![]() Pendahuluan Peran dan fungsi politisi perempuan Indonesia di partai politik boleh dikata masih belum diperhitungkan. Mereka cenderung hanya sebagai pelengkap, menjadi alat bagi partai politik untuk memenuhi syarat keikursertaan dalam pemilu. Memang sudah ada tindakan affirmative bagi politisi perempuan, berupa kebijakan tentang kuota yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam pesta demokrasi yang rutin diadakan lima tahun sekali. Lalu affirmative action tentang susunan pengurus Partai Politik yang mempertimbangkan sebanyak 30% dari total pengurus adalah perempuan belum menunjukkan hasil maksimal terhadap peningkatan partisipasi perempuan di bidang politik. Bahkan jumlah keberadaan perempuan di lembaga perwakilan, baik di tingkat nasional seperti DPR RI hingga parlemen lokal di daerah kabupaten dan kota persentasenya tak lebih dari 20%. Menurut data dari Inter Parliamentary Union (IPU), hingga 31 Desember 2013, jumlah politisi perempuan yang berhasil menempati posisi sebagai wakil rakyat di berbagai negara dunia masih rendah, yakni rata-rata 21.4% (Union 2013). Dari data yang sama, Indonesia, di antara 188 negara di dunia, berada pada urutan 76 dengan persentase perempuan di parlemen secara nasional berkisar pada 18% saja. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Pemilu yang berisi kebijakan afirmatif melalui kuota guna mendorong keterlibatan perempuan di politik, dan Undang-Undang tentang Partai Politik terkait susunan pengurus Partai Politik yang menyertakan 30% perempuan tidak serta merta memberikan kesempatan kepada politisi perempuan sebagai calon wakil rakyat yang akan dipilih dan malah mereka tidak akan otomatis menempati satu kursi di lembaga perwakilan. Jadi sama sekali tidak ada peluang gratis bagi politisi perempuan untuk bisa duduk di parlemen. Kalaupun ada kebijakan kuota, justru itu hanya memberikan kesempatan sebagai caleg, dan setelah itu mereka harus berkompetisi dengan caleg lainnya, yang umumnya laki-laki, untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Si caleg harus berjuang sendiri dengan menerapkan berbagai strategi pemenangan demi meraih suara terbanyak di wilayahnya Karena untuk bisa duduk di lembaga perwakilan bukan sesuatu yang diperoleh dengan mudah, maka politisi perempuan mesti berupaya keras. Kesempatan yang diberikan atas nama kuota hanya sebatas tahap awal ikut berpartisipasi di politik, sedangkan untuk bisa terpilih dan memperoleh suara banyak agar duduk di lembaga perwakilan adalah suatu tantangan hebat dan butuh usaha tersendiri. Dalam konteks ini politisi perempuan tak bisa bekerja sendiri. Meski sudah memiliki kemampuan dan potensi serta sumber daya, itu semua belum bisa diandalkan untuk mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat. Untuk bisa mendapat sebutan ‘caleg’, dibutuhkan lembaga formal sebagai sarana resmi untuk mendukung upaya mereka. Artinya caleg butuh media yang mengantarkan mereka dari gerbang ranah persaingan politik guna mendapatkan suara, yakni partai politik. Hanya saja, ketika politisi perempuan masuk ke partai politik, ternyata tidak mudah untuk mencapai tujuan agar bisa duduk di lembaga perwakilan rakyat. Justru di partai politiklah titik awal ketangguhan mereka harus dibuktikan. Bisa jadi benar seperti dikatakan pengamat politik bahwa partai politik adalah kendaraan untuk bisa masuk ke lembaga perwakilan (Bennet 2009), namun itu tidak semudah yang dibayangkan. Banyak kendala, tantangan dan hambatan yang bersifat eksternal dan internal dalam proses menjelang, saat, dan pasca-pemilu. Tulisan ini berusaha mengungkap bagaimana realitas politisi perempuan di dalam partai politik, proses rekrutmen mereka, persaingan ketat dengan sesama kolega partai yang umumnya laki-laki menjelang pemilihan umum, dan upaya dukungan dalam menyiasati tantangan yang dihadapi ketika berhadapan dengan banyaknya anggapan bahwa politik bukan dunia perempuan. Ketika politisi perempuan berada di wilayah politik yang ‘dianggap’ oleh pola pikir mainstream bukan dunianya, tindakan dan perilaku politik yang bagaimana yang mereka mainkan sehingga bisa terpilih dan mendapatkan kursi di lembaga perwakilan. Lalu, setelah Pemilu dan terpilih, apakah keberadaan mereka di parlemen yang jumlahnya sedikit itu berpengaruh pada kinerja mereka? Berikut ini dijelaskan uraian terkait dengan pertanyaan di atas. ![]() Rekrutmen Perempuan dalam Partai Politik Ada tiga tahap model rekrutmen politik yang dikembangkan oleh Lovenduski dan Martland dalam melihat tantangan seorang warga negara ketika berpartisipasi dalam bidang politik yang disebutnya tantangan kritis dan meliputi: tahapan pertama memutuskan untuk ikut berpolitik, dalam hal ini diawali dengan niat dan motivasi si caleg untuk terlibat di dunia politik, tahapan kedua adalah sukses diseleksi oleh pimpinan partai politik sebagai caleg, dan tahapan ketiga adalah dipilih oleh konstituen, yakni rakyat (Paxton and Hughes 2007). Ketiga tahapan yang merupakan tantangan kritis ini tak bisa tidak harus dilewati bila seseorang ingin berada di lembaga perwakilan. Dalam konteks sistem politik, Pemilu dan caleg perempuan di Indonesia, berbagai strategi sudah harus dipersiapkan untuk menjawab tantangan tersebut. Tantangan yang dihadapi di tahap pertama saat persiapan menjelang Pemilu berasal dari si caleg sendiri. Memutuskan untuk ikut sebagai caleg demi memperoleh kursi di parlemen adalah keputusan penting yang sudah diperhitungkan dengan matang, sebab sudah harus siap dan bertekad menghadapi tantangan dari berbagai pihak. Tahapan kritis kedua, caleg perempuan mesti lulus seleksi di partai politik. Di sini, peran petinggi partai politik sangat dominan dalam menentukan caleg yang mewakili partainya. Pimpinan Partai Politik yakin dengan keputusannya bahwa caleg dipilih adalah yang berkualitas, mewakili partai dan mampu berjuang meraih suara untuk sebuah kursi atas nama partai di parlemen. Tahapan ketiga dan yang paling menentukan untuk bisa duduk di parlemen adalah dipilih oleh voters atau konstituen. Boleh jadi, pada tahapan pertama si caleg perempuan tak harus berkompetisi dengan pihak lain, tapi setidaknya dia sudah harus siap dengan segala konsekuensi sebagai politisi perempuan yang sedang berjuang untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Secara pribadi ia harus siap terlibat dengan berbagai bentuk strategi dan sepak terjang politisi di dunia politik, dunia yang dianggap keras penuh intrik dan lobi. Parahnya lagi, sebagian besar orang memiliki pandangan yang merendahkan politisi perempuan. Masyarakat awam meragukan kemampuan perempuan sebagai politisi yang tidak setanggguh laki-laki. Anggapan utama adalah bahwa politik bukan tempat yang tepat untuk perempuan, karena perempuan memiliki tanggung jawab dan tugas utama di ranah domestik seperti mengurus anak, dan segala pernak-pernik rumah tangga, sehingga tak punya cukup energi dan waktu lagi untuk berkiprah di dunia politik. Sebaliknya laki-laki di mata masyarakat awam tidak memiliki beban dan tidak dibebani tanggung jawab domestik, sehingga politisi laki-laki mampu meluangkan waktunya full time untuk pekerjaan di bidang politik ini. Sementara itu, bagi perempuan yang utama adalah urusan domestik dan rumah tangga. Jelas tampak ketidakadilan yang didasarkan pada kontruksi sosial masyarakat. Berdasarkan konsep partisipasi politik yang disebut dengan ‘supply and demand concept’ oleh sejumlah ahli politik, dalam tahap pertama ini, yang disebut dengan konsep suplai, politisi perempuan lebih mengalami tantangan yang bersifat kesiapan psikologis dan terkait dengan motivasi, serta pengalaman pribadi si caleg perempuan itu sendiri. Pada tahapan dua dan ketiga yang disebut demand, tahap ini sudah berkaitan dengan kondisi sosial politik budaya dan kelompok lain yang menuntut pembuktian ketrampilan, kapabilitas dan potensi si politisi perempuan dalam arti yang sesungguhnya, yakni sebagai seorang politisi yang memiliki kapasitas, potensi dan sumber daya yang mampu berkompetisi untuk pemenangan pemilu. Dalam tahapan ini caleg perempuan berada dalam posisi sebagai anggota salah satu partai politik, dan diseleksi oleh pihak pimpinan partai politik untuk mewakili partai mereka. Banyak fenomena bermunculan ketika perempuan berada di dalam partai politik, antara lain anggapan lazim bahwa dunia politik adalah dunianya laki-laki, dan itu dibuktikan dengan tidak banyaknya jumlah politisi perempuan yang aktif di partai politik. Menjadi suatu tantangan tersendiri terhadap keberadaan perempuan di partai politik, apakah mereka diperhitungkan atau hanya sama dengan kucing dalam karung. Apalagi sudah ada anggapan masyarakat bahwa politik dianggap sebagai dunianya manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Adalah kenyataan yang tak dapat dibantah bahwa politik di Indonesia adalah politik patriarki. Kenyataan bahwa konstruksi sosial budaya pemerintahan di Indonesia bersifat patriarkal ini bisa dilihat dari berbagai lembaga; pemerintahan, politik, pendidikan. Pada institusi-institusi tersebut, hampir semua petinggi, pihak yang berhak mengambil keputusan, dipegang oleh laki-laki. Jabatan strategis di partai politik tampak jelas didominasi oleh laki-laki. Kalaupun ada perempuannya, maka jumlah mereka yang memiliki posisi sebagai pemimpin dan penentu kebijakan sedikit sekali persentasenya, karena banyak perempuan tidak berada dalam posisi sebagai pengambil keputusan. Mereka adalah pekerja administratif belaka. Bila dilakukan kalkulasi objektif apakah seseorang layak atau tidak untuk menjadi caleg, besar kemungkinan politisi perempuan akan tersisihkan, karena yang umumnya menjadi pertimbangan untuk dipilih sebagai caleg adalah mereka yang memiliki posisi atau jabatan sebagai unsur pimpinan. Ini jelas tidak konstruktif untuk politisi perempuan, dan malah berdampak negatif ketika mereka dipilih untuk menjadi caleg. Karena pada seleksi awal salah satu komponen yang biasanya mendapat poin besar adalah apabila si caleg berasal dari unsur pimpinan partai politik, umumnya keputusan penentuan caleg adalah kewenangan internal para pucuk pimpinan Partai Politik yang cenderung subjektif. Meski sudah ada Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No.2 tahun 2011 tentang perubahan atas UU No.2 tahun 2008 tentang syarat pendirian Partai Politik menyebutkan ketentuan kepengurusan partai politik mulai dari tingkat pusat hingga provinsi, kabupaten dan kota disusun dengan memperhatikan 30% keterwakilan perempuan dalam pengurusan partai politik. Faktanya memang ada pengurus perempuan di partai politik, tapi hampir di setiap partai politik tetap saja jajaran pengurus intinya di dominasi laki-laki. Mereka berada di posisi strategis sebagai pengambil keputusan. Sebaliknya tak banyak politisi perempuan menjadi bagian dari pengurus inti sebuah partai politik, sehingga ketika keputusan penting diambil oleh dominan laki-laki, dan jelaslah sedikit banyak ada bias kepentingan laki-laki yang diutamakan. Tampak jelas di sini ada bias gender yang mengarah pada dirugikannya kader partai perempuan. Minimnya perempuan di pengurus inti partai politik berpengaruh pada keberhasilan caleg perempuan untuk bisa masuk dalam bursa daftar calon tetap yang ada datanya di Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pada akhirnya akan berpengaruh pada jumlah keterwakilan mereka di lembaga perwakilan rakyat. Kondisi ini bisa jadi disebabkan beberapa faktor: 1). UU tentang Partai Politik bersifat setengah hati dalam memberikan kesempatan kepada perempuan sebagai pengurus. 2). Butuh waktu untuk mendapatkan kader yang potensial dan memiliki kapabilitas dan kapasitas dan 3). Komitmen partai politik yang sensitif gender. Faktor pertama adalah karena undang-undang tersebut sepertinya hanya bersifat menyarankan, dan tidak menyebutkan kata kewajiban untuk mengikutsertakan perempuan, dan pernyataan tentang teknis penyusunan didasarkan pada aturan masing-masing partai politik. Jelas ini menunjukkan sikap tidak tegas dan memberi celah kepada pengurus partai untuk menentukan sendiri format susunan pengurus, karena UU tentang partai politik tidak menyebutkan pengurus inti wajib diisi oleh perempuan. Bila penyusunan pengurus partai politik ini dipadu dengan mindset patriarki pada jajaran pengurus partai politik, dan faktanya memang kebanyakan demikian, maka jadilah kepengurusan inti diakhiri dengan situasi partai politik yang minim perempuan di posisi strategis dalam partai politik. Faktor kedua, menciptakan kader politisi perempuan yang memiliki kualitas dan kapasitas sebagai politisi yang berpengalaman bukan suatu hal yang instant. Butuh waktu dan kesadaran semua pihak untuk melakukan proses kaderisasi politisi perempuan yang mumpuni. Karena itu diharapkan partai politik dan pengurusnya untuk lebih sensitif gender dengan memberikan peluang dan kesempatan yang sama, termasuk untuk memberikan kesempatan membangun kapasitas diri melaui pelatihan dan kursus kepada kader perempuan juga. Faktor ketiga, platform partai yang tidak sensitif gender sedikit banyak juga berpengaruh pada penyadaran rekrutmen kader politisi perempuan yang potensial. Boleh dikata hampir semua partai politik di Indonesia masih belum sensitif gender. Keberadaan perempuan di kepengurusan partai politik sepertinya masih belum menjadi prioritas utama Partai Politik. Padahal bila perempuan berada dalam posisi sebagai pengambil keputusan, ada pendapat yang mengatakan bahwa itu artinya mereka dalam posisi yang memiliki power atau kekuasaan, mampu memberikan pengaruh melalui mobilisasi, pengambilan keputusan yang peduli isu perempuan dan sensitif gender, dan menginspirasi perempuan lain untuk ikut berpolitik (Galligan and Clavero 2008). Perlu ada kesadaran bahwa kaderisasi anggota partai, termasuk anggota perempuan, merupakan proses panjang yang memang mesti dilalui politisi perempuan dengan dukungan penuh pimpinan petinggi partai. Selanjutnya, mesti ada jaminan pelaksanaan peraturan yang didasarkan pada komitmen dan kesadaran Partai Politik akan sensitivitas gender. Alhasil bila faktor pertama lebih dipertegas aturannya dan faktor kedua dan ketiga dipraktikkan dengan konsisten, maka akan berpengaruh pada posisi perempuan di dalam Partai Politik. Faktanya memang bahwa keberadaan perempuan di Partai Politik masih jauh dari harapan. Namun setidaknya ada solusi, misalnya dibutuhkan tindakan pro-kader politisi perempuan dengan menguatkan mereka di bidang politik. Usaha penguatan politisi perempuan itu sudah diupayakan oleh para aktifis perempuan sejalan dengan era Reformasi dan pada masa Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama di era reformasi, yakni bahwa perempuan tak sekadar sebagai pemilih, namun juga peserta pemilu yang berhak dipilih. Beruntung bahwa sistem politik Indonesia sejak negara ini lahir telah mengikutsertakan perempuan sebagai warga negara yang berhak untuk ikut Pemilu, karena di beberapa negara suara perempuan malah tidak didengar dan tak berhak menentukan pilihan, seperti di Vatican City dan Saudi Arabia. Saudi Arabia baru akan mengizinkan kaum perempuannya untuk ikut serta sebagai pemilih dalam Pemilu 2015 mendatang (Buchanan 2011, Dewey 2013). Kondisi ini sangat ironis, karena kaum perempuan sama sekali tak diizinkan untuk memberikan suaranya. Jadi jangankan untuk ikut bisa ikut duduk di parlemen, untuk memiliki hak pilih saja mereka tidak punya, sementara banyak negara lain sudah lebih dahulu menghapus ketidakadilan tersebut. Mereka diabaikan dengan tidak dibolehkan untuk ikut Pemilu. Meski sistem politik Indonesia cukup lebih baik dibanding dua negara di atas, tak berarti banyak pelaku politik dan pengambil kebijakan di Indonesia sudah membuka peluang dan kesempatan seluasnya kepada politisi perempuan. Ada indikasi sebaliknya, yaitu bahwa mereka hanya memanfaatkan politisi perempuan yang masih baru untuk hanya ikut-ikutan dalam Partai Politik mereka. Dalam praktiknya masih butuh tindak lanjut guna memberikan dukungan dan kepedulian kepada politisi perempuan, karena tak semua politisi perempuan memiliki kualitas baik dan berpengalaman. Dalam kondisi yang demikian, ini bisa menjadi bumerang ketika caleg perempuan yang dipilih untuk maju di pentas politik tidak memiliki kapasitas. ![]() Tantangan Calon Legislatif (Caleg) & Anggota Legislatif (Aleg) Perempuan Keberadaan perempuan sebagai caleg bisa saja akan menjadi bumerang bagi caleg perempuan berikutnya dan juga bagi gerakan aktifis perempuan bila perempuan yang maju sebagai caleg hanya mengandalkan kelebihan fisik semata. Seperti banyak gejala yang tampak, dari empat kali Pemilu yang sudah dilakukan sejak reformasi, Pemilu 1999, 2004, 2009 adan 2014, berbagai alasan digunakan caleg perempuan untuk terlibat di politik dan memutuskan ikut serta dalam persaingan di Pemilu. Kesempatan untuk berani maju sebagai caleg dengan tujuan menjadi anggota Dewan yang terhormat di era reformasi ini memang menggiurkan. Boleh jadi karena gaji dan fasilitas lengkap yang bakal diterima sebagai wakil rakyat dan sekaligus juga tak sedikit caleg perempuan ini terlibat dalam politik lantaran Partai Politik baru saja berdiri. Partai politik meminang mereka guna memenuhi syarat keterwakilan perempuan, atau demi mendongkrak publisitas partai bersangkutan. Maka tak sedikit perempuan public figure seperti artis menjadi ‘politisi karbitan’ sejalan dengan mendadaknya status mereka sudah bertambah menjadi ‘caleg’ suatu partai. Fenomena politisi perempuan dadakan sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar yang menginspirasi mereka untuk terlibat di politik. Ada kedekatan dengan kondisi perpolitikan karena saudara, ayah, suami atau keluarga sudah terlebih dahulu terjun ke dunia politik. Maka tak salah pula bila ada fenomena ikut-ikutan berpolitik oleh perempuan yang seolah meneruskan tradisi politik dinasti bagi suatu klan tertentu. Tak ada yang salah dengan hal itu mungkin, sepanjang caleg tersebut memiliki potensi dan kapasitas, mengikuti standard kelayakan sebagai politisi di mana meritokrasi menjadi ukuran untuk menjadi caleg. Sebaliknya akan menjadi masalah bila caleg perempuan bersangkutan hanya menjadi pelengkap persyaratan oleh Partai Politik. Menyikapi kondisi yang demikian, perlu upaya membangun kapasitas diri si caleg. Ketajaman pengetahuan dan ketrampilan politik mereka perlu diasah. Upaya penguatan sepertinya juga menjadi tanggung jawab para pemerhati isu perempuan dan para aktifis. Dukungan mereka juga dibutuhkan dalam bentuk kontak dan komunikasi intensif dengan politisi perempuan, terutama yang sudah menjadi caleg. Mereka perlu memberikan akses jaringan sosial politik yang luas kepada si caleg perempuan, dan bahkan kalau dirasa masih banyak kekurangan pengetahuan dan pengalaman si caleg, ada baiknya melakukan advokasi kepada mereka. Dukungan dari aktifis perempuan ini bisa meminimalisir sikap melecehkan politisi perempuan oleh koleganya politisi laki-laki dan masyarakat pemilih umumnya agar kasus seperti dialami artis Angel Lelga, kandidat salah satu Partai Politik yang diwawancarai menjelang Pemilu 2014 yang keteteran menjawab pertanyaan host salah satu acara di TV swasta tidak terjadi lagi. Sangat penting keterlibatan kerjasama dengan pihak dan lembaga lain selain Partai Politik agar kasus demikian tak terjadi lagi agar ke depan tidak ada caleg perempuan yang menjadi bahan olokan di berbagai jaringan media sosial, dan caleg perempuan nantinya sama diperhitungkan dengan caleg laki-laki dalam hal strategi dan kapasitas yang dimiliki; bukan lagi diperhitungkan dan diperbincangkan lantaran penampilan fisik yang cantik semata. Ketika perempuan sudah terpilih dan duduk di lembaga perwakilan sebagai anggota legislative (Aleg), faktanya jumlah mereka tak pernah lebih dari 20% dari total keselurahan anggota parlemen. Representasi perempuan di parlemen yang demikian tidak mencerminkan keterwakilan populasi pemilih perempuan. Kondisi ini jelas mempengaruhi bagaimana lembaga perwakilan membuat keputusan yang berbasis pada persoala-persoalan perempuan, seperti kepedulian mereka terhadap masalah anak dan perempuan semisal trafficking, PSK, anak jalanan, HIV, angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi dan berbagai persoalan kemiskinan yang umumnya lebih banyak diderita oleh kaum perempuan. Suara mereka yang tidak banyak itupun acap kali kalah oleh sistem voting dan lobi-lobi politik yang lebih dominan memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu atau partai tertentu sehingga cenderung mengabaikan idealisme awal si wakil rakyat yang perempuan ini. Cukup disayangkan memang bahwa prilaku politik perempuan yang sudah berada di parlemen cenderung tak bersuara atau kalah suara. Hasil in-depth interview dengan aleg periode 2009-2014 di DPRD kota di Sumbar baru-baru ini membenarkan bahwa ketika ia bersuara mengusulkan satu solusi dalam rapat dewan, ada kesan nada mengejek dan meremehkan suara itu. Sedikit berbeda dengan aleg di atas, ketika suasana hearing rapat dengar pendapat antara pihak legislatif dan eksekutif semakin memanas, aleg ini, satu-satunya peserta rapat yang perempuan menjadi orang yang diandalkan untuk meredamkan suasana. Tampak jelas bahwa fungsi dan peran aleg perempuan tampak di dalam lembaga dewan, tapi gaungnya tak sampai ke luar DPR, sehingga konstituen dan masyarakat awam tak mengetahuinya. Ironis memang, untuk bisa didengar suaranya di luar ada kecenderungan media hanya mewawancarai aleg di tingkat pimpinan. Jadi karena aleg perempuan tidak memiliki kesempatan berada di posisi strategis yang terkait dengan pengambilan keputusan bagi orang, maka suaranya tidak dicatat media dan didengar oleh konatituen lewat media cetak atau elektronik. Meyikapi hal demikian, aleg perempuan perlu berupaya untuk menjadi unsur pimpinan dewan, seperti Ketua Komisi, Ketua Fraksi, Pimpinan Panja, Panggar dan segala macam kepanitiaan itu. Kalaupun ada yang menjadi ketua Komisi, biasanya pada komisi E yang memang mengurusi masalah perempuan, anak dan kesejahteraan (itupun sangat jarang). Tapi, itu sesuatu yang tak mudah. Maka kendala aleg di parlemen ini mungkin bisa diatasi dengan cara aleg membina hubungan intens dan baik, dengan ‘memelihara’ satu corong media yang akan menyuarakan apa yang telah diperbuat di dewan untuk diketahui orang banyak. Tentunya dengan catatan bahwa ia memiliki ide bernas, cepat tanggap dan responif terhadap segala fenomena yang terjadi yang memang menunjukkan kecerdasannya dalam menanggapi suatu persoalan, bukan sekedar asbun. Untuk itu ia perlu meningkatkan kapasitas diri agar menjadi semakin lebih baik lagi sehingga bisa mewarnai suasana di dewan, dan bukan sebaliknya. Tugas berat memang bagi perempuan untuk bisa membuktikan kemampuan dirinya dan amanat gender yang disandangnya, sementara bagi aleg laki-laki, konstruksi sosial masyarakat yang memberikan standar bahwa menyangkut pemberitaan yang menjadi suara dewan adalah dari pimpinan dan itu kebanyakan Aleg laki-laki, bukan perempuan. Dua kemungkinan penyebab minimnya jabatan strategis dipegang oleh aleg perempuan; pertama, bisa jadi karena kompetisi persaingan jabatan, yang terkait dengan anggapan patriarkisme bahwa bahwa secara kodrat perempuan tak bisa berpikir rasional, maka ia tak mampu memimpin. Konsekuensinya, posisi strategis tidak diberikan kepada perempuan. Atau sebaliknya, ada kemungkinan ketidakmampuan aleg perempuan itu sendiri yang memang masih belum mumpuni kapasitasnya dan masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu aleg perempuan diharapkan selalu membangun kapasitas diri melalui berbagai pelatihan dan kursus yang menambah pengayaan pengetahuan di bidang politik seperti membuat UU dan sejenisnya. Juga diperlukan dampingan khusus dari staf ahli sesuai dengan bidangnya saat duduk di DPR, apakah di komisi A, B hingga di komisi E. Staf ahli individu ini barangkali diperlukan sebagai penasihat, dan biasanya berfungsi sebagai thinkthank yang mendukung keberadaan mereka di lembaga perwakilan. Sekali lagi, kerja membangun kapasitas adalah kerja bersama semua pihak. Meski pasca-pemilu para aleg perempuan sudah berhasil duduk di lembaga perwakilan rakyat, tak berarti kerja berhenti hingga di sana saja. Harus ada tindak lanjut pasca-pemilu dengan cara membina jaringan dengan para voters dan konstituen secara konstan, sehingga mereka bisa memberikan masukan langsung dan diketahui apa yang menjadi kebutuhannya. Praktik yang demikian bisa dilakukan aleg perempuan melalui turba ke konstituennya secara rutin. Lalu ia harus membentuk jaringan dengan aktifis perempuan lewat silaturahmi atau pertemuan rutin sebulan sekali dalam wacana coffee morning misalnya. ![]() Penutup Tantangan sebagai politisi perempuan masih belum tuntas. Perempuan yang berkiprah di politik memiliki beban ganda bahkan tiga kali lipat lebih berat dari laki-laki akibat diskriminasi gender yang sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat. Triple burden itu bisa dilihat dari beban perempuan yang bertanggung jawab untuk ranah domestik, kemudian berkiprah di ranah publik, semisal di ranah politik dengan tanggung jawab sosial sebagai wakil rakyat, dan kemudian tanggung jawab lagi dengan menjawab tantangan dari lingkungan masyarakat sekitar. Politisi perempuan juga bertanggung jawab dengan memperlihatkan dan membuktikan kemampuan, serta kapasitas nya sebagai politisi yang tak kalah, tetapi sebanding atau malah lebih hebat lagi daripada politisi laki-laki. Bahwa posisi politisi perempuan di Partai Politik hingga sekarang masih sebagai pemanis dan belum signifikan menunjukan wajah Partai Politik Indonesia yang masih kental dengan sifat patriarkinya. Barangkali untuk jangka panjang dibutuhkan kebijakan dari pemerintah melalui aturan yang ketat dan perombakan sistem politik yang melekat dengan politik patriarki. Sistem politik yang didominasi oleh laki-laki berangsur-angsur harus bisa diubah agar mengarah ke politik yang sensitif gender dan afirmatif terhadap kuota perempuan. Adalah suatu fakta bahwa aleg perempuan masih belum bisa mewarnai nuansa perpolitikan yang ada di gedung rakyat, sebaliknya mereka masih menjadi kelompok minoritas dengan gaung suara yang tak jelas. Maka diperlukan kerjasama semua pihak agar keberadaan mereka di gedung rakyat bisa dirasakan manfaatnya dan memiliki arti bagi pemberdayaan dan kemajuan perempuan yang berdasarkan pada kesetaraan dan keadilan. Referensi Bennet, J., Ed. (2009). Not invited to the party : how the Demopublicans have rigged the system and left Independents out in the cold. New York, Springer Science +Business Media. Buchanan, E. (2011). Women in Saudi Arabia to Vote and Run in Election BBC London BBC.com: 1. Dewey, C. (2013). 7 Ridiculous restriction on Women's right around teh world The Washington Post. Washingto Post.: 1. Galligan, Y. and S. Clavero (2008). "PROSPECTS FOR WOMEN'S LEGISLATIVE REPRESENTATION IN POSTSOCIALIST EUROPE: The Views of Female Politicians." Gender and Society. 22 (2): 149-171. Paxton, P. and M. M. Hughes (2007). Women, politics, and power : a global perspective Los Angeles Pine Forge Press. Union, I. P. (2013). Women in National Parliament. ![]() Pink Collar Ghetto & Brand-Building Di banyak negara, mayoritas jurnalis yang high-profile tetaplah laki-laki. meskipun telah ada beberapa usaha langkah afirmatif untuk menyertakan perempuan dalam jajaran kepemimpinan media, akan tetapi elit pemilik, elit editor, dan jurnalis media-media tetap didominasi oleh laki-laki. Ada banyak problem kunci yang harus dihadapi perempuan dalam menjejakkan karir di dunia media: mulai dari seksisme, peliputan perang yang berbahaya, dan sistem patriarki yang menjadi pilar perusahaan media multi-nasional dan nasional. Dalam buku terbaru Suzanne Franks yang berjudul Women and Journalisms (London: IB Tauris Publisher, 2013) menarasikan bahwa perempuan digambarkan secara tak berubah sejak 1901 sampai dengan 2013 ini, meskipun sejak 1973 perempuan mendapatkan lebih banyak akses bekerja di media (secara global, 31% perempuan bekerja di media sebagai jurnalis dibandingkan 7% menjadi dokter dan kurang 1% menjadi pengacara). Franks adalah seorang profesor kajian media dan jurnalisme di City University London yang juga pernah bekerja untuk BBC—yang banyak mendedikasikan diri meneliti politik, media dan gender dalam korporasi media internasional seperti dalam buku terbarunya ini. Masih menurut temuan Franks bahwa dokumen tersebut merupakan temuan BBC paling rahasia yang dimulai sejak tahun 1973. Hal ini lagi-lagi menandaskan bahwa moral patriarki masih kuat berakar dalam dunia media kita. “Swara perempuan bahkan tidak cocok untuk memberitakan perihal-perihal yang melibatkan emosi”, kata seorang senior manajer berita. Dan seorang jurnalis menolak bekerja pada pemimpin redaksi perempuan hanya karena dia adalah perempuan (hal 3-4). Temuan Franks ini amat mengejutkan dan juga fakta sehari-hari media global paling kini. Dalam media, perempuan banyak direpresentasikan sebagai objek berita ketimbang aktor, pembuat, dan subjek berita. Bahkan hampir 90 tahun usia sebuah kantor berita, tak satu pun editor perempuan dipilih untuk memimpin awak keredaksian. Ini adalah potret amat suram dalam media. Jika berkenaan dengan menarik konsumen, maka serta merta perempuan ditempatkan sebagai “pengail” (objek)—iklan-iklan banyak menggunakan figur perempuan seksi dan cantik. Tetapi jika berkenaan dengan “otoritas” isi, teknik dan narasi penulisan, perempuan hampir-hampir tak memiliki atau mempraktekkan ide-ide, hak-hak, dan partisipasinya. Franks mencatat terjadi kenaikan jumlah mahasiswa jurusan komunikasi dan media, dari 15% di tahun 1908 menjadi 60% di tahun 1984. Tetapi lagi-lagi, Franks masih menyebut perempuan berada dalam tempat paling rentan—dia menyebutnya sebagai pink collar ghetto, kampung miskin bagi pekerja kantoran perempuan (Beasley and Theus, 1988)—dimana pekerja perempuan di media masih mendapatkan penghasilan lebih rendah, dan mendapatkan peran lebih rendah dari rekannya, jurnalis dan editor laki-laki. Dan yang lebih menyedihkan perempuan-perempuan yang memiliki anak tersingkir secara pelan-pelan. Perempuan-perempuan yang sukses di media adalah yang single, muda dan tak memiliki anak. Perihal ini tidak terjadi pada laki-laki. baik laki-laki single dan yang memiliki anak, keduanya dapat sukses berkarir di media. Tantangan berat, halangan ganda, dan beban bertingkat selalu menghadang perempuan dalam profesi media. Melawan Seksisme Tetapi kabar gembira juga hadir dari jurnalis-jurnalis perempuan yang menuliskan beritanya. Perempuan-perempuan ini mengabarkan berita dengan lebih banyak memberikan fokus pada harga kejiwaan dan emosi dari perang daripada harga peralatan perang, misalnya. Atau perempuan memberitakan simpati dan empati atas korban bencana alam ketimbang kerugian angka-angka dari bencana. Ini melahirkan suatu fenomena baru atau keunikan pemberitaan dari “perspektif perempuan” yang sebelumnya kurang terwakilkan dalam media. Dus, perempuan melahirkan suatu “ruang baru” dalam media ketimbang mereproduksi ruang-ruang sebelumnya—yang terbukti seksis dan misoginis. Ini membuat perempuan, kemudian menciptakan “pasar pembaca” baru, yang kemudian menjadi pertimbangan editorial sebuah perusahaan media. Ini yang disebut sebagai brand-building oleh Franks untuk menembus atap kaca (glass ceiling) kepemimpinan laki-laki dalam media. Kemudian ini mengikatkan perempuan pada reinvensi jurnalisme dimana perempuan mengkurasi, mengedit, menciptakan brand untuk dirinya—bahkan dari dalam rumah, bahkan dari dapurnya, bahkan ketika dia sedang mengasuh anaknya. Revolusi digital ini dimulai dari rumah dimana kemudian mengguncangkan boys club dalam perusahaan-perusahaan media. Revolusi digital ini dipimpin oleh para blogger ibu-ibu dari dalam rumah mereka. Ini adalah berita yang menggembirakan. Setidaknya ada ruang baru dalam representasi swara perempuan yang diciptakannya sendiri. Dan perempuan juga mulai menguasai dan menciptakan teknologi dalam media. Ini adalah revolusi baru. Semakin canggih teknologi media tak menjamin bahwa seksisme terhadap perempuan kemudian surut. Kecanggihan seksisme juga meningkat seiring dengan penemuan-penemuan baru dan semakin cepat dan tingginya akses terhadap digital media. Tubuh-tubuh telanjang, secara biologis, adalah perihal biasa saja. Tetapi tubuh perempuan telanjang, disertai konteks tertentu, dalam berita tertentu, atau iklan-iklan tertentu, dalam analisis tertentu pula, dapat bermakna seksisme. Seksisme membutuhkan konteks, representasi, pilihan diksi dan motif untuk dapat disebut sebagai seksis, untuk dapat disebut sebagai bias dan tidak adil. Misoginisme semacam radio-radio di Eropa timur misalnya, yang membuat kuis dengan hadiah tidur dengan seorang pekerja seks komersial—ini adalah seksisme banal yang kemudian melahirkan gerakan perempuan Femen—yang kemudian menggunakan tubuhnya untuk melawan kesewenangan itu. Gerakan perlawanan perempuan, tak bisa diukur dan dinilai dari ruang kita secara semena-mena. Dia perlu diukur dan diurai darimana dia berasal, bagaimana konteksnya, bagaimana kulturnya, apa motifnya dan lain sebagainya. Industri media bahkan dengan terang-terangan menjadikan seksisme dan misoginisme sebagai faktor rating. Ini adalah ironi. Ini adalah tragedi. Seksisme adalah sikap dan motif merendahkan perempuan, secara eksistensial—menyangkut tubuhnya, pemikirannya, perasaannya—yang dianggap sebagai inferior dan boleh diperolok atau dihina. Seksisme media ini ada dimana-mana, bahkan diafirmasi dan direproduksi perempuan sendiri—karena terlalu latahnya, karena terlalu biasanya. Keberangkatan dari seksisme adalah stereotype atau pembekuan sifat dan peran perempuan pada perihal tertentu yang sesungguhnya merugikan eksistensinya. Pada mulanya seolah seksisme adalah hiburan ringan dan yang menjadi hiburan tak perlu jadi tersinggung karenanya. Tetapi kemudian ini membangun sebuah budaya yang “tak peduli” yang kemudian menjadi “tak sensitif”—minimnya sensitifitas ini kemudian melahirkan kekerasan pada dunia yang lebih kasat mata (eksploitasi seksual, kekerasan, perkosaan dan bahkan pembunuhan). Mari kita cermati bagaimana berita tentang perkosaan anak SD berubah menjadi berita sensasi—padahal sang anak kemudian mengalami gangguan jiwa seumur hidupnya. Betapa tak sensitifnya kita sebagai pekerja media. Betapa jahatnya pikiran kita. Sensitifitas dibangun oleh pengetahuan dan empati, terutama. Tanpa keduanya, kita gagal menjadi masyarakat yang adil. Solo, 4 April 2014 Oleh: Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP dan dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) [email protected] ![]() Faktanya, 65 persen dari lulusan universitas di dunia adalah perempuan, bahkan 65 persen dari lulusan terbaik universitas juga perempuan, namun kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi di Indonesia tidak sesuai dengan fakta itu. Tercatat hanya empat perempuan rektor atau ketua, padahal di negeri ini ada 97 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 3.124 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Lokakarya tentang minimnya kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi yang diselenggarakan Higher Education and Leadership Management menyimpulkan tiga faktor utama sebagai hambatan. Budaya patriarkal dan faktor eksternal di sekitar perempuan; minimnya pengembangan pribadi dan profesional bagi perempuan; kurangnya kelompok perempuan aktif yang mampu menyebarkan semangat positif dalam mengambil peran kepemimpinan. Ternyata hambatan paling mengemuka, bukan soal kompetensi akademik atau kemampuan ilmiah atau pun pengalaman manajemen perguruan tinggi sebagaimana disyaratkan, melainkan lebih banyak terkait nilai-nilai budaya. Sungguh sangat disayangkan, dunia pendidikan tinggi yang seharusnya mengajarkan pentingnya nilai-nilai egalitarian dan demokratis yang melahirkan sikap kritis dan rasional justru masih terbelenggu nilai-nilai budaya patriarkal dan feodalistik. Tidak heran jika di perguruan tinggi masih dijumpai nilai-nilai diskriminatif dan stigma negatif terhadap perempuan. Buktinya, dalam pemilihan rektor di sebuah universitas negeri, kandidat perempuan satu-satunya “di-bully” dengan sejumlah statemen bias gender, misalnya “Universitas ini sangat maskulin secara kultural dan sosiologis sehingga gaya feminin dalam kepemimpinan masih sulit untuk sukses.” Perlunya kepemimpinan perempuan Sejumlah penelitian merumuskan, ciri-ciri kepemimpinan perempuan memiliki sejumlah keunikan dan berbeda dari kepemimpinan laki-laki. Misalnya, dalam pengambilan keputusan, perempuan cenderung menggunakan gaya demokratis dan partisipatif daripada laki-laki. Perempuan dinilai lebih interpersonal, bisa mendengarkan lebih baik sebagai keterampilan yang dapat membuat orang lain merasa nyaman dan penting. Selain itu, hal terpenting adalah perempuan memiliki pandangan lebih kuat pada nilai-nilai kesetaraan. Perempuan juga dapat menjadi lebih kooperatif dan mendukung, tidak suka menonjolkan diri dan kompetitif. Tidak suka berkonflik, relatif sabar, lebih telaten, teliti, lebih memerhatikan hal-hal kecil dan rumit serta kolegial. Ciri-ciri kepemimpinan demikian justru lebih relevan bagi dunia pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan manusia kritis, inovatif dan bertanggung jawab serta tetap kuat berpegang pada nilai-nilai spiritual. Manusia yang mampu memandang semua manusia sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan harus dihormati. Mungkin itu sebabnya, mengapa di sejumlah negara maju, perempuan mendominasi kepemimpinan di perguruan tinggi. Menghapus hambatan kultural Diakui tidak mudah menghadapi berbagai hambatan dalam kepemimpinan perempuan, terutama hambatan dalam bentuk glass ceiling yakni berbagai pembatasan yang tidak terlihat secara kasat mata. Belum lagi, dalam berbagai proses akademik perempuan merasakan ketidaknyamanan dalam lingkungan akademiknya. Hambatan lain tidak kurang beratnya datang dari internal keluarga, terutama suami yang sering merasa terganggu dan merasa “dilampaui” sehingga melahirkan sikap kekanak-kanakan dan susah dimengerti. Belum lagi, dicemooh masyarakat dengan stigma sebagai istri atau ibu yang tidak bertanggungjawab karena terlalu sering meninggalkan rumah. Hal serupa tidak pernah ditimpakan kepada para lelaki. Inilah yang dimaksud dengan ketimpangan dan ketidakadilan gender. Mengapa penting isu gender? Sejak awal abad ke-20 dunia internasional lantang menyuarakan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu strategi kunci dalam menciptakan masyarakat yang damai, maju dan sejahtera. Bahkan, tiga dari tujuan Millenium Development Goals (MDG’s) fokus kepada upaya kesetaraan dan keadilan gender. Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal biasa saja sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan gender (gender inequities and injustice). Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan, perbedaan gender sangat sering membawa kepada ketimpangan atau ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Sebab, mereka selama ini merupakan kelompok yang rentan, marjinal dan tertinggal akibat kultur dan struktur yang didominasi kelompok maskulin. Lalu, apakah kita akan membiarkan atau menutup mata melihat perilaku tidak manusiawi tersebut? Apakah kita akan terus diam dengan kondisi yang timpang dan tidak adil ini? Demi terwujudnya masa depan peradaban manusia yang lebih adil dan lebih damai, semua bentuk ketimpangan dan ketidakadilan gender harus diakhiri sekarang juga! Untuk itu, paling tidak tiga hal harus dilakukan. Pertama, upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, dimulai dari pendidikan dalam keluarga. Kedua, perlu upaya reformasi terhadap semua kebijakan publik yang diskriminatif. Komnas Perempuan menyebut sebanyak 354 Peraturan daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan. Ketiga, perlu upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama yang memarjinalkan perempuan sehingga yang tersebar hanyalah interpretasi keagamaan yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan. Kita perlu mendorong pengembangan perguruan tinggi yang memiliki sense of gender yang baik. Perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas kepemimpinan perempuan di dunia pendidikan. Kita harus memberikan dukungan yang lebih kuat agar para perempuan dapat meruntuhkan berbagai hambatan, baik karena nilai-nilai tradisional, struktur, budaya, atau pribadi yang menghalangi perkembangan personal maupun profesional. Karakteristik kepemimpinan demokratis perlu dikembangkan untuk mendorong perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin berkualitas di masa depan. Akhirnya, semoga lebih banyak lagi perempuan menjadi pemimpin di perguruan tinggi. Jakarta, 2 April 2014 Menurut Pusat Studi Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC Centers for Disease Control and Prevention) terdapat satu anak autis dari 68 anak-anak di seluruh dunia. Prevalensi ini naik drastis dari sebelumnya yaitu 125 kelahiran dengan 1 autis. Spektrum Autisme (ASD Autism Spectrum Disorder) muncul hampir di semua kalangan baik gender, ras, etnis dan kelas sosial yang berbeda-beda. Tetapi ASD lebih sering 5 kali lipat lebih besar pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Masih menurut CDC, biaya membesarkan anak autis, baik secara medis dan terapi adalah 6 kali lipat lebih besar daripada anak-anak lain pada umumnya.
Pada 2 April ini diperingati Hari Peduli Autisme Sedunia sebagai bagian untuk merayakan keberagaman dan keberterimaan masyarakat atas eksistensi kelompok difabel khususnya autis. Anak-anak autis adalah anak-anak istimewa yang “tidak bisa” bersosialisasi dan berkomunikasi seperti laiknya anak-anak yang lain. Biasanya mereka mengalami keterbelakangan dan ketertinggalan sosial, akademik dan kejiwaan. Di Indonesia, banyak sekali anak-anak difabel, anak-anak autis tidak terurus karena kondisi ekonomi orang tua dan sikap pandangan masyarakat yang masih belum ramah pada anak-anak difabel—kalau tidak melabeli mereka dengan anak-anak gila atau anak-anak “cacat dan tidak normal”. Demikian juga sokongan negara terhadap anak-anak difabel masih belum kokoh seperti halnya negara-negara maju pada umumnya. Pengetahuan orang tua, masyarakat, dan negara terhadap difabilitas dan perikehidupan anak-anak ini penting untuk menciptakan masyarakat dan negara yang “ramah difabilitas” (diffable-friendly society). Saya mengetahui bahwa anak saya, Ivan Ufuq Isfahan (lahir pada 6 Juli 2000), adalah autis, sejak dia berusia dua tahun. Kemampuan kognitif, intervensi wicara, ketrampilan berkomunikasi, dan lain-lain menarasikan bagaimana dia mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaan dan ide-idenya. Hampir delapan tahun lebih, sampai dengan sekarang, Ivan masih menjalani terapi wicara sebagai bagian dari membantu dia mengeksplorasi ide-ide dalam narasi verbal. Sebelum berusia 13 tahun, Ivan sering mengalami tantrum dengan sejarah agresi yang bervariasi. Sebagai Ibu, saya mempelajari model-model tantrum yang berbeda tersebut dan mencoba mengaitkan dengan modus-modus menenangkan agar dia mampu menyampaikan maksudnya dalam berkomunikasi. Karena biasanya tantrum dan “kekacauan konsentrasi” disebabkan oleh tak tersampaikannya apa yang hendak dikomunikasikan dan akhirnya anak menjadi “frustasi”. Pada tahun 2012, Ivan saya belikan piano, dan selama tiga bulan, sepuluh jarinya saya tempelkan pada tuts piano. Mulanya kaku-kaku dan tidak mampu. Namun pada akhirnya dia bisa. Setelah bisa, saya mengundang guru piano ke rumah. Sekarang dia bisa bermain piano dengan membaca partitur dasar not balok. Sejak dia bisa bermain piano, Ivan menjadi jauh lebih tenang dan hampir tidak pernah tantrum lagi. Ivan juga sangat senang melukis. Ratusan lukisannya di atas kanvas dan kertas merupakan visualisasi dari seluruh keinginannya untuk berkomunikasi kepada kita, yang kadang-kadang tak sungguh-sungguh kita perhatikan dengan baik. Masih banyak ibu-ibu tunggal yang membesarkan anak-anak difabelnya sendiri. Juga para orang tua yang berjuang mengurus anak-anak autisnya tanpa bantuan dari siapa pun. Mereka bahkan mendapatkan cemoohan bahwa anaknya gila, atau bahwa anaknya cacat. Dan anak-anak ini kerap juga disingkirkan dari masyarakat. PBB menetapkan hari ini 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Dunia (World Autism Awareness Day) sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian pada anak-anak penyandang autisme. Perayaan Hari Peduli Autisme Sedunia pada hari ini adalah upaya untuk memberikan pendidikan pada publik, bahwa mereka adalah anak-anak peradaban. Bahwa mereka adalah anak-anak kita. Selamat Hari Autis Anakku! Ibu mencintaimu dengan tanpa batas. Sejarawan Reggie Baay (2010) dalam buku edisi Bahasa Indonesia berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, mengungkapkan secara komprehensif sejarah pergundikan yang berlangsung hampir sepanjang masa pendudukan Belanda di Indonesia.
Dalam buku tersebut Baay menulis bahwa pergundikan berawal pada saat dimulainya kolonialisme itu sendiri yaitu akhir abad ke-16/awal abad ke-17 saat kedatangan sejumlah besar rombongan dagang Eropa ke negara-negara Asia, termasuk di dalamnya rombongan dagang Belanda ke Indonesia atau saat itu disebut koloni Nederlands-Indie (Hindia Belanda). Rombongan tersebut didominasi oleh laki-laki, hanya sedikit perempuan yang turut serta. “Defisit” perempuan rupanya menjadi permasalahan tersendiri bagi banyak laki-laki Eropa yang datang dan menetap di koloni. “Defisit” tersebut diatasi dengan pergundikan, dimana laki-laki kulit putih hidup bersama tanpa ikatan pernikahan dengan perempuan kulit berwarna dari etnis Jawa, Sunda, Tionghoa dan Jepang. Para perempuan gundik atau disebut juga nyai memasuki dunia pergundikan melalui beragam cara, banyak diantaranya melalui paksaan, bahkan dijual oleh orang tuanya sendiri demi sejumlah uang. Tokoh Sanikem atau Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satunya. Anehnya stigma sepenuhnya dilekatkan pada para perempuan tersebut, sebagaimana halnya terminologi “gundik” yang berkonotasi negatif. Persoalan yang dihadapi para nyai menjadi tidak sederhana. Bukan hanya kuasa patriarki yang menindas mereka. Secara nyata perempuan-perempuan ini mengalami penindasan berlapis. Penindasan gender, karena jenis kelamin mereka perempuan. Penindasan ras, karena kulit mereka yang berwarna. Penindasan kelas, karena status mereka sebagai orang miskin. Dalam relasi pergundikan, kuasa sepenuhnya berada di tangan laki-laki, kulit putih, dari kelas mapan. Simak kisah Roebiam di bawah ini: Namanya Roebiam. Diperkirakan lahir pada tahun 1898. Ia berasal dari desa kecil di Jawa dan ayahnya seorang petani sederhana dan miskin. Terdorong oleh kemiskinannya, pada tahun 1915 ia mendaftarkan diri sebagai buruh kontrak untuk bekerja di perkebunan yang waktu itu bernama Plantersparadijs Sumatra, sebuah perkebunan tembakau di sekitar Medan. Pada waktu itu Roebiam berumur kira-kira 17 tahun. Di sana ada seorang baren, pemuda dari Haarlem yang bekerja sebagai asisten. Ia mencari teman hidup dan mengambil Roebiam, seorang buruh di perkebunannya, sebagai nyainya. Roebiam memberikan sang laki-laki Eropa dua anak perempuan yang masing-masing dilahirkan pada tahun 1916 dan 1919. Ketika putri sulung mereka berusia lima tahun, sang laki-laki memutuskan bahwa ia harus pergi ke Belanda untuk dididik dan bersekolah di “tanah ibu pertiwi”. Seperti yang biasa dilakukan pada waktu itu, sang anak dititipkan kepada seorang tante yang merupakan saudara perempuan ayahnya. Roebiam boleh ikut berlayar ke Belanda untuk mengantar anaknya. Roebiam kemudian kembali ke Sumatra dan melanjutkan hidupnya dalam pergundikan di perkebunan. Ketika putri bungsu mereka berumur lima tahun, ia pun harus pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan dan sekolahnya. Roebiam pun berlayar kembali untuk mengantar anaknya. Mereka tiba di Belanda pada tahun 1925 dan itu merupakan saat terakhir Roebiam mencium anak-anaknya. Setelah itu sang laki-laki tinggal di tanah kelahiran bersama putri-putrinya dan kemudian menikah dengan seorang perempuan Eropa. Roebiam harus kembali ke Hindia Belanda seorang diri dan tinggal di rumah kecil yang telah disiapkan untuknya. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana kelanjutan dan berakhirnya hidup Roebiam, begitu juga anak, cucu dan cicitnya. (Diringkas dari Reggie Baay, 2010, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, hal. 262-264) Kisah Roebiam lazim terjadi sejalan dengan pergundikan yang dipraktikan secara luas, bahkan “direstui” dalam sistem sosial yang berlaku saat itu. Pembukaan pangkalan militer dan perkebunan di Pulau Jawa dan Sumatra hampir selalu disertai pergundikan. Demikian pula pergundikan lazim ditemui dikalangan masyarakat sipil. Dalam bukunya Baay menjelaskan bahwa pergundikan bagi banyak laki-laki kulit putih di koloni Hindia Belanda saat itu adalah “solusi sementara” sebelum mereka menikah dengan perempuan yang “sederajat” yaitu perempuan dari ras yang sama. Nyai dapat diperlakukan sesuka hati dan dapat diusir setiap saat. Status anak-anak Eurasia yang dilahirkannya sepenuhnya ditentukan oleh ayah biologis mereka seperti halnya anak-anak Roebiam. Jika sang ayah mengakui anaknya, maka secara hukum anak tersebut akan menjadi seorang “Eropa” dengan semua hak-hak istimewanya. Sebaliknya jika ayah tersebut tidak mengakui anaknya maka ia akan menjadi “pribumi” dengan semua diskriminasi dan penindasan yang melekat dalam status tersebut. Membaca sejarah pergundikan, saya diingatkan kembali tentang bias gender dalam penulisan sejarah dan bagaimana sejarah dikonstruksikan sedemikian rupa oleh penguasa. Perempuan gundik di era kolonial, perempuan budak seks saat pendudukan Jepang di Indonesia dan negara Asia lain pada era 1940-an, perempuan etnis Tionghoa korban perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan perempuan-perempuan lain yang—dengan cara menyakitkan—menjadi bagian sejarah bangsa ini, cenderung dilupakan. Sudah saatnya history dikonstruksi ulang agar juga menjadi herstory. Bandung, 29 Maret 2014 ![]() "Saya melihat kepala teman saya digondol anjing." “Sungai dekat rumah saya tersumbat karena timbunan mayat." "Bapak dan paman dikeroyok massa, dan dibantai di depan mata saya". (Inilah kisah dari beberapa saksi kepada saya tentang periode kelam di Indonesia, periode dimana terjadi salah satu pembunuhan massal terbesar di dunia.) Kebanyakan dari orang-orang ini menyatakan bahwa inilah pertama kali mereka telah menguak kejadian ngeri ini kepada orang lain, di luar keluarga mereka. Sebagian besar menyimpan kisah ini untuk diri mereka sendiri selama bertahun-tahun. Tragedi yang terjadi sekitar lima puluh tahun yang lalu, telah dibungkam. Ketakutan masih dominan diantara para korban, dan para preman masih berkeliaran dengan bebas untuk melecehkan mereka. Front Anti komunis Indonesia (FAKI) menyerang pertemuan para keluarga korban di Yogyakarta pada 27 Oktober tahun lalu. Baru-baru ini, pada tanggal 16 Februari, FPI membubarkan pertemuan para eks tapol di Semarang Jawa Tengah. Padahal, mereka adalah para manula yang sedang menjenguk sahabat yang sedang sakit. Inilah kriminalitas yang sempurna: saat korban disulap menjadi pesakitan, dan keluarganya dirundung teror dan ketakutan. Para pembantai bukan lagi penjahat, tetapi pahlawan yang dielukan. Apalagi bila korbannya perempuan. Karena kasus pemerkosaan juga seringkali menyudutkan korban. Sudah bukan rahasia, para tapol perempuan sering mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual di penjara. Pekerjaan rumah para kriminal selain menyembunyikan kejahatan adalah melestarikan hierarki, dimana sang korban selalu berada para posisi dan status sosial tak berdaya, sehingga mereka tidak bisa berontak atau menuntut haknya. Hal serupa juga sempat saya alami. Papa saya ditahan oleh Suharto pada 1966-1969 karena keterlibatannya dalam organisasi kiri. Seperti perempuan lain yang harus berjuang saat suami mereka hilang atau ditahan, mama menghidupi anak-anaknya sendiri selama beberapa tahun. Namun, mungkin inilah salah satu bukti kekuatan perempuan. Bagi mereka yang ayahnya hilang atau ditahan, sang ibu biasanya dengan gigih dan cepat mempertahankan keluarga dan anak-anaknya. Sebaliknya, bila ibu yang ditahan atau hilang, keluarga seringkali tercerai-berai. Dalam hal ini, sebagai orang tua tunggal, perempuan memang masih lebih mandiri. Papa meninggal pada bulan September 1998, beberapa bulan setelah Suharto lengser, namun buku pelajaran di sekolah-sekolah masih saja memuat sejarah bohong tentang kejadian ini. Kebohongan yang akhirnya diyakini oleh banyak orang, tidak terkecuali oleh beberapa anggota keluarga korban sendiri. Banyak dari mereka yang menolak orang tua atau sanak saudaranya hanya karena mereka mendapat gelar “komunis”. Bahkan setelah Suharto mati, rekayasanya masih bertahan. Masih menghantui para korban dan keluarganya. Karena itulah, saya begitu ingin menulis tentang kisah keluarga saya, tapi mama melarang, karena takut akan dampak dari tulisan saya. Dan saya menurut, karena saya tahu betapa pedih hidupnya setelah papa ditangkap. Keinginan itu saya pendam. Kata “komunis” masih dianggap sebagai penyakit ganas yang tidak saja menurun tapi juga menular. ![]() Tapi film The Act of Killing (TOAK) membuat keinginan saya bangkit kembali. Tentu saja film The Act of Killing bukanlah fillm yang pertama kali menggambarkan tentang pembunuhan massal itu. Telah ada beberapa film lain yang merekam tentang kejadian ini seperti Shadowplay, Forty Years of Silence dan Kado buat Rakyat Indonesia. Apa yang berbeda dari film ini? Bila film sebelumnya menguak kesaksian dan penderitaan para korban, TAOK menyajikan pengakuan para jagal, yang dengan bangga berkoar tentang berbagai pembunuhan dan kesadisan yang telah mereka lakukan. Bila setelah menonton film-film sebelumnya, banyak orang bisa berkata: “Begitulah komunis, mereka akan mengada-ada.” Film TAOK bisa membungkam kesinisan ini. Karena kalau para penjagal sendiri telah menyatakan di depan kamera tentang kekejian dan kebrutalan yang dilakukan, bagaimana mereka bisa mengabaikan kesaksian para korban? Karena itu, saya cukup terkejut dengan beberapa komentar yang menyatakan bahwa TAOK hanyalah film yang memanjakan dan bahkan merayakan kesaksian para jagal. Karena justru rasa kepahlawanan para jagal dipertanyakan dalam film ini. Dan justru dengan film ini kita lebih menyadari bahwa kesaksian kebanyakan korban dalam film-film sebelumnya belumlah apa-apa. Kebrutalan yang luar biasa dikuak oleh TAOK dengan berbagai pengakuan jagalnya. Film ini telah membuat saya lebih mengerti ketakutan dan penderitaan mama. Namun bersamaan dengan itu, saya juga bertambah yakin untuk tidak lagi menuruti ketakutan mama, yang membuat bungkam tidak saja dirinya sendiri tapi juga saya. Karena ketakutan adalah salah satu senjata yang ampuh dari para penguasa. Dengan ketakutan, para penguasa tidak perlu berbuat apapun untuk mempertahankan cengkeraman mereka. Ketakutan akan bekerja untuk mempertahankan ideologi dan manipulasi penguasa. Seperti juga yang terjadi pada saya, yang telah dibungkam karena ketakutan mama. Karena itu, film TAOK punya arti tersendiri yang begitu dalam, bagi saya. Film ini telah membuat keterbungkaman saya terusik. Dengan melawan kebungkaman saya sendiri, saya berharap bisa membuka kebungkaman-kebungkaman yang lain. Karenanya, selain kisah keluarga saya sendiri, saya juga mengumpulkan kisah-kisah insan lain, yang anggota keluarganya telah menjadi korban keganasan militer dan penguasa Orde Baru pada tahun 1965. Kita, yang telah dibungkam berpuluh tahun lamanya, karena teror yang berkelanjutan, sekarang menolak diam. Karena dengan menolak diam, kita ikut melawan manipulasi sejarah yang masih merayakan pembunuhan massal. Manipulasi yang ikut mendukung kepercayaan: Bila membunuh 1 atau 2 orang, anda adalah kriminal. Bila membunuh ratusan atau ribuan orang, anda adalah pahlawan. Dan bila membumihanguskan seluruh manusia di dua kota, dan menyisakan 1 keluarga saja, anda adalah Tuhan. London, 30 Maret 2014 |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|