Sejak awal tahun 2017, saya menjadi pendamping keagamaan para waria yang ingin belajar agama di pondok pesantren waria Al-Fattah Yogyakarta. Keinginan menjadi pendamping agama muncul karena ajakan dari salah seorang santri untuk membantu para waria belajar agama. Setiap hari Minggu, sore hingga malam, saya bersama-sama para santri waria berada di pondok pesantren melakukan kegiatan, mulai dari belajar membaca Alquran, salat Magrib dan Isya berjamaah, berbagi pengetahuan keagamaan, konsultasi agama dan diakhiri dengan makan malam. Seiring berjalannya waktu, saya melihat semangat belajar agama mereka sangat tinggi, apalagi di bulan Ramadan ini pesantren Waria menyusun beberapa agenda kegiatan. Akan tetapi, di sisi yang lain para waria tidak sebebas kelompok heteroseksual dalam belajar agama. Mereka belajar agama dengan sembunyi-sembunyi karena takut pada sekelompok umat Islam yang bernama Front Jihad Islam (FJI) dan aparat pemerintah yang pernah membubarkan pondok pesantren waria Al-Fattah beberapa bulan yang lalu. Tulisan ini ingin mengkaji akar penindasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam dan aparat pemerintah. Ironisnya, sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dan pemerintah (negara) telah mengaveling (mengotak-ngotakkan) bahwa belajar agama hanya milik mereka yang heteroseksual. Apapun alasannya, Nabi Muhammad sebagai teladan umat dalam sejarahnya selalu menekankan cinta dan kasih bagi seluruh umat manusia. Eksistensi Waria yang Termarginalkan Dalam hadis Nabi dikatakan bahwa, ”Belajar agama adalah wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan”. Oleh karena belajar agama adalah wajib, maka perintah tersebut berlaku umum untuk semua umat Islam tanpa melihat orientasi seksualnya. Penekanan hadis tersebut ditambah dengan hadis, ”Belajar sejak dari buaian hingga ke liang lahat”. Kedua hadis tersebut menegaskan perintah bahwa belajar, dalam hal ini belajar agama adalah kebebasan dan hak setiap individu. Pertanyaannya kemudian, mengapa sekelompok umat Islam (FJI) dengan dibantu oleh aparat pemerintah memaksa para santri waria di pesantren Al-Fattah untuk menutup kegiatan di pondok pesantren tersebut? Saya menemukan bahwa agama dalam hal ini interpretasi teks kitab suci dan pendapat ulama menjadi biang utama kebencian dan stereotip terhadap mereka yang disebut liyan. Persepsi interpretasi agama terhadap kelompok homoseksual baik itu lesbian, gay, biseksual dan transgender (waria) melahirkan dogma bahwa homoseksualitas adalah kriminalitas, yang terlaknat, pelakunya mendapat dosa dan tempatnya di neraka. Sementara dalam realitas sosial, eksistensi seorang waria diakui dalam beberapa budaya dan tradisi di Indonesia seperti Bissu, di Makassar dan penari warog di Ponorogo. Sayangnya tafsir keagamaan, ditambah pendapat ulama dan didukung oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang LGBT menafikan realitas tersebut. Hakikatnya, masyarakat (kelompok Islam) dan pemerintah telah menjadikan waria dan kelompok homoseksual lainnya sebagai kelompok yang termarginalkan oleh sistem dan struktur sosial. Sementara itu, dalam literatur Islam klasik, Ibnu Hazm (w.1064) dalam salah satu karyanya memuat banyak kisah percintaan sejenis dengan penjelasan yang santai. Abu Nuwas seorang penyair klasik di era kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rosyid menggemari anak lelaki dan anggur. Begitu juga Al-Ghazali yang disebut sebagai syaikhul akbar (guru yang agung) dan ulama mistik pernah menyusun syair-syair untuk kekasih laki-lakinya yang berusia muda (Spencer 2004, h. 111). Kajian fikih Islam menjelaskan tentang orientasi seksual laki-laki kepada sesama yang disebut dengan ”al-mukhannats”. Waria juga disebut dalam Alquran (QS. 24:31) dengan kata ”ghairi ulil irbathi mina ar-rijal” yang ditafsirkan oleh Imam At-Thabari sebagai laki-laki yang tidak berhasrat kepada perempuan (Husein Muhammad 2011, h. 79). Sayangnya, sekelompok umat Islam yang mengatasnamakan Islam tidak membuka literatur sejarah Islam klasik dan tidak mengkaji Islam secara lebih mendalam, bahwa eksistensi waria atau homoseksualitas telah ada sepanjang sejarah umat manusia. Pembekuan wawasan berpikir dan tertutupnya cara pandang yang egaliter terhadap yang berbeda (the other) mengutip pendapat Ulil Absar Abdalla menjadikan Islam sebagai yang jelek. Kasus pembubaran pesantren waria di Yogyakarta merupakan bentuk perampasan hak beragama oleh pembela ”Islam”, yang dalam pandangan Gus Mus menjadi bukti nyata bahwa umat Islam telah kehilangan ruh atau nilai spiritualisme yang hakiki, dan ini mengindikasikan kekerasan spiritual oleh umat Islam sendiri. Ironisnya aparat pemerintah menjadi aktor pelaku kekerasan berlapis tersebut. Kekerasan spiritual tersebut merupakan manifestasi dari kacaunya atau buramnya rasa keberimanan umat Islam sendiri. Atas Nama Islam Menindas Umat Islam Nabi Muhammad membawa ajaran Islam sebagai agama rahmat untuk semesta. Sikap, tutur kata dan perbuatan Nabi menjadi uswah (suri teladan) bagi umatnya. Nabi tidak mencaci dan tidak membedakan mereka yang berbeda baik suku, agama, budaya maupun orientasi seksualnya. Misi Nabi Muhammad adalah keteladanan dalam etika sosial antara sesama masyarakat. Di samping itu, dalam teks ayat Alquran, lebih banyak ayat yang berkaitan dengan mu’amalah (relasi sosial) ketimbang aqidah (keimanan). Ini artinya, Islam yang tertulis dalam Alquran dan diaplikasikan oleh Nabi Muhammad ingin menegaskan bahwa penghormatan kepada hak asasi manusia adalah sesuatu yang urgen dan berkorelasi dengan tingkat keimanan/ketakwaan seseorang sebagaimana yang telah Allah tegaskan dalam QS. Al-Hujurat (49):13 bahwa yang paling mulia diantara manusia adalah mereka yang paling bertakwa. Ketakwaan itu dinilai dari keinginan manusia untuk saling ”mengenal” antar sesama manusia yang berbeda. Mengenal dalam artian memiliki pengetahuan bahwa orientasi seksual manusia tidak hanya heteroseksual, tapi ada juga homoseksual. Dalam tataran yang lebih luas, pengenalan tersebut akan melahirkan sikap anti homofobia, empati dan tindakan menghargai orang lain yang berbeda. Di sini kita dapat mengasumsikan bahwa tindakan anarkis FJI dan aparat pemerintah terhadap kelompok waria di Yogyakarta tidak mencerminkan ketauhidan dan keimanan yang diyakininya. Meminjam istilah Khaled M. Abou El-Fadl dalam bukunya Speaking in God’s Name, tindakan anarkis FJI dan pemerintah seolah-olah memosisikan dirinya sebagai ”wakil” Tuhan di muka bumi. Akhirnya, saya ingin menyatakan bahwa banyak diantara umat Islam yang gagal mencermati konsep ketauhidan dengan etika sosial. Kegagalan ini menjadi pintu gerbang kejumudan umat Islam untuk menindas sesama umat Islam (waria) atas nama ”Islam”. Jika dalam relasi sosial kita cerdas untuk membedakan antara orientasi seksual yang bersifat kodrat dan perilaku seksual yang merupakan konstruksi gender, maka kita dapat melihat persoalan homoseksual dengan lebih cair. Artinya bahwa waria bukan hanya persoalan seksual, ia menyangkut persoalan pikiran, keinginan, cinta, ide dan spiritual. Sebagai seorang muslimah yang heteroseksual, mulailah menyapa dan mengenal mereka yang dianggap sebagai liyan oleh sistem dan struktur sosial agar kita tahu bahwa mereka juga manusia yang sama dengan kita. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|