Mereka adalah kapital, konon, dalam filsafat modern. Karena perlakuan yang demikian, reaksi Bumi pun juga tak seperti dulu lagi. Jika dahulu, sekelompok manusia yang mendatangi tempat tertentu akan membuat ritual tertentu untuk mengucapkan salam atau paling tidak say hello, atau meminta ijin kepada Bumi; sekarang manusia datang ke tempat tertentu, mengeksploitasi tambang misalnya, tidak perlu lagi kulo nuwun. Cukup datangkan beberapa bulldozer, siapkan sejumlah senjata untuk melindungi eksploitasi tersebut. Dor-dor-dor! Babi hutan, orang hutan, monyet, atau pohon yang berusia ratusan tahun hilang dalam satu-dua-kali kerukan. Dan beberapa bulan kemudian dihancurkan dengan polutan-polutan yang mengerikan. Paling tidak, kesuburannya yang dibentuk selama minimal 300 tahun, hilang seketika. Kemudian setelah plantasi dan pusat tambang didirikan, didatangkanlah anak-anak perempuan kita yang diculik dan dieksploitasi bekerja sebagai pelayan seksual—tanpa mereka pernah meminta ijin kepada orang tua. Batas-batas negara antara Indonesia dan Malaysia menjadi saksi, bagaimana kasus-kasus trafficking amat mengiris ulu hati. Inilah spesies binatang paling berhasil dalam menciptakan kerusakan-kerusakan atas nama akumulasi kapital, dengan mengeksploitasi alam dan anak-anak perempuan.
Manusia mengira bahwa akumulasi kapital dapat melipatgandakan kebahagiaannya. Mitos bahwa kebahagiaan adalah apa-apa yang bisa dimilikinya (kerap disebut properti), membuat manusia lupa bahwa kepemilikan memiliki batas-batas ekologisnya. Bahwasanya penegakan rumah-rumah di pinggir sungai harus menghormati eksistensi kehidupan sungai sebagai sumber kehidupan yang harus menjadi kesalingtergantungan bersama, atau kerap disebut properti publik, dengan terminologi lebih komprehensif sebagai public goods. Manusia banyak mempelajari dan mengembangkan struktur keilmuan tentang batas-batas properti antara satu manusia dengan manusia yang lain, tetapi manusia tidak memiliki perangkat epistemologis yang memadai menandai batas-batas properti antara dirinya, spesies binatang lainnya, tanaman, tumbuhan, pohon, hutan, udara, air, dan lain-lain yang disediakan secara “gratis” oleh Ibu Bumi. Manusia boleh disebut sebagai binatang paling buas yang paling serakah mengkonsumsi Ibunya sendiri, Bumi. Lalu dengan akumulasi kapital yang demikian besarnya, apakah lantas kemudian manusia jauh lebih bahagia dari sebelumnya? Jauh sebelum mesin-mesin diciptakan? Jauh sebelum manusia mengenal gadget-gadget? Manusia mungkin bisa mengklaim bahwa dirinya jauh lebih bahagia sekarang. Tetapi manusia sekarang saling berdesakan, mudah saling memaki, mudah saling mengeksploitasi, mudah saling mencurigai, mudah saling mengelabuhi, mudah saling memusuhi. Manusia juga mudah dan rentan terkena penyakit, manusia juga mudah sekali terkena depresi, dan lain-lain. Dengan semakin tingginya migrasi manusia dari desa-desa ke kota-kota (catatan beberapa kajian studi kota mengingatkan bahwa hampir 85 persen penduduk dunia tinggal di kota), manusia dihadapkan pada tiga persoalan mendasar atas ruang, konsumsi dan mobilisasi. Ketiganya membutuhkan eksploitasi besar-besaran dari suatu wilayah tertentu. Misalnya konsumsi air mineral sebuah kota dapat menghancurkan mata air desa-desa tertentu yang menjadi satelitnya. Atau eksploitasi anak-anak dan perempuan sebagai buruh murah dan pekerja seks dalam jaring perdagangan manusia, merupakan wajah buruk bagaimana manusia tidak hanya mampu mengeksploitasi binatang dan alam, tetapi juga sesamanya terutama para Liyan (perempuan, minoritas seksual, difabel, kelompok miskin kota, dll.). Kebuasan manusia ini jelas mengalahkan kebuasan singa, harimau, atau serigala yang diklaim sebagai maha buas oleh manusia. Bagaimana kemudian kebahagiaan didefinisikan jika kemudian mitos dan mimpi-mimpi tentang kebahagiaan manusia itu masih berkutat pada akumulasi kapital dan properti? Bagaimana manusia memahami pemberangusan alam, pembunuhan hewan-hewan langka, pembalakan hutan-hutan? Pertanyaan terakhir ini adalah pembunuhan besar-besaran manusia atas alam yang disebut sebagai “ekosida”. Dalam perubahan iklim yang demikian ekstrem, kelangkaan pangan organik, kelangkaan udara bersih, kelangkaan ruang, apakah kemudian manusia telah dan akan sungguh-sungguh bahagia? Surakarta, 26 Februari 2014 Oleh: Dewi Candraningrum, Pemred Jurnal Perempuan Meskipun makna dari nama Mo Yan, Penerima hadiah Nobel sastra tahun 2012, adalah “tanpa kata-kata” atau “keheningan”, tetapi dia adalah pemilik dari semesta kata-kata. Bagaimana teksnya menyerupai ledakan-ledakan kreativitas sekaligus keberanian mendiskusikan perihal paling tabu di negaranya. Dimensi ledakannya dapat disaksikan dari bagaimana dia menyatukan cerita rakyat, sejarah dan kekinian dalam sebuah halusinasi kritis. Kemiskinan yang mendera orang-orang di desanya telah memenjarakan kata-katanya dengan kesederhanaan penceritaan dan penjudulan seperti dalam The Red Sorghum Clan dan Frog. Frog merupakan salah satu karya penting dalam mengkritisi kebijakan satu anak yang dimulai di Cina sejak 1979. Frog mengisahkan tentang bidan desa yang sebelum tahun 1979 dianggap sebagai Peri Penyelamat karena membantu kelahiran bayi-bayi di desanya. Dia begitu dicintai dan disayangi. Namun setelah kebijakan satu anak diterapkan, sebutan itu berubah menjadi Kuntilanak jahat pengambil nyawa bayi-bayi karena dia dipaksa pemerintah untuk mengaborsi bayi kedua, ketiga, dan lain-lain. Di samping itu juga dipaksa oleh ayah-ibunya si bayi sendiri untuk mengaborsi bayi jika ketahuan anak perempuan. Bayi-bayi yang mengambil metafora sebagai kodok-kodok (frogs) itu kemudian menghantui tidur-tidur si Bidan Desa. One-Child Policy ini paling tidak telah mengakibatkan hilangnya bayi-bayi perempuan di Cina sejak saat itu. Akibat kebijakan ini, banyak unit keluarga memilih menggugurkan anak perempuan yang dikandung. Bahkan sekarang, konon, Cina harus “mengimpor” istri dari perempuan-perempuan di negeri tetangganya, seperti Vietnam, Kamboja, Thailand. Kehilangan anak perempuan di Asia ini tidak hanya didominasi di Cina tetapi juga di Jepang, meski modern sekalipun, juga India—yang kemudian melarang scan bayi-bayi di desa-desa terpencil karena aborsi anak perempuan ini akan mengganggu keseimbangan populasi. Occido (Latin) merupakan terma yang digunakan untuk menyampaikan makna “untuk membunuh”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sufiks –icide, seperti misal pada kata genocide, homicide, infanticide, matricide, gendercide, dan lain-lain. Media internasional seperti the Economist, the Guardian, TIME, Al Jazeera, The New York Times, Le Mon Diplomatique, der Spiegel dan lain-lain juga telah memperkenalkan istilah baru sebagai selective gender abortions atau sex selection abortions yang kesemuanya mengarah pada aborsi anak perempuan karena sistem kebudayaan yang memandang anak laki-laki sebagai yang harus dilahirkan pertama, atau paling tidak, menjadi satu-satunya pembawa keberuntungan dalam sebuah unit keluarga. Di India telah ditemukan jutaan bayi perempuan digugurkan karena dia perempuan,karena keluarga keberatan untuk membayar dowry (mahar nikah yang diberikan oleh mempelai perempuan pada mempelai laki-laki). Jika terbukti murah, maka mahar itu akan menakdirkan si anak gadis mati mendadak, apakah terbakar di dapur, atau disiram wajahnya dengan air keras, dan lain-lain. Unit-unit keluarga miskin, terutama, mengalami trauma-trauma ini sehingga memilih mengaborsi anak perempuannya. Kejahatan kemanusiaan ini juga terjadi di Cina dan Jepang yang kebudayaannya masih menjunjung mitos bahwa anak laki-laki lebih berharga dari anak perempuan. Rita Banerji merupakan salah satu feminis penting yang melawan praktek-praktek ini dengan mengkampanyekan “The 50 Million Missing Campaign to End Female Gendercide” di India. Femicide atau Gendercide yang dapat kita Indonesiakan sebagai Femisida atau Gendersida adalah usaha pembunuhan masal terhadap bayi perempuan, anak-anak perempuan, atau perempuan dewasa disebabkan oleh praktek-praktek kebudayaan misoginis yang dilakukan tidak hanya oleh laki-laki tetapi juga perempuan. Dus pembunuh perempuan bukan melulu laki-laki tetapi sistem kepercayaan, sistem pandangan dunia, sistem kebudayaan, dan turunan ritual-ritualnya serta eksekusi praktek sosialnya dalam usaha memberangus gender Liyan tersebut. Bahkan yang paling buruk adalah penghilangan terhadap gender ketiga (LGBTIQ), mereka dianggap tidak ada dan tidak boleh ada, maka sah untuk dibunuh, seperti kasus pembersihan etnis Yahudi oleh Hitler—dia juga dicatat sejarah telah membersihkan gender ketiga. Femisida memiliki bentuk-bentuknya yang beragam, yaitu aborsi, membunuh demi membela kehormatan keluarga, serangan air keras sekaligus pembunuhan, pembakaran dukun-dukun perempuan yang dianggap berbahaya (ini bahkan masih hidup dalam mitos-mitos film produksi Hollywood), foeticide, dan kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian, konflik komunal dengan memperkosa anak-anak perempuan sekaligus membunuhnya seperti yang terjadi di Rwanda, dan lain-lain. One Billion Rising yang artinya adalah Satu Milyar Bangkit (www.onebillionrising.org) yang memiliki motto (Strike, Dance, Rise!) yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari setiap tahunnya sejak 2012. Aksi ini adalah sebuah kampanye untuk melawan segala bentuk pelecehan, siksaan dan percobaan pembunuhan terhadap perempuan secara global. Siapa pun yang ingin terlibat dapat berkumpul dan menari bersama sebagai bentuk protes untuk melawan segala bentuk kejahatan tersebut. Angka “satu milyar” merujuk pada data dari statistik PBB bahwa setidaknya ada satu dari tiga perempuan di dunia mengalami pelecehan, serangan, siksaan, perkosaan dan pembunuhan dalam hidup mereka. Gerakan ini sebelumnya dikenal sebagai V-Day. Tahun lalu rally serupa telah diadakan di kurang lebih 190 negara, termasuk Indonesia. Jurnal Perempuan mengucapkan Mari Bangkit Melawan! Surakarta, 14 Februari 2014 |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|