Rocky Gerung Pengajar Program "Kajian Filsafat dan Feminisme" (Kaffe), Jurnal Perempuan [email protected] Apa argumen final anda tentang hukuman mati? Bila pembelaan hendak anda ucapkan, cukupkah dengan mengalaskannya pada prinsip “hukum positif”? Bagaimana bila penalaran postivistik itu bercampur dengan ‘alasan moralistik’, semacam “efek jera”? Itulah yang terjadi di negeri ini: ketakmampuan para akademisi menjernihkan duduk perkara, dengan akibat bercampurnya argumen positivistik dengan argumen moral. Persoalannya adalah: bagaimana menguji konsekuensi dari “teori efek jera”, semata-mata berdasar keinginan memberi “pesan moral”. Negara mencabut nyawa seorang manusia hari ini, agar manusia yang lain menjadi bermoral besok? Yang berbahaya adalah ketika hukuman mati itu dipahami sebagai “hadiah” negara untuk menegakkan moralitas. Jumat lalu (3/6/16), dalam sebuah diskusi di YLBHI, Jakarta, Robertus Robet, sosiolog, menerangkan suatu ilusi berbahaya yang sedang diedarkan pemerintah: bahwa kegagalan pemerintah menyelenggarakan “keadilan sosial”, dimanipulasi dengan “menyediakan hukuman mati” sebagai pengganti rasa keadilan publik. Dan publik seperti terpuaskan oleh kebijakan itu. Atas nama nasionalisme, atas nama hukum positif, atas nama histeria massa, negara memuaskan moral publik dengan cara manipulatif. Itulah kebengisan yang dipamerkan negara demi menguasai episteme kekerasan. Filsuf Michel Foucault pernah menyebutnya sebagai “festival of torture”. Tapi apakah itu menimbulkan efek jera? Statistik justru membantahnya: korelasi antara kejahatan narkotik tak berhubungan dengan jumlah pidana mati yang dijatuhkan. Pun dalam kasus kejahatan perkosaan, kengerian hukuman tak menimbulkan efek jera. Bila anda memahami penalaran “economic analysis of law”, dan berpikir sebagai “rational-maximizer”, maka mudah dipahami bahwa seorang pemerkosa akan memilih memperkosa sekaligus membunuh korbannya, karena itulah cara paling “efisien” memperkecil risiko: korban tak mungkin lagi bersaksi. Absurditas hukuman mati demi efek jera, juga terletak pada asumsi bahwa semua orang adalah potensial menjadi pemerkosa. Logikanya, yang harus jera adalah "calon pemerkosa". Siapa dia? Tak ada yang ingin konyol mau mengaku. Maka harus dianggap bahwa efek jera ditujukan pada semua orang. Bila demikian, mengapa hukuman yang seharusnya diterima nanti oleh semua orang, telah dibebankan secara akumulatif pada pelaku hari ini? Tentu, teori penghukuman telah banyak berubah, terutama karena pemahaman terhadap “hak asasi manusia”. Bukankah hak hidup itu tak boleh sekalipun, dalam kondisi apapun, dibatalkan oleh negara? Dan prinsip itu ada dalam konstitusi kita! Kita kini ada dalam antropologi kebengisan: balas dendam! Dan kampus kurang berusaha memperlihatkan sikap akademis yang utuh tentang soal ini. Kampus tidak mengolah argumen untuk menghadapi para pendukung hukuman mati. Kampus yang gagap karena tak mampu berpikir konsekuensional. Kampus yang tak paham filosofi konstitusi. Kampus yang miskin pikiran. Petisi Tolak Hukuman Mati: https://www.amnesty.org/en/get-involved/take-action/stop-imminent-executions-indonesia/ Rocky Gerung Pengajar Program "Kajian Filsafat dan Feminisme" (Kaffe), Jurnal Perempuan [email protected] Apa evaluasi anda tentang kondisi HAM hari-hari ini? Bagaimana anda melihat arah demokrasi, dari sudut pandang hak asasi manusia? Akhir-akhir ini, kita menyaksikan kembalinya politik negara, memonopoli isu-isu HAM. Negara tetap bersikukuh pada hukum positif tentang perlunya “hukuman mati”. Negara masih represif pada kebebasan berpendapat. Negara bahkan permisif terhadap aksi pembubaran forum diskusi oleh Ormas. Kemarin adalah Kamis ke-445 bagi Aksi Kamisan, yaitu aksi tiap Kamis di depan Istana Negara untuk meminta perhatian negara terhadap pelanggaran HAM. “Payung Hitam” menjadi semiotika politik dari aksi yang yang bertahun-tahun berlangsung damai, hanya untuk menuntut hak: “mereka yang hilang karena keyakinan politik”, “mereka yang tertindas karena status agama”, “mereka yang tersingkir karena membela lingkungan”, dst. Tak ada massa yang mengamuk pada setiap Kamis itu. Sekadar berkumpul dan berbagi semangat hidup, berorasi liris, atau cukup berdiri diam, dengan satu pesan: “hak kami belum kembali”. Itulah politik Kamisan, menunggu karena percaya ada harapan. Kemarin, Safina, mahasiswa Filsafat UI, pada Kamisan ke-445 itu, meringkas “semiotika payung hitam”, dalam satu kalimat liris: “kamisan adalah aksi diam, yang didiamkan”. Ia mengalami Kamisan sebagai suatu peristiwa keadilan. Kemerdekaan adalah ruang hidup demokrasi. Kemanusiaan hanya bermakna dalam kemerdekaan. Bahkan pada kesetaraan makhluk, kita memahami makna “ethics of care” itu: kepedulian adalah kepekaan pada ketidakadilan. Ibu Sumarsih, seorang yang tak pernah letih berdiri setiap Kamis di depan istana, tak hanya ingin mengenang putranya, Wawan, yang berkorban nyawa memperjuangkan demokrasi pada 1998. Ia hanya ingin agar “diamnya tak didiamkan”. “Ethics of care” adalah sinopsis dari filsafat feminisme. Ia menjadi ‘lonceng nilai’ hari-hari ini, bahwa kemerdekaan adalah hak setiap makhluk. Bahwa keadilan adalah aturan alam semesta. Bahwa persaudaraan adalah hakikat kemanusiaan. Ingatan tak hilang, bila pkiran tak lumpuh. Ibu Sumarsih mengajarkan itu, lebih dari semua teori keadilan yang pernah kita pelajari dalam kelas filsafat. Seorang mahasiswa menemukan itu dengan mengalami Kamisan sebagai peristiwa diam yang politis. Generasi bertumbuh dalam ingatan. Politik memburuk dalam kekuasaan. Tetapi harapan memberi keyakinan bahwa “yang diam”, tak berarti “tak ada”. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|