Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan dan Dosen Filsafat, FIB, UI)“Saya mohon pengampunan dan keringanan dari Bapak agar hukuman saya dapat diperingan oleh Bapak yang saya hormati…” Demikianlah bunyi sekelumit surat permohonan Merry Utami yang ditulis tangan tertanggal 26 Juli 2016, di saat ia baru saja diberi notifikasi akan dihukum mati oleh Negara Republik Indonesia. Notifikasi ini diberikan untuk menandakan bahwa dalam kurun waktu 72 jam, Merry Utami akan dicabut nyawanya oleh Presiden Jokowi. Selalu ada yang sulit kita mengerti ketika Pemerintah yang mendasarkan diri pada “Pancasila” memutuskan menjalankan hukuman mati. Terutama dari perspektif perempuan, hukuman mati adalah pengingkaran tehadap kehidupan. Tentu alasan paling klise adalah bahwa negara memiliki kedaulatan untuk menegakan hukumnya sendiri tanpa boleh ada intervensi pihak manapun. Tetapi bukankah juga pada Pemerintah, dalam hal ini Presiden, diberikan hak diskresi yang paling tinggi, yaitu hak memberikan grasi? Grasi adalah norma peradaban hak asasi tertinggi demi membatalkan sesuatu yang secara prinsip kemanusiaan dipandang sebagai tak sejalan lagi dengan “hukum positif” yang masih membenarkan hukuman mati. Grasi adalah konsep yang memang dipikirkan untuk memberi jalan keluar demi menjaga akal sehat kekuasaan dari kondisi “balas dendam”. Bahkan dalam konvensi pergaulan internasional, sudah lama ada kesepakatan untuk “moratorium” hukuman mati, bila hukum positif suatu negara belum dapat dicabut atas berbagai alasan kultur dan politik domestik. Pada perspektif itulah kita seharusnya mengerti evolusi kesadaran hak asasi manusia, sebagai konsep yang pada akhirnya harus kita maksimalkan demi membangun sebuah dunia yang beradab dan berperikemanusiaan. Kita memahami apa yang menjadi konsekwensi dari “peredaran narkotik” bagi generasi muda. Tetapi kita juga mengetahui bagaimana sistem hukum kita yang sering dengan mudah ditembus oleh jaringan kejahatan internasional karena aspek koruptif dari aparat penegak hukum yang masih sangat menguasai sistem peradilan kita. Tetapi lepas dari semua itu, kita juga perlu mengingat prinsip dalam penghukuman bahwa sekali seseorang dijatuhi pidana mati, maka seluruh kemungkinan berlangsungnya kesalahan penerapan hukum tak mungkin lagi diperbaiki. Merry Utami akan dihukum mati beserta 12 orang lainnya yang terdiri dari warga negara Indonesia, Nigeria, Pakistan, Senegal dan India. Merry Utami seperti Mary Jane adalah korban kemiskinan dan kekerasan. Ia pernah menjadi pekerja migran mengadu nasib ke Taiwan demi sesuap nasi. Seperti kebanyakan perempuan dalam keadaan miskin, memimpikan kehidupan yang lebih baik. Maka ketika ia bertemu dengan seorang kekasih yang katanya mencintainya dan mencintai orang tuanya dan kehidupannya, ia terperdaya. Kekasihnya yang mengaku warga negara Kanada memanjakannya dan mengajaknya berlibur ke Nepal serta menjanjikan akan menikahinya. Di Nepal itulah, ia ditinggalkan kekasihnya yang katanya perlu ke Jakarta untuk mengurus bisnisnya tetapi meminta Merry untuk membawa barang titipan. Pada tanggal 31 Oktober 2001, Merry tiba di Bandara Soekarno Hatta dan ditangkap karena ditemukan heroin seberat 1,1 Kg yang disembunyikan di bagian dinding tas. Merry tentu kaget dan berusaha menghubungi kekasihnya yang ternyata memiliki banyak nama samaran dan menghilang tanpa jejak. Merry ditahan dan sempat mengalami penyiksaan sebanyak tiga kali saat pemeriksaan di Bandara (laporan lembaran fakta Komnas Perempuan, 18 Mei, 2 dan 18 Juni 2016). Cerita Merry adalah cerita klasik, perempuan miskin yang dibodohi. Tentang semua kesalahannya, pengadilan telah memutuskan hukuman mati. Tetapi apakah prosedur permintaan grasi yang bersangkutan sudah dijalankan oleh sistem peradilan kita? Apakah Presiden telah sungguh-sungguh membaca kasus perkasus yang dimintakan grasi oleh para terpidana? Hukum memberi hak pada para terpidana untuk meminta pengampunan pada Presiden, dan Presiden wajib membaca permintaan itu sebagai satu kesatuan prosedur hukum yang adil. Merry telah mengajukan permohonan grasi dengan nomor:02/Pid/2016/PN.TNG melalui kuasa hukummnya dari LBH Masyarakat. Di sore hari yang sendu, WA yang saya terima dari seorang sahabat yang bekerja di LBH Masyarakat, menyampaikan bahwa Merry telah pasrah. Ia seorang perempuan tegar meski hatinya hancur karena harus meninggalkan anak semata wayangnya, seorang gadis kecil. Mungkin karena itu dalam kepasrahannya dan sekaligus kegigihannya mempertahankan bukan saja hidup untuknya tetapi untuk anak perempuan kecilnya, ia menulis surat kepada Presiden Jokowi. Bagaimanapun ia ingin merawat anaknya, menyaksikan anaknya tumbuh menjadi perempuan dewasa yang siapa tahu nasibnya lebih baik darinya, mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak. Ini cita-cita setiap ibu di mana pun juga. “Semoga Bapak Jokowi dengan kemurahan hati bisa mengampuni semua yang pernah saya lakukan…Dengan rasa hormat saya mengucapkan banyak banyak terima kasih. Semoga Bapak dan keluarga selalu sehat…” demikian doa Merry kepada Presiden Indonesia yang entah mendengarkan atau tidak, peduli atau bergeming. Nyawa manusia di negara ini memang murah, sedemikian murahnya eksekusi mati kadang dilihat sebagai hiburan, panggung meriah dan pesta kematian. Pernahkah kita berpikir bahwa mungkin saja orang-orang yang dihukum mati ini tidak bersalah, bahwa negara belum menjalankan kewajibannya untuk memberikan pelayanan hukum yang maksimal dan sungguh-sungguh? Mungkin sebagian besar rakyat tak meratapi kepergian Merry, tapi ada seorang gadis kecil yang terisak sebab ibunya akan pergi untuk selamanya tanpa ada yang peduli. Negeri ini didirikan demi memuliakan harkat manusia. Mukadimah konstitusi kita menegaskan prinsip itu. Amandemen konstitusi bahkan telah memasukkan seluruh pasal Hak Asasi Manusia yang menjadi pedoman praktek universal bangsa-bangsa beradab. Maka sebagai bagian dari masyarakat dunia, seharusnya kita memelopori upaya global untuk menghapus hukuman mati secara permanen. Pikiran inilah yang hari-hari ini menumpuk pada saya dan semua orang yang peduli pada kemanusiaan. Harapan itu harus tetap ada. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|