Setujukah anda bila "kekerasan seksual" diatur tersendiri sebagai undang-undang khusus (lex specialis) di luar pengaturan KUHPidana? Artinya, delik "kejahatan seksual" akan dirumuskan berlainan dengan definisi kejahatan dalam KUHPidana. Kemarin saya memberi kuliah umum soal itu di FHUI, dengan pendekatan feminist legal theory. Beberapa dosen Fakultas Hukum UI agaknya berupaya menjadikan matakuliah ini "wajib" dalam kurikulumnya. Terlihat urgensi untuk merevisi kurikulum dalam upaya merelevankannya dengan tuntutan asas keadilan terhadap perempuan. Mata kuliah ini tumbuh dari upaya filsafat feminis untuk menghasilkan perspektif kritis dalam membaca "peristiwa hukum". Anda tahu bahwa di negeri ini setiap 2 jam terjadi 3 kekerasan seksual pada perempuan, dan hukum tak mampu memprosesnya. Artinya, ada masalah mendasar dalam sistem hukum, sehingga perlu terobosan paradigma. Terutama dalam segi pembuktian, persyaratan-persyaratan hukum acara tak mampu memahami konstruksi peristiwa kejahatan seksual sebagai kejahatan terhadap integritas tubuh dan seluruh psikologi perempuan. Rumusan konvensional tentang kekerasan seksual, selalu sekadar dilekatkan pada segi "kesusilaan". Konstruksi patriarkis sebagai latar kekerasan seksual tak diperhatikan. Kritik teori hukum feminis adalah bahwa cara membaca hukum telah mengabaikan hal paling mendasar, yaitu relasi kuasa dari kejahatan. Begini: bila seorang laki-laki menyerang seorang laki-laki, maka si penyerang akan menghitung korbannya sebagai "mampu menyerang balik". Tetapi bila korbannya adalah perempuan, maka si laki-laki penyerang akan menganggap bahwa korbannya "tak mampu menyerang balik". Jadi, dari awal telah terjadi ketimpangan kekuasaan. Ada surplus arogansi pada laki-laki, dan defisit moril pada perempuan, karena ia mengadopsi pikiran umum bahwa ia memang tak berdaya. Artinya, dalam serangan seksual, selalu ada "pretext" kekuasaan. Mengusulkan sebuah "lex specialis" untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual adalah upaya untuk mengubah paradigma hukum yang bias gender itu. Itu seharusnya menjadi urusan akademis yang serius dan konsisten. Kampus diminta untuk menghasilkan argumen filosofis yang kuat. Tetapi hambatan terbesar dalam upaya pembaruan hukum adalah sikap palsu di kalangan akademisi. Mereka bicara tentang keadilan bagi korban, tetapi pada saat yang sama menampilkan sikap patriarkis menindas koleganya. Patriarkisme dapat dipraktikkan siapa saja! Feminisme memang bukan sekadar soal kecerdasan akademis. Feminisme pertama-tama adalah soal kecerdasan etis. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|