Edith Windsor Menggugat Oleh: Gadis Arivia Pendiri Jurnal Perempuan, Dosen Filsafat, FIB, UI Akhir-akhir ini para feminis di Amerika Serikat sibuk menyimak perdebatan di Mahkamah Agung tentang perkawinan sejenis. Mereka telah sibuk sejak minggu lalu dengan berbagai aksi menuntut kesetaraan dalam perkawinan, kali ini bukan untuk kaum perempuan tapi untuk kaum gay dan lesbian. Tidak ada habis-habisnya kerja feminis, baru saja mereka memperingati hari Perempuan Internasional (IWD) pada tanggal 8 Maret, memfokuskan persoalan kekerasan khususnya perkosaan yang meningkat terhadap perempuan. Beberapa pekan kemudian, mereka sibuk kembali mendukung kaum gay dan lesbian mendapatkan hak-hak yang setara di dalam perkawinan atau mengangkat isu perkawinan sejenis. Sebagian besar kaum feminis di Amerika mendukung gerakan kaum gay dan lesbian, bukan saja kaum feminis tapi juga kelompok etnis minoritas atau kullit hitam, yang masih segar diingatan mereka, di tahun-tahun 1960-an perkawinan interrasial masih tidak diakui. Kaum feminis dan minoritas selalu memiliki pandangan yang sama tentang kesetaraan dan keadilan karena mereka sama-sama memahami arti penindasan. Kini, mayoritas rakyat Amerika mendukung gerakan kaum gay dan lesbian, polling terakhir menunjukkan bahwa perkawinan sejenis merupakan isu Hak Azasi Manusia (HAM) dan setiap orang berhak untuk menikah dengan orang yang mereka kasihi. Pernikahan itu pun harus dilindungi secara hukum. Sebagian besar masyarakat Amerika menyetujui perkawinan sejenis dan di negara-negara bagian tertentu Amerika pun sejak tahun 2000 mengakui perkawinan sejenis. Lalu, mengapa ada permohonan ke Mahkamah Agung untuk mempermasalahkan ini? Adalah Edith Windsor, seorang perempuan berumur 83 tahun yang menggugat agar perkawinan sejenis mendapatkan hak-hak yang setara dan menggugat DOMA (Defence of Marriage Act) yang disahkan pada tahun 1996. DOMA merupakan aturan hukum yang dibuat oleh partai Republik untuk mendefinisikan arti perkawinan secara ketat dan membatasi hak-hak perkawinan sejenis. Misalnya, soal warisan, di dalam perkawinan sesama jenis, pasangan tidak memiliki hak yang sama seperti pasangan beda jenis. Jadi, meskipun di tingkat federal, negara bagian tertentu, membolehkan perkawinan sejenis akan tetapi hak-haknya bisa dibatasi oleh DOMA. Inilah yang terjadi pada Edith Windsor yang menjalin tali kasih dengan Thea Spyer selama 50 tahun. Mereka menikah di Kanada pada tahun 2007, namun, pada tahun 2009, Thea meninggal akibat penyakit yang telah lama dideritanya. Thea meninggalkan hartanya untuk Edith, namun, pengadilan di New York tidak mengakui warisan yang diterima Edith karena terkena aturan DOMA. Edith pun harus membayar pajak real estate sebanyak US$363,000,- Padahal dalam perkawinan heteroseksual pembayaran pajak semacam itu tidak dikenakan sama sekali, karena dianggap pasangan suami-isteri. Edith menolak untuk membayar dan memperkarakan kasusnya. Edith memang menang dalam kasusnya, tapi ia tidak puas dan kini ikut mengambil bagian melangkah ke Mahkamah Agung untuk menggugat DOMA. Kebetulan, masalah ini menjadi perhatian publik karena munculnya kasus sepasang kekasih di California yang ingin menikah tapi ingin DOMA dihapus. Mahkamah Agung tentu dibuat repot. Pertanyaan besarnya di Mahkamah Agung adalah apakah negara mempunyai hak untuk mengatur soal ruang pribadi individu untuk memilih siapa yang ingin ia nikahi? Pertanyaan soal sejauh mana negara dapat ikut campur menghasilkan perdebatan yang panjang diantara hakim-hakim tentang apakah yang disebut dengan perkawinan? DOMA mengatur bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (sama dengan UU Perkawinan di Indonesia). Landasan filosofi ini adalah bahwa perkawinan dilakukan karena atas dasar prokreasi (menghasilkan keturunan). Antara para hakim yang konservatif dan yang liberal pun berdebat, masing-masing mempertahankan argumennya. Para hakim liberal seperti Hakim Elena Kagan bertanya, "apakah dengan demikian negara harus mengatakan tidak dapat memberikan pengakuan pada mereka yang menikah di atas 55 tahun karena tidak dapat menghasilkan keturunan? Apakah ini konstitusional?" Hakim-hakim konservatif tetap bersikeras bahwa makna perkawinan yang telah dipegang tradisinya selama berabad-abad lamanya harus dihormati. Namun, pendapat tersebut dibantah oleh kaum liberal yang memberikan contoh soal perkawinan inter-rasial yang dulu diyakini tidak sesuai norma, adat dan tradisi masyarakat, namun, dihapus karena zaman telah berubah. Dulu perkawinan inter-rasial dianggap "tidak normal/alamiah", tapi sejarah membantahnya, sekarang mengapa perkawinan sejenis juga dianggap "tidak normal/alamiah"? Apalagi, zaman telah berubah dan mayoritas masyarakat mendukung perkawinan sejenis. Apakah yang disebut "normal/alamiah"? Perdebatan kemudian berkembang pada persoalan anak. Apakah "normal/alamiah" pasangan sejenis memiliki anak? Pertanyaan ini dijawab oleh kenyataan bahwa di California sendiri terdapat paling tidak 40.000 anak yang dibesarkan oleh pasangan sejenis dan anak-anak ini menghendaki orang tua mereka disahkan perkawinan mereka. Hakim Anthony M. Kennedy menyatakan bahwa, "suara anak-anak ini tentu penting untuk dipertimbangkan." Perdebatan anggota Mahkamah Agung di Amerika ini menurut hemat saya sangat menarik. Memberikan pendidikan yang luar biasa tentang apa yang disebut kesetaraan dan keadilan. Meski para hakim bersikap hati-hati dalam menyusun argumen-argumennya, namun, terasa mayoritas tetap berpihak pada hukum yang tidak diskriminatif. Kaum konservatif pernah mencoba menganggu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah dengan demikian poligami juga dibolehkan di Amerika, karena merupakan hak kelompok agama tertentu yang percaya dengan praktek tersebut? Hakim Sonia Sotomayor menegaskan bahwa masalah yang diajukan oleh kelompok kaum gay dan lesbian adalah soal kesetaraan dan hukum yang tidak diskriminatif. Perkawinan antara dua manusia, apapun jenisnya tidak boleh diskriminatif. Tentu ini bagi saya menjustifikasi bahwa poligami adalah bentuk perkawinan diskriminatif sebab hanya laki-laki yang dapat memiliki banyak istri dan sebaliknya tidak. Ini pulalah di dalam UU Perkawinan 1974 banyak dipermasalahkan oleh kaum feminis. Namun, hingga hari ini soal poligami tidak dipermasalahkan di Indonesia (meski Kongres Perempuan di tahun 1924 telah menentangnya) bahkan praktek poligami semakin marak di zaman Reformasi ini. Perkawinan beda agamapun masih dianggap kontroversial di negara kita apalagi soal perkawinan sejenis? Indonesia memang masih jauh dari membangun peradaban yang setara dan berkeadilan. Di negara-negara maju prinsip kesetaraan dan keadilan dipelopori oleh pemimpin-pemimpin mereka. Misalnya, Presiden Obama merupakan presiden AS pertama yang berani menyatakan persetujuannya tentang perkawinan sejenis juga termasuk Presiden Clinton yang berani menyatakan tindakannya salah karena beliaulah yang menandatangani persetujuan DOMA di tahun 1996. Keberanian pemimpin untuk mengungkapkan pendapatnya yang jujur dan bahkan mengakui kesalahannya tanpa pertimbangan untung rugi politik sangat jarang ditemui di negara kita. Tidak ada otentisitas di sosok negarawan kita, semua selalu dihitung berdasarkan pencitraan dan kalkulasi politik. Terasa semua palsu, tak ada lagi kejujuran dan kebenaran di panggung politik kita. Kepalsuan ini dipelihara terus di dalam masyarakat dan menampakkan keburukannya di hampir semua bidang bukan hanya di ranah politik namun juga hukum, agama dan lebih parah lagi di institusi pendidikan. Press Conference Edith Windsor:Foto: Viva News Ditulis oleh: Mariana Amiruddin A Promise is a Promise: Time for Action to End Violence Against Women… Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret telah diputuskan sejak tahun 1975 oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan tahun ini PBB mengumumkan Hari Perempuan Internasional dengan tema “Janji adalah janji. Waktunya untuk bertindak mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.” Pesan ini menyambung insiden perkosaan dan pembunuhan perempuan di dalam bis, di New Delhi, yang menjadi sorotan dunia internasional di bulan Desember 2012. Tentu kita akan bertanya, mengapa perkosaan baru disoroti sekarang? Hampir setiap hari kita membaca sekolom kecil tulisan di media cetak, atau sekilas informasi televisi yang berdurasi 20 detik, tentang anak-anak perempuan berusia 8 tahun duduk di bangku sekolah SD, mengalami kekerasan seksual oleh gurunya. Atau bayi perempuan 9 bulan, diperkosa ayahnya. Atau siswi SMU di Jakarta, Nganjuk dan Aceh mengalami perkosaan dan pelecehan seksual oleh guru-guru mereka di minggu yang sama. Sekolom kecil dan sekilat informasi ini tidak banyak menghabiskan satu lembar halaman dan durasi yang panjang dalam setiap pemberitaan, tetapi menjadi berita yang rutin, sehari-hari, ibarat setiap orang yang rutin melakukan sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Itu memungkinkan bahwa telah terjadi rutinitas kekerasan seksual yang dialami perempuan baik anak-anak maupun dewasa setiap harinya. Kekerasan terhadap perempuan seringkali bertumpu pada persepsi terhadap seksualitas perempuan, yang juga berhimpit dengan alasan ekonomi, politik, budaya, sosial dan agama. Kekerasan seksual terhadap perempuan juga terjadi akibat dampak akutnya pelabelan negatif (stereotip) terhadap perempuan; ketika seorang gadis dijuluki pelacur saat berjalan di malam hari, ketika seorang janda digrebek rumahnya karena menerima tamu laki-laki, atau diperkosa saat naik angkutan umum, dan istri yang disiram air panas karena menolak berhubungan seks dengan suaminya. Kita perlu memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan linear dengan nilai-nilai budaya dan agama yang menghukum tubuh dan kehendak perempuan. Perempuan diletakkan sebagai tubuh sosial yang rapuh, properti, dan dianggap boleh untuk dikuasai. Laki-laki dewasa yang punya uang dapat membeli anak-anak perempuan dengan mengatasnamakan perkawinan yang sah, atau membeli mereka dalam bisnis prostitusi. Bahkan kekerasan ini bisa terjadi pada seorang anggota parlemen, pemimpin negara, direktur perusahaan. Atau pada buruh migran perempuan (TKW), pegawai-pegawai dan buruh-buruh pabrik, juga tak terelakkan pada ibu-ibu rumah tangga. Status sosial, ras, usia, agama dan jabatan seorang perempuan tidak dapat mengelak situasi kekerasan ini. Belum lagi soal genital mutilation (sunat perempuan) yang praktiknya banyak merusak total kelamin perempuan, merusak hasrat seksnya sebagai mahluk biologis, membuat kelaminnya infeksi, mengalami kista, merasakan kesakitan saat berhubungan seks karena kehilangan klitoris, semua akibat mitos yang menjadikan alasan bahwa tubuh perempuan harus dikontrol, tidak berlebihan libido, karena Hawa telah menggoda Adam, karena perempuan tidak punya pikiran. Dan video-video porno yang alih-alih memberi informasi seks sebenar-benarnya pada kita, malah menjadikan perempuan sebagai obyek seks dengan kamera yang hanya menyorot bagian-bagian tubuhnya. Kita juga tahu betul bahwa fakta pelaku perkosaan paling banyak adalah laki-laki. Tetapi masih banyak mengelak bahwa para pelaku itu adalah pihak yang bersalah, yang melakukan kejahatan meskipun mereka menunjukkan kekuasaannya dengan tindakan seks yang keji. Masih banyak pihak yang justru melindungi pelaku dan menyalahkan korban. Sampai seorang calon Mahkamah Agung di Indonesia menjadikan perkosaan sebagai bahan gurauan. Karena itulah perhatian besar kita yang paling mendasar di Hari Perempuan Internasional, bagaimana menghentikan kekerasan melalui kemauan untuk “Toleransi Nol” pada budaya dan agama yang mengorbankan perempuan. Kemauan ini perlu didukung oleh sistem pendidikan yang membangkitkan kesadaran setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan, dari kecil sampai besar. Kemauan ini perlu diwujudkan dalam undang-undang dan tindakan hukum, dalam rancangan anggaran pendapatan belanja negara, dalam sistem politik dan budaya, dalam ruang-ruang publik. Tentang bagaimana mahluk bumi ini perlu bekerja keras untuk kembali menyehatkan akal, tubuh dan jiwa, pada kehidupan yang adil dan setara. Semua orang tentu ingin hidup bahagia, tetapi selama kebahagiaan itu tidak dirumuskan dalam instrumen hukum, politik dan budaya yang adil dan setara, juga pada cara berpikir dan perilaku kita, kekerasan seksual tidak akan berhenti. Sekarang kita membaca dan menonton berita perkosaan di televisi, tapi siapa tahu besok itu terjadi pada kita sendiri, atau anak-anak kita? |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|