Apakah karena tidak ada perempuan yang berminat jadi tentara, polisi, atau tidak mampu melakukan tugas-tugas kemiliteran atau polisional ? Bukan, tetapi karena hukum di kemiliteran itu yang membatasi perempuan untuk berkarier maksimal setara seperti laki-laki. Di Angkatan Udara ada seorang perempuan jadi Jenderal, di Angkatan Laut ada satu jenderal perempuan. Di kepolisian pernah ada beberapa polisi perempuan jadi jenderal, dan saat ini mungkin tinggal seorang, yang pernah jadi Kapolda Banten (data ini masih perlu diverifikasi). Di Angkatan Darat, sepertinya belum pernah ada Jenderal perempuan. Mengapa? Karena ada peraturan yang menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, ASAL TIDAK MELUPAKAN KODRATNYA. Artinya, perempuan boleh menjadi ABRI, tetapi dia akan ditempatkan di bagian administrasi dan logistik. Oleh karena itu (hampir) tidak ada yang bisa jadi jenderal karena tidak pernah berpengalaman tempur. Padahal untuk menjadi jenderal, syarat utamanya harus punya pengalaman tempur! Jadi perempuan yang berhasil menjadi jenderal di AU atau AL itu pastilah perempuan super hebat, sehingga tidak bisa dicegah untuk meraih puncak prestasi. KEPOLISIAN Kalau kita melihat data tentang struktur jabatan di kepolisian di seluruh provinsi di Indonesia, maka akan didapati semakin tinggi pangkat, semakin banyak laki-laki dan semakin sedikit perempuan. Bahkan di seluruh provinsi, angka perempuan di struktur-struktur tinggi jumlahnya nol. Semuanya didominasi laki-laki. Kemana perempuan? Dalam perekrutan, berapa ribu-pun polisi baru, maka ada kuota bagi perempuan polisi, yaitu 500 saja. Mengapa? Karena katanya kapasitas tempat pendidikan polwan hanya 500. Jadi bila ada rekrutmen polisi di berbagai daerah, berapa ratus pun perempuan yang melamar, maka yang dipilih cuma dua atau tiga perempuan dari setiap daerah. Padahal ada banyak penelitian mengatakan: polwan sangat diminati masyarakat, karena tidak mudah disogok, bisa mengatasi kejahatan dengan cara yang humanis. Ada tradisi (bukan peraturan tertulis), bahwa bila suami istri menjadi polisi, maka pangkat istri tidak boleh lebih tinggi dari suaminya. Ada beberapa kawan polwan pangkatnya kolonel, kepada mereka ditanya, “Apakah ibu mau jadi Jenderal, tetapi suami ibu tidak jadi Kapolda?” atau “Suami ibu tidak jadi Gubernur Akpol?”. Bisa dipastikan para perempuan itu memilih pensiun sebagai kolonel daripada suaminya tidak menjadi jenderal dan pejabat. Di beberapa daerah, bahkan di Aceh, saya pernah berjumpa polwan yang mengatakan, "Bu, sebenarnya kami bisa menjaga keamanan, menjaga pilkada, tetapi atasan kami bilang, kamu pulang saja urusi suami dan anak!” Jadi bukan karena perempuan tidak bisa dan tidak mampu, tetapi pembedaan, pembatasan, pengucilan berdasarkan jenis kelamin itu datang dari para tokoh dan pembesar yang berkuasa pula merumuskan berbagai produk hukum di negeri kita. Wahai para perempuan, jangan pernah berputus asa. Jadilah warga bangsa yang pandai dan berkarakter, mengabdi bangsa dan masyarakat. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|