Oleh: Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP dan Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) [email protected] Asia Consultation on Gender and Militarism in Asia yang bertema Konsultasi: Mengaitkan Analisis Regional ke Aksi-aksi Lokal (Linking Regional Analysis to Local Practices) berlangsung selama tiga hari, 7-9 Desember 2015, bertempat di Hotel Marco Polo, Manila, Filipina. Acara ini dihadiri 26 peserta mewakili 9 negara di Asia yaitu, Filipina, Fiji, Sri Lanka, India, Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Nepal, dan Korea Selatan. Ada juga 4 peserta pengamat dari Australia dan Amerika. Kegiatan ini diadakan oleh WPP (Women Peacemakers Program). Forum ini secara serius membahas 6 topik, yaitu: 1) Militerisme sebagai Warisan Kolonial: Memperingati Perang di Asia. 2) Melawan Terorisme dan Dampaknya bagi Kesetaraan Gender. 3) Menghadapi Kelompok Ekstremis Agama di Asia; 4) Perang dan Konflik: Sebuah Problem Global yang Memerlukan Solusi Global. 5) Pendidikan Damai yang Sensitif Gender: Mengubah Masyarakat yang Militeristik. 6) Analisis Feminis terhadap Ekonomi Makro: Gender dan Konflik. Hal menarik dalam forum ini adalah pemutaran beberapa film dokumenter terkait isu militerisme, kekerasan, konflik dan diskriminasi gender. Film bisa menjadi media paling ampuh menggugah kesadaran masyarakat dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya empati kemanusiaan demi mengakhiri semua bentuk konflik, perang dan ketegangan sampai skala yang paling kecil di rumah tangga. Forum ini secara kritis dan holistik mengevaluasi berbagai pendekatan yang digunakan dalam paradigma pembangunan, termasuk membangun perdamaian dan menghentikan perang dan konflik, yang dianggap tidak lagi efektif pada masa kini. Setiap peserta—yang terdiri dari berbagai bangsa, gender, warna kulit, budaya dan agama—menjelaskan adanya bahaya ekstremisme agama di negara mereka masing-masing. Menarik dicatat bahwa dalam semua kelompok agama selalu saja ditemukan kelompok ekstremis. Kondisi ini muncul akibat berbagai faktor yang saling berkelindan, seperti ketidakadilan, keserakahan, diskriminasi, kemiskinan, kurangnya pendidikan, urbanisasi, dan kegagalan merespon perkembangan global yang demikian cepat. Kelompok ektremisme dianggap sebagai musuh terbesar perdamaian dan kelangsungan pembangunan, dan bahkan peradaban manusia karena ideologi kekerasan dan aksi-aksi brutal yang menyertainya. Kelompok ini secara sistematik dan terorganisir menyebarkan gagasan intoleran, anti perdamaian, anti feminisme, anti demokrasi dan anti HAM. Khusus di Indonesia, mereka sangat gigih menebarkan paham anti Pancasila, anti nasionalisme dan anti Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa perempuan menjadi sangat peduli? Faktanya, setiap kondisi tidak damai, setiap konflik, perang dan kekerasan selalu menjadikan perempuan dan anak sebagai target dan korban utama. Lihat saja konflik Aceh, perempuan dan anak-anak adalah korban terbesar. Mereka diperkosa, diteror dan diintimidasi, menderita berbagai kekerasan fisik, psikis, mental, ekonomi, dan seksual. Sayangnya, media kurang tertarik memberitakan penderitaan perempuan. Sangat ironis, ketika konflik dan perang mulai reda, perempuan justru menjadi kelompok pertama yang berusaha merajut damai. Mereka memulai rekonsiliasi dengan pendekatan feminin dan keibuan. Mereka harus survive untuk merawat kelangsungan hidup anggota keluarga, terutama anak-anak. Mereka berjuang dan bertahan hidup agar dapur terus mengepul sebagai tanda kehidupan. Meski demikian, pada saat perjanjian damai ditandatangani, hanya laki-laki yang duduk dalam meja perundingan, perempuan cukup menonton dari kejauhan. Sebab, eksistensi mereka dianggap tidak penting. Ideologi ekstremisme menjadikan perempuan sebagai sandera dan sasaran tembak yang paling empuk. Mengapa? Karena perempuan dalam hampir semua budaya masih dianggap sebagai kelompok lemah dan kurang penting, hanya objek seksual, warga negara kelas dua, dan mesin reproduksi. Karena itu, forum ini menegaskan, perempuan harus memperkuat jaringan, bersatu melawan ekstremisme agama. Mereka harus meningkatkan kualitas diri, pengetahuan, wawasan, pengalaman, termasuk kualitas spiritual agar kuat menghadapi berbagai ancaman dan teror, fisik dan non fisik yang setiap detik dilancarkan kelompok tersebut. Perempuan harus mampu meng-counter berbagai isu secara elegan, penuh percaya diri dan tetap mengutamakan cara-cara damai yang mengedepankan kasih sayang, bukan dengan cara-cara brutal, militeristik dan penuh kekerasan. Pendidikan damai yang sensisitif gender merupakan kunci utama dalam upaya melawan dan mengurangi terorisme dan ekstremisme. Pendidikan damai harus dimulai dari institusi keluarga, dan nilai-nilai universal perdamaian hendaknya ditanamkan pada anak-anak sejak dini, dan berlanjut secara sistemik dalam pendidikan formal di semua level melalui pendekatan yang sensitif gender. Keadilan dan kesetaraan gender adalah obat mujarab yang mampu mencairkan ketegangan, konflik dan perang yang diakibatkan oleh penyalahgunaan kekuasaan dengan pendekatan patriarkal. Akhirnya, mari bersama bertekad merajut damai sesuai kapasitas masing-masing, dan menjadikan perdamaian abadi sebagai tujuan bersama. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|