mampu mengubah mereka yang semula saling membenci, mencurigai, memusuhi, dan antipati menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Dengan dialog diharapkan mereka sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme yang mereka tempuh hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka. Dialog Adalah Ajaran Esensi Semua Agama Dialog agama merupakan sebuah solusi bagi timbulnya klaim-klaim kebenaran dari para penganut agama yang berbeda di masyarakat. Agama seharusnya dipahami sebagai fenomena sosial-budaya karena agama ditemukan pada semua bentuk masyarakat, mulai yang sangat primitif sampai yang sangat modern. Dalam dialog agama yang dicari bukanlah soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Dialog mengajarkan penganut agama mampu menghargai pendapat berbeda, mampu melakukan kompromi dan konsensus dalam menghadapi persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dialog agama menempatkan umat beragama tidak berada dalam posisi menilai yang lain, akan tetapi berusaha memahami yang lain. Sebagai umat beragama jangan berbicara tentang orang lain, tetapi belajarlah dari orang lain. Dialog agama harus dapat membawa setiap penganut agama kepada penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang hakiki, yaitu: 1) Setiap agama mengajarkan budaya cinta dan damai, bukan kekerasan. Agama mengajarkan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan; 2) Setiap agama mengajarkan nilai-nilai keadilan. Sebaliknya, semua agama memusuhi sikap hidup individualistik, materialistik, kapitalistik, dan hedonistik; 3) Setiap agama mengajarkan budaya kesetaraan di antara sesama manusia. Tidak ada satu pun manusia yang boleh diperlakukan semena-mena: diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan karena alasan apapun; 4) Setiap agama mengajarkan budaya toleransi dan jujur, serta melarang prasangka buruk, permusuhan dan kebohongan; 5) Setiap agama mengajarkan budaya hidup sehat dalam arti yang luas. Karena itu, semua agama melarang narkoba dan semua jenis obat-obatan terlarang, minum minuman keras sampai memabukkan, melarang perzinahan, selingkuh, dan menyakiti hati pasangan; 6) Semua agama mengajarkan budaya ketulusan, membenci perilaku artificial (palsu dan dusta), serta semua bentuk formalisme agama yang mengeksploitasikan simbol-simbol agama atau ritual agama; 7) Tujuan semua agama adalah mewujudkan moralitas hakiki dalam diri manusia. Sayangnya, dalam realitas sehari-hari kita menemukan begitu banyak orang mengaku beragama tetapi tidak bermoral sehingga muncul anekdot: “beragama tetapi tidak bermoral.” Prinsip-prinsip dasar dialog agama Umumnya para pakar menyebutkan empat prinsip dasar dialog agama, yaitu: Pertama, prinsip kemanusiaan. Intinya, kita harus berani melihat orang lain setara dengan kita. Selama masih ada sekat di antara manusia, selama itu pula dialog agama sulit diwujudkan. Prinsip kemanusiaan mengajarkan bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan. Kedua, prinsip kekeluargaan. Dialog hanya akan membawa manfaat manakala para peserta dialog hadir dengan prinsip kekeluargaan. Kita semua umat manusia adalah satu keluarga. Sebagai satu keluarga hendaknya kita sama-sama merasakan kepahitan dan sama-sama menikmati lezatnya kemanisan. Prinsip kekeluargaan melahirkan rasa simpati dan solidaritas terhadap orang lain karena selalu yakin bahwa semua manusia hakikinya adalah satu keluarga. Sebagai keluarga, kita tentunya harus saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Sebaliknya, sebagai keluarga kita dituntut untuk saling menghormati dan menghargai sesama. Kita tidak boleh saling mencederai apalagi mendzalimi sesama manusia. Kita juga tidak boleh mengeksploitasi alam dan lingkungan. Ketiga, prinsip demokrasi. Hakikat demokrasi adalah mewadahi semua kelompok tanpa diskriminasi sedikit pun untuk kebaikan semua, tanpa kecuali. Sebab, nilai-nilai luhur demokrasi adalah keadilan, kesetaraan, kemajemukan, kegotongroyongan dan kemashlahatan bagi semua orang. Dialog agama hanya dapat dibangun dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemashlahatan untuk semua manusia. Demokrasi menghendaki semua warga diperlakukan secara adil, tanpa diskriminasi sedikit pun. Keempat, prinsip pluralisme agama. Dialog agama menghendaki sikap pluralisme dari semua pihak. Seorang pluralis adalah orang yang mengakui adanya banyak jalan menuju Tuhan. Lewat jalan yang beragam itu, masing-masing pemudik disemangati oleh etos bermusabaqah dalam kebajikan. Rahmat Tuhan yang tak terbataslah yang nantinya akan menentukan mana yang terbaik di antara para pemudik itu, tanpa memandang perbedaan agama dan golongannya. Aktivitas dialog agama Rasulullah saw. Dialog agama bukan hal baru dalam Islam. Rasul adalah sosok manusia utama yang sangat cinta damai. Beliau sangat mementingkan pendekatan damai dalam membina umatnya. Ada ratusan hadis yang menghimbau agar umat Islam selalu menggunakan cara-cara damai dan humanis dalam semua aspek kehidupan, baik di ranah keluarga maupun di ranah negara. Sejumlah aktivitas berikut membuktikan betapa Rasul sangat konsen membangun damai di masyarakat melalui upaya-upaya dialog. Dialog tidak selalu berbetuk verbal, melainkan juga mengambil bentuk aksi-aksi konkret dan kerjasama kemanusiaan antar golongan yang berbeda. Pertama, aktivitas Rasul untuk mendamaikan berbagai suku yang berkonflik, aksi ini sangat terkenal dengan nama ‘Hilful Fudūl’. Aktivitas ini terjadi jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Beliau tampil mendamaikan konflik di antara para pemimpin suku Arab yang bertikai tentang siapa yang paling berhak meletakkan hajar Aswad ke tempatnya semula. Kedua, Piagam Madinah. Rasul membuat perjanjian damai dengan para pemimpin Yahudi dan pemimpin kelompok penyembah berhala (musyrikin) dan pimpinan kelompok lainnya yang bermukim di Madinah. Perjanjian ini dianggap sebagai konstitusi pertama di dunia modern yang mengatur kehidupan warga negara yang sangat majemuk. Perjanjian ini mengatur hak dan kewajiban yang sama bagi semua kelompok di Madinah dalam posisi mereka sebagai warga negara merdeka. Perjanjian ini juga memberikan jaminan kemerdekaan bagi semua suku yang menyatakan dukungan kepada Rasul. Perjanjian ini menunjukkan betapa Islam sangat kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi substansial. Ketiga, Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini juga menunjukkan betapa Rasul lebih mengedepankan politik perdamaian, bukan politik kekerasan dan eksploitasi dalam membangun kekuasaan Islam. Perjanjian ini juga menunjukkan sikap rendah hati umat Islam, meski mereka berada dalam posisi menang dan berkuasa. Keempat, khutba hujjat al-widā. Khutbah Rasul yang terakhir diangap sebagai pesan-pesan moral Rasul yang sangat kuat menekankan pentingnya menjaga persatuan dan perdamaian. Rasul juga menekanlan dalam khutbahnya itu pentingnya menjaga dan memenuhi hak asasi setiap manusia, khususnya kelompok rentan dan marjinal. Materi khutbah wada’ ini oleh beberapa pakar dianggap bukan hanya sebagai the first ‘Charter of Human Rights’ melainkan juga sebuah landasan kokoh untuk menegakkan perdamaian dunia melalui kegiatan dialog agama. Penutup dan rekomendasi Dalam beragama diperlukan adanya suatu sikap hidup keagamaan yang relatif atau nisbi, bukan sikap mutlak-mutlakan. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa jika semua penganut agama mengambil sikap yang sama maka dapatlah dijamin bahwa agama tidak dapat dimainkan sebagai faktor pemecah belah yang akan membawa malapetaka bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, agama justru menjadi faktor perekat yang akan menebarkan rahmat bagi semua manusia, bahkan bagi alam semesta. Sikap hidup yang relatif dan penuh penghargaan terhadap sesama sangat dibutuhkan oleh setiap umat beragama di Indonesia. Dengan itu umat beragama dapat berpartisipasi secara aktif dan bertangungjawab dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila. Kebenaran agama tidak hanya satu, melainkan banyak. Yang dimaksudkan kebenaran agama di sini adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara keberagamaan umatnya yang dalam terminologi Islam disebut tanawu`al ibadah. Jika seluruh penganut agama telah memiliki kedewasaan sikap beragama, yaitu sampai kepada pemahaman bahwa kebenaran agama tidak hanya satu, tentu saja tidak akan ditemukan kelompok-kelompok yang saling kafir-mengkafirkan yang berujung pada munculnya berbagai bentuk konflik dan kekerasan berbasis agama di tanah air. Dalam konteks Islam jelas sekali diajarkan bahwa keselamatan itu tidak hanya monopoli orang-orang Islam, melainkan juga milik penganut agama lain. Surah al-Baqarah, 2:62 secara tegas menyatakan:
Ayat tersebut jelas sekali menuturkan bahwa semua manusia akan selamat sepanjang memenuhi tiga syarat utama, yakni beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, dan berbuat amal shaleh. Ketiga syarat utama dimaksud pada intinya merupakan ajaran dasar semua agama, yang berbeda hanyalah bahasa penyampaiannya. Sayangnya, manusia seringkali terlalu bersemangat untuk menyelamatkan sesamanya manusia atau terlalu ambisi untuk memasukkan manusia lain ke surga dan lupa akan keterbatasan dan kelemahan dirinya sehingga di antara mereka ada yang bersikap melebihi Tuhan, menginginkan agar seluruh manusia masuk ke dalam satu agama, bahkan satu aliran. Semangat yang menggebu-gebu itulah yang sering mengantarkan mereka memaksakan pandangan dan keyakinannya pada orang lain, serta menganggap orang lain yang tidak sependapat dengan mereka sebagai kafir dan harus masuk neraka. Tuhan saja yang Maha Pencipta justru memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalannya sendiri. Siapa yang ingin percaya silahkan dan siapa yang menolak terserah juga baginya. Setiap agama menjanjikan kemashlahatan bagi manusia. Setiap penganut agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan yang merupakan sumber ajaran agama itu adalah Tuhan Yang Maha Sempurna, Tuhan yang tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya. Tuhan sedemikian besar sehingga rahmat-Nya pasti menyentuh seluruh makhluk-Nya. Akhirnya, diperlukan langkah-langkah yang terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat kontrol, terlebih lagi sebagai alat untuk mendominasi. Jangan lagi ada politisasi agama. Kini sudah waktunya mengembalikan agama kepada posisinya yang hakiki, yaitu kepada misi spiritualnya sebagai sumber etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa merahmati kita semua warga negara Indonesia. Wallahu a`lam bi al-shawab. Pada tanggal 2-4 Desember 2015 saya menghadiri Pertemuan Pakar dalam Jaringan Negara-Negara OKI (The First Expert Meeting of the OIC Network) terkait isu kependudukan, reproduksi, kematian, kelahiran dan kesehatan anak, bertempat di Ankara, Turki, kerjasama OKI (Organisasi Kerjasana Islam) dan SESRIC (Statistical, Economic and Social Research and Training Centre for Islamic Countries). OKI berisi 57 negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menyebar dalam wilayah yang sangat luas, terbentang di 4 benua—dari Albania di utara (Eropa) sampai Mozambiq di selatan (Afrika)—dari Guyana di barat (Amerika Latin) sampai Indonesia di timur (Asia). OKI (Organisasi Kerjasama Islam) mencakup beragam suku bangsa, menggunakan puluhan bahasa, dan menerapkan ratusan ragam tradisi. Keragaman ini seharusnya menginspirasi OKI untuk menjadi institusi terdepan mengusung perdamaian dalam kemajemukan. Negara-negara anggota OKI menempati 1/6 wilayah dunia, tapi penduduknya mencapai 23% dari total penduduk dunia. Islam merupakan kelompok agama yang berkembang paling cepat di dunia, menyusul Kristen, Hindu, Yahudi dan lainnya. Itulah mengapa isu kependudukan menjadi sangat krusial. Isu ini diduga akan melahirkan berbagai problem, seperti kemiskinan, pengangguran, kelaparan, kesehatan, kematian balita dan ibu melahirkan, penyebaran penyakit serta kerusakan lingkungan. Meskipun sejumlah progress telah diraih oleh negara-negara anggota OKI, namun OKI masih menghadapi problem yang sangat besar terkait kematian ibu melahirkan, pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi, kematian bayi dan balita, serta ledakan penduduk. Ada banyak faktor berkelindan sebagai penyebab, diantaranya: kemiskinan, rendahnya pendidikan, buruknya layanan kesehatan, budaya patriarki, korupsi, serta rendahnya dukungan politik dari pemerintah yang dibuktikan dengan kecilnya dana yang dialokasikan negara-negara OKI untuk merespon isu ini. Rata-rata negara OKI hanya menggunakan 4,4 % dari GDP untuk sektor kesehatan, sangat menyedihkan. Namun, hal yang paling mengemuka adalah ketidakadilan sosial.
Forum ini juga membahas pentingnya kerjasama negara-negara OKI dalam menyukseskan target SDG's. Keberhasilan OKI dalam MDG's lalu sangat kecil. Mengentaskan kemiskinan hanya diraih 8 negara (Iran, Kazakhstan, Kuwait, Malaysia, Maldives, Turki, Turkmenistan, dan UAE (United Arab Emirates)). Mengurangi kematian balita hanya diraih 5 negara (Bahrain, Malaysia, Oman, Turki, UAE). Mengurangi kematian ibu hanya dicapai 5 negara (UAE, Kuwait, Malaysia, Bahrain, Turki). Mengurangi HIV/Aids, Malaria dan penyakit lainnya dicapai hanya 2 negara (Turki dan UAE). Menjaga kelestarian lingkungan hanya diraih 2 negara (UAE dan Malaysia). Sumber data: SESRIC 2014. Catatan: Tulisan ini pertama kali diunggah di http://www.megawatiinstitute.org/home/pemikiran/musdah-mulia/399-negara-islam-bicara-kependudukan-dan-kesehatan-reproduksi.html Oleh: Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP dan Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) [email protected] Asia Consultation on Gender and Militarism in Asia yang bertema Konsultasi: Mengaitkan Analisis Regional ke Aksi-aksi Lokal (Linking Regional Analysis to Local Practices) berlangsung selama tiga hari, 7-9 Desember 2015, bertempat di Hotel Marco Polo, Manila, Filipina. Acara ini dihadiri 26 peserta mewakili 9 negara di Asia yaitu, Filipina, Fiji, Sri Lanka, India, Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Nepal, dan Korea Selatan. Ada juga 4 peserta pengamat dari Australia dan Amerika. Kegiatan ini diadakan oleh WPP (Women Peacemakers Program). Forum ini secara serius membahas 6 topik, yaitu: 1) Militerisme sebagai Warisan Kolonial: Memperingati Perang di Asia. 2) Melawan Terorisme dan Dampaknya bagi Kesetaraan Gender. 3) Menghadapi Kelompok Ekstremis Agama di Asia; 4) Perang dan Konflik: Sebuah Problem Global yang Memerlukan Solusi Global. 5) Pendidikan Damai yang Sensitif Gender: Mengubah Masyarakat yang Militeristik. 6) Analisis Feminis terhadap Ekonomi Makro: Gender dan Konflik. Hal menarik dalam forum ini adalah pemutaran beberapa film dokumenter terkait isu militerisme, kekerasan, konflik dan diskriminasi gender. Film bisa menjadi media paling ampuh menggugah kesadaran masyarakat dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya empati kemanusiaan demi mengakhiri semua bentuk konflik, perang dan ketegangan sampai skala yang paling kecil di rumah tangga. Forum ini secara kritis dan holistik mengevaluasi berbagai pendekatan yang digunakan dalam paradigma pembangunan, termasuk membangun perdamaian dan menghentikan perang dan konflik, yang dianggap tidak lagi efektif pada masa kini. Setiap peserta—yang terdiri dari berbagai bangsa, gender, warna kulit, budaya dan agama—menjelaskan adanya bahaya ekstremisme agama di negara mereka masing-masing. Menarik dicatat bahwa dalam semua kelompok agama selalu saja ditemukan kelompok ekstremis. Kondisi ini muncul akibat berbagai faktor yang saling berkelindan, seperti ketidakadilan, keserakahan, diskriminasi, kemiskinan, kurangnya pendidikan, urbanisasi, dan kegagalan merespon perkembangan global yang demikian cepat. Kelompok ektremisme dianggap sebagai musuh terbesar perdamaian dan kelangsungan pembangunan, dan bahkan peradaban manusia karena ideologi kekerasan dan aksi-aksi brutal yang menyertainya. Kelompok ini secara sistematik dan terorganisir menyebarkan gagasan intoleran, anti perdamaian, anti feminisme, anti demokrasi dan anti HAM. Khusus di Indonesia, mereka sangat gigih menebarkan paham anti Pancasila, anti nasionalisme dan anti Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa perempuan menjadi sangat peduli? Faktanya, setiap kondisi tidak damai, setiap konflik, perang dan kekerasan selalu menjadikan perempuan dan anak sebagai target dan korban utama. Lihat saja konflik Aceh, perempuan dan anak-anak adalah korban terbesar. Mereka diperkosa, diteror dan diintimidasi, menderita berbagai kekerasan fisik, psikis, mental, ekonomi, dan seksual. Sayangnya, media kurang tertarik memberitakan penderitaan perempuan. Sangat ironis, ketika konflik dan perang mulai reda, perempuan justru menjadi kelompok pertama yang berusaha merajut damai. Mereka memulai rekonsiliasi dengan pendekatan feminin dan keibuan. Mereka harus survive untuk merawat kelangsungan hidup anggota keluarga, terutama anak-anak. Mereka berjuang dan bertahan hidup agar dapur terus mengepul sebagai tanda kehidupan. Meski demikian, pada saat perjanjian damai ditandatangani, hanya laki-laki yang duduk dalam meja perundingan, perempuan cukup menonton dari kejauhan. Sebab, eksistensi mereka dianggap tidak penting. Ideologi ekstremisme menjadikan perempuan sebagai sandera dan sasaran tembak yang paling empuk. Mengapa? Karena perempuan dalam hampir semua budaya masih dianggap sebagai kelompok lemah dan kurang penting, hanya objek seksual, warga negara kelas dua, dan mesin reproduksi. Karena itu, forum ini menegaskan, perempuan harus memperkuat jaringan, bersatu melawan ekstremisme agama. Mereka harus meningkatkan kualitas diri, pengetahuan, wawasan, pengalaman, termasuk kualitas spiritual agar kuat menghadapi berbagai ancaman dan teror, fisik dan non fisik yang setiap detik dilancarkan kelompok tersebut. Perempuan harus mampu meng-counter berbagai isu secara elegan, penuh percaya diri dan tetap mengutamakan cara-cara damai yang mengedepankan kasih sayang, bukan dengan cara-cara brutal, militeristik dan penuh kekerasan. Pendidikan damai yang sensisitif gender merupakan kunci utama dalam upaya melawan dan mengurangi terorisme dan ekstremisme. Pendidikan damai harus dimulai dari institusi keluarga, dan nilai-nilai universal perdamaian hendaknya ditanamkan pada anak-anak sejak dini, dan berlanjut secara sistemik dalam pendidikan formal di semua level melalui pendekatan yang sensitif gender. Keadilan dan kesetaraan gender adalah obat mujarab yang mampu mencairkan ketegangan, konflik dan perang yang diakibatkan oleh penyalahgunaan kekuasaan dengan pendekatan patriarkal. Akhirnya, mari bersama bertekad merajut damai sesuai kapasitas masing-masing, dan menjadikan perdamaian abadi sebagai tujuan bersama. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|