Apa yang anda sukai dari puisi? Keindahan kata dan kedalaman makna? Itu adalah aspek personal dari apresiasi seseorang terhadap puisi. Tetapi apakah puisi juga mencerminkan kehalusan budi para penyukanya? Kaisar Nero diceritakan membakar Roma sambil baca puisi. Plato bahkan menganggap puisi sebagai ilusi yang buruk. Tetapi Dante mengarungi Divine Comedy-nya dengan inspirasi Virgil. Puisi adalah cara menghasilkan dunia “di dalam diri sendiri”. Bukan untuk mengasingkan diri dari dunia luar, melainkan untuk memiliki dunia sendiri, yaitu dunia batin yang tak tunduk pada hukum pasar. Demikian halnya kata-kata. Ia terbit dari situasi eksistensial, yaitu situasi yang menghasilkan pertanyaan hidup paling otentik: cinta, keadilan, kematian, kehendak bebas, dst. Karena itu, puisi, filsafat dan kampus, seharusnya hidup dalam satu nafas, yaitu kejujuran. Feminisme mengajarkan hal yang sama, “ethics of care”. Birokratisasi kesenian adalah pemalsu kreativitas. Komoditisasi puisi adalah pemalsuan eksistensi. Tetapi gejala ini yang justru melebar dalam banyak forum kebudayaan kita. Intinya adalah keinginan untuk selebritisasi. Maka tak heran bila seni dan acara berpuisi, di kampus sekalipun, berubah menjadi “peristiwa komoditisasi”. Entah untuk promosi lembaga, entah untuk ketenaran seseorang. Pada level birokrasi negara, ada upaya untuk menghasilkan kreativitas sebagai produk ekonomi. Publik menyebutnya “industri kreatif”. Tetapi selalu ada soal yang tak pernah diperiksa: bahwa kreativitas adalah hasil pendalaman eksistensial, bukan sekedar proposal pameran. Artinya, pada batin yang kering nilai, tak mungkin tumbuh idealisasi kesenian. Konsistensi kesenimanan tentu diuji dalam godaan materil yang amat serius. Tetapi seharusnya ada kemampuan sublimasi seorang seniman untuk teguh pada integritas nilai yang ia pilih. Tanpa itu, kreativitas hanya hasil manipulasi sensasi konsumsi. Sesungguhnya, belajar filsafat adalah belajar menghasilkan diri yang otentik. Itu adalah tindakan puitis. Pada kemampuan abstraksi, anda menikmati kebebasan pikiran. Pada kemampuan kritisisme, anda berhadapan dengan tuntutan keterlibatan etis. Feminisme adalah etika keterlibatan. Filsafaf dan puisi memicu refleksi. Puisi dan feminisme menuntun refleksi pada perbuatan: yang adil, yang setara, yang jujur. Pada manusia puitis, mengendap filsafat kejernihan: Pectus est, quod disertum facit. Hati membuat manusia bertutur jernih. Hari ini adalah Hari Puisi Sedunia. Mari menjernihkan hati. Barbara Hatley (Professor Emeritus Asian Studies Program University of Tasmania) In this small book of poetry in English, Yacinta Kurniasih, lecturer in Indonesian Studies at Monash University and long-time poetry writer and performer, introducing herself, as a: “... tiny, ballsy….crazy, sexy … Javanese, Indonesian, Asian, internationalist … feminist, extremist, optimist, activist” (“The United Nations of Me”) engages with many key themes in contemporary life. In asserting her own views and experiences as a woman and a feminist she also contributes to a wider movement in contemporary Indonesia, in which feminist poetry and literature more generally serves as a site of challenge to conventional gender attitudes and resistance to patriarchal culture and religion. Yacinta addresses these themes as universal experiences (“Heterosexual Man’s Theory ”) and as particular issues in the Indonesian context–the phenomenon of veiling (“Man’s Language of Veil”, “Woman’s Language of Veil”,) and the two-finger test of virginity applied by the armed forces (“Two Finger Salute”). The strength and directness of these poems, the honesty and intimacy of expression, the bold engagement with sexual themes is surprising, often remarkable, for those familiar with Indonesian literature and culture. Readers without such a background, perhaps influenced by stereotypical views of Indonesia and ‘Asian women’, will find them truly revelatory. Along with gender relations the poems address other Indonesian political issues, particularly the legacy of the anti-communist violence of 1965, as well as wider socio-political questions very relevant in contemporary Australia–race relations (“ To Whom it May Concern – the world is not white”), the dominance of English (“Rage Against English”), fear of terrorism, migration and the Other (“ The current dictionary of Australian Fear”) and climate change ( “The Earth is talking”). All these poems embody an impressive energy, daring, wry sense of humour, and skilfully succinct expression, in conveying Yacinta’s distinctive woman’s voice as a sharp-eyed observer of and participant in Indonesian and Australian life. Hopefully future publications will provide the chance to engage with her Indonesian language poetry, delving deeper into Indonesian personal and social reality, while more poems in English open up for readers the world of Indonesian-Australian-male–female- inter–class, inter-cultural relations and reality as experienced by this multi-talented, multi-identitied participant and commentator. Apakah arti dari “arti”? Itu pertanyaan Hilary Putnam. The Meaning of ‘Meaning', paper yang ia tulis 40 tahun lalu itu, menjadi klasik dalam obsesi filsafat analitik. Bahwa ada pengetahuan objektif, dan karena itu yang benar hanya ada bila kita mengerti isi pikiran itu'. Mengerti sesuatu berarti ‘melihat’ kebenaran sebagai objektif, yaitu dengan menunjukkan referensinya di alam realitas. Secara teknis filsafat Putnam disebut “semantic externalism”. Yaitu argumen tentang eksistensi suatu konsep dalam realitas. Bahwa makna dan kebenaran tak hanya bermukim di kepala, melainkan hadir dalam realitas. Tentu, dalam latar belakang anti metafisika, kita memperoleh daya kritis dari filsafat Putman. Tetapi bagi saya, komitmen filosofis Putman memperlihatkan suatu “misi emansipatoris” yang kuat: yaitu kehendak untuk mempersiapkan dunia menemui kebenaran dan keadilan yang nyata bagi semua orang, pada setiap situasi kongkrit kehidupan. Seperti tercermin dalam bukunya Realism With Human Face, ada refleksi kemanusiaan yang kuat untuk terlibat dalam perjuangan hak asasi manusia. Itulah sebabnya ia mengaktifkan diri dalam aktivitas Amnesty Internasional. Filsafat dan dan realitas keadilan, filsafat dan aktivitas kemanusiaan, mengikat kita dalam komitmen awal filsafat: memajukan peradaban. Karena itu, selalu ada kehangatan humaiora yang melampaui kedinginan metode filsafat. Kita hidup kini di era “after deconstruction”. Dan dalam upaya memahami dunia yang korosif ini, filsafat menumbuhkan ulang tema humaniora: pada krisis toleransi di Eropa hari-hari ini, pada duel ideologi yang keras dalam pemilu di Amerika Serikat, juga pada cekcok politik identitas Jakarta menjelang pilkada. Pada kondisi kembalinya “absolutisme”, kita membaca filsafat Putman sebagai undangan untuk berpikir kritis. Memang, kolegialitas filsafat adalah komitmen pada kritisisme. Bukan demi arogansi profesi atau ambisi politik, melainkan pada upaya berkelanjutan untuk terus memelihara akal sehat publik. Kemarin, ada berita duka di lingkungan filsafat dunia: Hilary Putnam, guru besar filsafat Universitas Harvard, meninggal dunia pada usia menjelang 90 tahun. Putnam wafat. Ia meninggalkan “the earth”. Tapi filsafatnya meninggalkan metode “twin earth thought experiment”. Ia melatih kita berpikir, agar tak mudah berbohong. Selamat jalan Pak. Apa konsep anda tentang “filsafat”? Ini pertanyaan ringkas yang berimplikasi panjang. Artinya, dengan merumuskan satu proposisi, anda akan dibawa ke dalam sejumlah konsekuensi. Yaitu konsekuensi epistemik, etik dan politik. Saya membayangkan sejumlah opsi. Umumnya, secara intuitif anda menyebut “kritisisme” sebagai konsep utama filsafat. Dari situ sejumlah istilah metodis muncul: skeptisisme, dekonstruksi, paralogi, dst. Atau, anda memilih cara berpikir “in-the-making” untuk mengamankan filsafat dari potensi fanatisme. Dari situ tercipta sejumlah istilah anggun: posmodernisme, linguistic turn, animal liberation, dst. Juga ada opsi evaluatif, yaitu anda menjadikan filsafat sebagai ruang kontemplasi temporer untuk sesekali bertanya tentang status keyakinan permanen anda. Tetapi apapun konsep anda tentang filsafat, konsekuensinyalah yang sebetulnya diujikan pada konsep itu. Artinya, memegang suatu “sinopsis” tentang filsafat, menuntut pertanggung-jawaban epistemik, etik dan politik. Tentu tak bertanggung jawab bila anda seorang environmentalis tetapi sekaligus hidup dengan mengeksploitasi hirarki politik dalam relasi kolegial. Atau bila anda seorang epistemisi tetapi bersekongkol mendukung kepongahan kebodohan yang kasat mata. Atau bila anda seorang etikus tapi menikmati oportunisme dalam permainan birokrasi kampus. Merumuskan filsafat sebagai pilihan profesional, berarti mengerti makna primer dari konsep “profesionalisme”. Profesi bukan konsep teknis, seperti yang kini umum dipahami. Profesi bukan tentang keahlian yang “teknis”, melainkan tentang keahlian yang “etis”. Itulah sebabnya, menjalankan profesi artinya mengambil tanggung jawab etis. Ketika anda memilih filsafat sebagai profesi, maka seluruh kondisi etis dipertaruhkan maksimal karena justru dengan mengklaim “kritisisme” anda diminta menghasilkan “yang baru”. Pada titik itu berfilsafat adalah tindakan produktif. Ketika anda diuji berfilsafat, , anda sebetulnya diajak untuk melepaskan konservatisme. Tetapi justru itu persoalannya: kenikmatan dan kepentingan adalah alasan yang membius perubahan. Konservatisme adalah patriarkisme tertinggi. Bila hari ini ditanyakan soal di atas: Apa konsep anda tentang filsafat? Saya menjawabnya singkat: “Feminisme”. Ya, pada feminisme saya melihat perjuangan epistemik yang panjang, pertahanan etik yang tak kenal lelah dan upaya keadilan yang radikal. Feminisme adalah filsafat yang menggairahkan perubahan. Selamat Hari Perempuan Sedunia. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|