Oleh: Mariana Amiruddin Inilah pertama kalinya para Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) bertemu muka, saling mengenal dan berbincang mengenai persoalan-persoalan perempuan di Indonesia yang menurut mereka perlu diulas oleh Jurnal Perempuan. Acara dibuka oleh Deedee Achriani, Wakil Direktur Jurnal Perempuan yang menggagas kegiatan ini. Pertemuan ini diadakan untuk mendengarkan gagasan dan pendapat mereka sebagai sahabat, pelanggan dan pembaca Jurnal, tentang persoalan perempuan dan gender yang diulas dalam setiap terbitan. Erry Seda salah seorang SJP, bersedia menjadikan kediamannya di Pondok Indah, untuk menyelenggarakan pertemuan ini pada hari Minggu, 25 November 2012. Erry Seda adalah pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tampak Syamsiah Ahmad, Ninuk Pambudhi, Esthi Susanti Hudiono, Ida Ruwaida, Deva Rachman serta tamu-tamu baik yang sudah lama sekali maupun yang baru saja mengenal dan menjadi pelanggan Jurnal Perempuan. Jane Ardaneshwari yang juga salah seorang SJP, dengan sukarela menjadi pembawa acara dalam pertemuan ini. Syamsiah Ahmad mengawali perbincangan bahwa sudah saatnya strategi gerakan perempuan mengganti kata “empower” dengan kata “setara”. Menurutnya kata “power” memberikan citra bahwa hanya kekuasaan yang ingin diraih oleh perempuan, atau untuk menguasai laki-laki, sementara kesetaraan menurutnya lebih pada kepentingan atas sikap toleran dan apresiasi dari kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Ajakan bersahabat menurutnya saat ini lebih baik karena perubahan perlu dilakukan seluruh orang, termasuk laki-laki. Beberapa SJP lain bahkan menganggap tidak hanya itu, pentingnya mata kuliah kesetaraan gender dalam setiap kurikulum pendidikan supaya berdampak luas di seluruh masyarakat dari segala usia. Dua sahabat yang kebetulan bekerja di perusahaan mengatakan bahwa sayang sekali bila topik-topik yang diangkat Jurnal Perempuan tidak sampai ke teman-teman di tempat kerjanya. “Berdampak lebih luas” adalah sebagian besar harapan para SJP dalam diskusi ini. Beberapa tema mereka gagas, diantaranya tentang “perempuan dan karir”, termasuk di dalamnya tentang hak-hak pekerja perempuan, dan beban ganda yang sering menjadi dilema perempuan. Jane menambahkan bahwa perempuan pekerja kelas menengah juga mengalami diskriminasi, meskipun kelihatannya mereka baik-baik saja. Jane memberi perumpamaan sebagai “luka dalam” yang dialami perempuan kelas menengah, yang tak terlihat dan sulit untuk diraih persoalannya, apalagi penyelesaiannya. Menurutnya Jurnal Perempuan perlu menganalisis persoalan ini. Esthi Susanti Hudiono setuju dengan pernyataan Syamsiah Ahmad bahwa saat ini isu gender dan feminisme bukan lagi disasar hanya untuk perempuan melainkan juga laki-laki. Ia berharap gerakan perempuan tidak lagi eksklusif. Tambahannya lagi bahwa banyak kasus-kasus yang ditangani LSM lain yang dapat diangkat oleh Jurnal Perempuan, dan kasus tersebut dapat disajikan secara ilmiah dengan menggunakan metodologi feminis. Seperti soal Jaminan Sosial untuk perempuan, menurutnya ini menjadi tema penting. Begitupula mengenai pernyataan Menteri Pendidikan tentang pemerkosaan beberapa waktu yang lalu menimpa pada seorang siswi, menurut Esthi seharusnya kita bersama-sama membuat kriteria siapa seharusnya yang layak menduduki jabatan Menteri Pendidikan. Ia meminta kasus ini dapat dirumuskan oleh komunitas Sahabat JP. Diskusi berkembang menjadi harapan bahwa SJP menjadi sebuah komunitas pembaca Jurnal Perempuan sekaligus komunitas yang mendiskusikan strategi gerakan perempuan ke depan. Muncul perdebatan menarik ketika Jane dan Esthi mengusulkan bagaimana supaya JP disajikan tidak terlalu serius atau agak sedikit populer dengan tidak mengubah substansinya. Esthi menyatakan bahwa kalangan bawah kesulitan mencerna tulisan-tulisan di Jurnal Perempuan, sementara Jane menyatakan banyak perempuan yang menyukai sajian populer yang perlu diraih. Namun, Helga Worotijan salah satu SJP yang hadir saat itu menyangkal bahwa nama “Jurnal” itu memang sudah seharusnya disajikan secara serius, tetapi mungkin isunya lebih diluaskan, isu yang barangkali lebih populer. Ninuk Pambudhy menanggapi bahwa soal kemasan memang penting, karena ini soal konsumsi, tetapi tetap setuju denga Helga bahwa bukan menjadi tidak serius melainkan sekali-sekali menghadirkan wacana yang lebih kontomporer seperti masalah budaya pop, perempuan urban, dll. Ketika Jane mengusulkan sebuah survei, Ninuk menanggapi bahwa survei biasanya perlu biaya besar dan perlu orang-orang ahli dalam hal metodologi karena harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ninuk mengusulkan JP dapat meminta para peneliti untuk menulis dan kemudian diolah oleh Redaksi Jurnal Perempuan. Perbincangan yang menghangat ini kemudian disimpulkan sementara oleh Jane, bahwa perlu ada persentase topik-topik yang diangkat JP, misalnya sekian persen tema yang tidak aktual dan sekian persen yang aktual. Atau misalnya ada topik-topik di luar tema. Jane juga mengusulkan Jurnal Perempuan perlu sering mengadakan FGD (Forum Group Discussion) untuk lebih mendapatkan isu yang variatif. Deva Rachman, yang bekerja sebagai Direktur Perusahaan Intel, mengusulkan perlunya membahas masalah-masalah perempuan di negara-negara lain yang memiliki keadaan tak jauh berbeda dengan Indonesia. Ida Ruwaida, pengajar sosiologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa JP adalah jurnal satu-satunya yang membahas khusus isu perempuan. Ida menyatakan tidak mudah mengelola jurnal sebagaimana pengalamannya di universitas, terutama mendapatkan penulis atau peneliti yang berkualitas. April, SJP yang sangat aktif mengikuti twitter jurnal perempuan akhirnya ikut menyatakan bahwa Jurnal Perempuan adalah literatur yang memerlukan kajian serius. Apabila ingin meraih masyarakat yang populer, JP dapat membuat semacam suplemen sehingga mengembangkan kebutuhan yang disasar. Akhir dari seluruh perbincangan panjang ini, akhirnya Erry Seda sebagai tuan rumah mendapat bagian bicara, bahwa ada prioritas yang memang perlu diperhatikan, utamanya adalah soal isu. Pertama adalah bahwa isu perempuan adalah lintas kelas, misalnya di dalamnya semua perempuan mengalami KDRT, dan lain sebagainya. Karena itu bahwa yang diperlukan adalah pemantapan isunya. Jurnal Perempuan saat ini memang sedang dalam proses memenuhi syarat akreditasi karena itu memang perlu disajikan secara serius, namun rubrik budaya seperti cerpen dan puisi tidak dihilangkan karena rubrik ini membuat pembaca lebih rileks, dan berdasarkan konsultasi dengan Dikti tentang akreditasi, rubrik tersebut tidak mengurangi point Jurnal, yang penting secara substansi dan teknis artikel sudah memenuhi. Namun dalam hal suplemen, menarik untuk dipikirkan, meskipun saat ini Jurnal Perempuan telah membuat newsletter dan blog di websitenya yang rutin di update setiap minggu. Jurnal Perempuan mencatat masukan dari para SJP tentang persoalan mengenai jumlah demografi perempuan di usia produktif terus bertambah, dan apa yang harus kita lakukan atas jumlah tersebut? Begitupula tentang perempuan usia lanjut, dan perempuan urban. Selebihnya, Jurnal Perempuan perlu update kebijakan-kabijakan baru baik luar maupun dalam negeri, yang berhubungan dengan kehidupan perempuan. Kegiatan pertemuan para SJP ini memberi banyak inspirasi, dan semua berharap agar Jurnal Perempuan terus terbit dan merasa kita semua memiliki JP dan JP adalah perahu bersama untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Acara ini ditutup oleh pembacaan puisi oleh Helga Worotijan, tentang ibu rumah tangga. Sepetik puisinya mengatakan “hanya tiga hal yang membuat perempuan terbangun, yaitu/tangisan anaknya/suami yang ingin bercinta/matahari terbit.” Pertemuan SJP ini akan diadakan 3 bulan sekali. Selain membahas topik yang diangkat Jurnal Perempuan, juga untuk meraih banyak pembaca dan sahabat, dan tentu saja merancang strategi gerakan perempuan ke depan. Oleh: Gadis Arivia Apakah yang membuat perempuan begitu tertarik dengan Obama? Sudah dua kali pemilihan presiden berlangsung di tahun 2008 dan 2012, dan setiap kali perempuan mendukung Barack Obama secara bulat. Pertama kali Obama menjadi kandidat presiden pada tahun 2008, sebanyak 54% perempuan memilih Obama dan hanya 40% yang memilih John McCain. Kini, lebih banyak lagi perempuan pendukung Obama, sebanyak 56% dan hanya 38% yang mendukung Mitt Romney. ibu-ibu pun secara besar-besaran mendukung Obama lebih dari 56%! Perempuan dengan demikian dikatakan yang sangat menentukan pemilihan presiden di AS kali ini. Hal ini tentu mengherankan karena persoalan AS yang banyak dibahas akhir-akhir ini adalah persoalan ekonomi. Mitt Romney dengan demikan sangat percaya diri di awal musim panas, hanya memusatkan perhatian pada persoalan ekonomi, khususnya jobs, jobs, jobs. Bahkan kubu Romney mengambil mantra it's the economy, stupid! yang pernah dipopulerkan oleh tim sukses Bill Clinton pada tahun 1992 ketika AS saat itu mengalami kesulitan ekonomi. Jadi, Romney merasa yakin bahwa isu ekonomi lah yang akan mendominasi dan isu-isu sosial dianggap tidak penting. Oleh sebab itu, Romney dengan ringan menerangkan rencana penghematan keuangan di bawah kepemimpinan kabinetnya nanti, yaitu, dengan memotong anggaran Planned Parenthood (berkaitan dengan urusan kesehatan perempuan termasuk kesehatan reproduksi perempuan). Planned Parenthood adalah organisasi yang memberikan akses kontrasepsi termasuk tindakan aborsi dengan biaya murah. Terry O’Neil, presiden Planned Parenthood mengungkapkan bahwa rencana Romney membuat perempuan sangat marah dan menganggap partai Republik tengah “berperang” melawan perempuan. Persoalan menjadi begitu meruncing ketika pada bulan Oktober 2012, calon kandidat Senator dari Partai Republik, Todd Akin yang anti aborsi (anti pro-choice) memberikan komentar yang menyakiti hati perempuan. Ia mengatakan bahwa perempuan secara biologis dapat menghentikan kehamilan termasuk bila terjadi ‘perkosaan yang sah’. Komentar Todd Akin mengundang kemurkaan perempuan yang luar biasa. Perempuan berteriak bahwa “perkosaan adalah perkosaan titik”, tidak ada perkosaaan yang sah dan tidak sah. Sejak saat itu, diskusi publik tentang hak-hak perempuan menjadi perdebetan sengit. Lisa Maatz, direktur kebijakan dari American Association of University Women berpendapat bahwa masalah utama dari Partai Republik adalah mereka tidak mengerti sama sekali bahwa persoalan ekonomi yang mendasar bagi perempuan adalah persoalan hak-hak perempuan. Bila persoalan hak-hak perempuan tidak terpenuhi maka akan berdampak pada persoalan ekonomi. Perempuan yang tidak memiliki akses kontrasepsi atau aborsi tidak akan dapat bekerja dengan baik atau melanjutkan kariernya dengan maksimal. Jadi persoalan hak-hak perempuan berkorelasi dengan persolan ekonomi (baca lebih lanjut isu ini di Jurnal Perempuan No.74: Perempuan Agen Ekonomi?) Romney telah membuka front dengan perempuan AS. Namun, bukan saja perempuan yang menjadi masalah untuk Romney, masalah homoseksual utamanya masalah perkawinan sesama jenis juga menjadi perdebatan. Partai Republik adalah partai yang sangat didukung oleh kelompok relijius terutama Evangelical. Kelompok ini dengan terang-terangan menolak perkawinan sesama jenis. Partai Demokrat di lain pihak mencalonkan Tammy Baldwin, seorang lesbian, dari negara bagian Wisconsin untuk menjadi anggota Senat yang akhirnya menang telak melawan kandidat Partai Republik. Ia menjadi anggota Senat pertama yang mengaku secara terbuka sebagai seorang lesbian. Baldwin mendukung kesetaraan perkawinan (marriage equality) termasuk perkawinan sesama jenis. Pada malam pemilu, terbukti rakyat AS di negara bagian Maryland, Washington dan Maine memilih membolehkan perkawinan sesama jenis. Ini adalah kemenangan yang luar biasa yang dapat menular ke negara-negara bagian lainnya. Demikian pula dengan kelompok latino/hispanik yang merupakan kelompok marjinal di AS. Kelompok ini memiliki persoalan imigran gelap yang menjadi pembahasan pro-kontra di AS. Adalah Obama yang sering memberikan perhatian terhadap kelompok ini dan bahkan mengeluarkan kebijakan “Dream Act” untuk membolehkan anak-anak imigran gelap menetap di AS dan mendapatkan hak-hak yang sama dengan penduduk AS. Warga negara AS keturunan latino/hispanik tentu tidak melupakan jasa-jasa Obama begitu saja, mereka dengan kekuatan yang besar mendatangani bilik/kotak suara pada hari pemilu dan memberikan 71% suara. Selain itu, Obama pun mendapatkan suara terbesar dari keturunan Asia sebesar 73% dan suara keturunan Afrika (kulit hitam) sebanyak 93%. Perempuan, gay&lesbian, latino/hispanik, Asia serta kulit hitam merupakan kelompok minoritas yang berkoalisi untuk Obama dan bersama-sama mengantarkan Obama kembali ke Gedung Putih di tahun 2012. Apakah kesamaan mereka dengan Obama? Sehingga mereka begitu gigih membela dan mendukung Obama? Sebagian besar dari kelompok minoritas mengidentifikasikan diri mereka dengan Obama. Obama yang dibesarkan oleh ibunya (sebagai orang tua tunggal), keluarga sederhana, masuk universitas dengan beasiswa, dan memahami arti multi-rasial sehingga memiliki rasa toleransi yang tinggi, merupakan presiden yang percaya dengan apa yang disebut “American Dream”, yakni, kerja keras dan kesempatan yang sama untuk semua orang. Sedangkan Romney yang berasal dari kelas atas, seorang pengusaha besar, bekas anak gubernur dan konservatif dalam pandangan isu-isu sosial, dianggap tidak mewakili demografi AS yang kian plural dan kian liberal. Terutama Romney tidak memahami makna kelas menengah, kelas yang berjuang, kelas yang diwakili oleh Obama. “Tonight you voted for action, not politics as usual….” ungkap Obama dalam pidato kemenangannya. Memang kali ini pemilu di AS bukan politics as usual melainkan sebuah gerakan untuk mewujudkan Amerika yang inklusif, Amerika yang toleran. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|