Seorang teman perempuan, sebaya saya, pernah bercerita. Suatu malam, ketika ia pulang dari kantor, tempatnya bekerja, ia melewati kawanan geng motor yang semuanya laki-laki. Tetapi di depannya ada juga seorang perempuan, berperawakan tinggi, mengenakan stiletto tinggi, berambut panjang, mengenakan make-up tebal, serta perhiasan yang mencerminkan keglamorannya. Perempuan itu melewati sekawanan lelaki geng motor. Dan terdengarlah itu, siulan, teriakan mereka, seperti gema alarm yang memekakkan jalan di gang itu untuk perempuan glamor tersebut. Tetapi, ketika teman saya—yang berbadan agak gemuk dan pendek—lewat di depan lelaki geng motor itu, tak ada siulan atau pun teriakan sama sekali. Sepi. Sesampainya di rumah, teman saya itu menelepon saya. Dia sedih dan merasa dilecehkan, justru karena ia tidak mendapat siulan dan teriakan dari lelaki geng motor tersebut. Keluhan teman saya tersebut membuat saya ikut berpikir sebagai sesama perempuan. Saya kembali teringat beberapa semester kuliah feminisme yang saya ambil di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo, sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Kuliah itu menurut saya sudah lengkap, saat ditutup oleh satu tema tentang feminisme gelombang ketiga: tentang representasi perempuan dalam media. Premisnya bisa kita kutip: “lelaki beraksi, perempuan muncul. Perempuan ada untuk dilihat dan dinikmati sebagai objek seksual.” Kemudian saya mempertanyakannya kembali dengan membandingkan pengalaman dari teman perempuan saya tersebut: apakah premis yang saya kutip itu masih berlaku sebagai pembenaran dalam feminisme kontemporer saat ini? Tersebutlah feminisme gelombang keempat, yang tiba-tiba muncul dalam salah satu portal isu dan website tentang feminisme yang sebenarnya sejalan dengan keluhan teman saya itu. Dalam beberapa artikel senada, kisah teman saya dikategorisasikan sebagai kisah perempuan dalam feminisme gelombang keempat: yaitu perempuan yang merasa tidak terhormat dan tidak bahagia, hanya karena tidak bisa menjadi objek seksual laki-laki, atau tak ada laki-laki yang “menatap dan menikmatinya”. Feminisme gelombang keempat ini, kali pertama diperkenalkan oleh Kira Cochrane dengan esai jurnalistik yang eksploratif sepanjang 70 halaman, berjudul All the Rebel Women: The Rise of the Fourth Wave Feminism (Perempuan-perempuan Pemberontak: Kebangkitan Feminisme Gelombang ke Empat). Tulisan ini ditujukan untuk membongkar dan mengetahui bagaimana posisi perempuan yang berada di tengah-tengah arus feminisme yang semakin fragmentatif. Esai dari Cochrane menurut saya penting, karena ia menawarkan perspektif otonomi diri. Seringkali disebut dalam feminisme sebagai “subjektivitas”. Yang membedakannya adalah pada sikap kesadaran feminisme yang mengambil jalan tengah dari semua perspektif yang ada. Cochrane dengan sangat cerdas merangkum seluruh perkembangan dalam feminisme, dan secara signifikan telah mendesak perempuan-perempuan muda yang tumbuh bersama arus teknologi untuk memilih jalannya sebagai perempuan yang merdeka dari pembodohan media atas perempuan. Cochrane mengidentifikasi beberapa penanda baik itu teknologi, grassroots, bahkan ke hal-hal tentang seksisme yang seringkali dialami perempuan masa kini. Masalah yang seringkali dialami perempuan, menurut Cocrane, adalah intersectional problem, dimana perempuan yang telah sadar akan pemikiran tentang kesetaraan gender, tetapi masih saja mengalami semacam marginalisasi. Misalkan, seorang perempuan yang berkulit putih masih saja mengalami opresi dalam satu komunitas lelaki yang menggodanya, maupun perempuan yang mencemburui kecantikannya dalam konteks politik kecantikan yang dikonstruksi media. Di sisi lain, seorang perempuan berkulit hitam justru mengalami opresi hanya karena ia berbeda dengan komunitas dengan kulit yang berbeda dengannya di mana ia tinggal. Analisa ini penting, paling tidak untuk melihat di titik mana kita sedang berdiri: apakah identitas keperempuanan ditentukan dari luar (objektivitas tubuh perempuan oleh media)? Saat kita mengalihkan masalah ini keluar, kepada masyarakat atau sistem psikologi masyarakat, sebagai semacam politik perhatian, kita memang bisa mengalami dilema seperti yang diceritakan teman saya di atas. Yaitu tentang perasaan menjadi perempuan yang didefinisikan dari luar. Tetapi kita bisa saja mengatakan bahwa ini adalah ketidakadilan politik perhatian secara psikologis yang dialami perempuan. Saat seorang perempuan ingin memuaskan dirinya dalam politik perhatian ini, seperti berdandan dan sebagainya, pada saat itulah dia bisa menjadi objek masyarakat dengan sukarela. Bisakah atau seharusnyakah perempuan membiarkan politik perhatian ini menguasainya agar dirinya diakui sebagai perempuan di hadapan para lelaki (identitas dari luar)? Jawaban “tidak” untuk pertanyaan ini barangkali bisa dengan enteng dilakukan oleh mereka yang memiliki kesadaran feminisme yang kuat atau memiliki kesadaran subjektivitas yang kuat. Permasalahan ini berangkali sudah dengan sendirinya selesai. Tak usahlah memperhatikan komentar, perhatian, dan sebagainya dari luar, yang bukan dari dirinya sendiri atau yang bukan dari kesadaran subjektivitasnya. Tapi, dari manakah lahirnya kesadaran subjektivitas ini atau kenapa sebagian perempuan memiliki kesadaran subjektivitas yang tinggi, namun sebagian malah emoh dan lebih memilih mengikuti kesadaran sebagai objek demi ambisi menjadi perempuan? Saat kecil, atau bahkan saat seorang bayi lahir, saat itulah seorang dibuatkan identitasnya. Pakaiannya sudah memiliki identitas yang bergender, namanya sudah memiliki identitas yang sudah dibedakan apakah perempuan atau lelaki, perlakuan terhadap bayi itu sudah tergenderkan, bahkan perasaan-perasaan yang dihadapkan pada bayi itu juga dibedakan. Semakin dewasa, identitas itu semakin jelas dan terpatokkan pada bayi yang lahir itu. Bayi itu tak bisa mengelak, tak bisa memilih, atau memiliki kesadaran subjektivitas. Dunianya sudah sedemikian terbentuk. Tidak ada esensialisme awal yang begitu mendasar bahwa perempuan lahir sebagai perempuan. Menjadi perempuan adalah sebuah asuhan sosial, bukan pilihan subjektivitas (?). Apakah menjadi kelumrahan jika perempuan, dalam feminisme gelombang keempat, lebih berhasrat untuk menjadi objek seksual, karena sudah menjadi alasan logis dari asuhan sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini mengarah pada makna menjadi perempuan, khususnya menjadi perempuan dilihat dari dalam keperempuanan atau femininitas, sebelum menjadi perempuan yang diimperatif dari luar. Terkadang, meski terkesan mundur dan kalah, adalah sangat penting untuk melihat ke dalam diri sendiri, sebelum kemudian mendapatkan pengakuan dari luar. Atau, dengan bahasa yang jargonistik-filosofis: mengukur dan mendalami dan menjadi aku-perempuan, sebelum mengakui bahkan berhasrat menjadi kamu-perempuan di hadapan orang lain atau yang dikukuhkan oleh orang lain. Dengan perspektif berbeda, sebenarnya persoalan ini bisa sangat sepele untuk dijawab. Apabila memang perempuan “diharuskan” memenuhi selera laki-laki yang membawa beban mata-media, apakah laki-laki hanya “melihat dan terhisap” oleh hidangan tubuh perempuan saja? Saya kira tidak. Mata-media-lelaki menjadi pelik di sini, karena tidak semua laki-laki yang memiliki ketajaman intelektualitas cenderung hanya perlu untuk memandang sebatas tubuh perempuan tanpa referensi inteletualitas, keunikan karakternya, dan subjektivitasnya. Mata-media-lelaki telah sedemikian lama bergerak ke depan, mencari batas-batas lain dalam diri perempuan, atau menyitir istilah Malia Lienau, gazing beyond a women, melihat ke dalam keunikan yang dimiliki setiap individu perempuan. Di sini, untuk tidak memasuki debat panjang perihal epistemologi-menjadi-feminis/perempuan, barangkali kita bisa kembali pada pengalaman-pengalaman personal yang tidak membiarkan hanya sekadar kesadaran dan penubuhan belaka. Melainkan juga pengalaman yang berkait dengan momen-momen kesadaran individu. Dalam pengalaman yang terefleksikan, yang diperoleh bukan hanya kekhasan yang memuncak menjadi perempuan bahkan menjadi sesosok ibu, tapi menjadi sesosok manusia yang “tanpa-rupa-perempuan”. Yaitu semacam pengalaman transendental yang dengan pasti mengatakan “aku-perempuan”. Mungkin semacam Drupadi di atas ranjang kebesarannya, tak bisa didefinisikan oleh para Pandawa. Dan puncaknya, siapkah kita meninggalkan versi lama keperempuanan dari diri kita? Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|