Sartika Dian Nuraini ([email protected]) Bremen merupakan kota kecil di Jerman yang kaya akan narasi sejarah. Dalam tata kota yang masih mempertahankan bangunan-bangunan tua dari abad 1500 masehi itu, terjaga dengan baik artefak-artefak dan udara seni yang memberinya warna. Rasa takjub saya ketika memasuki kota Bremen belum tuntas saat menghadiri museum, yang khusus mengoleksi karya-karya seorang pelukis perempuan ternama. Dia mengawali jejak-jejak Ekspresionisme di Eropa: Paula Modersohn-Becker, perempuan yang melihat dunia dengan tubuhnya. Paula Modersohn-Becker (1876-1907) anak ketiga dari tujuh bersaudara, lahir di Dresden (8 Februari 1876), 139 tahun yang lalu. Paula Modersohn-Becker besar di lingkungan aristokrat yang dididik dengan kesadaran budaya dan intelektual yang mumpuni. Pengalaman melukisnya dimulai ketika ia datang ke London untuk bertemu dengan bibinya. Pada usia enam belas tahun, dia memutuskan pindah ke London dan mengikuti sekolah seni profesional. Dari sanalah, ia mengenal pelukis-pelukis seperti Otto Modersohn, Fritz Mackensen, Fritz Overbeck dan Heinrich Vogeler, dan mengilhami dirinya untuk menjadi pelukis. Pada awalnya, ayahnya enggan menyetujui keinginannya menjadi seorang seniman. Ayahnya memaksanya untuk ikut ujian menjadi guru, karena berpikir bahwa karier menjadi seniman adalah tidak mungkin bagi seorang perempuan pada masa itu. Menjadi guru, menurut ayahnya, akan memudahkan dia mendapat uang. Sampai pada akhir tahun 1898, orang tuanya tidak mendukung keinginan dan cita-citanya tersebut. Keputusannya menjadi seorang seniman adalah sebuah kenekatan tanpa pamrih. Sampai pada akhir studinya, ia menyewa sebuah ruang kecil di Worpswede yang dijadikan studio lukisnya. Disana ia bertemu Otto Modersohn, seorang pelukis terkenal pada masanya, juga seorang duda beranak satu. Kini, perwujudannya bisa kita lihat dan amati di Museum Paula Modersohn-Becker, yang men-display karya-karya Paula sepanjang masa. Ekspresi Seni Perempuan sebagai Tubuh yang Purba Seperti yang sudah banyak sekali diperbincangkan, pada awal abad 20, seniman perempuan belum banyak bermunculan. Mereka menghadapi semacam konflik antara avant-garde dan klasikisme Eropa pada masa itu. Gerakan avant-garde yang berbasis rakyat menyangkal habis-habisan seni dari para akademisi. Rakyat mulai membuka pameran-pameran paralel dan outlet seni yang mandiri. Para seniman yang bergerak dari masyarakat inilah yang pada akhirnya memuliakan lukisan-lukisan potret, lanskap, dan genre yang mengutamakan ekspresi-ekspresi wacana “real life”. Transformasi ini didukung oleh semakin masifnya gerakan feminisme saat itu. Memungkinkan akses perempuan untuk menjangkau karier di bidang-bidang yang mustahil dilakukan perempuan. Peran dan konsolidasi perempuan telah melahirkan berbagai perubahan: sebuah periode ketika perempuan tidak lagi dibatasi pada wilayah domestik saja, melainkan peran publik yang terus berkembang. Tetapi masalahnya, seniman perempuan saat itu masih dipandang sangat eksklusif, dan label “avant-garde” masih dikuasai laki-laki. Karena laki-laki dianggap memiliki “individualitas, orisinalitas, dan otonomi.” (Lisa Tickner, “Feminism, Art History, and Sexual Difference,” Genders 3 (November 1988): 101-2.) Menghadapi peran marginal ini, membuat banyak seniman perempuan saat itu harus bernegosiasi terus-menerus. Membangun citra diri sebagai perempuan dan sebagai subjek dalam seni dan produktif mendamaikan ketegangan identitas yang melekat pada mereka. “Perempuan bukan lagi sebagai objek di dalam tanda, tetapi sebagai subjek dalam tanda”, inilah jargon utama dari gerakan seni yang dilakukan perempuan; tentu saja di luar representasi yang telah berakar di lingkungan akademis saat itu. Paula Modersohn-Becker adalah sebuah contoh yang menarik dari perjuangan ini. Tanpanya, mungkin akan jarang sekali seniman perempuan lahir kembali. Karier Paula Modersohn-Becker ini cukup pendek, berkisar antara tahun 1897-1907. Tetapi cukup intensif dengan melahirkan 600-an lukisan dan 1000-an sketsa studi. Termasuk beberapa diantaranya ratusan lukisan potret. Ini menarik untuk ditelusuri mengingat keluarganya menentangnya dalam berkarier sebagai seniman. Dalam lukisan-lukisan potretnya yang terkenal, kita bisa memberikan sedikit interpretasi. Pertama bahwa pencarian identitas yang dilakukannya cukup konsisten; kedua, bahwa kehidupan sastra telah memengaruhinya; dan ketiga, bahwa posisi marginalnya ini membuatnya tumbuh ke dalam (sebuah ambisi yang besar untuk mengangkat perempuan dari subordinasi tak sadar). Dalam lukisan potret dirinya yang terkenal berjudul “Self Potrait with Amber Necklace” yang dilukis tahun 1906, Paula Modersohn-Becker menyatukan benang merah antara perempuan sebagai ibu bumi, dewi alam, spiritualitas yang primitif, dan sebuah kontroversi tentang seksualitas perempuan. Lukisan potret diri telanjang ini menantang yang konvensional, bahwa biasanya perempuan telanjang dan pasif dilukis oleh seorang seniman laki-laki, tetapi kali ini Paula melukis dirinya sendiri telanjang dihadapan kanvasnya, menjadi objek sekaligus subjek bagi keseniannya sendiri. Paula seperti ingin berteriak melalui lukisan ini, ia hadir dengan sebuah gaya yang autentik. Seperti tak ingin berjarak dengan kanvas dan catnya sendiri. Ia melampaui matanya, untuk melihat seni dari tubuhnya sendiri. Ada sebuah demarkasi tiba-tiba ketika kita melihat warna daging tubuh dan warna leher dan wajah yang kebiru-biruan. Warna tubuh yang sangat kuat dan terawat juga pose yang menghadap lurus ke depan, memberi nuansa tegas dan jujur. Memberi sebuah kesan tentang kemerdekaan dan kemandirian. Seperti tak ada koherensi antara tubuh-pikiran dan yang subjek-yang objek. Pada lukisan potret yang sama, masih dapat kita baca, dari latar belakang yang dipenuhi dengan bunga-bungaan. Juga bunga yang digenggam oleh tangan kanan dan kirinya, beberapa bunga yang sama tersemat pada kepalanya (membentuk mahkota). Ini merepresentasikan secara langsung perempuan dan alam sebagai satu hal yang tak dapat dipisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa, dengan formula berpikirnya sendiri, Paula telah membuat tubuhnya monumental dari ikon-ikon alam sebagai representasi ibu bumi yang mengimajinasikan sebuah esensi purba dalam tubuh perempuan. Ketegangan Domestik: Antara Marginalisasi dan Perbedaan Idealisme Paula dan Otto menikah pada tahun 1901. Otto saat itu sudah terkenal sementara Paula belum sama sekali. Dan Paula seringkali merasa terhina saat harus meminta uang kepada Otto untuk biaya hidup dan kebutuhan sehari-harinya. Setahun setelah menikah, Paula menulis dalam buku hariannya: “In the first year of my marriage I have cried a great deal… My experience tells me that marriage does not make one happier. It takes away the illusion that had sustained a deep belief in the possibility of a kindred soul” (“Pada tahun pertama pernikahanku, aku telah banyak menangis... Pengalamanku memberi tahuku bahwa pernikahan tidak memberikan suatu kebahagiaan pada seseorang. Pernikahan menghilangkan ilusi atas sebuah keyakinan yang mendalam dalam kemungkinan jiwa yang murni.”)-- (dikutip dari Mercier dari buku harian Modersohn-Becker, 274-5). Ini ditengarai oleh subordinasi yang dihadapi Paula. Pada pameran-pameran awal Paula, ia seringkali mendapat hujatan kritis dari para kritikus seni. Otto sendiri, walau dia terlihat sangat mendukung karier Paula, menulis di buku hariannya dan menuduh Paula sangat terinfeksi oleh konsep-konsep modern, yang baginya sangat egois dan individual. (Ruth Bass, “Self-Portrait with Bitter Lemon,” ArtNews 83.5 (May 1984): 103.) Dalam mengejar karier artistiknya yang singkat itu, Paula akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Otto pada Februari 1906, pergi ke Paris untuk mendalami seni. Ia pergi bersama Clara-Weshoff (seorang pematung perempuan yang menjadi sahabatnya, juga mantan istri penyair Reiner Maria Rilke). Di Paris itulah masa-masa keemasannya. Ia sangat produktif dan seringkali menghadiri pameran seni rupa yang ditemani oleh sahabatnya Rilke. Paula dan Rilke pun seringkali tak sependapat mengenai kehidupan seni dan keluarga. Bagi Rilke, seorang seniman harus merdeka dari memiliki anak untuk bisa mendapatkan kemurnian dalam berkarya. Rilke bercerai dari Clara, karena sepakat bahwa dalam mengejar karier artistik, keduanya tidak bisa dibebani oleh anak. Ini yang seringkali memberatkan Paula. Paula masih percaya bahwa kesenian adalah kehidupan itu sendiri, termasuk hal-hal tentang reproduksi tubuh dan kebahagiaan dari melahirkan seorang anak. Ibu Bumi: Genealogi Keperempuanan Paula Modersohn-Becker Lukisan potret diri yang berjudul “Self Portrait in her Sixth Wedding Day” (1906) dilukis justru saat Paula belum hamil. Sebuah ambivalensi mengingat ia telah menolak untuk menjadi ibu pada pertengahan musim semi. Saat itu, Paula benar-benar percaya bahwa dia adalah pelukis dan dengan melukis dia telah memberikan seluruh jiwanya. Dan pada September, hanya beberapa minggu setelah menolak menjadi ibu dan putus dari Otto, dia berubah pikiran. Dia meminta Otto untuk rujuk padanya dan menginginkan seorang bayi lahir dari tubuhnya. Tepat setelah surat permintaan rujuk itu diterima oleh Otto Modersohn, ia menjemput Paula kembali ke Worpswede. Memberanikan diri untuk mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan, bernama Mathilde. Satu tahun dalam masa kehamilannya, ia terilhami dengan banyak karya yang melampaui estetikanya selama ini. Dua puluh hari setelah melahirkan, ia terkena emboli dan serangan jantung yang fatal dan meninggal dunia. Lukisannya “Reclining Mother and Child” (1906) menjelma sebuah moksa antara kematian dan kehidupan setelahnya. Di atas segalanya, Paula telah membawa tubuh perempuan diatas kesenian itu sendiri. Seperti Penyair Rilke menulisnya dalam Requiem for A Friend, “Dan pada akhirnya kau melihat dirimu sendiri sebagai buah, kau melangkah keluar dari pakaianmu dan membawa tubuhmu yang telanjang itu di depan cermin, kau membiarkan dirimu masuk dalam tatapanmu; yang ada di depanmu, sebuah kebesaran, dan kau tak berbicara ‘ini aku; bukan; itu aku’. Tatapan yang begitu bebas dari rasa ingin tahu, yang telah menjadi, tidak ada posesi, oh kemiskinan yang paling murni, bahkan tak punya keinginan untuk diri sendiri; Tak inginkan apapun: begitu suci....” [] Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|