Sejauh mana perjumpaan kita dengan sains dan teknologi? Apakah hari-hari ini kita masih mengajukan pertanyaan: Mengapa buah Apel jatuh dari pohonnya? atau yang lebih kontemporer: Sejauh mana revolusi industri 4.0 mengubah hidup kita? Di tengah-tengah peradaban virtual, barangkali sebagian besar dari kita sudah tidak lagi mempersoalkan secara radikal pertanyaan-pertanyaan di atas—konon karena sains dan teknologi keduanya telah mewujud, merasuk, dan menyatu dalam tubuh, pikiran dan keseharian kita secara masif. Sepertinya hal yang semakin jauh jika kita menggugat sains dan teknologi sebagai institusi dan produk maskulin, bahkan argumen tentang representasi perempuan di bidang tersebut seperti kisah klasik untuk peradaban virtual ini. Namun meski sulit, penting bagi kita mengajukan pertanyaan kritis lainnya: Mengapa virtualisasi komunikasi, informasi, dan ruang tidak menjamin kesetaraan gender? Mengapa kemajuan teknologi Industri tidak beriringan dengan semangat menjaga rahim bumi? Adakah yang salah dari paradigma sains dan teknologi? Para feminis sejak lama mempertanyakan dan mengkritik isi, metodologi, dan epistemologi ilmu pengetahuan. Para feminis mencurigai bahwa ada bias androsentris dalam sejarah perkembangan teori dan praktik sains sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Mereka mempertanyakan apa yang disebut rasional, objektif dan ilmiah sebagai sebuah syarat ilmu pengetahuan dapat diterima. Para feminis tersebut menggunakan pendekatan filsafat sains dan teori feminis untuk membuktikan kecurigaan mereka terhadap sejarah dan praktik ilmu pengetahuan. Filsafat feminis sains dan teknologi muncul di tahun 1970-an sebagai bagian dari gelombang kedua aliran feminisme. Para pemikirnya antara lain Evelyn Fox Keller, Donna Haraway dan Sandra Harding Para feminis tersebut mendekati dan menggugat teori-teori maupun ilmu pengetahuan yang selama ini memiliki standar positivistik, objektivistik dan teknokratik (Dusek, 2006: 137). Gugatan pada feminis tersebut muncul antara lain dipengaruhi oleh pemikiran post-postivism oleh Thomas Khun, gerakan ekologi dan kritik para feminis tentang basis ilmu pengetahuan. Para feminis sains dan tenologi memetakan tiga area yang perlu diinvestigasi dari hubungan perempuan dan teknologi yaitu menyoal kontribusi perempuan dalam penemuan teknologi, pengaruh teknologi rumah tangga dan reproduksi terhadap perempuan dan metafora atas teknologi vs alam sebagai maskulinitas vs femininitas. Pertama, kontribusi perempuan dalam teknologi dan penemuan dipertanyakan oleh para feminis. Di tahun 1960-an, dalam ilmu antropologi muncul teori tentang homosapiens modern yang disebut “Man The Hunter”. Teori tersebut beranjak dari klaim peradaban bahwa berburu dianggap sebagai pusat pekembangan manusia dan kerjasama sosial, laki-laki lebih dominan dalam berburu sehingga dianggap lebih bertanggung jawab pada kemajuan sosial dan umat manusia. Teori tersebut dikiritk oleh Ruth Hubbard dengan melontarkan pertanyaan, “Apakah hanya manusia laki-laki yang berevolusi?”. Di tahun 1970-an para antropolog perempuan dengan pengaruh pemikiran feminisme memunculkan teori “Women Gatherer”, yang artinya perempuan telah berkontribusi terhadap persediaan makanan umat manusia dengan mengumpulkan tanaman, kacang-kacangan dan biji-bijian. Para antropolog tersebut mengklaim bahwa menyediakan makanan dari tumbuh-tumbuhan lebih penting daripada melakukan perburuan besar-besaran (Dusek, 2006). Perdebatan tentang siapa, laki-laki atau perempuan yang menjadi pusat kemajuan teknologi tidak berhenti sampai di situ, Lewis Mumford juga mengkritik para sejarawan teknologi yang kerap kali melupakan kontribusi perempuan dalam sejarah kemajuan teknologi, ia mengungkapkan bahwa jika alat tranportasi adalah kepanjangan dari kaki, maka rahim dan payudara tak bisa dilupakan sebagai perpanjangan teknologi penyimpanan dan inkubasi itu sendiri. Salah satunya ialah Voltaire, yang menyatakan bahwa perempuan bukanlah penemu/ilmuwan, jika memang ada maka keberadaannya perlu ditutupi, dan perempuan hanya membuat penemuan yang mereka sukai saja atau disebut “pekerjaan perempuan”. Ann Harned misalnya, ia menemukan penuai mekanik bersama suaminya namun hanya suaminya yang diumumkan sebagai penemu teknologi tersebut. Sayangnya, argumen Voltaire sepertinya lebih didengar oleh peradaban patriarki sehingga para penemu dan ilmuan perempuan seakan-akan tak memiliki kontribusi apapun dalam kemajuan dan inovasi teknologi (Dusek, 20016: 139). Kedua, teknologi memiliki dampak spesifik bagi perempuan. Val Dusek dalam Philosophy of Technology (2006) menjelaskan bahwa setidaknya ada dua jenis teknologi yang memiliki dampak langsung dan memengaruhi peran-peran perempuan dalam struktur sosial, yaitu teknologi rumah tangga dan teknologi reproduksi. Mesin cuci, oven, vacum cleaner, microwave dan kompor gas adalah beberapa diantara produk teknologi rumah tangga. Bagi perempuan kelas atas, kehadiran teknologi rumah tangga dianggap telah berkontribusi terhadap kerja-kerja mereka di dalam rumah dengan membuat pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Namun bagi perempuan miskin, kehadiran teknologi rumah tangga yang memberikan efisiensi waktu tersebut tak cukup membantu karena pada faktanya tak ada pengurangan beban kerja rumah tangga mereka, justru semakin banyak pakaian yang harus dicuci, semakin luas rumah yang harus dibersihkan. Oven membuat aktivitas fisik untuk memasak berkurang, begitu juga dengan keahlian memasak semakin hilang. Hal ini juga berdampak pada penghormatan suami terhadap kerja-kerja istri. Hadirnya teknologi rumah tangga membuat istri dianggap ‘tidak bekerja’ oleh suami mereka. Lebih jauh, Dusek juga mengemukakan bahwa teknologi rumah tangga membuat perempuan jadi konsumen atau pengguna dan laki-laki menjadi pembeli, desainer, petuga servis dan lai-lain. Sulamith Firestone dalam Dialectic of Sex (1970) menyatakan bahwa memisahkan perempuan dari rahim biologisnya adalah cara untuk mencapai kesetaraan yang seutuhnya. Ini adalah awal mula dimana teknologi reproduksi dianggap sebagai penyelamat perempuan (Dusek, 2006). Gagasan Firestone mendapatkan kritik dari berbagai feminis karena tak sepenuhnya teknologi itu netral gender. Pada faktanya teknologi reproduksi dikuasai oleh laki-laki, dokter laki-laki memimiliki kontrol penuh atas tubuh perempuan, meskipun di satu sisi ada teknologi kontrasepsi dan aborsi memungkinkan perempuan mendapatkan kontrol atas tubuhnya dengan penuh dan teknologi fertilasi dan implantasi embrio menjadi sebuah pengharapan bagi perempuan. Teknologi ultrasound, operasi caesar, seleksi gender janin adalah contoh teknologi reproduksi yang dicurigai dan berpotensi menghilangkan kemampuan subjek kehamilan itu sendiri yaitu perempuan. Diskursus mengenai teknologi reproduksi terus terjadi, perempuan diharapkan dapat memanfaatkan teknologi reproduksi namun perlu waspada karena ada ideologi patriarki di dalamnya. Bahkan Dusek mengungkapkan bahwa teknologi reproduksi adalah sarana dokter laki-laki untuk mengendalikan kehamilan dan persalinan yang tidak bisa ia lakukan. Ketiga, metafora teknologi sebagai laki-laki dan alam sebagai perempuan. Metafora tersebut pada akhirnya mengandaikan bahwa laki-laki bersifat aktif dan perempuan adalah pasif. Namun menurut Dusek, metafora tersebut juga tak sepenuhnya diamini dalam sains dan teknologi, banyak anggapan bahwa metafora hanyalah hiasan luar yang tak penting karena eksperimen, hukum alam, penemuan mekanis berdiri sendiri tanpa identitas gender tertentu. Namun metafora tersebut tidak dapat diabaikan karena berpengaruh terhadap perekrutan dan motivasi perempuan untuk menjadi ilmuwan dan insiyur. Evelyn Fox Keller menganalisis berangkat dari teori Chodorrow yang menyatakan bahwa anak laki-laki harus memutuskan hubungan dengan ibu mereka dalam rangka pembentukan identitas sedangkan hal tersebut tidak terjadi pada perempuan. Hal tersebut berkaitan dengan stereotip maskulin pada sains dan teknologi yang mengunggulkan objektivitas dan ‘tidak bergantung’, ini seperti halnya sifat laki-laki. Tentu citra maskulin sains dan teknologi berdampak pada perekrutan perempuan. Anak perempuan di sekolah menengah atas yang memiliki bakat sains dan teknologi akhirnya tidak dianjurkan dan didorong untuk mengejar studi lanjutan untuk menjadi ilmuwan sains maupun seorang insiyur (Dusek, 2006). Gambaran sains dan teknologi yang dibangun bertentangan dengan gambaran dan ekspektasi masyarakat terhadap femininitas anak perempuan sehingga banyak anak perempuan yang merasa takut untuk menjadi cerdas atau merasa kemampuan teknisnya lebih baik dari laki-laki karena khawatir laki-laki tidak tertarik padanya (Dusek, 2006). Menariknya, metafora dan dualisme yang dibangun atas laki-laki dan perempuan; aktif-pasif, teknis-non teknis, telah diargumentasikan oleh Mary Wollstonecraft. Ia berargumen bahwa jika laki-laki disimpan dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Mary pada waktu itu mengkritik karya Emile karya Jean-Jacques Rousseau yang menggambarkan perkembangan rasionalitas sebagai tujuan pendidikan yang paling penting bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Pemikiran Rousseau ini mengandaikan bahwa murid perempuan yang ideal adalah yang menyibukkan diri dengan musik, kesenian, fiksi, puisi sembari mengasah keterampilannya melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (Tong, 1998:19). Hal ini memperlihatkan bagaimana pola pikir dan konstruksi sosial telah lama dibangun. Pembedaan cara-cara pengasuhan dan pendidikan yang membuat perempuan terpinggirkan dari pendidikan, pendidikan teknologi khususnya (Pratiwi, 2016:11). Sama halnya ketika perempuan memilih sekolah di bidang teknologi, ia menjadi minoritas dan kerap kali harus meninggalkan sifat-sifat femininnya untuk masuk ke dalam dunia teknologi tersebut. Namun pemikiran Betty Freidan mengenai sifat-sifat maskulinitas dan femininitas sangat berbeda. Dalam bukunya The Second Stage ia menggambarkan apa yang disebut sebagai gaya pemikiran dan tindakan beta, yang menekankan pada “fluiditas, fleksibilitas, dan sensitivitas interpersonal” sebagai feminin secara budaya, dan menggambarkan gaya pemikiran dan tindakan alfa menekankan pada “hierarki, otoritas, kepemimpinan yang secara tegas berorientasi tugas berdasarkan rasionalitas intrumental dan teknologi sebagai maskulin secara budaya” (Tong, 1998:44). Ide Betty Freidan ini mengandaikan bahwa perempuan dapat memaksimalkan keduanya, yaitu pola alfa dan beta, yang berarti bahwa sebenarnya perempuan tidak perlu menanggalkan femininitasnya untuk setara dengan laki-laki (Pratiwi, 2016: 11). Kritik para feminis tersebut berlanjut dengan gugatan terhadap status inferior perempuan dalam masyarakat modern (masyarakat dengan ilmu pengetahuan) yang dikukuhkan dengan penemuan sains yang bias. Sangat sering data dari eksperimen ilmiah dan teori yang diperoleh dari data tersebut digunakan untuk memberikan dasar ilmiah untuk membenarkan posisi inferior perempuan dalam masyarakat. Kaum feminis abad ke-19 seperti Blackwell misalnya mengkritik teori pembedaan seksual Darwin yang dimaksudkan untuk menunjukkan kepasifan dan subordinasi bawaan perempuan (Rosser, 1989). Lebih jauh Kathleen Okrulik menganggap bahwa kritik feminis terhadap sains bukan hanya sekadar perihal monolitik tapi juga politik, karena ada penindasan yang terjadi sepanjang perkembangan sains dalam isu-isu tertentu (Okhrulik, 2000). Persoalan yang demikian rumit membuktikan bahwa bias terhadap teori-teori di bidang biologi tidak bisa terlepas dari bias sosial, artinya sains bekerja di ranah sosial juga, maka sains yang berada di laboratorium tidak bisa dikatakan netral karena ia selalu bekerja dan dikerjakan di dalam suatu ruang, di dalam masyarakat, di dalam kultur patriarki. Tiga aspek di atas merupakan wacana perempuan dan teknologi yang memungkinkan saling bertentangan satu sama lain dan bahkan masih diperdebatkan hingga kini. Diskursus di atas memberikan gambaran besar tentang relasi perempuan dengan sains dan teknologi yang terjadi di berbagai dimensi, baik itu level privat maupun publik. Sayangnya keduanya tak bisa dipandang hitam dan putih dan dikotomis, persoalan teknologi yang seakan-akan berada di level publik ternyata masuk dan menyergap diam-diam pada urusan privat perempuan yaitu tubuh. Teknologi sendiri dipahami Dusek bukan hanya perangkat keras atau penemuan ilmiah-objektif namun juga sebagai sebuah sistem sosial. Teknologi sebagai sebuah alat tidak melibatkan metafora atau ideologi gender namun teknologi sebagai sebuah sistem sosial dan budaya melibatkan citra dan metafora sehingga pengguna memiliki peran-peran dalam teknologi. Hal yang menarik adalah kritik yang melihat bahwa sains dan teknologi bukan hanya perihal teori atau alat, melainkan juga perihal politik, artinya sains dan teknologi tidak hanya bekerja di dalam laboratorium tapi juga bekerja untuk melanggengkan kekuasaan. Maka dari ketiga cara kerja para feminis mengkritik sains tersebut, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa para feminis mencurigai netralitas sains dan teknologi, baik dari kesejarahannya, epistemologi, dan politik. Daftar Pustaka: Dusek, Val. (2006). Philosophy of Technology: An Introduction. USA, UK, Australia: Blackwell Publishing Ltd. Okruhlik, Kaathleen. (2000). Feminist Accounts of Science. A Companion to The Philosophy of Science (Ed. W.H. Newston-Smith). UK, New York: Blackwell Publishers Ltd. Pratiwi, Andi. (2016). Perempuan Programmer dalam Pendidikan dan Karier: Kajian Teknofeminisme dalam Sains dan Teknologi. Jurnal Perempuan, Vol. 21 No. 4, 8-24. Rosser, Sue V. (2004). The Science Glass Ceiling: Academic Women Scientists and the Struggle to Succeed. Routledge. Rosser, Sue V. (1989). Feminist Scholarship in the Sciences: Where Are We Now and When Can We Expect a Theoretical Breakthrough? Feminism and Science (Ed. Nancy Tuana). United States: Indiana University Press. Tong, Rosemarie Putnam. (1998). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis (terj). Yogyakarta: Jalasutra. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|