Malam ini, 20 Desember 2015, saya menghadiri peringatan Milangkala Madrais ke-180, semacam perayaan maulid tokoh pendiri Sunda Wiwitan, salah satu aliran kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pangeran Madrais lahir 27 Sep 1827 (bertepatan dengan 9 Mulud 1755 Saka), wafat dalam usia 112 tahun, usia yang sangat panjang untuk ukuran kita sekarang. Dimasanya, Pangeran Madrais memberontak terhadap kekejaman kolonial Belanda dan menolak tunduk pada penjajah. Akibatnya, beliau dituduh sebagai murtad, ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dibuang ke Digul, Papua. Keberanian menegakkan keadilan ini harus diteladani oleh kita semua. Beliau juga pernah memimpin gerakan kelompok tani untuk menyerang Belanda dan merebut kembali tanah-tanah pertanian yang dirampas Belanda. Madrais meyakinkan para petani bahwa tanah-tanah tersebut adalah warisan dari leluhur yang tidak boleh dimiliki Belanda. Perjuangan berdarah ini terekam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah ini, beliau mengubah orientasi perjuangan dengan pendekatan budaya. Pangeran Djatikusuma, pemimpin komunitas penganut Sunda Wiwitan adalah cucu Pangeran Madrais, sejak tahun 1990-an menjadi tokoh panutan kelompok ini. Beliau dikenal sebagai tokoh Sunda Wiwitan yang sangat menekankan pentingnya kerukunan dan perdamaian, serta menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Beliau juga dikenal tokoh lintas agama yang tergabung dalam ICRP. Selain merayakan maulid Pangeran Madrais, Pangeran Djatikusuma juga menjadikan momen ini untuk menyerahkan tanggung jawab pembinaan komunitas kepada putra-putrinya yang berjumlah 10 orang sambil memberikan pesan-pesan moral kepada mereka yang kelak menggantikan tugasnya memimpin komunitas Sunda Wiwitan. Pesan-pesan itu, antara lain: mereka harus selalu bersatu, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, menjaga tradisi dan memeliharanya dengan baik, menjaga keserasian dan kelestarian lingkungan, jangan berselisih, jangan berebut harta, jangan saling menyakiti, dan jangan tergoda hal-hal duniawi. Para pewaris itu kelak diharapkan dapat membimbing masyarakat dan menjadi panutan. Malam ini anak-anak Pangeran Djatikusuma yang berjumlah 10 orang, hanya satu laki-laki yangmenyatakan sumpah setia untuk melanjuntukan kepemimpinan beliau dan bertekad menjalankan semua titahnya. Tampaknya, malam ini Pangeran Djatikusuma telah memberikan sinyal pergantian tugas kepada pewarisnya, sepuluh anaknya untuk mengemban amanah yang tidak ringan itu. Menarik bahwa Pangeran Djatikusuma tidak membuat pembedaan sedikit pun antara anak laki-lakidan anak perempuan (tidak ada diskriminasi gender), juga antara anak sulung dan anak bungsu. Semua anaknya mendapatkan tugas dan amanah yang sama dan setara. Masing-masing bertanggung jawab sesuai wilayah dan bidang kerja yang telah ditetapkan. Acara pengambilan sumpah dilakukan, setiap anak menghadap, sungkem pada ayahanda dan ibunda dengan penuh khidmat. Sungguh indah penerapan nilai-nilai demokrasi dalam tradisi budaya ini. Saya mengenal komunitas ini sejak 1998, ICRP organisasi kami memperjuangkan hak-hak sipil komunitas Sunda Wiwitan, khususnya terkait dengan hak menuliskan identitas kepercayaan mereka dalam KTP, hak mendapatkan akta nikah ketika menikah, akta lahir bagi anak-anak mereka dan lainnya. Kami mengadvokasi pemerintah agar mereka dapat diperlakukan secara adil, mendapatkan perlakuan setara dengan warga negara lainnya, tanpa diskriminasi sedikit pun. Mereka juga warga negara penuh yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya. Masa Reformasi telah 17 tahun berlalu, namun kebijakan pemerintah terhadap kelompok penghayat kepercayaan belum juga berubah, masih diliputi unsur-unsur diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan pemerintah Jokowi belum memandang penting keberadaan kelompok ini, khususnya dalam konteks penjaga kelestarian tradisi Sunda yang merupakan salah satu akar budaya Indonesia.Selamat untuk Pangeran Djatikusuma dan seluruh komunitas Sunda Wiwitan. Rahayu dan Sampurasun! Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|