![]() Apakah anda membaca surat-surat Kartini? Apa yang membekas dalam sejarah sehingga Kartini harus terus diingat-ingatkan? Dalam sejarah, “membekas” tak sekadar berarti “berkesan”, melainkan “berpesan”. Meninggalkan pesan, itulah pelajaran sejarah. Surat-surat Kartini adalah pesan sejarah tentang kegelisahan dan harapan, yang berasal dari keyakinan: bahwa kegelapan tak akan menetap. Bahwa pikiran dan kecerdasan akan membawa terang kesetaraan. Pesan tak berasal dari peristiwa. Peristiwa dapat berkesan, tetapi pesan harus dibuat agar peristiwa itu menetap sebagai pelajaran. Kebaya adalah kesan. Tetapi Emansipasi adalah pesan: bahwa feodalisme adalah sarang patriarki. Ia ada di dalam institusi-institusi kita hari ini: partai, birokrasi, LSM, media, bahkan universitas. Patriarkisme adalah struktur kekuasaan. Dipelihara oleh partai melalui sistem oligarki. Dipatuhi pers karena pertimbangan bisnis. Meluas di kampus melalui doktrinasi moral. Bahkan dalam berbagai mitos lokal, struktur patriarki itu dirawat sebagai kearifan. Ketika Zeus mengirim Pandora ke dunia, raja para dewa itu membekali si perempuan pintar ini kotak rahasia, dengan perintah, “Jangan sekali-kali kau buka kotak itu, Pandora!” Pandora diciptakan oleh semua dewa. Ia memperoleh seluruh keunggulan semua penciptanya: Apollo memberinya suara merdu. Aphrodite mewariskan kecantikannya dan menyediakan perhiasan mewah. Hermes membekali kecerdasan terbaik. Pada Pandora, seluruh kesempurnaan perempuan telah selesai. Tetapi Pandora menolak patuh pada perintah Zeus. Ia membuka kotak itu, demi kuriositas, “Jangan-jangan isinya kamera pengintai.” “Aku tak ingin dikendalikan!”, dengan keputusan itu, Pandora membuka kotak rahasia itu. Tapi nasib telah ditentukan: seluruh kejahatan keluar dari dalam kotak, menyebar ke seluruh dunia. Maka hukuman jatuh: perempuan adalah sumber segala kejahatan, “the root of all evil”, “femme fatale”, “sundel bolong”. Kutuk itu bahkan ada dalam doa seorang laki-laki di pagi hari, “Terima kasih Tuhan, karena aku tidak dilahirkan sebagai seorang budak, dan tidak lahir sebagai perempuan.” Tetapi dalam hermeneutika feminisme, Pandora bukan akar segala kejahatan. Ia adalah pembawa terang kesetaraan: bahwa pengendalian perempuan adalah kejahatan peradaban. Hari ini, seorang perempuan diingat karena keberaniannya menuntut terang. Dari ruang gelap feodalisme, yang kini justru dihuni kaum cendekia. Selamat Hari Kartini. ![]() Apa pikiran anda tentang kondisi kaum intelektual kini? Apakah semangat mempertahankan kebebasan masih menandai mereka? Apakah akademisi adalah kaum intelektual? Berpikir dalam “konsep” adalah ciri intelektual. Yaitu aktivitas mengolah problem dengan mengambil jarak dari konsekuensi praktisnya. Tetapi sejak Gramsci, pandangan tradisional itu tak lagi dominan. Medan politik memerlukan pikiran yang terlibat. Kaum intelektual menjadi bagian dari perubahan sosial. Terutama pada feminisme, aktivitas berpikir adalah aktivitas mengubah kondisi ketidakadilan, pada seluruh institusi sosial. Seringkali, kondisi poskolonial menjadi latar dari mental kaum intelektual hari ini. Terutama dalam menerangkan kegagapan menghadapi globalisasi. Obsesi pada otentisitas menyebabkan kegagapan itu berubah menjadi kebencian pada “yang asing”. Sindrom poskolonial inilah yang kini menguasai alam pikiran kampus. Apakah anda memperhatikan gejala ini? Bukankah aneh bahwa sikap feodal di antara akademisi justru tumbuh di kampus? Bagaimana menerangkan hilangnya tradisi kritisisme di Universitas? Misalnya bahwa kepangkatan birokratis menentukan kualitas riset atau jabatan formal dalam birokrasi kampus sekaligus berarti keunggulan intelektual? Dalam debat tentang pengaruh kolonialisme pada sejarah Afrika, Valentin Mudimbe, filsuf Congo, menerangkan bahwa yang lebih menentukan adalah kedalaman ideologis yang ditinggalkan kolonial, ketimbang lamanya masa kolonial itu. Saya membaca tesis itu di kita, di sini. Artinya, pada masyarakat poskolonial, dekolonisasi belum terjadi pada tahap ideologis dan kampus bahkan menjadi institusi yang mereproduksi hierarki feodal dalam dunia pikiran. Hierarki adalah ideologi patriarkis. Akademisi yang memanfaatkan hierarki birokratik untuk menghalangi kompetisi pikiran adalah agen kolonial masa kini. Ia mereproduksi struktur dominasi dengan cara yang sangat bodoh: takut pada kebebasan. Maka kita menyaksikan paradoks itu: penampilan publik seorang akademisi terlihat palsu, karena di dalam kampus ia sesungguhnya seorang yang anti keadilan. Ia mengeksploitasi hierarki karena takut pada kesetaraan. Di dalam hirarki, ia menjadi penguasa, menjadi patriarkis. Menjadi kolonialis. Selalu relevan membicarakan “kaum intelektual” setiap kali kita merasa kehilangan orientasi dalam membaca “tanda-tanda zaman”. Tetapi bagaimana anda mampu mengintip peluang perubahan menuju kemajuan, bila anda bagian dari mentalitas “takut bebas”? Filsafat adalah undangan untuk berpikir. Tetapi kampus hari ini telah berubah menjadi lokasi birokrasi. Isinya adalah tumpukan formulir. Berpikir mengikuti format formulir? Itu bukan watak filsafat dan bukan watak intelektual. Nicholas Jackson University of Melbourne ![]() In her inaugural English collection of poems published by Yayasan Jurnal Perempuan, Yacinta affirms herself as an “activist, feminist, extremist and optimist” (“The United Nations of Me”) and she consolidates this throughout the volume. Yacinta’s writing is provocative, alive and fun and her poems are as critical and cynical as they are thoughtful and considerate. In this first collection she covers religion, sexuality, the 1965 massacre, pop culture, patriarchy, refugees, Asian identity and women’s rights. The stories told in the poems are honest and refuse to be ignored. The collection’s title To whom it may concern serves as the title for several poems in the collection that provide a gentle, but powerful and persistent voice for the survivors of the 1965 massacre that collectively and defiantly say: we have not forgotten. The other poems in the collection are sometimes autobiographical, sometimes a moving tribute, sometimes a lamentation and sometimes a celebration, but they are all powerful social commentaries. The poems in the collection are accompanied with equally beautiful illustrations by Dewi Candaningrum. Yacinta has established herself as everything she described in the "United Nations of Me" and more. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|