Rocky Gerung Pengajar Program "Kajian Filsafat dan Feminisme" (Kaffe), Jurnal Perempuan [email protected] Apa evaluasi anda tentang kondisi HAM hari-hari ini? Bagaimana anda melihat arah demokrasi, dari sudut pandang hak asasi manusia? Akhir-akhir ini, kita menyaksikan kembalinya politik negara, memonopoli isu-isu HAM. Negara tetap bersikukuh pada hukum positif tentang perlunya “hukuman mati”. Negara masih represif pada kebebasan berpendapat. Negara bahkan permisif terhadap aksi pembubaran forum diskusi oleh Ormas. Kemarin adalah Kamis ke-445 bagi Aksi Kamisan, yaitu aksi tiap Kamis di depan Istana Negara untuk meminta perhatian negara terhadap pelanggaran HAM. “Payung Hitam” menjadi semiotika politik dari aksi yang yang bertahun-tahun berlangsung damai, hanya untuk menuntut hak: “mereka yang hilang karena keyakinan politik”, “mereka yang tertindas karena status agama”, “mereka yang tersingkir karena membela lingkungan”, dst. Tak ada massa yang mengamuk pada setiap Kamis itu. Sekadar berkumpul dan berbagi semangat hidup, berorasi liris, atau cukup berdiri diam, dengan satu pesan: “hak kami belum kembali”. Itulah politik Kamisan, menunggu karena percaya ada harapan. Kemarin, Safina, mahasiswa Filsafat UI, pada Kamisan ke-445 itu, meringkas “semiotika payung hitam”, dalam satu kalimat liris: “kamisan adalah aksi diam, yang didiamkan”. Ia mengalami Kamisan sebagai suatu peristiwa keadilan. Kemerdekaan adalah ruang hidup demokrasi. Kemanusiaan hanya bermakna dalam kemerdekaan. Bahkan pada kesetaraan makhluk, kita memahami makna “ethics of care” itu: kepedulian adalah kepekaan pada ketidakadilan. Ibu Sumarsih, seorang yang tak pernah letih berdiri setiap Kamis di depan istana, tak hanya ingin mengenang putranya, Wawan, yang berkorban nyawa memperjuangkan demokrasi pada 1998. Ia hanya ingin agar “diamnya tak didiamkan”. “Ethics of care” adalah sinopsis dari filsafat feminisme. Ia menjadi ‘lonceng nilai’ hari-hari ini, bahwa kemerdekaan adalah hak setiap makhluk. Bahwa keadilan adalah aturan alam semesta. Bahwa persaudaraan adalah hakikat kemanusiaan. Ingatan tak hilang, bila pkiran tak lumpuh. Ibu Sumarsih mengajarkan itu, lebih dari semua teori keadilan yang pernah kita pelajari dalam kelas filsafat. Seorang mahasiswa menemukan itu dengan mengalami Kamisan sebagai peristiwa diam yang politis. Generasi bertumbuh dalam ingatan. Politik memburuk dalam kekuasaan. Tetapi harapan memberi keyakinan bahwa “yang diam”, tak berarti “tak ada”. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|