Apakah kita pernah berdebat tentang Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar terutama siapa yang paling pantas disebut pahlawan? Apakah kita pernah memperdebatkan mereka karena suku atau tipe perjuangan yang melekat pada mereka? Sejarah dipenuhi berbagai tokoh laki-laki. Pahlawan bangsa dikerubuti oleh laki-laki. Foto-foto pahlawan kita di sekolah-sekolah dipenuhi oleh foto laki-laki. Tetapi kita tak pernah memperdebatkan tokoh-tokoh itu satu dengan lainnya. Itulah yang terjadi pada tokoh-tokoh perjuangan perempuan: pada setiap Hari Kartini. Kartini dipermasalahkan karena Jawa-nya. Kartini dipermasalahkan karena tidak berjuang memegang pedang seperti Cut Nyak Dien dan Kristina Martatiahahu, atau membuat sekolah seperti Dewi Sartika, atau menerbitkan koran seperti Roehana Koedoes. Kartini dipermasalahkan karena hanya menulis surat-surat kepada seorang perempuan Belanda. Kartini dipermasalahkan karena menjadi istri keempat. Tapi apakah kita tahu bahwa Kartini adalah anak perempuan yang dinikahi diusia belia, yang reproduksinya belum sempurna, dan mengalami kematian saat melahirkan? Tahukah bahwa masa itu menjadi seorang perempuan Jawa itu lebih mengerikan daripada menjadi seorang perempuan Minangkabau? Atau tahukah bahwa menjadi seorang perempuan bangsawan Jawa di masa feodal-konial abad ke-19 adalah tidak lebih baik daripada menjadi perempuan rakyat jelata ketika bicara soal kebebasan diri? Tahukah bahwa menjadi seorang kutu buku seperti Kartini, dengan wawasannya yang mendunia itu, dia tak bisa berbuat apa-apa karena posisinya waktu itu? Kartini ibarat hidup dalam penjara. Sebagaimana tahanan penjara politik macam Pramoedya Ananta Toer, Kartini hanya bisa melawan dengan menulis. Menulis surat adalah salah satu cara supaya pemikiran-pemikirannya tentang pembebasan didengar. Kartini bersuara lewat surat-surat, sebagaimana orang-orang tahanan politik yang dipenjara. Penyiksaan yang dialaminya adalah bagaimana kebahagiaan intelektualnya dipenggal. Bagaimana kecerdasannya dikerdilkan, karena dia seorang anak perempuan Jawa yang bangsawan, yang dipelihara di penjara bertembok keraton dan diharuskan berjalan dengan sangat pelan atau berjongkok-jongkok kepada yang lebih tua, atau bahkan kepada saudara laki-lakinya sendiri. Kartini sedemikian dibatasi karena dia seorang perempuan Jawa. Kartini demikian karena ia ingin menjaga Bapaknya. Bapaknya adalah pengantar kebebasannya pada apa yang disebut buku atau bacaan, wawasan, dan pendidikan. Setiap tahun, intepretasi terhadap apa yang dilakukan Kartini penuh perdebatan. Yang mengherankan bagi saya adalah, apakah kita pernah betul-betul membaca tuntas seluruh isi surat-suratnya? Apakah kita pernah menganalisa benar-benar segala kalimat yang diciptakannya dalam surat-surat itu? Sehingga untuk sementara kita bisa melepaskan Jawa dan bangsawan yang melekat pada diri Kartini, lalu segera fokus pada apa saja yang ditulisnya dalam surat-surat itu? Apakah kita bisa membayangkan bangsa macam apa Indonesia ini ketika di abad ke-19? Demikian pula terhadap tokoh-tokoh perempuan lainnya. Kita hidup dan diciptakan dari bangsa yang berulangkali menghilangkan jejak-jejak sejarah tokoh-tokoh pendahulu kita. Kita hidup dari tokoh-tokoh yang dimanipulasi oleh rezim politik yang pernah lama berkuasa. Kita digunting dan dilipat oleh materi-materi pendidikan yang memalsukan dan menutup sebagian sejarah. Kita adalah generasi yang ahistoris. Dan akibatnya sering menjadi mis-intepretasi terhadap tokoh-tokoh yang mendahului kita. Kita tak tahu bagaimana awal kita sehingga kartu tanda penduduk kita dicantumkan sebagai warga negara Indonesia, sehingga kita bisa mengatakan bahwa kita adalah orang Indonesia. Kita adalah generasi yang tidak punya eksistensi tentang “siapa diri dan bangsa kita”. Citra Kartini sebagai “Ibu-Ibu Berkebaya” dibawah Orde Baru Ibu yang berkebaya adalah sama dengan perempuan ideal yang mencintai bangsa. Ibu yang berkebaya adalah perempuan lembut yang mencintai dan memelihara keluarga. Ibu yang berkebaya adalah tidak banyak bicara, duduk dengan kaki rapat dan menunduk, tidak pernah protes dan memilih diam apabila dirundung masalah. Inilah citra yang terus menerus dihadirkan oleh Orde Baru. Kebaya yang awalnya hanya pakaian khas orang Jawa, menjadi sebuah ideologi citra ideal perempuan Indonesia. Saya merasakan betul waktu saya duduk di bangku SD, di Madiun, Jawa Timur, dengan postur tubuh saya yang lebih cocok sebagai perempuan Sumatera, dipaksa memakai kebaya. Alangkah tak enaknya citra ini dipaksakan pada saya. Saya yang biasa berlari-lari bebas bermain kasti dan memanjat pohon atau bermain sepeda dengan teman sebaya, tiba-tiba tidak bisa bergerak sama sekali karena kain yang dililitkan ke pinggul sampai kaki saya dengan sangat ketat. Waktu itu saya menangis keras di sekolah. Saya diledeki oleh teman-teman perempuan lainnya, karena mereka sangat biasa berkebaya, mereka sangat cocok mengenakannya. Sementara saya seperti badut. Dan anak-anak laki-laki mengatakan saya seperti barongsai karena mata saya sipit tidak seperti mata orang jawa yang belok, serta bedak dan lipstik yang dipaksakan melekat di wajah saya, serta konde yang digantungkan di kepala saya lebih seperti benda yang berat sekali menyangkut di kepala. Itulah bagaimana anak-anak dididik oleh negara dalam mencitrakan seorang Kartini. Itu terjadi bertahun-tahun dan sampai sekarang, citra itu belum lepas sampai ke akar-akarnya. Sehingga bila kita mengatakan Kartini memperjuangkan Emansipasi Wanita, lalu ada kalimat lanjutan “namun jangan lupa dengan kodratnya”. Apakah demikian yang dimaksud Kartini soal Emansipasi? Apakah Kartini pernah bicara soal kodrat? Kita tak pernah tahu, bahwa apa yang kita rayakan saat ini dengan simbol-simbol Kebaya, Kecantikan, Emansipasi versus Kodrat, adalah sesuatu yang justru sangat dilawan dan dikritik habis oleh Kartini. Salah Kaprah tentang Emansipasi versus Kodrat Seorang presenter dengan sangat yakin membuka acara di televisi yang memperingati Hari Kartini dengan menggunakan kalimat penutup “emansipasi boleh, asal tidak kebablasan, asal tidak melupakan kodratnya.” Kata “kodrat” sering diselipkan setiap kali kita mengatakan kata “emansipasi perempuan”. Kesalahan terjadi lagi, dan seperti biasanya berulang kali. Emansipasi diambil dari bahasa Inggris, emancipation, sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah upaya untuk mendapatkan hak politik, derajat yang sama, dalam kehidupan manusia. Emansipasi bukan hanya soal perjuangan wanita. Tokoh-tokoh pemimpin pria dalam banyak sejarah politik, sering menggunakan istilah ini. Gagasan “emansipasi” masa revolusi industri justru dikeluarkan oleh pria yang pada waktu itu memiliki banyak kesempatan untuk sekolah tinggi, beraktualisasi, berkarya, dan memimpin. Suara mereka lebih didengar, dan diantara mereka menganggap emansipasi perlu dilakukan untuk merebut keadilan seluruh manusia. Abraham Lincoln pernah mengeluarkan dekrit dengan tema Emancipation Proclamation (Proklamasi Emansipasi) ketika terjadi perang saudara di Amerika. Dekrit ini mengumumkan tentang pembebasan budak. Martin Luther King kemudian menyambut gagasan emansipasi Lincoln dalam pidatonya “I have a dream” yang menyatakan “… A great American, in whose symbolic shadow we stand today, signed the Emancipation Proclamation. This momentous decree came as a great beacon light of hope to millions of Negro slaves who had been seared in the flames of withering injustice. It came as a joyous daybreak to end the long night of their captivity. Martin Luther King menyambut emansipasi sebagai keputusan penting, sebagai cahaya mercusuar, sebagai harapan besar bagi jutaan budak Negro “yang dilumuri api ketidakadilan”. Emansipasi baginya sebuah fajar yang mengakhiri malam panjang pembuangan Negro di Amerika. Sementara itu filsuf Jerman, Karl Marx, memakai istilah “emansipasi politik” untuk menjelaskan gagasan kesamaan derajat warganegara hubungannya dengan negara, kesamaan di depan hukum tanpa memandang agama, harta benda, atau ciri orang perorang lainnya. Seperti dalam pernyataan Marx "Every emancipation is a restoration of the human world and of human relationships to man himself..” Bila Lincoln menyebut emansipasi untuk menghentikan perbudakan, Lincoln menyebutnya sebagai “cahaya mercusuar, meraih harapan”, dan Marx menyebut emansipasi sebagai kesamaan derajat, maka seharusnya kita sudah paham maksud istilah ini. Bahwa di abad ke-21 kini, seluruh sejarah dunia telah melalui proses emansipasi. Reformasi di Indonesia, juga proses emansipasi. Jadi, emansipasi tidak ada urusannya dengan kodrat, atau kebablasan. Emansipasi wanita perlu dilakukan dimana seorang manusia mengalami situasi rentan terhadap kekerasan, pelecehan seksual, bahkan perbudakan seks. Hampir di setiap negara industri, tempat-tempat prostitusi menjual perempuan untuk eksploitasi, diantaranya adalah masih anak-anak. Karena itulah emansipasi menjadi istilah yang digunakan agar seorang wanita diperlakukan manusiawi. Karena itulah tidak ada urusannya dengan kodrat ataupun kebablasan. Nah, emansipasi apapun, baik wanita, kaum minoritas, kaum miskin, kaum cacat, yang hidupnya mengalami ketidakadilan, prinsip emansipasi dipakai untuk mengembalikan mereka dihargai sebagai manusia. Sekali lagi saya begitu geli, di sini, begitu mendengar kata “emansipasi”, maka bayangan orang otomatis: wanita yang ingin mengalahkan laki-laki (padahal, kita tidak sedang berlomba kan?), galak (padahal siapapun bisa galak) dan lain sebagainya. Alasan emansipasi adalah alasan seseorang untuk keluar dari penindasan, perbudakan, diskriminasi. Jadi, kalau kita semua merasa ada perlakuan yang tidak adil pada diri kita, lalu kita menuntut keadilan, itu sama dengan melakukan tindakan emansipasi. Kesalahpahaman kita pada emansipasi terjadi selama puluhan tahun. Kata “persamaan” diartikan dengan “sama”. Padahal persamaan yang dimaksud adalah “kesetaraan” yang dalam bahasa Inggris disebut “equality”. Karena itu setiap kali kita mendengar kata “emansipasi”, segeralah kita mengartikannya dengan “suatu tindakan yang menyatakan bahwa setiap orang berharga, bernilai. Bahwa tak ada seorangpun yang boleh merendahkan orang lain, baik agama, suku, dan harta benda yang ia miliki.” Emansipasi bukan hanya untuk perempuan, tapi untuk semua (tulisan saya tentang Emansipasi ini pernah dimuat di Majalah Esquire). Surat-Surat Kartini yang Subversif Kartini yang “untuk sekolahpun” dia tidak diperkenankan punya kehendak dan untuk jalan di depan orang yang lebih tua ia masih harus berjongkok dan menundukkan kepala sampai wajahnya tak terlihat. Hanya melalui surat-surat itulah Kartini membebaskan dirinya. Dalam surat-suratnya itu Kartini berusaha menunjukkan dirinya bukan sebagai identitas kebudayaan maupun ras tertentu. Meskipun seringkali Kartini bicara tentang identitas ras, status sosial, budaya maupun bahasa, tetapi ia selalu menekankan sebagai seseorang yang harus terlepas dari itu semua. Puja-pujinya pada negeri Eropa adalah sekaligus kritikannya pada orang-orang Eropa bermental penjajah. Dan puja-pujinya pada tanah Jawa adalah sekaligus kritiknya pada orang-orang Jawa yang berperilaku white mask, black face (meniru kelakuan penjajah). Saya melihat Kartini berusaha menunjukkan bahwa patern-patern yang oposan itu (antara ras yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, priyayi dan rakyat jelata, putih dan coklat) harus dibongkar dan pada akhirnya identitas itu tidak diperlukan lagi untuk dipergunakan sebagai sesuatu yang esensial, melainkan sesuatu yang kontekstual. Banyak perempuan-perempuan yang dididik sama seperti yang dilakukan Ayahnya pada Kartini, tapi paling-paling hasilnya adalah perempuan Jawa yang berperilaku seperti perempuan Eropa (seperti yang dikatakan dalam suratnya). Kebanyakan perempuan-perempuan bangsawan tersebut seseorang yang masih mau diciptakan, bukan menciptakan. Kartini tidak demikian. Ia bukan menjadi perempuan yang terperangkap dalam oposisi ras, kebudayaan maupun bahasa. Ia adalah perempuan yang berpikiran “post”. “Semua orang tahu dan mengerti betapa berbahayanya keadaan kami lalu beberapa dari mereka berkata bahwa ini adalah salah ayah yang telah mendidik kami seperti ini. Tidak! Tidak! Jangan menyalahkan ayah! Dia tidak mengira kalau pendidikan yang kami terima darinya berakibat seperti yang terjadi pada salah seorang anaknya. Kabupaten-kabupaten lain yang mendidik anak-anak mereka sama dengan cara ayah mendidik kami paling banter hanya berhasil membuat gadis-gadis Bumiputera bisa berbahasa Belanda dengan perilaku ala Eropa. Mengenai beberapa perempuan Eropa yang mendapat didikan Eropa, dampaknya tidak akan lebih dari ini.” Kartini lahir sebagai feminis bukan dilahirkan dari teori-teori feminisme, karena seorang feminis adalah dilahirkan, bukan diciptakan. Kartini dan pikirannya bukan sesuatu yang terpisah, atau tidak memisahkan antara pengalaman dengan persepsi, pengalaman dengan diskursus. Bagi saya pengalaman yang tidak terpisah-pisah ini memiliki validitas yang paling bisa dipertanggungjawabkan, Kartini adalah feminis yang memuat validitas itu. Ketika membicarakan birokrasi pemerintahan Hindia Belanda, dia tidak menceritakannya dengan berjarak, dia sangat mengungkapkannya dengan penuh subyektifitas yaitu melihat persoalan sosial masyarakat dengan tidak melakukan jarak atas teks-teks yang dipersepsikannya. Kartini bukan tipikal seseorang yang cerdas karena melakukan berbagai kutipan pikiran orang lain, melainkan mengolah apa yang ia pikirkan dari pikiran-pikiran yang pernah dia ketahui dan dengan pikirannya itu dia punya kemampuan analisa diri dan di luar dirinya. Soal “Cercah cahaya dalam gelap gulita” yang diungkapkan Kartini bagi saya adalah personifikasi atas kemampuannya sebagai seseorang yang memanfaatkan kesempatan membaca buku-buku dari luar, dan kemampuannya menjadikan buku-buku tersebut sebagai inspirasi keliarannya. Cercah cahaya itu bukan personifikasi dari sebuah identitas atau bangsa bernama Negeri Belanda. Seperti yang dinyatakan Kartini, tidak hanya dirinya yang memiliki kesempatan itu, tetapi bagaimana perempuan lain tidak menggunakan itu sebagai ajang meraih kebebasan, melainkan ajang kembalinya “penciptaan identitas atas orang lain”. Seperti yang diungkapkannya kepada Stella: “Aku juga musuh formalitas. Apa peduliku soal peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa yang konyol itu saat berbincang denganmu dalam tulisanku ini...” Ketika Kartini mengatakan “Aku juga musuh formalitas,” jelas bahwa Stella pernah mengeluhkan hal yang sama, dengan konteks tradisi di Eropa yang juga penuh formalitas. Artinya bahwa kebebasan bukanlah milik Barat, dan juga bukan milik Jawa, dan Kartini bersama Stella tidak sedang membicarakan blok-blok kebebasan itu serta membandingkan satu dengan lainnya. Perbincangan mereka adalah perbincangan lintas budaya dan dalam setiap budaya, perempuan menjadi seseorang yang paling tidak bebas. “Jika seorang gadis berjalan, dia harus berjalan dengan tenang, langkahnya harus lamban dan pelan sepelan bekicot; jika kamu berjalan lebih cepat sedikit saja orang akan mencacimu sebagai kuda liar.” Dan lihat bagaimana Kartini berhasil membongkar tradisi itu mulai dari dirinya: “... tapi mulai aku ke bawah kami sudah mengabaikannya. Kami tidak lakukan itu lagi. Hidup kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan! Kami semua; aku, adik-adikku baik laki-laki maupun perempuan merasa setara dan kami berteman.” Kartini melakukan pembongkaran itu tidak harus dengan mengklaim, bahwa kebebasan ini adalah kebudayaan Barat, tetapi bahwa kebebasan itu harus datang dari diri sendiri. “Pertama kali orang-orang memang membenci kebebasan dan keakraban kami, kami bahkan dijuluki anak salah didik. Aku dijuluki ‘kuda kore’ atau kuda liar karena jarang sekali berjalan melainkan pecicilan kesana kemari. Dan mereka memanggilku apalagi ya? Aku sering tertawa keras-keras!!! hingga gigiku kelihatan. Tapi sekarang ketika mereka melihat dan merasakan keakraban di antara kami, ketika etika leluhur kami menghilang, orang-orang mulai iri melihat kedekatan kami.” Dan Kartini melakukannya tanpa harus menjadi orang Barat. Kartini tetap seorang perempuan Jawa. Bagaimana sindiran Kartini terhadap orang Belanda itu terlihat ketika datang seorang Belanda dan kecewa melihat putri-putri Bupati bukanlah putri-putri yang berpakaian mewah dan eksotis, melainkan putri-putri yang berpakaian sederhana. “Baru-baru ini datang seorang Belanda, tampaknya ia telah mendengar tentang kami, setidak-tidaknya ia minta untuk bisa dikenalkan kepada “para putri”. Permintaannya diluluskan dan oh, kami begitu gembira!” “Bupati” katanya lirih kepada ayah tapi terdengar juga oleh kami – nada suaranya mencerminkan kekecewaan yang besar, “sebutan puteri-puteri membuat saya berpikir tentang pakaian yang begitu gemerlapan, pesona ke-Timuran nan indah, tapi anak-anak Anda sederhana sekali”. Kami menyimpan tawa yang tertahankan ketika kami mendengar dia mengucapkan ini. Astaga, ungkapan ketidaktahuannya itu, dengan mengatakan bahwa cara kami berpakaian begitu sederhana dia telah menghadiahkan sebuah pujian yang setinggi-tingginya yang belum pernah kami terima dari orang lain; kami seringkali was-was kalau kami terpengaruh dan berakhir sia-sia.” Kartini telah menertawakan cara-cara pandang feodal baik Barat maupun Timur yang masih sibuk soal pakaian dan penampilan yang menunjukkan identitas kelas. Membongkar identitas Perempuan, Jawa, Bangsawan, Islam Kartini tak cuma melekat identitas perempuan, Jawa dan Bangsawan, ia juga membongkar identitas Islamnya. Dalam beberapa surat ia berseloroh tentang identitas Islam yang tidak punya ide tentang kebebasan karena ada kesengajaan orang Islam dibiarkan buta atas teks-teksnya sendiri. Dan perempuan dalam Islam seperti juga dalam banyak kebudayaan, tidak ada keberpihakan sama sekali terhadap perempuan. Kemustahilan demi kemustahilan akan kebebasan itu semakin nyata di masa depannya. “Tentang ajaran agama Islam, aku tidak bisa lebih banyak bercerita padamu. Penganut agama Islam dilarang untuk memperdebatkannya dengan penganut agama lain. Sejujurnya, aku sampai beragama Islam hanya karena nenek-moyangku juga beragama Islam. Bagaimana aku bisa menghidupi ajaran itu jika aku tidak tahu ajaran, atau tidak boleh tahu? Al Quran terlalu suci untuk diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini, tidak ada yang tahu bahasa Arab. Memang, orang-orang diajari membaca Al Quran tapi mereka tidak tahu apa yang mereka baca. Menurutku ini lucu, mengajar orang untuk membaca tanpa harus tahu artinya, seperti kau mengajariku buku bahasa Inggris dengan bagus tapi tanpa memberitahuku artinya sepatah katapun... Tapi kita bisa menjadi orang baik tanpa harus menjadi religius kan Stella? Dan yang paling penting adalah menjadi orang baik... Oh Tuhan, kadang aku berpikir bahwa agama lebih baik tidak ada saja. Karena justru agamalah penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah dan bukan menjadi tali pemersatu umat manusia. Saudara kandung saling berselisih hanya karena berlainan keyakinan. Perbedaan antara Gereja juga mengakibatkan dinding pemisah bagi dua hati yang berkasih-kasihan. Aku sering bertanya pada diriku sendiri; apakah agama merupakan sebuah rahmat kalau prakteknya malah seperti ini? Kata orang, agama akan menjaga kita dari perbuatan dosa, namun berapa banyak dosa yang telah diperbuat atas nama agama?” Kartini mengungkapkan ketakutannya yang amat sangat dalam hal poligami, dimana Hukum Islam mengijinkan laki-laki kawin dengan empat perempuan. Dan masa menikah inilah yang paling dibencinya. Apa yang dibencinya adalah ketika tradisi Islam bercampur dengan Jawa, bahwa Jawa mengharuskan anak gadis menikah dengan laki-laki yang dipilihkan ayahnya, dan Islam membolehkan laki-laki berpoligami. Kartini tidak punya pilihan apa-apa dan merasa perkawinan akan membunuh dia sedalam-dalamnya dan memang masa itu pun terjadi. “Aku tidak akan pernah, tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencitai, pertama kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang laki-laki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang Ayah hanya karena dia sudah bosan dengan yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Kalau seperti ini, siapa yang tidak mau melakukannya? Mengapa tidak? Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan ataupun skandal; Hukum Islam mengizinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai sebuah dosa. Bagiku semua benih perbuatan yang menyakitkan orang lain (termasuk menyakiti hewan) adalah dosa. Bisa kau bayangkan derita seorang istri yang melihat suaminya pulang membawa perempuan lain yang kemudan harus diakuinya sebagai istri sah suaminya? Sebagai saingannya? Jika demikian, suami itu bisa ‘membunuh’ istrinya... Mustahil rasanya sang suami memberi kebebasan padanya!” Kartini, Melahirkan Wacana Post Jauh setelah Kartini, lahir seorang lelaki Palestina yang lama tinggal di Barat, adalah Edward Said yang dalam ide postkolonial melakukan dekonstruksi yang sama dengan Kartini dan mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma orientalismenya di tahun 1978 (bandingkan bagaimana surat-surat Kartini ke Stella yang juga mengkritik Multatuli dalam Max Havelaar tentang pemerintahan Hindia Belanda). Bahwa, Timur (dalam konteks Kartini adalah Hindia) adalah sebentuk panggung tertentu yang didirikan dihadapan Barat. Bahwa kolonialisme pun dapat lahir dari ‘negeri yang terjajah’! Maka tak ada lagi teritorial verbal tentang penjajah dan yang dijajah. Kekuasaan dan penindasan dapat dilakukan oleh siapapun dalam bentuk apapun, tanpa harus ditempatkan dalam dikotomi tertentu. Jauh setelah Kartini lahir seorang Michel Foucault di tanah Prancis yang mengatakan bahwa kekuasaan ibarat sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana. Maka bukan lagi kekuasaan berbentuk vertikal: penguasa di atas dan yang tertindas di bawah, melainkan berlaku ‘dari’ dan ‘ke segala’ arah. Sejalan dengan Kartini yang mengatakan bahwa Ayahnya bukan ”penguasa”, melainkan orang yang ”berpengaruh”, dan kekuasaan itu bukanlah di tangan ayahnya yang bangsawan. Kartini sudah melangkah jauh untuk mencoba memberikan pandangan yang tidak berangkat dengan sejumlah generalisasi seperti yang dilakukan Multatuli. Kartini menegaskan bahwa orang Barat tidak akan pernah bisa merasakan atau mengalami benar-benar apa yang dirasakan orang-orang Hindia, sekalipun dia seorang Antropolog. Kartini sudah menggelar feminisme yang mengarah pada perdebatan seputar “perbedaan” atau pluralitas kebenaran, bahwa kebenaran bukanlah tunggal. Secara tidak verbal Kartini telah menawarkan konsep perbedaan dan keragaman dalam menentang oposisi-oposisi itu. Kartini bagi saya lebih jauh dari identitas kebangsaan, ia sudah menjadi masyarakat dunia sejak awal. Ia sudah jauh sekali meninggalkan ide tentang nation meskipun waktu itu Bangsa Indonesia belum lahir. Kartini bukanlah sebuah keajaiban dunia, melainkan orang yang membuktikan kebenaran tentang teori free will, bahwa kehendak bebas memang menjadi takdir setiap diri manusia dimanapun dia berada. Dan itulah yang disebut Emansipasi. Bekasi, 21 April 2014
Nana
21/4/2014 08:59:23 am
What could be sadder than wasting a beautiful mind? Kartini knew what to do, yet she couldn't do a thing. Instead, she was forced to marry young as second wife, discontinued her early education, psychologically in pain until she was free at last, dying young when giving birth. Nowadays, her controversial status is mirroring our present situation when hundred thousand or million of beautiful minds in our country are marginalised out of public roles due to the corrupt system!
Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai Indonesia.Benar benar sangat bermamfaat dalam menambah wawasan kita menjadi mengetaui lebih jauh mengenai indonesia.Saya juga mempunyai artikel yang sejenis mengenai indonesia yang bisa anda kunjungi di<a href="http://indonesia.gunadarma.ac.id/"> Indonesia Gunadarma</a>
Yuliana Numberi
25/4/2017 06:51:22 am
Saya sangat tertarik dengan tulisan ini. Setelah membaca tulisan ini saya merasa penting sekali untuk memberi pencerahan kepada teman-teman perempuan di organisasi Badan Pemberdayaan Perempuan khusus di papua barat agar tidak merayakan hari kartini dengan tradisi yang mengkontruksikan perempuan pada ranah domestik. untuk itu saya mohon bila tulisan/buku ini masih ada saya ingin memesan sebanyak 10 bh. trima kasih. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|