Keberadaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan banyak keluarga di Indonesia. PRT berperan penting dalam menunjang aktivitas sehari-hari anggota keluarga khususnya keluarga kelas menengah perkotaan. Namun harus kita akui terdapat kecenderungan jasa PRT semakin mahal dan semakin sulit pula didapat. Cepat atau lambat, kita harus menyiapkan diri untuk hidup mandiri tanpa mengandalkan PRT. Dari sisi suplai, sulitnya mendapatkan PRT tidak semata disebabkan menurunnya jumlah PRT. Saat ini menjadi PRT di luar negeri lebih menarik perhatian perempuan berpendidikan rendah dan menengah, karena menjanjikan imbalan finansial yang lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang sama di dalam negeri. Bagi PRT yang memilih melanjutkan profesinya di dalam negeri, terdapat peningkatan kesadaran akan hak-haknya sebagai pekerja. Merupakan hal yang lumrah saat seorang calon PRT menegosiasikan kontrak kerjanya dengan calon majikan. Kecil kemungkinan hal ini terjadi di era 1970-an saat PRT pada umumnya “menerima” apapun pekerjaan yang ditugaskan dan berapapun besaran gaji yang ia terima. Fenomena peningkatan kesadaran hak-hak sebagai pekerja adalah positif, perlindungan hukum dan HAM pekerja (termasuk PRT) harus dijunjung tinggi, kontrak kerja harus memuat kejelasan hak dan kewajiban pekerja dan majikan. Ada hal yang lebih mendasar terkait hidup dengan atau tanpa PRT, yaitu perlunya perubahan sikap dalam memandang pekerjaan domestik yang secara umum dianggap tanggung jawab perempuan (istri, ibu, PRT) menjadi tanggung jawab bersama suami, istri dan anggota keluarga lain. Instansi pemerintah dan swasta juga harus mengubah sikap mereka terhadap pekerja dan keluarganya. Baik pemerintah dan swasta harus bahu membahu menciptakan lingkungan kerja ramah keluarga dengan menyediakan fasilitas tempat penitipan anak, menyediakan pilihan jam kerja fleksibel dan paruh waktu, serta membuka peluang cuti yang lebih panjang—berbayar atau tanpa bayaran—bagi pekerja yang memiliki anak balita. Demikian pula negara wajib mendukung dengan antara lain membuat kebijakan dan program-program pelayanan publik yang lebih ramah keluarga. Naomi Wolf (2002) dalam bukunya “Misconceptions: truths, lies and the unexpected on the journey to motherhood” menyatakan bahwa sesungguhnya negara dapat melakukan tindakan nyata untuk memecahkan “masalah orang tua bekerja” (lebih sering disebut “masalah ibu bekerja”). Wolf menuliskan sebuah kisah perang dunia II saat pemerintah Amerika Serikat sangat membutuhkan ibu-ibu untuk bekerja di pabrik-pabrik senjata guna memasok persenjataan perang. Saat itu para laki-laki yang semula bekerja di pabrik tersebut berada di medan perang. Guna memudahkan para ibu dengan anak balita bekerja di pabrik, pemerintah berinisiatif membebaskan mereka dari beban domestik dengan cara menyediakan tempat penitipan anak, layanan belanja, laundry, membersihkan rumah dan katering di setiap wilayah dimana pabrik berlokasi. Penyediaan layanan diatur sedemikian rupa di tingkat komunitas. Tersedia pula fasilitas kesehatan, rekreasi dan layanan menjahit baju anak-anak yang sobek. Layanan paling “revolusioner” adalah di sore hari yaitu tersedianya makanan siap saji untuk ibu-ibu yang lelah bekerja, yang dapat diambil di tempat penitipan anak saat mereka menjemput anak-anak pulang. Fasilitas tempat penitipan anak berbasis komunitas membuat para ibu merasa aman meninggalkan anak-anak mereka dengan pengasuh yang mereka kenal. Berbagai layanan penunjang lainnya memampukan para ibu berkonsentrasi penuh pada pekerjaan di pabrik dan menghasilkan produktivitas lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak menyediakan fasilitas serupa. Setelah perang usai, laki-laki membutuhkan pekerjaan mereka kembali dan para perempuan kembali ke rumah. Sistem yang sukses memecahkan masalah orang tua bekerja dihentikan begitu saja. Sayang sekali buku-buku pelajaran sejarah tidak pernah memuat kisah di atas sehingga kita jarang bahkan tidak tahu bahwa sangat mungkin—melalui kerjasama berbagai pihak—memecahkan masalah orang tua bekerja yang selama ini dianggap masalah perempuan semata. Akibatnya banyak perempuan “berhenti berkembang” setelah menikah dan memiliki anak karena sebagian besar waktu dan tenaga tercurah untuk urusan domestik. Hal ini menjelaskan mengapa anak-anak perempuan yang berprestasi cemerlang saat di bangku sekolah tidak terdengar lagi kiprahnya saat mereka dewasa. Ada beragam bentuk “berhenti berkembang” namun yang lazim terjadi adalah perempuan berhenti sekolah dan berhenti bekerja karena waktu dan tenaga terserap pada tanggung jawab domestik. Lebih dari sekadar “berhenti” keduanya dapat dimaknai tertutupnya akses perempuan—sebagian berlangsung permanen—terhadap pendidikan dan pendapatan. Kedua hal tersebut sangat berpengaruh bagi kemandirian dan posisi tawar perempuan serta kesejahteraan anak, saat situasi baik-baik saja dan saat situasi sulit seperti terjadinya KDRT, perceraian dan kematian suami. Seharusnya keluarga adalah wadah dimana setiap individu dapat optimal mengembangkan potensi dirinya dengan dukungan seluruh anggota keluarga, namun fakta seringkali berbicara lain. Secara sosiologis, perilaku seseorang tidak terlepas dari faktor sosial di sekelilingnya. Saat seorang perempuan memutuskan mengorbankan peluang pengembangan diri demi keluarga, di permukaan, tindakan tersebut seolah adalah tindakan pribadi yang dilakukan dengan sukarela. Pada kenyataannya bisa jadi tindakan tersebut adalah akibat tekanan sosial yang menempatkan perempuan di ranah domestik dan membuatnya tidak memiliki banyak pilihan. Bagaimana dengan perempuan berstatus menikah yang memutuskan untuk tetap aktif di sektor publik? Situasinya tidak selalu lebih baik karena ia dituntut untuk tetap bertanggungjawab terhadap sebagian besar atau seluruh urusan domestik. Hal ini tidak berlaku bagi laki-laki. Dalam rumah tangga seorang suami biasanya mengandalkan istrinya untuk menangani pekerjaan domestik namun tidak sebaliknya. Pola yang lazim terjadi adalah saat seorang istri (ibu rumah tangga atau ibu pekerja) merasa terbebani dengan pekerjaan domestik, ia cenderung meminta bantuan perempuan lain seperti anak perempuannya, ibunya atau PRT, bukan suaminya. Akhirnya terselenggaranya pekerjaan domestik adalah hasil kolaborasi antara sesama perempuan dengan keterlibatan minimal atau tanpa keterlibatan laki-laki. Bagi perempuan semua situasi di atas melelahkan, tidak membahagiakan, tidak adil, bahkan melahirkan perasaan bersalah yang tidak perlu. Dalam pandangan umum pekerjaan domestik dipandang sebagai kewajiban moral perempuan yang dikemas dalam balutan berbagai ideologi. Jarang muncul ke permukaan pemahaman bahwa pekerjaan domestik adalah aktivitas bernilai ekonomi yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan. Tanpa dukungan sektor domestik, akan banyak sendi kehidupan di sektor publik yang tidak akan berfungsi optimal. Sebagai istri dan ibu saya memahami bahwa dalam kehidupan rumah tangga ada saat-saat dimana pihak tertentu perlu menyesuaikan atau bahkan mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan anggota keluarga lain. Namun tidak adil bila salah satu pihak--dalam hal ini perempuan--terus-menerus diminta berkorban secara tidak proporsional. Pada akhirnya banyak hal bersumber pada ketimpangan gender di dalam rumah. Dari rumahlah perjuangan kesetaraan gender dimulai, selain perjuangan di tingkat komunitas, masyarakat dan negara.
1 Comment
Bedah Disertasi Neng Dara Affiah “Gerakan Perempuan Muslim Progresif di Indonesia sebagai Gerakan Sosial Baru: Studi Kasus Organisasi-Organisasi di Jawa tahun 1990-2010” (FISIP, Universitas Indonesia). Tempat/Waktu: Utan Kayu, Rabu 29 Oktober 2014 jam 19-22 WIB Pengantar: Nafsu Modernitas Hubungan antara gender, agama dan politik menarasikan kawasan yang memperlihatkan matra interdisipliner yang mewarisi di dalam dirinya perjumpaan paradigma, pertumbuhan teori-teori modernitas dan perkawinan antara kajian wanita dan agama. Tiga kata kunci yang hendak dieksplorasi lebih jauh dalam tulisan ini adalah gender, agama dan politik yang merupakan anak kandung paradigma modernitas. Dalam tiga dekade terakhir modernitas mendapatkan banyak tantangan sebagai sebuah penjelas yang tak mencukupi lagi untuk mendeskripsikan kompleksitas jejak-jejak di masing-masing kategori. Banyak diskusi, baik secara filosofis dan praktis, menarasikan dia sebagai struktur sosial yang terus melakukan evolusinya sekaligus menerjemahkan konstelasi hubungan dan pengalaman manusia-manusia. Tetapi, lagi-lagi, dia tetap mengabarkan kontradiksi, paradoks, dan bukti-bukti bahwa fakta dan pengalaman masih saling melakukan negosiasi dan konstruksi—baik sebagai sebuah fenomena dan sebagai sebuah konsep. Ketiga konsep tersebut, meskipun dapat gagah berdiri sendiri-sendiri, dan mungkin tak saling sapa, tetapi mereka merupakan sebuah entitas yang tak terpisahkan satu sama lain, apalagi apabila dikaitkan dengan pengalaman perempuan dan mereka yang dicap sebagai liyan (gender ketiga, difabel, miskin kota, masyarakat adat, alam, binatang, dan lain-lain). Dari hakikatnya, modernitas memiliki swara multidimensi dan secara inheren mengandungkan di dalam dirinya suatu kontinum yang selalu tergantung dan tak mampu berdiri sendiri—meskipun klaim kelahirannya adalah nafsu besar atas grand narrative. Modernitas telah matang dengan kontradiksi, demikian juga agama dan gender sebagai sebuah konsep yang seringkali digambarkan, dinarasikan, sebagai abadi, tak berubah, berada di luar narasi sosial dan proses kesejarahan, dan lain-lain. Afinitas dalam sebuah definisi, tanpa disadari, mewartakan juga sebuah proses ekslusivisme—yaitu pengusiran atribut-atribut lain atas sebuah kata benda. Dus, dalam definisi menyangkakan sebuah rigiditas. Padahal pengalaman sebuah konsep, yang diekstrasi dari pengalaman-pengalaman manusia, menarasikan sebuah pertumbuhan fokus, lokus, dan tempus—yaitu bahwasanya sebuah definisi dapat tumbuh seiring dengan pertumbuhan konteks (focus, locus, tempus). Bahkan banyak sarjana yang mencoba untuk memberikan informasi detail atas konteks budaya, dapat tersungkur karena lupa mencantumkan narasi sejarah dari sebuah konsep, dus, menjadi ahistoris. Narasi tentang gender tak melulu tentang kontrol patriarki, yang dilemahkan atau kebutuhan untuk kesetaraan—tetapi jauh sebelum dia dieksekusi menjadi naskah setara, perjuangan paling pertama adalah perang-linguistik, yang diawali dengan memenangkan pertandingan dalam linguistics game, yaitu bagaimana politik konsep, kategorisasi dan penamaan kemudian tidak mengembalikan mereka yang liyan dan perempuan dalam perangkap dan penjara yang sama. Tugas ini dimulai dengan konstruksi simultan atas gender, agama dan politik dengan menekankan pada peran dan persepsi perempuan. Sebagai yang saling menjelaskan, kemudian setiap entitas merupakan yang terjelaskan, yaitu realitas yang tak boleh mengandaikan di dalam dirinya sebagai entitas-henti. Mereka bertiga perlu mendeklarasikan diri sebagai sebuah entitas-tumbuh yang rimpang, seperti teks-til, dan memiliki tekstur yang mengadopsi lokus, fokus, dan tempus yang beragam. Prasangka, Stigma, Seteru Gender, agama dan politik sebagai sebuah konsep, disamping dibentuk, mereka juga memiliki tugas untuk membentuk. Mereka membangun institusi kajian masing-masing dan menetapkan paradigmanya dalam kawasan yang seharusnya cair dan bukan seperti dinding beton yang tak berjendela. Dalam praktiknya, ketiga kategori ini hibrid, saling bersirkulasi dalam network tarjamah dan termediasi secara terus-menerus baik melalui narasi verbal, visual dan gerak—yangmana kemudian modernitas sibuk melakukan konstruksi sosial dikotomis dan trikotomisnya (Haraway, 1991; Latour, 1993, Shenhav, 2007). Kategori sosial ini memiliki luaran yang pejal dalam kontestasi kekuasaan dan makna. Dalam konteks ini, ketiga konsep tersebut merupakan penyebab sekaligus simpton dalam pemikiran modern. Klaim teoritis yang terbangun selama ini, atas ketiga kategori tersebut adalah bahwa ketiganya saling berjumpa, saling bersinggungan, dan secara simultan membentuk sebuah keseluruhan atas ruang. Ruang kata-kata yang kemudian dijejali makna-makna, dan lebih-lebih secara politis dijejali oleh stigma, bias dan prasangka. Kata-kata sebagai mula yang otentik, orisinil, mantera awal dari makna-makna mengalami derita hebatnya karena ditimpa kebencian dan tudingan, seperti kasus sebutan Islam liberal atau feminis liberal, misalnya. Sebagai kata benda yang menjelaskan makna, mereka telah terkena stigma buruk yang melupakan perilaku adil manusia atas makna dari kata-kata. Dalam analisis historis, proses sosial atas ketiga kategori tersebut sebagai sebuah kesatuan mengalami konstitusi, rekonstitusi, yang selalu berubah dan sebagai sebuah fenomena sulit untuk diprediksi peri-kehidupannya. Tulisan ini mengkaji bagaimana agama, gender dan politik sebagai sebuah konsep modern tumbuh dan menjadi bagian dari kategori analitis dalam projek pencerahan. Modernitas berasal dari bahasa Latin, modo, yang bermakna, “yang sekarang, yang baru saja terjadi” (Webster). Dus, modernitas identik dan tipikal dengan sesuatu yang “baru”—yang secara inheren terputus dari yang sebelumnya, baik dari gaya hidup, institusi, bentuk pemikiran, dan pengalaman-pengalaman. Pemahaman atas modernitas ini mengidentikkan tradisi sebagai sebuah lawan, sebagai sebuah kelanjutan dari masa yang lalu, kegigihan atas cara-cara, nilai, dan struktur lama. Sedangkan modernitas dibungkus dalam sebuah paket konsep pencerahan (Hamilton 1996: 20), yang terdiri dari ide-ide atas akal, empirisme, sains, universalisme, kemajuan, kebebasan, dan sekularisme (ibid: 23-24). Apa yang dilakukan oleh pencerahan adalah melakukan sistematisasi dan urutan atas segala sesuatu, dengan nafsu dan tendensi berlebihan atas klasifikasi dan kategorisasi. Padahal dasar dari filsafat entitas adalah ketakterjelasannya, ketakterhinggaannya. Ketika modernitas datang, kemudian, mengungkung, memenjara, segala sesuatu dalam saintifikasi kategori, dus sistematisasi segala sesuatu. Dalam hidup dan sesak nafas penjara kategori-klasifikasi ini kemudian lahir stigma, prasangka dan kerakusan manusia dengan kaca-mata kuda, bahwa kategori kemudian disusun dalam sebuah kelas dan hirarki. Yang suci, baik, mulia dan yang tak. Kategori-kategori tersebut mengalami pendarahan hebat akibat mendapat stigma-stigma dan pensifatan negatif meskipun ia sama sekali tak mensifatkan apa yang disangkakan oleh pendakwanya. Manusia modern dicirikan oleh rasionalisasi dan politik simbol yang amat kuat, terutama dalam mengenali liyan dalam proses interaksi, komunikasi, negosiasi budaya. Dalam perseteruan pemikiran, modernitas dalam kerangka sosiologi klasik memiliki empat dimensi, yaitu 1. Diferensiasi struktural (Emile Durkheim); 2. Rasionalisasi, kepahitan atas dunia dan naiknya kapitalisme (Max Weber); 3. Projek penulisan sejarah, transformasi sosial sebagai bagian dari perjuangan kelas antara borjuis kapitalis dan kelas pekerja sebagai wujud ultim dari masyarakat modern (Karl Marx); 4. Bentuk modern dari kehidupan sosial di kota-kota dan waktu yang dibungkus dalam paket-paket pos (George Simmel). Keempatnya memiliki kesamaan persepsi atas linearitas, progresi struktural dari tradisi ke modernitas (Oommen 2005: 151-158). Narasi dominan dari modernitas adalah diferensiasi struktural yang mengimplikasikan transformasi sosial dari yang simpel menuju kompleks, dari komunitas kecil ke interaksi tatap-muka (Gemeinschaft), menuju masyarakat yang luas, kontraktual, dan organisasi sosial yang impersonal (Gesellschaft), dari rural menuju urban, dan yang paling penting dari yang suci menjadi sekuler. Diferensiasi, diversifikasi, spesialisasi, dan fragmentasi merupakan tipe dari kepatuhan atas pranata dan tata sosial modernitas yang memiliki nafsu besar melakukan projek sistematisasi. Pengusiran Perempuan dalam Politik Sistematisasi Modernitas dibimbing oleh rasionalitas yang tak lagi menerima perilaku-perilaku kuno yang harus diadaptasi dengan segala sesuatu yang “menguntungkan” dan efisien (Weber et al, 1992, 1978: 30). Weber melihat bahwa sains dan teknologi telah menggantikan agama sebagai prinsip pengaturan masyarakat. Dalam kapitalisme modern, rasionalitas membangun baik sistem ekonomi dan orang yang mengatur ekonomi (Weber, 1947). Reorganisasi dari aturan sosial ini melahirkan otonomi manusia, yang dituntun oleh akal yang kemudian memilih hubungan kontraktual antar manusia yang memperhatikan kepentingan masing-masing. Dalam hal ini nasib agama dan perempuan dalam struktur masyarakat modern menjadi ganjil, karena kemudian mereka berada dalam margin terluar. Mengapa? Karena takdir, nasib perempuan dalam diskursus modernitas tak mendapatkan tempat, karena dia dinilai tak memiliki kecukupan akal, seperti halnya agama yang hidup berbasis pada ritual-ritual kuno, suci, yang tak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat modern. Asosiasi kultural antara perempuan, yang pribadi, emosi, dan kadang-kadang irasionalitas telah meminggirkan dan mengusir perempuan dalam diskursus sosial dan akademik, bahkan. Bahkan rasionalitas perempuan dicurigai ketika perempuan mulai memasuki arena publik (Hamilton, 1996: 33-35). Dus, pemikiran modern terus memarjinalkan perempuan, dan mengusirnya dari ruang sosial dan dari sumber kekuasaan. Keberadaan dewi-dewi dalam naskah teologi juga mengalami peminggirannya, yang kemudian evolusi dewa-dewa dan kemudian menjadi tuhan-tuhan yang kemudian tunggal dan mendapat atribusi gender laki-laki, saja. Kajian Neng Dara Affiah ini merupakan replika dari politik sistematisasi organisasi perempuan modern dan sebagai sebuah usaha untuk membawa kembali perempuan dalam pusat dari debat, yaitu mengapresiasi relasi resiprokal antara perempuan dan agama. Narasi paling penting adalah menyediakan perspektif baru dan segar atas rasionalisasi gerakan, yaitu marjinalisasi perempuan dalam masyarakat modern. Yaitu dengan menarasikan kontradiksi sosial antar organisasi perempuan yang berseteru, misalnya Fatayat NU dan Aisyiyah vis a vis Wanita HTI. Mereka adalah produk dari rasionalisasi, kategorisasi, dan marjinalisasi perempuan, bersamaan. Mereka, seluruhnya, meskipun saling seteru, adalah perempuan-perempuan yang terbuang, terusir dari sumber kekuasaan dan hirarki otoritas. Mereka, organisasi-organisasi sosial baru perempuan tersebut, meskipun berbeda dan berada dalam kontinuum yang bervariasi, memiliki nasib yang sama—tak memiliki kontrol penuh atas sumber utama kekuasaan dalam masyarakat modern, yaitu politik. Pengusiran perempuan berakar dari peminggiran eksistensi, peran, dan akses perempuan dalam politik bahasa—epistemologi modern mengandung dualisme (Oommen, 2005: 157) dan bersamaan membentuk tak hanya paralelisme tetapi juga hirarki. Yang terakhir inilah kemudian meletakkan perempuan dan para liyan pada jenjang terendah, atau jika memungkinkan tak tercatat, tak terdokumentasi, dan tak masuk dalam grand narrative. Dualisme epistemologi telah dicontohkan sebelumnya yaitu akal versus emosi, individualisme versus kolektivisme, domestik versus publik, suci versus sekuler, dll, seolah bahwa binerisme ini abadi dan universal. Padahal dualisme tak sanggup menjelaskan kompleksitas entitas tatkala dia berada dalam lokus yang berbeda. Apalagi, apabila mereka berbaris dalam hirarki dan derajad yang berbeda. Sejak saat itulah linguistik modern memicu kelahiran kelas, dan pengusiran mereka yang rentan dan dianggap tak kapabel dan tak boleh ada dalam struktur masyarakat modern mulai dilakukan secara sistematis. Separuh dari yang terusir itu adalah perempuan. Dan keseimbangan masyarakat modern mengalami ketimpangannya tatkala privilese dan keistimewaan hanya dimiliki oleh jenis kelamin tertentu, dan pengalaman manusia tertentu. Ada kehilangan budaya, kehilangan identitas, atas manusia, atas alam dan atas keterhubungan di antara mereka. Agama pun mengalami proses kapitalisasi yang hebat, hingga yang suci, yang transenden berubah menjadi yang dapat dijual, dapat dimasalkan, dapat dipopulerkan, dan dapat dipertukarkan dengan naskah apapun di luar narasi agama. Perempuan dalam relasi antara agama dan politik digambarkan sebagai tidak penting, tidak menggairahkan, berbahaya, gelap, emosional, bebal, malas, dan lain-lain. Untuk mengurangi beban berat kerentanan modernitas mendefinisikan perempuan, Eisenstadt menyarankan untuk tak hanya melihat modernitas di Eropa dan Amerika Utara, tetapi juga belahan dunia yang lain (2002: 2). Akan tetapi, rekonstitusi, multisiplitas lokus budaya dari konsep modern tak banyak membantu dan menolong mereka yang terpinggir, karena paradigmanya menghendaki penyucian diri atas mereka yang tak berguna, yaitu adanya universalisme dan kebenaran yang masuk akal. Yang tak masuk di akal, dus, tak modern. Bagaimana masyarakat mengimajinasikan itu kemudian menjadi penanda imajinasi sosial, yang lagi-lagi, kemudian mengalami kompartmentalisasi dan pengkotak-kotakkan. Kehidupan kolektif sosial ini meliputi praktik, simbol, dan narasi sejarah yang melegitimasi moralitas—dimana perempuan menjadi tokoh utama dalam komoditas, demikian juga bumi dan mereka pula menjadi dosa utama dalam tafsir-tafsir modern atas agama-agama. Keduanya, baik pasar agama dan pasar ekonomi menandai perempuan sebagai komoditas utama, baik sebagai representasi godaan iblis, sekaligus representasi godaan untuk menarik konsumsi lebih tamak, dan tamak lagi. Karena perempuan menjadi komoditas, kemudian perempuan kehilangan otoritas tafsir atas tubuhnya sendiri, demikian juga atas ruang politik agamanya sendiri. Ini yang kemudian melahirkan organisasi sosial baru yang didirikan perempuan untuk melawan tafsir semena-mena atas mereka. Ini kemudian membuka teori kritik atas agensi, bentuk baru mobilitas sosial, rekonseptualisasi modernitas, dus membuka kran definisi dan horizon atas modernitas yang kaku dan menyesakkan (Kamali, 2005; Kamrava, 2006; Kaya, 2004). Tugas dari tulisan ini adalah menambahkan perspektif atas analisis gender sebagai konsep yang dapat memberikan kontribusi pada redefinisi kategori yang disediakan oleh linguistik modern, atas sekularisme, liberalisme, feminisme, yang mendapatkan stigma hebat di Indonesia. Ilmuwan sosial mendeskripsikan modernitas sebagai sebuah proses sekularisasi yang melibatkan ketersebunyian atau kehilangan (Comte), penurunan atau degradasi (Weber), privatisasi (Berger), transformasi (Durkheim) dari agama-agama. Pemisahan antara negara dan agama dan asumsi bahwa manusia telah menjadi lebih tak religius telah diubah oleh rasionalitas, pengetahuan ilmiah, pendidikan humanisme, kapitalisme teknologi, dan birokrasi. Agama tak benar-benar bisa hilang dalam network modernitas. Modernitas, yang pada mulanya, ingin mencekik habis irasionalitas agama, kemudian, justru menumbuh-suburkan agama-agama, misalnya gerakan IM (ikhwanul muslimin) dalam Islam, Kristen Evangelis, dan lain-lain (Davie, 2001; Gorski, 2003; Norris & Inglehart, 2004). Dan peran agama dalam konflik politik juga semakin meningkat di berbagai belahan dunia (Casanova, 1994; Fenn, 2001). Agama menjadi penting dalam: kehidupan manusia modern, identitas kolektif, dan mobilisasi politik, baik yang berujung pada kekerasan maupun perdamaian (Castelli & Rodman, 2001; Davie, 2007; Karam, 2004). Agama kemudian menjadi kekuatan yang bisa saja membebaskan, tetapi juga bisa represif (Castells, 2004). Kajian ini bertugas menggarisbawahi bagaimana status perempuan dalam konstelasi ekspresi politis dalam institusi agama. Ketiga terma: gender, agama dan politik memiliki dua penggerak mesinnya, yang bekerja bersamaan, yaitu proses purifikasi dan proses hibridisasi, yang bekerja secara simultan sekaligus secara kontradiktif (Latour, 1993). Proses purifikasi adalah proses pembersihan, rapih, terstruktur, kategoris, dalam sistematisasi pembentukan institusi dan perilaku. Purifikasi ini membantu untuk mengontrol perilaku manusia-manusianya yang menjadi anggota dalam masyarakat modern. Bagi Latour, ini kemudian mengkhianati konsep dasar modernitas. Dari ini, kemudian modernitas dengan sendirinya, kemudian melakukan purifikasi, repurifikasi, fabrikasi, refabrikasi atas konsep-konsep dan kategori-kategori sosialnya. Konsep Latour ini membantu membedah konstelasi kekuasaan antara tiga kata kunci yang menjadi kajian tulisan ini. Represi Ruang Linguistik Teori feminisme telah memberikan kontribusi kunci atas diskursus modernitas dengan kritik atas dimensi gender biner dan bagaimana pola kekuasaan dibangun di antara keduanya. Analisis gender menarasikan bagaimana dinamika kekuasaan terlampirkan dalam diferensiasi ruang privat dan publik. Divisi-divisi ini kemudian mereproduksi ketaksetaraan, ketakadilan, kejanggalan yang kemudian melakukan devaluasi dan penolakan renumerasi atas kerja-kerja perempuan di rumah, yang juga tereplika ketika perempuan bekerja di rumah perempuan lain (Fraser, 1987; Pateman, 1989; hooks, 1990). Status perempuan yang sebelumnya kuat, melemah dalam struktur masyarakat modern. Perempuan kemudian berterima atas seluruh kondisi-kondisinya dalam pranala kodrat. Bahkan dalam masyarakat liberal, mudah sekali ditemukan bagaimana perempuan terusir dari sumber dan pusat kekuasaan, baik di rumahnya sendiri atau di luar rumah. Modernisme dengan licik menanggalkan maskulinisme dari perempuan, rasionalitas dari perempuan. Juga menanggalkan loyalitas dari laki-laki, emosi dari laki-laki, femininitas dari laki-laki, intimitas dari laki-laki. Baik perempuan dan laki-laki, serta gender ketiga, mengalami perampokan dan reduksi hebat atas sifat-sifat dan karakter dasarnya. Dari penanggalan sifat-sifat ini kemudian kepentingan kapital, dus, uang dihasilkan. Dan lagi-lagi, perempuan mendapatkan lebih sedikit, dan sama sekali tak pernah menjadi aktor utama dari pertaruhan ekonomi modern—karena rahim perempuan hanya bisa melahirkan “cinta” yang kemudian menisbikan “pertaruhan”. Privatisasi agama juga menanggalkan dan meminggirkan perempuan dari pusat kekuasaan atas otoritas tafsir dan ritual-ritual (Helly & Reverby, 1992). Batas antara dua penanda dan dua ruang biner tersebut tak lagi plastis, tak lagi elastis, tak lagi tembus pandang. Segalanya adalah tembok penghalang yang kemudian mendapatkan konsepnya sebagai diskriminasi. Diskriminasi merupakan puncak dari ruang linguistik bagi pengusiran perempuan secara sistematis. Perseteruan keras dalam ruang linguistik atas narasi konsep perempuan dalam agama dan politik ini kemudian memperparah dan mempercepat proses kegilaan sosial: pertama, dengan irasionalitas dan emosinalitas yang berlebihan; kedua, yang tradisional semakin mengeras; ketiga, ruang privat menjadi kepanjangan tangan dari ruang publik yang diperlakukan secara semena-mena. Ini kemudian menghilangkan kontrol perempuan atas dirinya, atas rumahnya dan bahkan menghilangkan kontrol agama atas dirinya sendiri. Dalam naskah modernitas, tak hanya perempuan yang terusir, tetapi agama juga mengalami persoalan serupa. Apapun tafsirnya, dia harus masuk akal. Agama mengalami disfungsi dan devaluasi. Demikian juga perempuan (Ahmed 1992; Castelli & Rodman 2001; King 1995; Meyers & Dinan 2001; Woodhead 2001). Yang mengalami nestapa tak hanya perempuan, tetapi juga sejarah paling mula dari agama-agama—dimana para perempuan, mereka yang liyan, terusir dari tafsir-tafsir baru (baca, proses tekstualisasi/litererisasi), dus menghilangkan “cinta & kasih” dari agama. Dalam banyak penelitian yang membahas perempuan dalam relasinya dengan agama dan politik, amat jarang meletakkan perempuan sebagai agen aktif dalam perjuangannya. Naskah disertasi ini mencontohkan bagaimana perempuan bergerak melawan dan berswara untuk dirinya menuju sumber-sumber kekuasaan, atas tafsir, atas politik kenegaraan. Buku-buku sebelumnya yang banyak membahas perempuan sebagai agen politik dalam gerakan religius juga telah ada dalam lokus yang berbeda dari Indonesia, yaitu di Timur Tengah (Epstein 1981; Mahmood 2005; Deeb 2006). Tulisan ini berangkat dari asumsi dan pembuktian teoritis, serta masukan data disertasi ini, bahwa gender, agama dan politik bukanlah entitas-habis (esensialis), tetapi sebagai sebuah dimensi yang dapat berubah sesuai dengan pelekatan waktu, tempat dan lokasi kesejarahannya. Daripada memakai dikotomi, tulisan ini mendekati ketiga konsep tersebut dengan hibridasi dan fabrikasi. Hibriditas dapat hadir dalam hubungan antar kesejarahan dan lokasi waktu. Hibriditas tak hanya lahir dari perkawinan dua entitas tetapi juga “kelahi & seteru” antar keduanya. Kajian ini menyadari bagaimana rejim gender dalam konfigurasi politik kenegaraan dan keagamaan masih kuat menindas perempuan dan liyan. Tugas tulisan ini adalah menemukan agensi perempuan dalam fabrikasi kekuasaan itu. Tulisan ini tak hanya menyadari sepenuhnya bagaimana agama dan politik telah membentuk perempuan dan menyediakan relasi-relasi gender, tetapi juga terlebih menyadari bahwa perempuan juga membentuk, menyediakan, dan melakukan perubahan dan tranformasi atas pola-pola hubungan kekuasaan dan pola relasi gender. Analisis gender tak hanya menyediakan jawab atas persepsi dan peran perempuan dalam relasi itu, tetapi juga menyediakan penyebab mengapa gerakan perempuan terpecah-belah, misalnya: apa yang membuat mereka saling tak setuju, apa yang membuat mereka saling berlawanan atas isu tertentu, misalnya aborsi, dll. Dinamika relasi antar organisasi perempuan menunjukkan relasi kekuasaan, pertempuran, perseteruan, konsiliasi, rekonsiliasi, dll, yang terangkum dalam waktu, tempat dan konteks sejarah yang berubah-ubah dan tumbuh menerus. Tulisan ini tak hendak melakukan pemetaan, tetapi menunjukkan bagaimana politik dan permainan bahasa dalam lanskap linguistik modern dapat mengakibatkan ketaksalingpahaman dan keterputusan komunikasi abadi antara laki-laki dan mereka yang berada dalam ruang pengusiran linguistik. Negara (dalam logika administratif) dalam ketiga konsep ini mengalami perubahan makna dan negosiasi kekuasaan (Connell, 1990; Pierson, 1996). Dengan mengafirmasi bahwa gender dipahami sebagai pengetahuan yang menarasikan relasi kekuasaan berdasarkan makna-makna yang diasumsikan dari perbedaan-perbedaan narasi tubuh (Fuchs-Epstein 1988; Lorber 1994, 2005), tulisan ini menyadari sepenuhnya untuk mencatat pengalaman, kejadian, dan konstruksi sosial-kultural sebagai bagian dari disposisi feminisme untuk mengeluarkan perempuan dan liyan dari ruang pengusiran linguistik yang demikian represif—memerdekakan perempuan dari kategori yang menyesakkan. Dus, kajian ini menyadari sepenuhnya bahwa filsafat bahasa yang menandai kelahiran ketiga terma tersebut masih phallogosentris, yang mengafirmasi pengalaman dan praktik maskulin, saja. Penutup: Hasrat Kristeva Organisasi-organisasi perempuan baru yang dinarasikan dalam disertasi ini mereplika cermin-cermin yang disediakan dalam logos maskulin. Perempuan bertempur, berseteru, saling kerjasama, saling bermusuhan, melakukan negosiasi politik dalam gaya-gaya maskulin. Perempuan dengan tak-sadar, separuh-sadar, sepenuhnya-sadar, mengafirmasi tindak-tanduk yang sesuai dengan akal publik dan akal organisasi modern. Perempuan menerapkan, mengafirmasi, dan mengadopsi kosa-kata developmentalis yang nota bene, bisa jadi, tak ramah pada pengalaman-pengalamannya sendiri. Dalam filsafat feminisme, dikenal istilah Écriture Feminine, yang merujuk tulisan perempuan. Perempuan di sini bukan kata benda, tetapi sebagai atribut, sebagai inskripsi atas tubuh perempuan dalam bahasa dan teks. Istilah ini dikembangkan pada awal tahun 1970-an terutama oleh Helene Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva. Menurut mereka realitas maskulin mendominasi dalam realitas bahasa. Segala sesuatu yang dipelajari dalam bahasa merupakan perspektif laki-laki karena ekspresi bahasa perempuan dilihat tak masuk akal, emosional, dan kemudian tak penting. Dalam penamaan nama organisasi, kemudian, perempuan banyak mengadopsi kultur ini supaya organisasi mereka dianggap penting. Dalam The Laugh of Medusa (1975) Cixous tegas menekankan bahwa perempuan harus menulis dirinya sendiri, berangkat dari tubuhnya, dan perempuan tak perlu menceraikan pengalaman tubuhnya sendiri itu seperti halnya pengalaman laki-laki. Tubuh perempuan adalah pengalaman paling pertama, paling kaya yang dapat dinarasi ulang. Telah lama ekspresi-ekspresi tubuh perempuan dan hasrat-hasratnya diserupakan kapital, dus barang, dia kemudian menjadi yang diceritakan, dinarasikan, baik melalui kebijakan sampai dengan iklan. Khasanah ini meminta dengan sangat kepada tubuh untuk menceritakan dirinya sendiri, sebagai subjek yang utuh. Dia menghargai pengalaman tubuh sebelum ada bahasa, mengapresiasi non-linearitas, sirkulasi hormon, dan menjadikan organ-organ reproduksinya—yang sebelumnya disembunyikan oleh nalar-bahasa—sebagai modus ekspresi. Dia menyadari sepenuhnya bahwa bahasa bukanlah medium netral dan terus-menerus mencurigainya sebagai tak netral-gender. Bahwa kemudian perempuan dapat menemukan dirinya sendiri sebagai yang tak terpikirkan, tak terkatakan, via kata-kata, dan karenanya kemudian perempuan ada. Semiotika Kristeva dibangun dari perlawanannya atas Ferdinand de Saussure yang meletakkan pengalaman seluruh manusia pada fase pra-Oedipal sebagai fase indah, dimana pengalaman manusia bergantung pada insting, yaitu prosodi bahasa. Hasrat-hasrat manusia yang utuh, tak tercela, tak terpolusi akal ini bersifat ritmis dengan penanda tekanan, intonasi, atas ironi, sarkasme, kontras, fokus, dan elemen lain dalam grammar dan kosa-kata yang sungguh-sungguh murni. Saat fase ini, peran rahim, pengindukan, penyusuan dari ibu menghantarkan anak-anak manusia kemudian kepada rahim sosial yang bersifat amat kompetitif, rasional, sok-netral, birokratis dan formal a la Freudian. Segala yang puitis, ritmis, kemudian kehilangan struktur kekuasaannya dalam ekspresi rasional, yang kemudian mengalami pengusiran dalam kotak-kotak dan apartemen baru. Pengenalan pertama diri manusia adalah ketika anak-anak menghadap cermin, pada saat itulah fungsi sosial dari diri memisahkan-menceraikan status “hasrat-bahasa” pada “logika-bahasa”. Kemudian hadirlah ruang simbolik. Kemudian pertarungan simbolik ini difasilitasi oleh politik bahasa. Perempuan, dan organisasi-organisasi yang didirikan perempuan, sesungguhnya, sedang bermain-main dengan alat yang digunakan oleh laki-laki sebelumnya. Selama dia belum menggali pengalamannya sendiri, dia belum akan menemukan kemenangan atas dirinya sendiri untuk sampai pada subjektivitas, kalau tidak jatuh dalam proses abjektivitas (meminjam Kristeva, dalam perpisahan diri anak setelah melihat cermin). Dalam Desire in Language (1980), Kristeva menjelaskan bahwa dalam fase anak sebelum bertemu dengan cermin, anak-anak murni menjadi “subjek-tutur”, setelah menatap cermin—siapa pun dia, baik laki-laki, perempuan atau minoritas seksual—kemudian akan mengadopsi kultur dan nilai maskulin yang telah lama dirintis oleh sang “ayah”. Mereka kemudian tak lagi menjadi subjek-tutur, mereka adalah “abjek-tutur”. Hasrat utama Kristeva adalah mengembalikan ekspresi bahasa perempuan paling pertama, yang telah terepresi sepanjang zaman dan terperangkap dalam logika simbolik yang maskulin melalui semiotika. Dia ingin mengembalikan estetika bahasa yang mengalami rasionalisasi parah oleh modernitas. Kemerdekaan bahasa ditandai oleh daya pikatnya yang berangkat tak hanya dari daya serapnya atas energi maskulin, tetapi juga kontinuum antara yang maskulin dan feminin. Bahwasanya segala sesuatu tak melulu berada dalam bi-polarisasi yang menyesakkan, tetapi yang membebaskan manusia dari abjektivasi dirinya sendiri, juga objektivasi apa-apa dalam simbolisasi bahasa. Kristeva mengguncang pra-konsepsi atas konsep-konsep, dus mengembalikan makna pada si empu, si pencipta bahasa, yaitu manusia. Dia menghilangkan beban, represi, penghilangan dan proses-proses ketersembunyian perihal di luar rasionalitas. Dia terus-menerus mencurigai apa-apa yang diberikan oleh bahasa secara definitif, dengan mendayagunakan nalar istingtif, nalar hasrat, juga nalar dari keringat pengalaman. Dari sini silsilah kata-kata, akar makna, dicurigai secara abadi jika tak mengemban amanat adil. Dus, aksioma-aksioma tak boleh semena-mena menetapkan kategori-kategori dan politik bahasa adalah sebuah permainan liar yang pada pandangan pertama menolak untuk didefinisikan. Dus, menolak sistematisasi. Karenanya politik bahasa diturunkan dalam politik linguistik yang selalu bekerja untuk terus bertanya: apa, kapan, dimana, siapa, mengapa, bagaimana, dengan cara apa, dan lain-lain. Sejarah bahasa ini membawa investigasi kepada ketiga konsep: gender, agama dan politik pada tak hanya kontestasi makna, tetapi juga, paling penting, “kontestasi eksistensi”. Pertanyaannya adalah apakah perempuan benar-benar dapat eksis dengan mengadopsi logika maskulin dalam linguistik modern? Apakah perempuan telah membangun tradisi percakapannya sendiri untuk mereprentasikan ruang-ruang simbolik dalam memperjuangkan naskah-naskah ideologisnya? Apakah perempuan kemudian, menjadi lebih piawai, dalam mengadopsi, melakukan praktik-praktik kebahasaan yang tak mengafirmasi pengalaman-pengalaman tubuhnya sendiri? Seperti bahwasanya, apakah memungkinkan bagi perempuan menyusui bayinya dalam ruang pertemuan organisasi yang mereka bangun sendiri? Apakah sesama perempuan kemudian saling melarang perjumpaan intim antara balita dan dirinya dalam ruang-ruang kerja dari organisasi yang dia bangun sendiri? Apakah perempuan-perempuan tunduk, dan selalu mengiyakan arus, migrasi, dan impor konsep-konsep baru yang dilahirkan dalam khasanah lanskap teori pembangunan? Apakah perempuan-perempuan sudi, mau, rela, menggunakan bahasanya sendiri, ekspresinya sendiri, yang di dalamnya mengandung kata-kata, yang bahkan, dalam terminologi filsafat “barat”—hampir-hampir tak terjelaskan, tak ter-tarjamah-kan? Apakah perempuan menyadari sepenuhnya bahwa modernitas menawarkan banyak kompartmentalisasi dan bersamaan ghettoisasi atas bahasa-bahasa “lisan”, “lokal”? Bagaimana perempuan menamai dirinya, organisasinya, ideologinya, gerakannya? Dan lain-lain. Daftar Pustaka Affiah, Neng Dara. Disertasi “Gerakan Perempuan Muslim Progresif di Indonesia sebagai Gerakan Sosial Baru: Studi Kasus Ogranisasi-Organisasi di Jawa tahun 1990-2010” di FISIP Universitas Indonesia, Oktober 2014. Ahmed, Leila. 1992. Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. New Haven, CT, and London: Yale University Press. Casanova, Jose. 1994. Public Religions in the Modern World. Chicago and London: University of Chicago Press. Castelli, Elizabeth A., and Rosamond C. Rodman. 2001. Women, Gender, Religion: A Reader. New York: Palgrave Macmillan. Castells, Manuel. 2004. The Power of Identity. Cambridge, MA, and Oxford: Blackwell. Connell, Robert W. 1990. The State, Gender and Sexual Politics. Theory and Society 19: 507–44. Davie, Grace. 2001. The Persistence of Institutional Religion in Modern Europe. In Peter Beger and the Study of Religion, ed. Linda Woodhead, Paul Heelas, and David Martin, pp. 101–11. London: Routledge. Deeb, Lara. 2006. An Enchanted Modern: Gender and Public Piety in Shi’I Lebanon. Princeton, NJ: Princeton University Press. Eisenstadt, Shmuel Noah, ed. 2002. Multiple Modernities. New Brunswick, NJ: Transaction Publishers. Eisenstadt, Shmuel Noah. 2005. Modernity in Socio-Historical Perspective. In Comparing Modernities: Pluralism versus Homogeneity, Essays in Homage to Shmuel N. Eisenstadt, ed. Eliezer Ben Rafael and Yitzhak Sternberg, pp. 31–56. Leiden, Boston: Brill. Epstein, Barbara Leslie. 1981. The Politics of Domesticity: Women, Evangelism, and Temperance in Nineteenth-Century America. Middletown, CT; Irvington, NY: Wesleyan University Press; distributed by Columbia University Press. Fenn, Richard K. 2001. The Blackwell Companion to Sociology of Religion. Oxford, UK, and Malden, MA: Blackwell Publishers. Fraser, Nancy. 1987. What’s Critical about Critical Theory? The Case of Habermas and Gender. In Feminism as Critique: Essays on the Politics of Gender in Late-Capitalist Societies, ed. Seyla Benhabib and Drucilla Cornell, pp. 31–56. Minnesota: University of Minnesota Press. Fuchs-Epstein, Cynthia. 1988. Deceptive Distinctions—Sex, Gender, and the Social Order. New Haven, London, New York: Yale University Press and Russell Sage Foundation. Gorski, Philip S. 2003. Historicizing the Secularization Debate: An Agenda for Research. In Handbook of the Sociology of Religion, ed. Michele Dillon, pp. 110–22. Cambridge: Cambridge University Press. Hamilton, Peter. 1996. The Enlightenment and the Birth of Social Science. In Modernity, An Introduction to Modern Societies, ed. Stuart Hall, David Held, Haraway, Donna. 1991. Simians, Cyborgs and Women: The Reinvention of Nature. London: Free Association Book. Helly, Dorothy O., and Susan M. Reverby. 1992. Gendered Domains: Rethinking Public and Private in Women’s History: Essays from the Seventh Berkshire Conference on the History of Women. Ithaca, NY: Cornell University Press. hooks, bell. 1990. Yearning—Race, Gender, and Cultural Politics. Boston: South End. Kamali, Masoud. 2005. Multiple Modernities, Civil Society and Islam: The Case of Iran and Turkey. Liverpool: Liverpool University Press—Studies in Social and Political Thought. Kamrava, Mehran. 2006. The New Voices of Islam: Reforming Politics and Modernity: A Reader. London, New York: I. B. Tauris. Karam, Azza M., ed. 2004. Transnational Political Islam: Religion, Ideology and Power. London, Sterling, VA: Pluto Press. Kaya, Ibrahim. 2004. Modernity, Openness, Interpretation: A Perspective on Multiple Modernities. Social Science Information 43: 35–57. King, Ursula, ed. 1995. Gender and Religion. Oxford, UK, and Cambridge, MA: Blackwell. Kristeva, Julia. 1986. “Revolution in Poetic Language.” The Kristeva Reader. Ed. Toril Moi. New York: Columbia University Press. 89-136. Kristeva, Julia. 1980 (later Ed.). Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art. NY: Columbia UP. Latour, Bruno. 1993. We Have Never Been Modern. Cambridge, MA: Harvard University Press. Lorber, Judith. 1994. Paradoxes of Gender. New York, London: Yale University Press. ––––––. 2005. Breaking the Bowls—Degendering and Feminist Change. New York, London: W. W. Norton. Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton, NJ: Princeton University Press. Meyers, Deborah, and Susan Dinan. 2001. Women and Religion in Old and New Worlds. New York: Routledge. Merriam-Webster Online Dictionary. 2009. http://www.merriam-webster.com/dictionary/modern. Accessed October 14, 2014. Norris, Pippa, and Ronald Inglehart. 2004. Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide. Cambridge and New York: Cambridge University Press. Oommen, T. K. 2005. Challenges of Modernity in an Age of Globalization. In Comparing Modernities: Pluralism versus Homogeneity, Essays in Homage to Shmuel N. Eisenstadt, ed. Eliezer Ben Rafael and Yitzhak Sternberg, pp. 150–69. Boston: Brill. Pateman, Carole. 1989. Feminist Critiques of the Public/Private Dichotomy. In The Disorder of Women: Democracy, Feminism and Political Theory, ed. Carole Pateman, pp. 118–40. Cambridge: Polity Press. Pierson, Christopher. 1996. The Modern State. London and New York: Routledge. Shenhav, Yehouda. 2007. Modernity and the Hybridization of Nationalism and Religion: Zionism and the Jews of the Middle East. Theory and Society 36: 1–30. Taylor, Charles. 2002. Modern Social Imaginaries. Public Culture 14: 91–124. Thompson, Elizabeth. 2003. Public and Private in Middle Eastern Women’s History. Journal of Women’s History 15: 52–69. Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organizations. Glencoe, Scotland: Free Press and the Falcon’s Wing Press. Weber, Max, Guenther Roth, and Claus Wittich. [1922] 1978. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley: University of California Press. Woodhead, Linda. 2001. Feminism and the Sociology of Religion: From Gender-Blindness to Gendered Difference. In The Blackwell Companion to Sociology of Religion, ed. Richard K. Fenn, pp. 67–84. Oxford, UK, and Malden, MA: Blackwell. Gadis Arivia Pendiri Jurnal Perempuan gadis.arivia.e@gmail.com Pada tanggal 10 Oktober 2014, dunia menerima berita yang baik. Malala Yousafzai berumur 17 tahun memenangkan hadiah Nobel yang amat bergengsi. Ia seorang perempuan asal Pakistan yang ditembak Taliban pada tahun 2012 tepat di kepalanya. Malala mengisahkan hari naas itu sebagai berikut: Hari ketika semua berubah yaitu pada hari Selasa, 9 Oktober 2012. Hari itu bukanlah hari terbaikku, karena hari ujian, meskipun bagiku biasa saja karena aku memang kutu buku…Ketika bus kami datang, kami berlari ke bawah lewat tangga. Sebelum keluar sekolah, teman-teman perempuan menutupi rambut mereka dan naik ke atas bus yang kami sebut dyna, truk merek Toyota TownAce. Saat bus sedang berjalan tak jauh dari pemberhentian bus, seorang anak laki-laki muda berjanggut menghadang bus kami. Ia bertanya kepada pengemudi, “apakah ini bus Khushal School? Pengemudi kami, Usman Bhai Jan menganggap pertanyaan ini bodoh sebab jelas di bus kami tertulis nama sekolah kami. “Saya membutuhkan informasi tentang salah satu anak,” kata laki-laki tersebut. “Ya, seharusnya anda ke kantor,” kata Usman Bhai Jan. Saat mereka sedang berbicara seorang laki-laki lain naik ke atas bus. Temanku Moniba mengatakan, “Lihat, itu mungkin wartawan mau mewawancara.” Memang aku seringkali berbicara di publik tentang pentingnya pendidikan untuk anak perempuan, ikut berkampanye soal pendidikan perempuan dengan ayahku dan menentang Taliban yang tidak menginginkan anak perempuan sekolah. Banyak wartawan asing yang datang melakukan wawancara tapi tidak pernah di tengah jalan seperti ini. “Dimanakah Malala?” teriak laki-laki tersebut. Tidak ada yang berbicara, tapi beberapa anak perempuan melihat kepadaku. Aku satu-satunya perempuan yang tidak menutupi muka. Pada saat itulah laki-laki itu mengeluarkan pistolnya. Aku tahu belakangan pistol tersebut berjenis Colt.45. Beberapa perempuan berteriak. Moniba temanku mengatakan ia meremas tanganku. Teman-temanku bercerita, laki-laki itu menembak tiga tembakan secara beruntun. Satu tembakan masuk ke dalam mata kiriku dan keluar mengenai bahuku. Dan aku jatuh ke pangkuan Moniba, darah mengucur dari kuping kiriku. Dua peluru lainnya mengenai tangan kiri Shazia dan peluru ketiga mengenai tangan kanan Kaint Riaz. Ayahku mengatakan bahwa orang yang menembakku tangannya bergetar saat membidikku. Saat aku sampai di rumah sakit, rambut panjangku dan pangkuan Moniba pernuh bersimbah darah. (Sumber: I Am Malala, 2013) Buku Malala yang berjudul "I Am Malala", memuat ekspresi seorang anak perempuan yang rindu akan dunia yang tidak dimiliki kebanyakan perempuan. Ia menginginkan dunia yang ramah dan bermartabat pada perempuan. Sebuah tulisan yang menggugah dan membuat kita terhenyak betapa perempuan masih banyak yang tidak dapat menikmati kebutuhan dasar mereka yaitu hak pendidikan. Tulisan yang ditulis oleh seorang remaja perempuan ini membuat air mata kita berlinang, tak membayangkan kepedihan yang dirasakan Malala. Adalah Hélène Cixous, seorang novelis, bereksperimen dengan sastra, dan akhirnya menemukan bahwa ada perbedaan antara feminine writing dengan masculine writing. Cara menulis maskulin menurutnya berakar pada alat vital laki-laki dan libidonya, yang dibungkus oleh phallus. Dan karena alasan-alasan sosio-kultural, penulisan maskulin telah lama dianggap superior dibandingkan cara penulisan feminin. Cara penulisan maskulin berkiblat pada kepentingan dirinya sendiri, bahkan seluruh dunia dianggap berkiblat pada dirinya, apa yang bermakna hanya yang mempunyai hubungan dengan manusia laki-laki. Karena laki-laki seringkali mendapatkan privilese dalam pendidikan maka tulisan laki-laki di dalam teks budaya, hukum, agama, ekonomi dan sosial berkiblat pada laki-laki. Sehingga, perempuan eksis di dalam dunia yang telah didefinisikan oleh laki-laki atau yang telah dipikirkan oleh laki-laki. Cixous menantang perempuan untuk menulis tentang dirinya di luar dunia dan pikiran laki-laki. Suatu tulisan yang datang dari hasil catatan-catatan perempuan tentang perasaan, pemikiran dan denyut kehidupannya yang ia alami dan rasakan. Sebuah tulisan yang tidak perlu masuk dalam aturan-aturan bahasa yang ada yang dikemas dalam Aturan Simbolis, ciptaan laki-laki. Dengan demikian, feminine writing menjadi terbuka, plural, penuh ritmik, kegairahan, dan memunculkan segala kemungkinan-kemungkinan. Inilah yang saya saksikan selama lebih dari 18 tahun sejak Jurnal Perempuan mulai berdiri, tulisan-tulisan perempuan tentang dunia mereka, bagaimana mereka memaknainya, sungguh kaya. Baik tulisan-tulisan berupa karya akademis maupun tulisan-tulisan berupa puisi dan cerpen. Ratusan artikel dan puisi telah dituliskan di Jurnal Perempuan dan hasilnya menakjubkan! Betapa perempuan Indonesia kaya akan ekspresi diri dan pemikirannya. Sesungguhnya kita memiliki penulis-penulis perempuan yang luar biasa. Simak karya Toeti Heraty dalam Calon Arangnya. Feminine writing yang dilakukan oleh Toeti Heraty terlihat bebas, liar dengan imajinasi, tanpa kekangan, kata-kata yang terus mengalir tidak bisa dibendung, ia melepaskan ikat tali segala “norma-norma” yang melilit. Nenek sihir dengan rambut terjurai lidah terjulur, taring dan kuku mencengkeram dengan susu bergayutan, dia juga perempuan lanjut usia yang kebablasan geramnya (hal. 1). Janda, adalah perempuan ditinggalkan kekasihnya antara perawan jatuh cinta, dan janda yang meratap kehilangan, ada jurang kesenjangan - janda dengan berbaring di ranjang, rasa hampa, yang berdetak di vagina didekapnya guling, ini pulakah dialami oleh Calon Arang yang berang (hal. 15) Calon Arang memperlihatkan kepada kita bahwa perempuan mampu untuk memberontak dengan membiarkan bahasa-bahasanya berlari bebas ke segala arah. Karya Toeti mengajak para pembaca untuk bergairah karena hanya dengan GAIRAH/KEINGINAN bukan semata RASIO perempuan dapat bebas dari struktur-struktur pemikiran yang sudah dipatok oleh laki-laki. Posisi penulis perempuan memang sulit. Para penulis perempuan seperti perempuan-perempuan pada umumnya telah dikonstruksi sebagai yang “lain” atau memiliki jenis kelamin yang “kedua” (bukan yang diunggulkan). Jenis kelamin ini telah dilabelkan lemah, tidak bisa dipercaya, perlu dilindungi, tidak mandiri, dan sebagainya. Problem dari subjek perempuan yang tidak mempunyai tempat, tidak dianggap (absen), telah membuat para penulis perempuan khawatir. Simone de Beauvoir, Kate Millet, Luce Irigaray merupakan sebagian perempuan yang berusaha menulis kompleksitas pengalaman perempuan yang dibentuk oleh masyarakat patriarkal dan diperkuat oleh institusi-institusi masyarakat yang ada. Kate Millet bahkan meneliti tentang penulisan sastra tahun 1830-1930 yang ia temukan penuh dengan pernyataan-pernyataan misogini. Ada tiga kesimpulan yang ia dapatkan, pertama, adalah adanya paradigma sentimental perempuan yang saleh, ibu yang baik, dan gadis yang malu-malu; kedua, proyeksi perempuan sensual dan kuat sebagai si penggoda, perusak rumah tangga perusak nilai-nilai keutuhan, dan pada dasarnya iblis; ketiga, adalah harapan sebagian sastrawan yang menginginkan adanya pembebasan serta reformasi sosial dan budaya. Bentuk ketiga kita jumpai dari penulis-penulis seperti Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami. Hal yang paling menarik bagi para feminis ketika membaca novel Saman karya Ayu Utami adalah wacana seks yang dibangun oleh keempat tokoh perempuan Laila, Shakuntala, Yasmin, dan Cok. Ada lima isu seksualitas yang diungkapkan di dalam novel ini, yakni stereotip perempuan atas seks, ketubuhan, keperawanan, hubungan seksual, dan perkosaan. Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal. Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku. Aku tidak menghormati mereka (hal. 115). Pembongkaran stereotip di dalam pernyataan di atas sungguh menarik. Ada paling tidak tiga pembongkaran; yang pertama adalah pembongkaran bahwa seorang perempuan harus “baik-baik”, a-seksual, tidak melakukan eksperimen seks. Yang kedua, penghormatan orang terhadap perempuan bukan berdasarkan pribadinya akan tetapi berdasarkan perilaku seksualnya (yang harus mempertahankan keperawanan). Perempuan yang telah tidur dengan laki-laki sebelum menikah disebut sundal. Pembongkaran ketiga adalah pemberontakan Shakuntala terhadap kakak dan ayahnya. Pemberontakan-pemberontakan keempat tokoh ini terus-menerus menghujat masyarakat patriarkal. Perempuan dalam penulisannya yang sangat personal bergerak dalam kerangka di luar penulisan umum. Menulis di luar “kotak” yang ditentukan merupakan upaya perempuan untuk mendobrak keterkungkungan bahasa yang dirasakan. Berpikir dan menulis di dalam “kotak” (yang ditentukan laki-laki) membuat perempuan kehilangan makna yang dicari, membingungkan, dan tidak mengerti aturan-aturan yang bermain di dalam dunia simbolik. “Kotak” yang dipaksakan merupakan suara otoritas laki-laki yang selalu memeriksa, menakutkan, membodohkan, menguburkan dan menciutkan diri, dan membekap nafas perempuan untuk berekspresi. Tidak sedikit feminis yang memakai medium sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki. Sebut saja Alice Walker pemenang Pulitzer Prize untuk bukunya The Color Purple. Alice Walker mengangkat pena menulis lebih dari tujuh novel dengan komitmen sebagai seorang feminis, ibu, dan perempuan kulit hitam. Ia bahkan mengingatkan bahwa tradisi menulis untuk melawan diperoleh dengan susah payah oleh perempuan dalam sejarahnya. Seorang tokoh dalam sebuah novel berjudul Second Class Citizen (1962) bernama Adah memberikan inspirasi Walker. Betapa Adah demi cita-cita untuk menulis, meninggalkan suaminya yang seringkali merobek hasil karyanya karena dianggap remeh temeh, terus menulis kehidupan perempuan yang dianggap tidak penting. Satu-satunya harapan yang menyemangati jiwa menulisnya adalah anak-anaknya sebagai sumber inspirasi agar kelak dapat mengemukakan perasaannya dengan bebas di atas kertas. Demi anak-anaknya pula, ia rela bangun jam empat pagi menulis dan menulis sebelum disibukkan oleh persiapan anak sekolah, memasak, membersihkan rumah, dan bekerja untuk menyambung hidup anak-anaknya. Dalam keadaan terkoyak namun tulus demi sebuah cita-cita, Adah mengalirkan kalimat-kalimat yang diukir huruf-hurufnya lewat sanubarinya yang terdalam. Memang tidak pernah ada penghargaan yang diraihnya, namun, ukiran hurufnya meninggalkan kesan mendalam paling tidak di Alice Walker yang kemudian mengalirkan inspirasi Adah kepada penulis perempuan di seluruh dunia. Kembali kita teringat kepada Malala Yousafzai yang telah memberikan inspirasi kepada kita semua saat ini. Malala bertanya: Siapakah Malala? Akulah Malala. Bila seseorang merampas penamu saat itulah kamu sadar betapa pentingnya pendidikan. Ada pepatah mengatakan, “Pena lebih sakti dari kata-kata”, ini benar. Para ekstrimis takut pada buku dan pena. Kekuatan pendidikan membuat mereka takut. Mereka takut pada perempuan. Kekuatan suara perempuan membuat mereka takut. Karena mereka takut pada perubahan, takut pada kesetaraan. (Sumber: Pidato PBB, 2013) Sekarang saya ingin bertanya pula, “siapakah kita penulis perempuan?” Kita adalah penghuni kamar bersalin yang melahirkan peradaban kesetaraan. * Sebagian gagasan diambil dari buku Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, Kompas, 2006. Pengantar Di banyak negara perempuan bertanggung-jawab untuk mengumpulkan air untuk keluarganya. Paling kentara adalah di masyarakat perdesaan, dimana kran-kran air tidak ada, kecuali bahwa mereka harus menggendong air-air di atas kepala atau punggung mereka. Ibu, istri, anak perempuan menggunakan air untuk minum keluarga, memasak, mencuci, memberi suplai pada tanaman dan hewan atau ternak peliharaan. Mereka berjalan berkilo meter, kadang bermil-mil untuk sampai kepada air. Suplai air di Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih Pegunungan Kendeng Rembang cukup kaya. Bahkan CAT Watu Putih dipakai PDAM Rembang dan Blora untuk mendukung penduduk dua kabupaten ini. Sukinah tinggal mengebor air beberapa meter, dan air bening berlimpah dapat keluar. Tak kurang dari belasan air sungai mengaliri sawah-sawah dan tanaman palawija di daerahnya. Kesuburan ini tak tergantikan dengan nominal uang apapun. Warga desa biasa saling membagi sayur, membagi empon-empon (kunyit, jahe, palawija dan lainnya). Mereka hidup guyub rukun tak kurang suatu apa. Hasrat etis dari perempuan-perempuan yang mengelola air dapat dijumpai dari bagaimana mereka menampung beban-beban pekerjaan domestik sekaitan dengan air dalam pengasuhan atas anak-anak, atas keluarga, atas ternak, atas tanaman-tanaman yang menjadi tanggung jawab ekonomi subsisten keluarga. Penduduk Watu Putih menanam padi, dan tidak menjualnya, atau mengganti bilangan beras menjadi bilangan rupiah. Tetapi tradisi ini kemudian lama-lama terkikis dengan hadirnya pelbagai tambang di Pegunungan Kendeng. Mulai dari tambang galian pasir, tambang semen, dan pembalakan pohon-pohon Jati untuk kebutuhan industri mebel. Kelangkaan air mulai dirasakan sejak tahun 2000-an. Sejak Soeharto turun di 1998, dan sejak otonomi daerah di tahun 2000, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) oleh politisi dan pengusaha daerah marak dan tak terkendali lagi. Nurani lokal atas intrusi, intervensi, dan pengingkaran hak-hak ekologis warga lokal ini mempercepat friksi dan konflik horizontal tak hanya di kalangan warga Peg Kendeng, tetapi menyebar di luar Peg Kendeng. Laki-laki, perempuan, anak-anak memboikot tambang-tambang lokal, kadang memblokir jalan-jalan agar kendaraaan berat tidak lewat untuk mengeruk dan menghabisi SDA di sekitar perdesaan mereka. Kemudian banyak laki-laki dikriminalisasi dan ditangkapi. Rembug desa kemudian memutuskan bahwa perempuanlah, ibu-ibu, para istri, para anak-anak perempuan, yang kemudian keluar dari rumah, menduduki tapak-tapak tambang. Mereka bahu-membahu membangun tenda, dan mengebor air untuk kebutuhan sehari-hari sambil dilibas kendaraan berat yang lalu-lalang setiap harinya. Substitusi, reversi, pembalikan peran ini akan menjadi pisau kajian dalam analisis ini. Yaitu, peran politik perempuan dalam menolak tambang semen di CAT Watu Putih Peg Kendeng Rembang. Pendekatan yang dipakai adalah ekofeminisme dengan menitikberatkan pada kaitan antara kesehatan reproduksi dan perubahan iklim, yaitu kelangkaan air di Watu Putih. Kajian ini menjadikan Sukinah, perempuan yang memimpin protes tolak tambang semen dan pada 23 September 2014 genap 100 hari menduduki mulut masuk tapak tambangnya, sebagai salah satu representasi utama dalam narasi tulisan ini. Paradigma Politik Ekologi Rahim: Bayart, Foucault & Carson Jean-François Bayart memperkenalkan konsep politik perut (la politique du ventre) di tahun 1993 untuk mengurai beberapa kata kunci, yaitu. Pertama, politik diukur dari apa yang masyarakat makan. Politik mengukur derajad kerakusan manusia dalam konsumsi. Dalam perihal ini politisi dimata-matai dari hasratnya untuk berkuasa via menguasai sumber-sumber pangan primer sebuah negara. Konsepsi kekuasaan adalah apa-apa yang dimakan dan dikonsumsi warga-negaranya. Hirarki dan sejarah kekuasaan dapat dilacak bagaimana penguasaan atas bahan-bahan pokok dimainkan oleh politisi dan penguasa. Hirarki politik yang menghasilkan kelas ini kemudian juga melahirkan solidaritas aksi-aksi empatik jika sumber-sumber pangan kelas tertentu terancam langka atau punah. Kedua, rahim sebagai metafora dari perut, yang menguasai pangkal dari segala hajat reproduksi sebuah bangsa. Penguasaan politis atas rahim merupakan kunci kepada kekuasaan. Kapasitas kekuasaan dilekatkan pada tubuh perempuan dan lanskap penguasaannya adalah kontrol negara atas organ-organ reproduktif dan seksual perempuan. Ambisi-ambisi politik ini mengambil topeng dalam aturan-aturan moral yang dilayangkan hanya kepada perempuan, saja. Bagaimana kontrol atas alat kontrasepsi, kontrol atas perilaku seksual, kontrol atas status tubuh (perawan, janda, dll), kontrol atas pakaian, dan lain-lain—yang kesemuanya tak ada atas tubuh laki-laki. Politik benar-benar tak berdaya di hadapan rahim. Dus pemiliknya, hanya perempuan saja, harus dikontrol, dimanajemen, diatur, dan ditundukkan via kebijakan, hukum, undang-undang, perda, perbub, dan lain-lain agar patuh. Separuh warga-negara ini merupakan kapital paling vital yang harus dapat ditundukkan oleh sebuah negara—atau dia akan menjadi negara gagal. Perihal kedua ini memaparkan bagaimana politik rahim menekankan bahwa perhatian atas organ reproduksi perempuan merupakan kunci dari generasi, persaudaraan, dan konstruksi lanskap peradaban. Status yang tidak setara antara perempuan dan negara dalam mengontrol tubuhnya ini merupakan salah satu wajah ketahanan nasional yang penting diundangkan. Skenario untuk membajak otoritas perempuan atas rahimnya ini merupakan skenario negara paling pertama untuk membangun indeks demografinya. Politik rahim menaruh perhatian serius pada konsistensi dan disiplin dalam meregulasi reproduksi separuh warga-negaranya. Reproduksi merupakan cermin dari kehidupan sosial yang mendemonstrasikan dan menarasikan bagaimana kegiatan dan hasrat intim manusia menjadi sumber daya negara paling potensial. Dari satu kata kunci ini kemudian dapat dilahirkan konsep-konsep lain, yaitu kelahiran, sunat/sirkumsisi, pernikahan, kehamilan, rumah tangga, generasi, masyarakat dan lain-lain. Perempuan seumpama tubuh yang menjadi mesin-mesin pencetak manusia—karena sebuah negara mengalami paranoia keberlangsungan spesiesnya (ras/etnis). Dalam lanskap sejarahnya, status perempuan, kesehatannya, dan intimitas antara mereka dan laki-laki menjadi subjek kajian dari kebijakan-kebijakan. Maka perlu ada aturan-aturan untuk menghindari kerugian-kerugian negara. Kajian ini memberikan fokus pada hubungan antara gender, generasi dan tata kelola sumber daya alam di Watu Putih Rembang. Bagaimana politik mengacu pada infrastruktur konsumsi manusia akan makanan dan juga kesehatan reproduksi perempuan mendapat perhatian utama dalam kajian kehadiran tambang semen di wilayah mereka. Kontroversi dan percakapan atas reproduksi menarasikan bagaimana hirarki kekuasaan telah menstimulasi kebijakan-kebijakan yang kemudian menjadikan tubuh perempuan, tubuh air, tubuh tanah, tubuh ekosistem sebagai modal dan kapital sebuah sistem masyarakat—tanpa mempertimbangkan hak paling asasinya: hak hidup. Politik rahim ini, meminjam Bayart, juga telah didedahkan sebelumnya oleh Foucault dalam terminologi yang lebih luas lagi yaitu ‘bio-power’. Sejak 1980-an para sarjana meminjam terminologi Foucault untuk mengarahkan pranala pada modus negara menguasai, mengeksploitasi, dan mengontrol seksualitas warga negaranya (1980). Ada relevansi antara bio-power dengan teknologi politis yang diletakkan dalam rahim perempuan sebagai kalkulasi eksplisit untuk mendefinisikan populasi dan menjadikan kesehatan dan hak reproduksi & seksualitas menjadi salah satu kepentingan negara. Perihal ini diawali dari kelakuan Eropa pada masa kolonialisme untuk mengatur populasinya sendiri dan ras/etnis yang mereka duduki di belahan dunia lain. Mereka kemudian menciptkan pemisahan etnis/ras (separation), hirarki, dan meregulasi seksualitas sebagai bagian dari bio-power. Yaitu, pernikahan, keluarga, dan lain-lain—yang menurut Eropa, pribumi demikian primitifnya. Heteroseksualisme a la Freudian merupakan cap negara paling pertama atas apa yang disebut sebagai keluarga. Imperialisme Eropa memiliki tanggung-jawab besar dalam menghapus praktek-praktek seksualitas dan perkawinan yang berbeda dari mereka, dengan cara dihilangkan, diatur, atau dikriminalkan (Foucault, 1991). Dan ini menciptakan disiplin-disiplin seksualitas yang mengekang, kaku, dan heteroseksis, yang langgeng sampai dengan sekarang di negara-negara poskolonial. Namun demikian, bio-power ini tidak hanya menciptakan model-model penundukkan, tetapi juga model-model resistensi. Resistensi, negosiasi, dan penolakan-penolakan masih kentara sampai dengan sekarang via praktek-praktek budaya yang disembunyikan dari stigma-stigma buruk dari penguasa dan negara modern. Praktek-praktek seksualitas, intimitas, kehamilan di luar pernikahan diberi label sebagai kejijikan dan amoral. Dus negara memiliki hak untuk mengintervensi via pernikahan masal, misalnya. Bahkan, lebih buruk, praktek-praktek perdukunan perempuan yang membantu perempuan lainnya dalam bersalin, kelahiran, menyusui, dan mengasuh anak dikriminalkan sebagai berbahaya dan diganti dengan kedokteran modern yang mendekati tubuh ibu, tubuh bayi, hubungan antara ibu dan bayi sebagai hubungan fisiologis semata. Dus, menghilangkan akar-akar ekologis yang memasukkan unsur-unsur alam dalam pengasuhan bayi-bayi tersebut. Penyembuhan, pemeliharaan, diganti dengan terminologi ‘penyakit’, dan pengobatan diganti dengan farmasi modern yang tidak lagi diketahui darimana obat-obatan itu berasal. Penyembuhan yang dapat mereka petik dari kebun-kebun sekitar rumah dan hutan desa kemudian pelan-pelan ditinggalkan dan diganti dengan obat-obatan yang alat tukarnya adalah—mau tidak mau—uang. Praktek-praktek lain yang dihilangkan termasuk ritual-ritual, upacara-upacara adat dalam melepas bayi kepada tanah. Tanah dianggap sebagai ibu, ‘tedhak siti’, yang dihargai dihormati, sebagai wujud ibu yang lain. Setelah keluar dari rahim ibu, anak-anak dilepaskan menuju rahim tanah, rahim bumi. Dari ritual ini ada kesetaraan posisi antara manusia dan bumi. Bumi sebagai organisme dan makhluk hidup. Perihal ini berbeda dengan paradigma modern yang menganggap bumi bagian dari kapital yang dianjurkan untuk dieksploitasi semaksimal mungkin. Apalagi kandungan mineral di dalam tanah. Tak dianggap sebagai tubuh sebagaimana tubuh manusia. Paradigma tambang dibangun dari paradigma ini. Eropa kemudian menciptakan terminologi dualisme: tradisional-modern, beradab-tak beradab, barbar, dukun-dokter, dan lain-lain. Rahim adalah lokus dimana pertempuran tak hanya dilakukan oleh negara, agama, dan praktek-praktek budaya tetapi juga filsafat modern yang memandang tubuh lingkungan sebagai semata produk dan kapital saja. Perempuan kemudian tak sungguh-sungguh bisa memiliki otoritas, hak dan kepemilikan atas rahimnya sendiri, atas tubuhnya sendiri. Kampanye-kampanye pemerintah kolonial pada waktu itu mentarget perempuan, kehamilan di luar nikah, kelahiran, dan lain-lain dengan memperkenalkan hirarki moral atas dasar perilaku seksualitas. Pernikahan formal dan tercatat kemudian diperkenalkan, dan ritual pernikahan adat dianggap sebagai tidak lagi valid. Perihal ini memberikan efek anutan pada pola relasi antara anak perempuan, gadis-gadis, janda-janda, pada saudara laki-lakinya, ayahnya, kakek, dan pasangan/suami. Revisi-revisi dilakukan terutama agar tidak terjadi pernikahan dalam klan-klan keluarga sendiri, kecuali kelompok ningrat yang masih mempertahankan tradisi ini sebagai pertahanan akhir dari klan keluarga istana yang tak memperbolehkan ada percampuran kasta antara mereka yang ningrat dan mereka yang jelata. Dalam diskursus kontrol baru ini juga diciptakan terminologi baru mengenai anak haram, anak di luar pernikahan, dalam kalangan ningrat disebut sebagai ‘lembu petheng’ (anak dari darah biru dan darah rakyat jelata), dan lain-lain. Kolonialisme melahirkan terminologi-terminologi tabu yang sebelumnya dianggap sebagai bagian dari ritual atau kebiasaan komunitas tertentu. Dan sekarang tabu-tabu itu masih tumbuh, subur dan dianut, bahkan dicap sebagai ‘budaya timur’ yang mentabukan apapun yang menyangkut praktek-praktek kebertubuhan. Praktek kebertubuhan Nusantara dibandingkan dengan Eropa kala itu, abad 18-19, jauh lebih inklusif—yang memandang tubuh sebagai bagian dari pengetahuan—seperti contoh Yoni Lingga Payudara pada candi-candi Purba. Perihal-perihal ini kemudian dimasukkan pemerintah kolonial Belanda sebagai dalam diskursus tabu. Pandangan ini diperkuat dengan diperkenalkannya sekolah-sekolah modern, yang lagi-lagi mengontrol tubuh—salah satu contoh mudahnya adalah kontrol pemakaian sepatu—yang kurang dikenal masa itu. Pandangan terhadap tubuh perempuan yang sebelumnya menyatu dengan alam, dan alam sebagai bagian integral dalam mitos dewa-dewi kemudian hilang begitu saja. Sejak saat itulah, masyarakat memandang alam tak lebih dari bagian dari kapital yang mudah dan boleh diperjualbelikan dan diubah menjadi uang. Paradigma modern via kapitalisme tak hanya menjadikan rahim, tubuh perempuan dan keluarga sebagai modal dasar dan kapital sebuah negara baru tetapi juga mereduksi alam sebagai entitas eksploitasi untuk memperbesar lokus dan fokus kekuasaan sebuah negara. Dari sini kemudian alam kehilangan wibawanya di mata masyarakat. Jika sebelumnya alam merupakan bagian integral dan makhluk yang dihormati, kemudian dia sekarang dianggap sebagai sumber khayalan yang dicurigai disembah oleh manusia-manusia tak beriman, atau dianggap sebagai modus penghasil uang saja. Penebangan hutan, pertambangan, pengubahan hutan hujan tropis menjadi perkebunan monokultur mulai dari gula, kopi, teh dan lain-lain mengubah lanskap identitas ekologi nusantara saat itu. Ini lebih jauh mempengaruhi proses konservasi dan perlindungan yang tak menemu jalan solusinya sama sekali karena perspektif terhadap alam tak mau berubah menjadi, yaitu menganggap alam sebagai ‘makhluk’ yang memiliki hak hidupnya. Pengalaman tanah mendapatkan perlakuan dari paradigma modern menegaskan bagaimana agrikultur, pertanian, perkebunan, relasi ekologi dan sosial telah tergenderkan dalam lanskap sejarah patriarki. Patriarki kemudian bukan serta merta musuh bersama para perempuan yang tersingkirkan, atau alam yang dieksploitasi, tetapi menerangkan bagaiman hirarki kekuasaan dan gender memainkan peran penting dalam relasi masyarakat perdesaan. Baik laki-laki, perempuan, minoritas seksual mendapatkan pengalaman dan menerima pengaruh yang tidak sedikit dari perubahan, transformasi, negosiasi lanskap rural pada semi-urban dan urban. Gender menentukan peran yang berbeda, tanggung jawab atas sumber daya alam yang berbeda, dan kekuasaan politik yang berbeda antaranya. Isu gender tak hanya menyangkut perihal kelamin spesies manusia, tetapi juga kelamin alam. Bagaimana varietas-varietas vegetasi tertentu, atau hewan-hewan tertentu dianggap sebagai lebih menguntungkan daripada yang lain, lalu dibudidayakan secara monokultur yang kemudian mengancam diversifikasi pangan dan data keragaman hayati-hewani untuk menopang keseimbangan alam. Dengan semakin cepatnya proses urbanisasi, terjadi migrasi laki-laki desa ke kota untuk mencari uang, dan akses perempuan pada lahan, sawah, perkebunan, dan hutan desa menjadi jauh lebih mudah daripada sebelumnya (feminization of land). Feminisasi tanah ini dibarengi dengan ancaman eksploitasi masif tambang atas sumber daya di sekitar mereka. Mereka tak bisa menikmati lahan, tanah, dan kesuburannya seperti sebelumnya ketika dikuasai laki-laki. Lelaki yang menjadi buruh-buruh kasar di kota-kota mendapatkan paparan polusi khas kota—karbon, air tak bersih, ruang tak layak, dan lain-lain. Sedang perempuan di sawah, perkebunan, hutan desa yang terkena tambang terpapar polusi yang tak kalah mengerikan—merkuri dari tambang emas, pencemaran air dari tambang semen, dan lain-lain. Feminisasi tanah kemudian diikuti dengan feminisasi pertanian. Sejak tahun 1960-an telah terjadi proses ‘feminisasi pertanian’, yaitu meningkatnya jumlah perempuan menjadi petani dan menjadi kepala keluarga karena pasangan bermigrasi ke kota-kota menjadi buruh. Ester Boserup merupakan salah satu perempuan pertama yang mengangkat perihal ini dalam kajiannya: Women’s Role in Economic Development, Male and Female Farming Systems, London: Earthscan (1970). Feminisasi pertanian tidak hanya bermatra gender, tetapi juga bermatra kemiskinan. Pertanian perempuan lebih banyak adalah pertanian subsisten, yaitu untuk menyokong konsumsi pangan keluarga. Kebanyakan mereka adalah keluarga-keluarga miskin yang kemudian terhimpit oleh pasar bebas dan kedatangan tambang-tambang. Akses perempuan pada status sosial dan sumber daya reproduktif sekali lagi, jauh lebih terbatas, daripada laki-laki. Peran gender tradisional juga mempengaruhi situasi ekonomi, akses pada tanah, jenjang pendidikan dan kesempatan perempuan dalam pasar kerja. Akibatnya perempuan hanya mendapatkan remah-remah dari ‘pembangunan’, alih-alih globalisasi. Pendekatan feminisme dalam kajian ini merupakan nomenklatur linguistik yang membantu memaparkan setiap kata kunci dalam konsep-konsep yang telah sebelumnya tergenderkan. Aplikasi metaforis dari alam sebagai yang berpikir, bernafas, merasa, mengindera, dan ikut merasakan gembira, bahagia, sedih, sakit, muram, dan histeria merupakan juga narasi dasar dari kajian ini. Modus epistemologi, analisis sosial-politik, dan pergeseran iklim-cuaca merupakan praktek-praktek yang diintegrasikan dalam matra studi tubuh dan gender. Berpikir secara ekologis (ecological thinking) yang menjadi ketakutan dasar dari Rachel Carson Silent Spring merupakan strategi imajinatif, retoris, dan praktek sains yang kemudian diwajahkan secara etis, estetis, dan asketis untuk kelangsungan kehidupan ekosistem. Darinya perhatian-perhatian atas kerusakan alam—pencemaran air, udara, tanah—tidak hanya merupakan bukti empirik laboratorium tetapi juga komitmen ekologis, satu integrasi epistemologi yang menghasilkan ketegangan-ketegangan produktif yang aktif menantang kapitalisme. Tak hanya bersandar pada ‘sains normal’, meminjam Carson (1962), tetapi melawan segala perihal tentang materialisme, saintisme, dan teknologi yang berkehendak mengontrol alam—sebagai dasar asumsi dan proses mental. Paradigma ini menyadari bahwa dirinya berada dalam jaring tak terpisahkan dari ekologi, interkoneksi yang abadi antara manusia dan bumi sebagai makhluk hidup yang memiliki hak-hak ekologisnya. Sukinah Sungsang Lanskap teoritis di atas membekali saya dalam perjalanan menuju Pegunungan Karst Kendeng Rembang. Ada tiga perihal dalam permenungan perjalanan dari Solo ke CAT Watu Putih Pegunungan Kendeng: udara, tanah, dan air. Tiga perihal ini juga menandai, mengiringi kematian ekosistem demi pembangunan Bendungan Besar Narmada di India yang diprotes mati-matian oleh Arundhati Roy; juga Bendungan Aswan di Mesir oleh ayah Leila Ahmed. Ekosida, kematian ekologi, ada di mana-mana. Bangkai-bangkai ekologi telah berubah menjadi debu putih dari karst yang digerus ledakan-ledakan dinamit. Debu menyebar seperti lalat yang tak mau kalah meratap di dinding kaca truk yang dikendarai sopir-sopir yang didatangkan dari Gresik—tempat asal salah satu mega tambang dan Pabrik Semen. Keempat roda diaktifkan merangkak melewati beberapa ledokan tikungan di luar aspal di sepanjang tanjakan Gunung Botak—yang sejak 1998 sering longsor karena penebangan liar (illegal-logging) dan penambangan liar (illegal-mining). Debu saling terbangan, sedang di belakang, truk-truk menggendong batu-batu keluar masuk hutan Jati. Terkadang bangkai-bangkai kayu Jati ditata, setelah sebelumnya diteres agar berkurang kambiumnya, kemudian siap ditebang dan dijadikan mebel-mebel yang diekspor ke Amerika dan Korea Selatan, juga belahan dunia lain. Tak ada kekayaan yang demikian melimpah selain terasiring sawah yang menawan di Watu Putih—yang diklaim oleh gubernur sebelumnya Bibit dan gubernur sekarang Ganjar Pranowo sebagai tandus, kering, tak subur sehingga boleh dan laik untuk tambang Semen. Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang (JMPPKR) telah tahunan menginisiasi penolakan tambang ini, dalam wawancara dengan Ming Ming Lukiarti (aktivis, ekofeminis yang tinggal di kota Rembang). Warga Sukolilo Pati juga telah berhasil berkeras hati melindungi ketiga jati diri nasion itu: udara, tanah, air. Ini seperti persaksian tentang kematian-kematian baru. Penyaliban Yesus menemu jalannya pada ekosida Watu Putih. Kami mengunjungi mayat-mayat sungai yang mulai mengering, mulai diurug, mulai kehilangan debit airnya. Kami merinding, menekan seluruh amarah, setiap berada di sumber-sumber airnya. Sendang Andong, Sendang Sukun, dan sungai-sungai bawah tanah yang mulai diledakkan satu demi satu. Swara dinamit, setidaknya sehari empat sampai dengan lima kali dapat didengar dari tenda-tenda yang didirikan oleh 85 ibu-ibu ketika pertama kali tambang semen membuka tapaknya. Rasa sakit sekujur tubuh diceritakan Sukinah dengan mata berkaca-kaca. “Rasanya seperti tubuh saya ini yang dirusak. Koyo ngandhut bayi sungsang”. Kami pun berkaca-kaca. “Kesuburan yang membentang di cekungan ini sampai kapan ada?” demikian tanya Sukinah lagi. Bumi sebagai makhluk tak memiliki harkat eksistensinya, selain puluhan mata ibu-ibu yang meringkuk di bawah tiga tenda di mulut tapal pembangunan tambang Semen Kendeng di Rembang ini. Kami duduk bersama di bawah tenda biru dengan terik matahari menyengat dan kendaraan berat lalu lalang terbangkan debu putihnya. Yu Nah, panggilan akrab Sukinah, lebih banyak menceritakan cucunya yang baru lahir, sedang saya menceritakan anak autis saya Ivan, pada waktu itu. Ibu-ibu yang lain bercerita tentang anak-anak mereka yang ditandai di sekolahan, sebagai keluarga penolak semen. “Seperti cap PKI, seperti najis” curhat ibu-ibu. Stigma ini merupakan ‘narasi simbolik’, muasal dari seluruh konflik horisontal di Watu Putih. “Dulu, kami membagi sayur. Kami saling. Sekarang, jika tak ada sayur, kami harus beli. Biyen guyub. Saiki crah”. Watu Putih demikian muram. Tak terbayangkan darah menstruasi yang mengalir dari perut bumi—dari gua-gua, ponor-ponor, dan sungai bawah tanah yang mereka ledakkan dengan semena. Ibu-ibu menceritakan bagaimana Bupati yang sekarang dipenjara, membujuk ibu-ibu bahwa tanah bekas tambang semen akan jauh lebih subur daripada sebelumnya. Dan kami pun tertawa bersama-sama mendengarkan bagaimana kebohongan-kebohongan semacam ini sudah tidak mempan lagi bagi mereka. Mata air Beru Bulan di Desa Pasucen, mendapatkan airnya dari Gua Menggah yang telah menyiapkan tubuhnya untuk dibantai habis oleh dinamit-dinamit rakus uang. Tak ada yang lebih muram daripada kematian sebuah mata air. Seperti perempuan yang menyandang darah nifas melahirkan anak-anaknya dalam kondisi mematikan. Rahim Watu Putih tak lagi dapat mengandung pada tahun-tahun mendatang karena dia telah dilacurkan dan diubah seluruhnya menjadi kapital. Ekosistem hidrologi Watu Putih demikian sekarat dan sungsang. Seperti laporan salah satu aktivis perempuan yang mengadvokasi PSK bahwa ke-29 perempuan-perempuan di Bandungan meregang nyawa di usianya menjelang 30 karena terkena HIV-AIDS. Perihal serupa terjadi juga di tambang-tambang di Kalimantan dalam temuan penelitian Petra Mahy (2011). Hal sama mulai terjadi di Watu Putih, terjadi di kalangan ibu-ibu yang ditulari oleh suami-suami mereka yang membeli PSK di salah satu kafe yang didirikan di Watu Putih untuk pekerja tambang semen. Sukinah tidak hanya bercerita tentang fenomena HIV-AIDS yang baru-baru saja terjadi dan ada setelah penambangan, tetapi juga dengan senang hati mengabarkan tentang cucunya yang baru saja lahir. Selama pendudukan bakal tapak tambang semen sampai dengan bulan September 2014, setidaknya ada empat perempuan hamil, yaitu Winarsih (5 bulan), Sulikah (7 bulan), Yulasha (telah melahirkan), Anis (telah melahirkan). Dari 85 ibu-ibu yang menduduki tambang di tenda-tenda yang dimulai pada Ramadhan lalu, bulan Juli, sekarang telah meningkat menjadi kurang lebih 300-an ibu-ibu yang ikut aktif dalam tenda. Dan mereka kemudian mengatur jadwal supaya masing-masing masih dapat mengatur urusan domestik. Setiap pagi mereka memasak, mencuci baju, menyiapkan segala sesuatu untuk anak-anak dan suaminya, kemudian menuju tenda perjuangan kembali. Sewaktu saya tanya apa kebutuhan mereka, mereka meminta dibawakan buku. Kami dari Jurnal Perempuan membagikan sedikit dari jurnal-jurnal dan buku-buku sebagai bahan bacaan. Kemudian saya meminta penerbit Jalasutra untuk mengirimkan buku Kartini. Lokasi tenda mereka dari makam Kartini di Bulu cukup dekat, yaitu kurang lebih 7 km. kondisi ekosistem dan hutan-hutan desa di sepanjang pegunungan karst semakin memburuk sejak penambangan semen mulai marak, baik oleh penambang kecil, menengah, dan yang terakhir mega—yang diduduki tapaknya oleh ibu-ibu Watu Putih. Dalam wawancara ibu-ibu mulai terkena sakit pilek dan batuk yang disebabkan oleh debu-debu karst yang berterbangan karena penambangan dan diperparah oleh musim kemarau di bulan September. Petani mulai kesulitan mendapatkan rumput untuk ternak-ternaknya karena rumput tertutup debu karst yang mulai dirusak oleh tambang. Ekologi air, harkat ternak, harkat mata air keluarga pada saat ini menjadi semakin sungsang dan jungkir balik. Ada beberapa keluarga lansia yang mulai tersingkirkan, dan pindah ke desa lain yang lebih aman secara ekologis karena air tanah mereka sudah mulai tercemar debu karst. Beberapa keluarga juga tersingkir dari tanahnya sendiri karena matinya sumur-sumur mereka. Setidaknya ada empat bayi yang telah dan akan lahir dan ikut menduduki tenda di tapak tambang untuk melakukan penolakan atas tambang semen. Dan hajat hidup generasi paling muda inilah yang akan mendapatkan ancaman paling serius. Ketahanan air Watu Putih akan habis seketika tambang mulai melakukan ekspansi. Protes ibu-ibu hamil menolak tambang ini merupakan simbol bagaimana perempuan melakukan migrasi ke ruang publik, yaitu tapak tambang semen, untuk melindungin rahim air yang berada dalam gua-gua karst, yang mengalirkan air-airnya melalui sungai-sungai bawah tanah. Ancaman terhadap mata air-mata air adalah ancaman bagi peri kehidupan bayi-bayinya. Dalam wawancara dijelaskan bagaimana kemudian politik rahim ini mendapatkan simpati dari pekerja-pekerja tambang, satpam tambang, dan tenaga ahlinya. Jika berpapasan melalui tambang selalu membunyikan klakson sebagai tanda menyapa. Ini mungkin berbeda dari yang terjadi di daerah-daerah lain, ketika senjata digunakan untuk menyingkirkan protes-protes, atau ketika pertama kali ibu-ibu ini mendirikan tenda, yang kemudian diseret oleh para polisi dan aparat yang ikut mendukung pendirian tambang. Ketika diwawancarai perihal sikap pemerintah, Sukinah menjelaskan bahwa mereka telah dibeli oleh korporasi tambang dan tak menepati janji mereka sebelum jadi dan dipilih oleh rakyat. Misalnya beberapa lurah Watu Putih berjanji akan menolak tambang semen jika jadi lurah, tetapi setelah jadi lurah, justru membela tambang. Perihal ini mengkonfirmasi bagaimana negara abai dan tak peduli bagaimana perikehidupan alamnya, demikian juga perempuannya. Reproduksi air alam, reproduksi perempuan, bukan merupakan bagian identitas negara, tetapi merupakan kapital yang ditambang untuk sebuah keuntungan. Tambang telah mengubah perikehidupan Watu Putih jadi sungsang. Hasrat Etik Rahim: Perempuan Menolak Tambang Semen Tambang, dalam jejak sejarahnya, memiliki persoalan etik atas lingkungan (Lynch, 2002) dan dia memiliki persoalan dengan pembangunan ekonomi (Gralau, 2008). Tambang dengan sengaja menyembunyikan perempuan dari peran-peran profesinya karena eksklusif banyak dilakukan oleh pekerja laki-laki. Tambang bersifat amat maskulin. Bahaya tambang-tambang baru adalah mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat tambang. Mau tidak mau, perempuan dan anak-anak akan diseret menjadi penambang informal jika alam sudah hancur dan tak bisa menyediakan persediaan untuk ekonomi keluarga para petani—karena air tercemar, karena air tidak ada, karena situasi lingkungan memburuk karena proses-proses ekstraksi tambang. De-agrikulturasi masyarakat Watu Putih ini akan menghancurkan perikehidupan mereka. Tidak hanya sistem sosial yang rusak, tetapi, paling pertama adalah sistem ekologi di Watu Putih. Sebagai penopang suplai air bagi PDAM Rembang dan Blora, Rembang akan mengalami darurat air jika benar tambang semen ini berdiri, dan menjadi besar, dan menghabisan hutan-hutan di Pegunungan Kendeng. Kurang lebih 300-an ibu-ibu Watu Putih meminta seluruh alat-alat berat keluar dari wilayah tapak tambang dan perlawanan masih dilanjutkan bahkan mendapat dukungan dari kota-kota di Indonesia, misalnya: Jakarta, Semarang, Solo, dan lain-lain. Tulisan ini menemukan bagaimana agensi perempuan tidak hanya tercetak bahwa perempuan adalah sebagai korban, tetapi secara diskursif perempuan secara politis aktif melawan perusakan lingkungan dalam sebuah paradigma tidak eksploitatif—bahwa mereka akan kehilangan air sebagai penopang kebutuhan hidup, atau kehilangan air sebagai potensi kapital perikehidupan mereka. Tetapi perempuan-perempuan ini mengungkapkan bahwa ketahanan lingkungan, air dan ekologi Watu Putih merupakan metafora dari ibu mereka, yang memberikan susunya, dan seluruh kesuburannya, untuk anak-anaknya. Perempuan-perempuan Kendeng memandang ekosistem Watu Putih Rembang sebagai ibu, dan mereka adalah anak-anak yang harus melindungi ibunya dari serangan penghancuran oleh tambang-tambang. Acknowledgment: Tulisan ini akan dikembangkan lagi untuk seri Ekofeminisme III tahun 2015, dengan penggalian penelitian lebih lanjut. Tulisan ini sengaja dipublikasi sekarang untuk memperingati 100 hari pendudukan ibu-ibu Kendeng di tapak tambang pada Selasa 23 September 2014. Daftar Pustaka Bayart, Jean-François. The State in Africa: The Politics of the Belly. New York: Longman, 1993. Originally published as L’Etat en Afrique: La politique du ventre (Paris: Librairie Arthème Fayard, 1989). Carson, Rachel. 2002. Republished Houghton Mifflin 1962. Silent Spring. Mariner Books. Foucault, Michel. The History of Sexuality. Vol. 1, An Introduction. Translated by Robert Hurley. New York: Vintage Books, 1980. ———.“Governmentality.” In The Foucault Effect: Studies in Governmentality with Two Lectures by and an Interview with Michel Foucault, edited by Graham Burchell, Colin Gordon, and Peter Miller, 87–104. Chicago: University of Chicago Press, 1991. Graulau, Jeannette. 2008. ‘Is mining good for development?’ The intellectual history of an unsettled question. Progress in Development Studies 8, No. 2: 129–62. Lynch, M. 2002. Mining in World History. London: Reaktion Books. Mahy, Petra. 2011. Beyond victims: Mining and sex-work in Kalimantan, Indonesia. In Gendering the Field: Mining, Gender and Sustainable Livelihoods, ed. Kuntala Lahiri-Dutt, 49–65. Canberra: ANU E Press. Dr. Phil. Dewi Candraningrum Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan (dewicandraningrum@jurnalperempuan.com) twitter: @dcandraningrum Pink Collar Ghetto Di banyak negara, mayoritas jurnalis yang high-profile tetaplah laki-laki. Meskipun telah ada beberapa usaha langkah afirmatif untuk menyertakan perempuan dalam jajaran kepemimpinan media, akan tetapi elit pemilik, elit editor, dan jurnalis media-media tetap didominasi oleh laki-laki. Ada banyak problem kunci yang harus dihadapi perempuan dalam menjejakkan karier di dunia media: mulai dari seksisme, peliputan perang yang berbahaya, dan sistem patriarki yang menjadi pilar perusahaan media multi-nasional dan nasional. Dalam buku terbaru Suzanne Franks yang berjudul Women and Journalisms (London: IB Tauris Publisher, 2013) menarasikan bahwa perempuan digambarkan secara tak berubah sejak 1901 sampai dengan 2013 ini, meskipun sejak 1973 perempuan mendapatkan lebih banyak akses bekerja di media (secara global, 31% perempuan bekerja di media sebagai jurnalis dibandingkan 7% menjadi dokter dan kurang 1% menjadi pengacara). Franks adalah seorang profesor kajian media dan jurnalisme di City University London yang juga pernah bekerja untuk BBC—yang banyak mendedikasikan diri meneliti politik, media dan gender dalam korporasi media internasional seperti dalam buku terbarunya ini. Masih menurut temuan Franks bahwa dokumen tersebut merupakan temuan BBC paling rahasia yang dimulai sejak tahun 1973. Hal ini lagi-lagi menandaskan bahwa moral patriarki masih kuat berakar dalam dunia media kita. “Swara perempuan bahkan tidak cocok untuk memberitakan perihal-perihal yang melibatkan emosi”, kata seorang senior manajer berita. Dan seorang jurnalis menolak bekerja pada pemimpin redaksi perempuan hanya karena dia adalah perempuan (hal 3-4). Temuan Franks ini amat mengejutkan dan juga fakta sehari-hari media global paling kini. Dalam media, perempuan banyak direpresentasikan sebagai objek berita ketimbang aktor, pembuat, dan subjek berita. Bahkan hampir 90 tahun usia sebuah kantor berita, tak satu pun editor perempuan dipilih untuk memimpin awak keredaksian. Ini adalah potret amat suram dalam media. Jika berkenaan dengan menarik konsumen, maka serta merta perempuan ditempatkan sebagai “pengail” (objek)—iklan-iklan banyak menggunakan figur perempuan seksi dan cantik. Tetapi jika berkenaan dengan “otoritas” isi, teknik dan narasi penulisan, perempuan hampir-hampir tak memiliki atau mempraktikkan ide-ide, hak-hak, dan partisipasinya. Franks mencatat terjadi kenaikan jumlah mahasiswa jurusan komunikasi dan media, dari 15% di tahun 1908 menjadi 60% di tahun 1984. Tetapi lagi-lagi, Franks masih menyebut perempuan berada dalam tempat paling rentan—dia menyebutnya sebagai pink collar ghetto, kampung miskin bagi pekerja kantoran perempuan (Beasley and Theus, 1988)—dimana pekerja perempuan di media masih mendapatkan penghasilan lebih rendah, dan mendapatkan peran lebih rendah dari rekannya, jurnalis dan editor laki-laki. Dan yang lebih menyedihkan perempuan-perempuan yang memiliki anak tersingkir secara pelan-pelan. Perempuan-perempuan yang sukses di media adalah yang single, muda dan tak memiliki anak. Perihal ini tidak terjadi pada laki-laki, baik laki-laki single dan yang memiliki anak, keduanya dapat sukses berkarier di media. Tantangan berat, halangan ganda, dan beban bertingkat selalu menghadang perempuan dalam profesi media. Tetapi kabar gembira juga hadir dari jurnalis-jurnalis perempuan yang menuliskan beritanya. Perempuan-perempuan ini mengabarkan berita dengan lebih banyak memberikan fokus pada harga kejiwaan dan emosi dari perang daripada harga peralatan perang, misalnya. Atau perempuan memberitakan simpati dan empati atas korban bencana alam ketimbang kerugian angka-angka dari bencana. Ini melahirkan suatu fenomena baru atau keunikan pemberitaan dari “perspektif perempuan” yang sebelumnya kurang terwakilkan dalam media. Dus, perempuan melahirkan suatu “ruang baru” dalam media ketimbang mereproduksi ruang-ruang sebelumnya—yang terbukti seksis dan misoginis. Ini membuat perempuan, kemudian menciptakan “pasar pembaca” baru, yang kemudian menjadi pertimbangan editorial sebuah perusahaan media. Ini yang disebut sebagai brand-building oleh Franks untuk menembus atap kaca (glass ceiling) kepemimpinan laki-laki dalam media. Kemudian ini mengikatkan perempuan pada reinvensi jurnalisme dimana perempuan mengkurasi, mengedit, menciptakan brand untuk dirinya—bahkan dari dalam rumah, bahkan dari dapurnya, bahkan ketika dia sedang mengasuh anaknya. Revolusi digital ini dimulai dari rumah dimana kemudian mengguncangkan boys club dalam perusahaan-perusahaan media. Revolusi digital ini dipimpin oleh para blogger ibu-ibu dari dalam rumah mereka. Ini adalah berita yang menggembirakan. Setidaknya ada ruang baru dalam representasi swara perempuan yang diciptakannya sendiri. Dan perempuan juga mulai menguasai dan menciptakan teknologi dalam media. Ini adalah revolusi baru. Semakin canggih teknologi media tak menjamin bahwa seksisme terhadap perempuan kemudian surut. Kecanggihan seksisme juga meningkat seiring dengan penemuan-penemuan baru dan semakin cepat dan tingginya akses terhadap digital media. Tubuh-tubuh telanjang, secara biologis, adalah perihal biasa saja. Tetapi tubuh perempuan telanjang, disertai konteks tertentu, dalam berita tertentu, atau iklan-iklan tertentu, dalam analisis tertentu pula, dapat bermakna seksisme. Seksisme membutuhkan konteks, representasi, pilihan diksi dan motif untuk dapat disebut sebagai seksis, untuk dapat disebut sebagai bias dan tidak adil. Misoginisme semacam radio-radio di Eropa Timur misalnya, yang membuat kuis dengan hadiah tidur dengan seorang pekerja seks komersial—ini adalah seksisme banal yang kemudian melahirkan gerakan perempuan Femen—yang kemudian menggunakan tubuhnya untuk melawan kesewenangan itu. Gerakan perlawanan perempuan tak bisa diukur dan dinilai dari ruang kita secara semena-mena. Dia perlu diukur dan diurai darimana dia berasal, bagaimana konteksnya, bagaimana kulturnya, apa motifnya dan lain sebagainya. Industri media bahkan dengan terang-terangan menjadikan seksisme dan misoginisme sebagai faktor rating. Ini adalah ironi. Ini adalah tragedi. Seksisme adalah sikap dan motif merendahkan perempuan, secara eksistensial—menyangkut tubuhnya, pemikirannya, perasaannya—yang dianggap sebagai inferior dan boleh diperolok atau dihina. Seksisme media ini ada dimana-mana, bahkan diafirmasi dan direproduksi perempuan sendiri—karena terlalu latahnya, karena terlalu biasanya. Keberangkatan dari seksisme adalah stereotype atau pembekuan sifat dan peran perempuan pada perihal tertentu yang sesungguhnya merugikan eksistensinya. Pada mulanya seolah seksisme adalah hiburan ringan dan yang menjadi hiburan tak perlu jadi tersinggung karenanya. Tetapi kemudian ini membangun sebuah budaya yang “tak peduli” yang kemudian menjadi “tak sensitif”—minimnya sensitivitas ini kemudian melahirkan kekerasan pada dunia yang lebih kasat mata (eksploitasi seksual, kekerasan, perkosaan dan bahkan pembunuhan). Mari kita cermati bagaimana berita tentang perkosaan anak SD berubah menjadi berita sensasi—padahal sang anak kemudian mengalami gangguan jiwa seumur hidupnya. Betapa tak sensitifnya kita sebagai pekerja media. Betapa jahatnya pikiran kita. Sensitivitas dibangun oleh pengetahuan dan empati, terutama. Tanpa keduanya, kita gagal menjadi masyarakat yang adil. Mediasi & Industrialisasi Fantasi Iklan kosmetik merupakan cermin dimana perempuan digunting mata kamera, kemudian dibekukan dalam rumah produksi, diberi label dengan harga dan potongan diskon tertentu. Representasi visual perempuan tak ubahnya seperti daging yang diperjualbelikan secara kiloan di pasar-pasar tradisional dan supermarket-supermaket. Jika daging sapi memiliki spesifikasinya sendiri, demikian juga perempuan. Di abad ke-21 ini, budaya visual memfatwakan idealitas fantasi dan imajinasi tentang perempuan sempurna sebagai: putih, mancung, kurus kelaparan, dengan rambut lurus. Industri membekukannya dalam botol-botol hand-body, powder-pancake, eyeliner, nail-polisher, hair shampoo, deodorant, dan bahkan iklan rokok yang banyak dikonsumsi laki-laki tidak bisa laku tanpa menjual foto perempuan. Fantasi sensual tentang perempuan yang ditonjolkan secara berlebihan, sebagai sebuah hiper-realitas, disebut sebagai proses seksualisasi. Seksualisasi perempuan merupakan pemindaian ruang real pada ruang fantasi, dimana tubuh, wajah, bibir, payudara, paha, tungkai kaki, jempol kaki bahkan diberi penekanan (highlight) dan dipertontonkan untuk menarik minat, hasrat, dan keinginan membeli para pemirsanya, para penontonnya. Dalam proses ini tubuh perempuan dimutilasi sesuai dengan kebutuhan produk yang akan dijual, jika dia akan menjual cat kuku, maka jari-jari kaki tangan dimutilasi kemudian diolah secara digital dengan air-brush supaya sempurna di mata kamera. Air-brush atau penghapusan noda-noda pada kulit, atau pembentuk lekuk-lengkung tubuh dan bagian wajah, merupakan “dehumanisasi kecantikan”. Kecantikan yang didalamnya membawa bekal kekurangan, kecacatan, sekarang ditransformasi menjadi kesempurnaan: putih mulus tanpa noda, tanpa jerawat. Kecantikan mengandaikan ketakidealan. Dan iklan mengajari para pembelinya dengan menjual mimpi keidealan. Padahal ideal, putih tanpa noda, tidak ada. Penipuan menjadi retorika sehari-hari. Dan konsumen menjadi tergila-gila pada mimpi bohong—hiperrealitas. Jika tidak diprovokasi oleh fantasi sensual televisi, ketagihan-ketagihan menjadi semacam histeria yang tidak bisa dikendalikan lagi oleh manusia. Dengan cara ini, dengan iklan-iklan, provokasi digelar setiap hari. Jika dia iklan sabun cuci, maka perempuan digambarkan sebagai yang wira-wiri, mondar-mandir, mengecek noda-noda, kotoran, kemudian kerumunan gosip ibu-ibu yang kecewa dengan detergen tertentu. Lalu muncullah si Ratu Iklan memakai rok mini dengan detergen no 1 di tangannya. Jika kemudian si ibu bekerja dan tak ada waktu mencuci, maka iklan berikutnya yang tampil, seperti sebuah antrian kereta-api adalah iklan mesin cuci. Bagaimana mesin cuci digambarkan sebagai makhluk yang dielu-elukan tungkai kaki ramping dan jari-jari lentik dalam memencet tombol tertentu. Hampir semua, tentu diiringi dengan swara merdu, setengah seksi, si gadis iklan. Demikianlah gender biner mulai dibangun. Bagaimana sifat-sifat feminin secara kaku dilekatkan pada jenis kelamin perempuan, dan sifat maskulin pada jenis jender laki-laki. Jika terjadi tubrukan dan tabrakan atas sifat-sifatnya, maka penghinaan, cemoohan, caci-maki halus menjadi bagian dari narasi iklan—dan lahirlah seksisme. Bagaimana bisa disebut sebagai ibu yang baik, kalau di rumah ternyata banyak cucian kotor! Dengan demikian seksisme merupakan konsumsi sehari-hari, paralel dengan konsumsi mi instan. Sedang perempuan mulai membenci tubuhnya: anak-anak perempuan yang sehari-hari pergi ke sekolah dalam keadaan lapar—karena membenci perut gendutnya. Tak didapatkan informasi dari iklan-iklan itu bagaimana tubuh sehat, selain bahwa, pemirsa harus membeli produk mereka. Anak-anak berbondong-bondong ke sekolah, dengan menyantap mi instan, dan di kepalanya membayang para model iklan yang putih, mancung, kurus serta menenteng hape mahal di tangannya. Demikian kira-kira definisi bahagia itu, konon. Anak-anak yang gendut mulai membenci tubuhnya, tetapi tidak berdaya membuatnya lebih kurus. Anak-anak yang bekulit wajah hitam, sering-sering menyingkir dari kaca karena membenci rautnya. Anak-anak yang berambut ikal, keriting, sibuk sepagian meluruskan rambutnya—karena katanya rambutnya menjijikkan dan menakutkan. Demikian definisi cantik telah menjadi wabah sangat mematikan. Anak-anak tidak hanya diajari untuk membenci dirinya, tubuhnya, tetapi juga membunuh eksistensi. Tubuh tak ubahnya dagangan yang tidak bisa menceritakan narasinya sendiri, dan kemudian tubuh dipaksa oleh pemiliknya untuk mengkonsumsi perihal-perihal asing yang mematikan dirinya sendiri. Dia serupa korban abadi, yang tak benar-benar lagi didengarkan oleh manusia. Kesehatannya, kebutuhannya akan nutrisi, kebutuhannya akan olah raga, dan kebutuhan generik lain dari tubuh kemudian digeser menjadi kebutuhan plastis yang berdasarkan pada fantasi besar industrialisasi identitas palsu itu. Mengonsumsi Kebohongan Feminisme sebagai sebuah filsafat, selama empat puluh tahun terakhir telah banyak membantu memberikan tawaran analisis yang memadai untuk mengetahui motif-motif dan kebohongan dibalik iklan-iklan kosmetik. Namun demikian dia membutuhkan bantuan dari irisan-irisan lain, intersectionality, bagaimana isu ras, kelas, bangsa dan seksualitas dapat memasuki dialektika dan mesin analisisnya. Bagaimana iklan-iklan kosmetik TV-TV Indonesia didominasi penghapusan atas cantik yang hitam, cantik yang keriting, yang merupakan penanda bagi etnis tertentu. Ras kulit hitam, seperti Papua, memiliki khasanah kecantikannya sendiri, yang hitam, yang keriting, yang indah. Tetapi ketiganya tidak masuk dalam definisi agung atas cantik. Yang ditakutkan adalah, bahwasanya anak-anak perempuan di Papua mengonsumsi terlalu banyak pemutih yang dapat membahayakan kesehatan kulitnya. Demikian rasisme, tidak hanya seksisme, tumbuh subur dalam display-display iklan kosmetik tanpa disadari. Anak-anak perempuan berangkat tidur, seperti tidurnya seorang putri, seorang peri, dengan rambut lurus panjang, kulit putih, baju menjuntai, handphone mahal di tangan, hidung mancung, bau harum, badan kurus. Demikian fantasi-fantasi bohong telah beredar dalam mimpi-mimpi anak-anak perempuan. Dan semuanya adalah tentang industrialisasi ilusi. Industrialisasi kebohongan tentang hakikat cantik merupakan industri paling menguntungkan. Karena dia menjajakan stigma, stereotip, dan hiper-realitas yang digemari oleh para konsumennya. Dia tak benar-benar menjajakan dan menjual sehat dan justru menjual zat dan senyawa yang membahayakan tubuh dan kulit. Panen kanker di rumah sakit merupakan kulminasi dari sampah-sampah digital yang dikonsumsi harian. Konsumsi yang sifatnya masif ini membuat industri iklan dan industri hiburan menyewa model-model yang dapat memenuhi kriteria cantik a la kaukasian itu. Tinggi, ramping, putih dan mancung. Cantik kaukasian tak benar-benar milik Indonesia, kalau tidak diakui banyak mengimpor dari kawin silang atau model-model impor. Sedang model-model iklan lokal mencari-cari cara untuk dapat memenuhi standar itu. Operasi plastik, operasi pemutihan kulit, botox, dan lain-lain prosedur estetika yang menghapus seluruh ciri khas dirinya yang pribumi coklat atau hitam itu. Kompetisi antara model iklan merupakan kompetisi yang paling devaluatif dalam sejarah perekrutan sumber daya manusia. Berbeda dari dunia karier umumnya, yang banyak mengandalkan pada kompetensi dan keterampilan, dalam dunia model iklan, devaluasi mengambil bentuknya secara beragam. Model yang lebih muda usianya, merupakan ancaman paling mematikan bagi model yang lebih senior. Semakin matang teknik acting dan posenya, dia tetap terancam oleh pendatang baru yang lebih muda. Semakin terkenal dirinya, dia tetap terancam dengan kehadiran model baru yang memiliki komposisi wajah lebih sempurna, atau bentuk hidung lebih mancung, misalnya. Pada pintu ini, model diukur pertama-tama dari penampilan fisiknya. Dan ukuran ini biasanya seksis, rasis sekaligus devaluatif. Operasi plastik di kalangan model dan artis sangat masif di atas usia 30-an. Perasaan terancam akan disingkirkan karena telah menjadi tua selalu menghantui mereka. Suntik botox juga mengatasi rasa takut itu. Secara psikologis mereka mengalami gangguan mental untuk terus mempertahankan kemudaannya, atau memperbaiki beberapa sudut wajah dan tubuhnya yang tidak sesuai dengan standar kamera. Dalam budaya visual ini, kamera seperti pisau yang siap mengiris, memutilasi, apa saja yang tidak sesuai dengan kriteria-kriterianya. Para perempuan kemudian kembali lagi menjadi, tak lebih, sebagai daging, yang dijual kiloan di pasar-pasar. Dalam budaya visual, perempuan yang mandiri dan memiliki eksistensi, harus berjuang mati-matian untuk melemparkan foto-foto diri yang merupakan pilihan yang tidak lagi bersifat sensor-diri, tetapi ekspresi yang autentik dan politis. Perempuan perlu mendekonstruksi ulang kata cantik, sebagai sehat, sebagai kuat, yang berkarya, sebagai apa saja, yang tidak membekukan peran biner, yang cair dan individual, yang tidak membahayakan kesehatan tubuhnya, yang tidak membahayakan impian-impiannya di masa datang. Hitam yang menawan dan sehat. Coklat, pesek, yang berkepribadian. Pendek yang energetic dan perkasa. Dan perempuan-perempuan itu, kesemuanya, adalah manusia yang berdiri kokoh dengan mengafirmasi kecantikannya, masing-masing, dan khas. Kesenjangan Gender dalam ICT Objektifikasi perempuan dalam budaya visual tidak terlepas dari rendahnya representasi perempuan dalam jurusan ICT dan sains. Di kebanyakan negara maju seperti Eropa dan Amerika, mata pelajaran matematika, sains dan teknologi tidak begitu diminati oleh perempuan sejak dari sekolah menengah sampai dengan universitas (Hersh, 2000). Tren ini juga berlaku di Indonesia. Di Eropa kurang dari 25 persen perempuan berada dalam jurusan ICT dan Matematika, apalagi Teknik (Gurumurthy, 2004: 20). Indonesia belum memiliki angka resmi, tetapi trennya diperkirakan jauh lebih rendah dari Eropa. Disamping tidak ada ketertarikan dari perempuan sendiri, struktur yang terbangun dalam disiplin ilmu ini masih sangat maskulin dan perempuan enggan mempelajarinya karena teknologi merupakan “dunia laki-laki”. Dunia memiliki Bill Gates dan Steve Jobs beserta jutaan ahli ICT lainnya yang tersebar di berbagai negara. Jika diperbandingkan dengan perempuan, perempuan masih memiliki kiprah yang terlalu sedikit di bidang ini. Ada Lovelace merupakan sedikit dari perempuan yang menjadi pioner teknologi komputer yang namanya diabadikan dalam salah satu program komputer. Kemudian Grace Murray Hopper merupakan programmer yang handal dari Amerika pada masa PD II. Kesenjangan ini terus tumbuh sampai dengan abad ke-21 ini. Dalam artikelnya yang seminal “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century”, Donna Haraway menekankan pentingnya perempuan menguasai ICT dan sains. Bagi Haraway, sains yang selama ini disebut sebagai kaku dan tak terbantahkan kebenarannya, justru merupakan ladang basah dimana seluruh bias dalam epistemologi ilmu pengetahuan modern dibangun (Haraway, 1985: 149-155). Dan ia perlu dibongkar. Sains, bagi Haraway, merupakan tempat yang masih bisa diperdebatkan dan kekuasaan yang masih bisa dipermainkan. Maka perempuan perlu menguasai sains dan teknologi, kalau tidak, akan tertindas dan dieksploitasi secara menerus sampai menggerus. Perempuan harus mampu merebut kembali sains sebagai alat kemerdekaan, sebagai alat penyumbang keadilan (Haraway, 1985). Gender Gap in ICT adalah kesenjangan perempuan dari laki-laki atas penciptaan dan penguasaan teknologi. Dan ranking negara-negara di dunia adalah sebagai berikut; Islandia, Hungaria, Latvia, Prancis, Slovenia, Finlandia, Belgia, Denmark, Norwegia, dan Lituania. Sedangkan negara lain berada di bawah mereka. Seperti Inggris di ranking 18, Jerman no 24 dan Yunani di nomor ke-31. Kesenjangan Gender dalam ICT tersebut diukur dari intensitas penggunaan dan penguasaan ICT baik oleh laki-laki dan perempuan, akses internet, online banking, e-commerce, pelayanan kesehatan dan penggunaan generik lainnya (Burch & Leon. 2003: 36-47). Kesenjangan Gender di Indonesia dalam penciptaan, penguasaan, dan penggunaan ICT sangat rendah dibandingkan negara-negara di Eropa. Maka dari itu diperlukan penelitian, pendataan, dan pemberdayaan ICT untuk perempuan baik dalam wilayah penciptaan teknologi dan penguasaannya. Dalam politik global feminisme, dipetakan tiga isu utama yang harus menjadi perhatian dalam menyikapi kesenjangan ini, yaitu, pertama isi media; kedua infrastruktur dan akses pada media yang beragam; ketiga pendidikan, training, lapangan pekerjaan dan organisasi media dalam level pengambil keputusan. Pertama, menyangkut isu isi media dan ICT adalah dengan kebutuhan mendasar atas kaidah-kaidah isi yang adil gender, dengan (1) mengurangi, sampai dengan menghilangkan penggambaran-penggambaran yang bias, seksis, misoginis, dan stereotip atas perempuan, laki-laki, dan LGBT. (2) Kemudian menciptakan penggambaran yang positif, unik, beragam, cair, dan beragam atas perempuan. Dalam persentasi penggambaran cabul dan seksis, perempuan merupakan objek paling dominan yang dipakai sebagai alat jual. Hal ini dapat didekonstruksi dengan deskripsi alternatif yang menyediakan ruang konteks yang lebih subjektif, dimana perempuan membawa agensinya sendiri. Dan bukan diobjekkan secara paksa dalam industri fantasi dan ilusi. (3) Dengan menyediakan banyak ruang untuk mengampanyekan hak-hak perempuan. (4) Media Massa dan ICT diarahkan pada penyebaran nilai-nilai perdamaian, non-diskriminasi, penghormatan dan keadilan: sosial, ekonomi, politik, dan ekologis. Kedua adalah menyangkut penyediaan infrastruktur yang dapat memberikan perempuan akses pada media dan ICT sesuai dengan kebutuhannya serta mengembangkan komunikasi yang menguntungkannya (Wickett, 2004). Ketiga menyangkut pendidikan, training dan perkembangan karier, isu utama adalah dengan mendidik anak-anak perempuan dalam penggunaan media dan ICT; men-training lebih banyak perempuan dalam komunikasi dan ICT yang bersifat populer dan masal; dan membawa perempuan pada level decision-making dalam industri media dan institusi-institusi pemerintahan dalam Kementerian Informasi dan Komunikasi untuk ikut mengubah dan mentransformasi status-quo di dalamnya (Subrahmanian, 2002). Ketika sampai pada ruang kenyataan, yang tersedia dalam konten media massa adalah kenyataan yang suram dan pahit. Internet sebagai sumber daya publik dan sebagai public good, tidak sungguh-sungguh mempromosikan pakta-pakta tersebut sebelumnya. Motif terhadap profit telah mengokupasi dan mendominasi ruang publik yang seharusnya bebas dari cemaran dan polutan-polutan yang bersifat seksis, misoginis dan rasis. Motif atas profit ini merupakan aliran media yang bersifat mono-kultural dan satu arah yang menutup kemungkinan kekayaan sumber definisi dan sumber pencitraan serta representasi para Liyan. Seperti dicontohkan pada iklan kosmetik yang didominasi definisi cantik Kaukasian yang diimpor secara sewenang-wenang, dan diafirmasi oleh negara-negara dunia ketiga, yang notabene memiliki khasanah kecantikannya sendiri. Keberagaman ekspresi linguistik dan budaya, serta artikulasi lokal dari negara-negara ini juga tak sungguh-sungguh diolah sendiri untuk pengayaan pasar dan sumber profit. Kreatifitas mandeg dan mati menghamba pada profit masal. Dengan deklarasi dan platform untuk aksi Beijing 1995, konten media perlu direvisi untuk dapat memenuhi “kebebasan berekspresi" dan merawat ruang publik dalam media massa sebagai tempat penyelenggaran seluruh pesta atas keadilan (sosial, politik, gender, dan ekologis). Aktivisme Media Aktivisme klik dalam Socmed, seperti Facebook dan Twitter merupakan ruang yang dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan mengakselerasi aktivisme dan menggalang dukungan, petisi (seperti Change.org, Avaaz, Care2, 350.org, dll), donasi, crowd-funding untuk proyek-proyek kemanusiaan dan ekologis. Cyberfeminisme sejak tahun 1980-an telah menghitung ini sejak kemunculan world wide web dalam akses terhadap internet, atau kerap disebut broadband (Sprigman & Lurie, 2004). Bahwasanya penyebaran secara konvensional dan klasik atas perjuangan kesetaraan dan keadilan gender harus mampu merebut ruang ini dengan maksimal. Media-media komersial, baik klasik dan digital, selama ini mempelajari benar, apa keinginan pembelinya, baik secara usia, demografis dan cita rasa. Mereka mengolah hasrat konsumen tersebut dalam iklan-iklan—selain juga mendiktekan produknya secara Spartan. Konsumen diolah dalam iklan dengan meneliti platform dan fungsionalitas produk yang dijual, sembari menekan angka produksi untuk memaksimalkan profit. Imajinasi akan kulit putih, pada diri perempuan, dieksploitasi sedemikian rupa dengan produk-produk pemutih, tidak hanya wajah, tetapi telah merambah pada tangan dan kaki, kemudian yang terakhir adalah ketiak! Platform merupakan tempat dimana konsumen mengekspresikan dirinya, rasa percaya diri, bahwa putih merupakan jawaban dari seluruh inferior-complex yang diciptakan dalam industri kecantikan. Iklan pemutih ketiak pertama-tama diawali dengan malunya seorang perempuan yang memakai tanktop terlihat ketiaknya yang hitam. Bahkan iklan mampu menciptakan perasaan “rendah-diri” tersebut dengan cukup subtil, implisit, dan lihai untuk meraup profit. Budaya konsumsi massa masih didominasi oleh psikodinamika yang mengandalkan impian, fantasi, dan ilusi bohong atas definisi tertentu, misalnya cantik, ganteng, wanita baik-baik. Ibu baik-baik akan membeli dan menyediakan “mi instan” di rumah jika dia banyak bekerja di luar rumah, supaya anak-anaknya tidak terlantar. Demikian, stereotip, seksisme, misoginisme dan kebohongan berpadu jadi satu mengusung lembar profit rupiah. Padahal tidak ada korelasi analogis dan hubungan kausalitas sebab-akibat antara menjadi ibu yang baik dengan mi instan. Juga tidak ada korelasi positif antara gizi baik atas mi instan, kecuali gizi buruk dan bahaya MSG mengintai. Pasar media mengadvokasi budaya berpakaian, cinta, urusan rumah-tangga, dan kehidupan selebriti sebagai target-target yang siap dimuntahkan dalam frekuensi publik yang seharusnya merawat perihal-perihal sebelumnya (Kee, 2004). Sekarang kelompok geek, tech-savvy, dan high-end, menjadi target paling dominan dalam industri online. Perilaku, hasrat, ideologi mereka benar-benar diobservasi untuk menaikkan margin profit. Konsolidasi ketidakadilan sosial, subversi norma gender, aktivisme dalam Socmed masih mengalami peminggiran yang sangat signifikan dibandingkan dengan media profit raksasa. Tetapi independensinya telah menawarkan banyak solusi bagi sebuah revolusi. Semisal revolusi musim semi di Timur Tengah tahun lalu, dan masih berlangsung sampai sekarang merupakan hadiah dari Socmed yang independen dari negara dan media massa raksasa. Ini menunjukkan bagaimana cyberfeminism dan cyberactivism layak mendapatkan tempatnya sebagai salah satu ruang publik yang perlu dirawat autentisitas dan nilai-nilai perjuangannya. Hal ini untuk memupus dan mereduksi anggapan bahwa Socmed hanyalah tempat sampah bagi narasi verbal dan visual. Socmed merupakan salah satu alat penting dalam aktivisme di abad ke-21 ini. Misalnya, petisi Avaaz telah memiliki hampir 10 juta anggota yang dapat memobilisasi jutaan dolar untuk aksi-aksi kemanusiaan, salah satunya menuntut dihentikannya “corrective rape”, trafficking dan child bride di Afrika Selatan, Uganda, dan negara lain seperti Thailand dan Vietnam. Petisi online memiliki kekuatan untuk memobilisasi massa secara real-time pada pihak-pihak yang melemahkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Bahkan pejabat negara tak luput dari petisi. Seperti petisi via Change.org terhadap pernyataan seksis hakim Daming merupakan bukti efektivitasnya. Juga petisi terhadap kasus Bupati Garut Aceng Fikri merupakan inisiasi massal yang dilakukan oleh publik dalam menolak perlakuan tidak adil pejabat negara terhadap perempuan. Petisi online dan Cyberfeminisme telah mengubah wajah demokrasi di Indonesia. Telah pula mengubah wajah aktivisme yang sebelumnya turun ke jalan. Socmed merupakan panggung, merupakan jalanan, dimana orang-orang membentangkan spanduk protes dan kampanye melawan ketidakadilan, kesewenangan dan otoritarianisme. Melawan Pelecehan Diperkirakan 30 persen penduduk dunia sekarang dapat mengakses internet, dan tujuh dari sepuluh orang di negara berkembang memiliki handphone. Tetapi bahwa di bagian negara-negara kurang berkembang, angkanya sangat jauh di bawahnya. Seperti di Afrika yang hanya 11,4% dan Amerika Latin 36,2%. Sedang Indonesia sendiri adalah pengguna Socmed tertinggi di dunia, dengan pengguna internet sebesar 60% lebih di tahun ini, kebanyakan di daerah-daerah urban baru, sub-urban dan kota-kota besar—terbesar dalam rangking adalah Jakarta, Bodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Denpasar dan Makasar (Tekno Kompas, 28.10.2011). Sampai dengan tahun 2012 pengguna internet Indonesia menaik dari kisaran 30-35% di tahun 2010, 40-45% di tahun 2011, dan lebih dari 50% di tahun 2012 (Marketeers & Markplus, 2012). Dan 80% penggunanya adalah kelompok muda. Angka tersebut menunjukkan bahwa akses jauh lebih bermakna daripada infrastruktur, meskipun ia memiliki fungsi penting. Dan dalam beberapa kasus, netizen dipaksa dan dimobilisasi, meskipun mereka juga merupakan ceruk kritis, untuk pertumbuhan korporasi dan profit dan bersifat buta-gender dalam implementasi kebijakannya. Kampanye yang dilancarkan dalam jejaring cyberfeminism baik melalui blog dan socmed memainkan peranan penting dalam mengusir kebisuan, dalam melawan lupa, dalam merawat ingatan, dalam proses healing, untuk mewujudkan dunia virtual yang seadilnya bagi perempuan dan kelompok rentan. Perlawanan terhadap serangan seksual secara virtual, pelecehan seksual, dan ancaman-ancaman lain seringkali intens dan bertujuan untuk membungkam dan menyensor perempuan. Dan ini merupakan ancaman paling eksplisit dalam ruang publik yang dapat dilawan dengan melawan takut itu sendiri. Dengan “take back the tech” (menguasai teknologi) dan tech-savvy, perempuan dapat menggunakan teknologi untuk melindungi dirinya dari serangan dan pelecehan yang mendiskreditkan dan memeras mental takut perempuan. Bekerja untuk membela diri, bekerja untuk menguasai ICT dan melawan kesewenangan para predator seks dalam dunia maya (Kuga Thas, 2003). Perempuan perlu dan harus mengetahui bagaimana internet bekerja, dimana titik rentan yang harus mereka kuasai jika terjadi proses-proses pencurian data dan serangan seksual. Cyberfeminism dalam hal ini mempertahankan hak berinternet sebagai media komunikasi dan sebagai ruang publik yang aman bagi perempuan dan kelompok rentan. Dengan makin banyaknya cyber harassment, atau pelecehan dan serangan seksual secara virtual, telah dilahirkan “cyber harassment law” di beberapa negara maju untuk menangkal serangan semacam itu. Dengan dunia online yang demikian misoginis, perempuan dapat menciptakan bubble (ruang pejal dan plastis) sendiri untuk memberikan dirinya batas sekaligus nafas untuk menghindari segala bentuk pelecehan seksual, sembari juga menikmati kebebasannya untuk mengekspresikan karya dan karsanya di dunia maya. Referensi Burch, Sally and Irene Leon. 2003. Directions for Women’s Advocacy on ICT: Putting New Technologies on the Gender Agenda. Philippines: APCWNSP. p. 31-47. Gurumurthy, A. 2004. Gender and ICTs: Overview Report. Brighton: BRIDGE, Institute of Development Studies. p.20. Haraway, Donna. 1985. “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century” dalam Socialist Review. New York: Routledge. (149-181). Hersh, M. 2000. ‘The Changing Position of Women in Engineering Worldwide”. IEEE Transactions of Engineering Management. Vol. 47, No. 3, August. p.346. Kee, J. 2004. “Using ICT in Services, Public Education and Advocacy”. Case study prepared for the APC WNSP-organized Gender and ICT Policy Advocacy Workshop, Asia Pacific NGO Forum, Beijing+10, Bangkok, Thailand, 2 July 2004. Kuga Thas, A. M. 2003. “Potential Benefits of ICT and Gender Related Barriers”. Paper prepared for UN Economic and Social Commission for Asia and the Pacific and presented at the Forum on Gender and ICTs, Kuala Lumpur, Malaysia, 21 August 2003. Sprigman, C. and Lurie, P. 2004. “Broadband Marxism”, in Foreign Policy, March/April, http://www.foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id=2509. Subrahmanian, R. 2002. “Gender and Education: A Review of Issues for Social Policy” in Social Policy and Development Programme Paper No. 9. April 2002. United Nations Research Institute for Social Development. Wickett, E. 2004. “Video for development communication”, The Drum Beat, Issue 256, 5 July, The Communication Initiative. http://www.comminit.com/drum_beat_256.html Gender-Empowering Tech Website: http://www.genderit.org/category/tags/end-vaw Overall aggregated map: www.takebackthetech.net/mapit/ Bosnia Herzegovina: http://ba.takebackthetech.net/mapit/ Colombia: http://co.takebackthetech.net/mapit/ Democratic Republic of Congo: http://cd.takebackthetech.net/mapit/ Kenya: http://ke.takebackthetech.net/mapit/ Mexico: http://mx.dominemoslatecnologia.net Pakistan: http://pk.takebackthetech.net/mapit/ Philippines: http://ph.takebackthetech.net/mapit/ http://www.genderit.org/category/tags/end-vaw Ada tiga perihal dalam permenungan perjalanan dari Solo ke Pegunungan Kendeng. Udara. Tanah. Air. Seperti sepanjang pegunungan karst, dengan keterjalan dan keuletan tanah liatnya. Seperti simfoni Dvořák No 9 mengiringi kematian ekosistem demi pembangunan Bendungan Besar Narmada yang diprotes mati-matian oleh Arundhati Roy, atau Bendungan Aswan oleh ayah Leila Ahmed. Kematian ada di mana-mana. Bangkai-bangkai ekologi telah berubah menjadi debu. Debu menyebar seperti lalat yang tak mau kalah. Putih meratap di dinding kaca truk yang dikendarai sopir-sopir dari Gresik. Keempat roda diaktifkan merangkak melewati beberapa ledokan tikungan di luar aspal di sepanjang tanjakan Gunung Botak. Debu terbangan. Sedang di depan, belakang, truk-truk menggendong batu-batu keluar masuk hutan Jati. Terkadang bangkai-bangkai kayu Jati ditata, setelah sebelumnya diteres agar berkurang kambiumnya, dan siap ditebang. Tak ada kekayaan yang demikian melimpah selain terasiring sawah yang sungguh menawan di Cekungan Air Tanah Watu Putih. Tempat para penguasa melempar klaim bahwa ketandusannya, kekeringannya, ketaksuburannya, maka dibolehkan tambang Semen ada.
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang (JMPPKR) telah tahunan menginisiasi penolakan tambang ini. Warga Sukolilo Pati juga telah berhasil berkeras hati melindungi ketiga jati diri nasion itu: udara, tanah, air. Ini seperti persaksian tentang kematian-kematian baru. Penyaliban Yesus menemu jalannya pada ekosida Watu Putih. Mengunjungi mayat-mayat sungai yang mulai mengering, mulai diurug, mulai kehilangan debit airnya. Aku merinding, menekan seluruh amarah, setiap berada di sumber-sumber airnya. Sendang Andong, Sendang Sukun, dan sungai-sungai bawah tanah yang mulai diledakkan satu demi satu. Suara dinamit, setidaknya sehari empat sampai dengan lima kali. Rasa sakit sekujur tubuh diceritakan Sukinah dengan mata berkaca-kaca. “Rasanya seperti tubuh saya ini yang dirusak. Koyo ngandhut bayi sungsang”. Aku pun berkaca-kaca. Kesuburan yang membentang di cekungan ini sampai kapan ada? Bumi sebagai makhluk tak memiliki harkat eksistensinya, selain puluhan mata ibu-ibu yang meringkuk di bawah tiga tenda di mulut tapal pembangunan tambang Semen Kendeng di Rembang ini. Seperti biasa, aku akan menelepon Ivan, menanyakan pada Make atau Pupa, apakah dia baik-baik saja, atau rewel. Duduk bersama di bawah tenda biru dengan terik matahari menyengat dan kendaraan berat lalu lalang terbangkan debu putihnya. Yu Nah lebih banyak menceritakan cucunya yang baru lahir, sedang aku menceritakan Ivan. Ibu-ibu yang lain bercerita tentang anak-anak mereka yang ditandai di sekolahan, sebagai keluarga penolak semen. Seperti cap PKI, seperti stigma najis—narasi simbolik muasal dari seluruh konflik horisontal di Watu Putih. “Dulu, kami membagi sayur. Kami saling. Sekarang, jika tak ada sayur, kami harus beli. Biyen guyub. Saiki crah”. Watu Putih demikian muram. Tak terbayangkan darah haid yang mengalir dari perut bumi—dari gua-gua, ponor-ponor, dan sungai bawah tanah yang mereka ledakkan dengan semena. Siapakah aktor paling jahat yang sudi sia-sia merusak? Yang membarangkan seluruh perihal. Tuan-Puan Kapitalis yang datang dengan membawa mimpi uang akan tumbuh, membesar, bercabang subur dengan daunnya menghijau, gugur dan menjadi humus, kemudian ditangkap akar dan karst, puluhan tahun, ratusan tahun, menyaringnya, mengendapkannya, lalu mengalirkan air-air bening di bawahnya? Demikiankah cara Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur menarasikan validitas tambang Semen pada warga? Logika sungsang. Sukinah pun sungsang. Mata air Beru Bulan di Desa Pasucen, mendapatkan airnya dari Gua Menggah yang sekarang menyiapkan tubuhnya untuk dibantai habis oleh dinamit-dinamit rakus uang. Tak ada yang lebih muram daripada kematian sebuah mata air. Seperti perempuan yang menyandang darah nifas melahirkan anak-anaknya dalam kondisi mematikan. Rahim Watu Putih tak lagi dapat mengandung pada tahun-tahun mendatang karena dia telah dilacurkan dan diubah seluruhnya menjadi kapital. Dewi Bhumi? Dewi Shri? Mereka sekarat. Mereka sungsang. Seperti ke-29 perempuan-perempuandi Bandungan yang meregang nyawa di usianya menjelang 30 karena terkena HIV-AIDS. Penghargaan atas tubuh bumi, tubuh perempuan, seperti penghargaan atas kertas-kertas. Boleh dicoreti, boleh diludahi, boleh dihinakan, boleh dijualbelikan, boleh dibuang, boleh disiakan. Sampai pada sebuah masa tatkala rahim tak lagi subur, darah menstruasi tak lagi mengalir, anak-anak tak akan bisa dilahirkan—manusia sedang menghabisi spesiesnya sendiri. Manusia-manusia telah mempersiapkan kematian-kematian baru atas tubuh mereka. Melalui udara, tanah, air, manusia menjual harga dirinya dengan harga paling murah. Ketaksuburan. Sekarat-sekarat baru. Bayi-bayi terlahir sungsang. Seperti Sukinah yang tak bisa hamil, melahirkan, dan mengambil keponakannya sebagai anaknya, dan kemudian cucunya terlahir saat-saat pendudukan tapak pabrik Semen. Kesungsangan hati kami adalah memburu mata air-mata air—menarasikan setiap sejarahnya. Merawat subjek pengetahuan yang sebentar lagi akan mangkat. Pesimisku duduk jauh dalam sumur batin Kafka yang dalam, mistis, muram. Segala batas antara kami—Bhumi, Sukinah, aku—hampir tak ada. Dan kadang yang terceritakan secara sederhana—tentang darah haid kami—menjadi demikian bermakna. Seperti kelelawar-kelelawar yang berhenti terbang. Karena gua-gua yang lembab itu tak lagi basah, tak lagi lembab. Manusia kehilangan kemanusiaannya. Manusia-manusia memilih hidup sungsang. Watu Putih Rembang, 14 September 2014 Apakah yang akan dipikirkan Kartini ketika ia melihat para perempuan-perempuan Rembang melakukan protes mempertahankan tanah pertaniannya yang direbut oleh penguasa? Mungkinkah suatu kebetulan bahwa makam Kartini di Desa Bulu terpaut hanya 10 km dari lokasi Ibu-ibu petani mempertahankan tanahnya di kaki Gunung Kendeng? Rembang dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi target pembangunan infrastruktur industri, khususnya pembangungan di wilayah hutan-hutan Gunung Kendeng yang tidak sepatutnya dilakukan. Dalam perjalanan menuju wilayah Pabrik Semen Indonesia saya menatap dengan sedih pepohonan Jati yang berusia puluhan tahun dihancurkan. Sementara pepohonan yang ada di sisi-sisi jalan menuju pabrik, terkulai kekeringan penuh dengan debu putih yang diakibatkan lalu lalang kendaraan proyek. Sesampainya di lokasi tenda-tenda aksi, Ibu-ibu petani dari desa Tegaldowo dan Timbrangan menyambut dengan ramah. Tenda-tenda berwarna biru tua terbentang sebagai tempat pemukiman mereka selama 71 hari ini. Tenda-tenda tersebut terasa sangat panas khususnya di siang hari pada musim kemarau ini, sementara malam-malam mereka begitu dingin. Seorang anak mungil yang menemani perjuangan Ibunya tersenyum ke arah saya, tidak mengeluh, tidak tersirat lelah, hanya ada keluguan seorang anak-anak yang hidup di kaki pegunungan. Para penduduk di desa-desa ini memang hidup secara sederhana, mengandalkan hasil tani seperti jagung, kacang, dan berbagai buah-buahan sebagai bahan pangan mereka dan juga untuk diperdagangkan. Ibu Sukinah, salah satu petani yang bersuara keras menolak pabrik PT. Semen Indonesia menjelaskan pada saya bahwa ia bahagia hidup dalam kesederhanaan. Ia tidak memiliki tabungan di bank, tetapi ia hidup melalui hasil bumi dan ia merasa berkecukupan dengan keadaan itu. Di kala Ibu Sukinah beserta rombongan Ibu-ibu petani mendatangi Komnas HAM di Jakarta, ia bercerita bagaimana perasaannya ketika melihat kerlap-kerlip gedung pencakar langit di Ibukota, ia terpukau dengan segala kemewahan itu, tetapi ia tidak menginginkan hal tersebut. Ia merasa bahagia hidup sebagai petani, ia merasa bangga terhadap pekerjaannya. Ucapan Ibu Sukinah mengingatkan saya tentang ceramah yang dilakukan Vandana Shiva di Ubud perihal pertanian, ia mengatakan bahwa bertani adalah kegiatan yang terdekat dengan tiga kebahagiaan hidup, kebahagiaan antara sesama, dengan alam, dan pada akhirnya dengan Tuhan. Vandana Shiva menegaskan, ada wibawa dan kebanggaan dalam pekerjaan sebagai petani. Melalui aktivitas pertanian yang baik maka sesungguhnya kita bekerja sama dengan alam. Alam sebagai kreator, dan manusia sebagai co-kreator. Menjelang sore hari, Ibu-ibu menyuguhkan saya dan mahasiswi saya pisang-pisangan yang mereka petik dengan tangan mereka sendiri. Kami menyantapnya dengan hati yang pedih, karena meski tengah hidup sukar di dalam tenda-tenda ini mereka bersusah payah untuk menjamu kami. Pembicaraan kami berkembang membahas bagaimana peliknya perjuangan yang mereka hadapi. Setiap acara temu pejabat daerah maupun pihak investor, mereka selalu diserang dengan dalih bahwa para petani tidak paham laporan Amdal dan petani merintangi upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan perekonomian di Rembang. Ibu Sukinah berkata dengan polos, bahwa Ibu-ibu petani memang tidak bersekolah, dan tidak bisa baca tulis, tetapi ia mengerti alam akan rusak bila pabrik tersebut berdiri. Kekhawatiran Ibu Sukinah memang benar, pembangunan pabrik semen di kawasan Watuputih ini tentu akan berdampak besar terhadap sistem ekologi setempat. Pabrik tersebut akan menyebabkan beberapa permasalahan seperti terenggutnya lahan tani, ternak, lalu menimbulkan polusi dan berbagai penyakit, tetapi yang terpenting adalah merusak sumber mata air di kawasan tersebut. Dalam laporan yang dibuat oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang, dijelaskan bahwa Kawasan Watuputih merupakan kawasan karst yang harus dilindungi. Dari sisi ekologis kawasan karst berfungsi vital sebagai penampung air tanah dalam tampungan yang besar, begitu juga sebagai habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa. Penambangan wilayah karst oleh pabrik semen akan menyebabkan kehancuran sungai fungsi hidrologi yang terdiri atas sungai bawah tanah dan sejumlah mata air. Sudah tertera dengan jelas berbagai peraturan RTRW yang menegaskan kawasan Watuputih sebagai kawasan lindung geologi seperti; Perda no. 14 tahun 2014, lalu Perda no. 6 tahun 2010 tentang Cekungan Air Tanah Watuputih sebagai kawasan resapan air yang menjadi kawasan lindung geologi, yang kemudian diperkuat dengan PP no. 26 tahun 2007 tentang RTRW Nasional pasal 53-60 yang mengatakan bahwa kawasan Watuputih merupakan penyuplai terbesar air bagi masyarakat di 14 kecamatan Kabupaten Rembang. Ada lagu yang dinyanyikan oleh Made Mawut, yang terus terngiang-ngiang selama saya bertemu dengan Ibu-Ibu petani. Penyanyi Blues itu mengeluh, bagaimana segala sesuatu sekarang dikomersialisasikan, akhirnya uang yang punya kuasa. Uang membeli apapun, dan memaksa kita untuk menjual diri kita sendiri. Keserakahan terhadap uang yang menyebabkan krisis ini, krisis relasi kemanusiaan, krisis relasi lingkungan, jika kedua relasi tersebut—terhadap manusia dan alam mengalami krisis, pantaskah kita menyebut diri kita sebagi manusia yang bertuhan? Keserakahan merenggut segala yang terbaik dari manusia. Itu mengapa sesungguhnya tidak saja investor yang bersalah terhadap nasib-nasib para petani di Rembang, tetapi juga pemerintah daerah yang memangkas peraturan dan menerobos semua rancangan tata ruang, juga para akademisi atau kaum intelektual yang memperdagangkan ilmunya untuk mengesahkan dokumen-dokumen demi melancarkan proyek penambangan dan pabrik semen. Menjelang matahari terbenam, ibu-ibu berkumpul di sekitar lesung. Silih berganti mereka menumbuk sehingga menjadi ritme tumbukan yang mengiringi nyanyian mereka. Menggunakan bahasa Jawa mereka bernyanyi tentang perjuangan mereka, keindahan alam pegunungan Kendeng, dan sukacita seorang petani. Di akhir nyanyian satu hal yang tertancap di hati saya, “janganlah kau melupakan lesung”. Teman-temanku dimanapun kamu berada, ada peperangan yang sedang terjadi. Benoa, Kendeng, Karawang hanya sebagian dari derita alam, satwa dan masyarakat adat. Tanah airmu sedang dijajah dan dirampok secara besar-besaran, Papua, Kalimantan, Sumatera dan lainnya. Saatnya pola pikir dan tindakan kita diubah, keadilan tidak saja untuk manusia, tetapi keadilan ekologis, untuk seluruh tatanan bio-komunitas. Segalanya telah dilimpahkan oleh alam, ia memberikan kita kehidupan ini, air yang jernih, udara yang segar, makanan yang menyejahterakan, pohon yang meneduhkan. Kini saatnya kita bersuara untuk alam! Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan masuk kategori daerah termiskin di Indonesia, demikian penjelasan Kepala Bappeda Kabupaten Pangkep, Syahban Sammana dalam sebuah acara Training Kepemimpinan Perempuan yang diselenggarakan oleh YKPM bekerjasama dengan Institut KAPAL Perempuan. Mayoritas penduduk miskin di wilayah Kabupaten Pangkep tersebar di empat kecamatan kepulauan dan masuk dalam kategori daerah tertinggal. Daerah tersebut yakni Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kecamatan Liukang Tangaya, Kecamatan Liukang Kalukuang Massalima (Kalmas), dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara. Sebagai bentuk kepedulian dan pengabdian masyarakat, YKPM Sulawesi Selatan yang merupakan mitra Institut KAPAL Perempuan melakukan pendampingan terhadap Kabupaten Pangkep dengan fokus pendampingan pada perempuan (ibu-ibu) miskin penerima manfaat program perlindungan sosial. Dalam melakukan pendampingan terhadap perempuan miskin penerima manfaat program perlindungan sosial di Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, yakni di 4 (empat) desa: Mattiro Kanja, Mattiro Uleng, Mattiro Baji dan Mattiro Bombang yang mencakup 10 wilayah kepulauan, meliputi: pulau Salemo, Sagara, Sabangko, Sakuala, Sapuli, Satando, Saugi, Sabutung, Bangko-Bangkoang dan Kulambing ditemukan sebuah isu krusial yaitu banyaknya perkawinan di usia anak. Perkawinan di usia anak yang terjadi di wilayah ini dikarenakan banyaknya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena toh akhirnya mereka harus mengurus anak dan rumah tangga. Karena anggapan ini pulalah maka banyak kasus putus sekolah pada anak perempuan di kabupaten termiskin di Sulawesi Selatan ini. Rismawati, salah seorang anggota Sekolah Perempuan Pulau menjelaskan bahwa sebenarnya dia bercita-cita melanjutkan sekolahnya sampai ke perguruan tinggi. Tapi apalah daya, setelah lulus SD dia hanya diberi kesempatan melanjutkan pendidikan Kejar Paket B. Setelah selesai menempuh Kejar Paket B, dia tidak diizinkan oleh orang tuanya melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi yakni mengikuti Kejar Paket C. Alasan orang tuanya karena mereka tidak ada biaya. Dan walaupun sudah mencoba bernegosiasi dengan orang tua untuk bekerja agar dapat membiayai sekolah menempuh Kejar Paket C secara mandiri, tetapi orang tuanya belum juga mengabulkan permintaannya. Kali ini alasan mereka kembali ke alasan semula bahwa perempuan tidak usah sekolah tinggi karena pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga. Kejadian yang lebih ironis dialami oleh Dewi. Dewi sudah dinikahkan oleh orang tuanya sejak usia 9 tahun. Kala itu dia bahkan belum mengalami masa menstruasi. Betapa hancur hatinya, mengingat cita-citanya melanjutkan sekolah dan mewujudkan impiannya menjadi seorang Polwan harus kandas di tengah jalan. Dan sekarang di usianya yang sangat belia dia harus melayani laki-laki yang belum pernah dikenalnya sebagai suami. Karena kegigihannya menolak melayani suami, diusia 13 tahun barulah dia bisa terbebas dari kewajibannya menjadi istri setelah dia mengajukan gugatan cerai. Dan betapa menyedihkan bahwa di usia 13 tahun dia sudah menyandang status sebagai janda. Beberapa cerita di atas hanyalah sekelumit cerita sedih perempuan-perempuan pulau yang bertaruh memperjuangkan nasibnya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan terbebas dari belenggu pernikahan usia anak. Kini, Risma dan Dewi serta perempuan pulau lainnya di Kabupaten Pangkep tidak lagi meratapi kesedihan karena sekarang mereka telah tergabung dan belajar di Sekolah Perempuan Pulau. Kisah sedih dan masalah-masalah yang mereka hadapi karena terlahir sebagai perempuan bukan lagi dianggap masalah pribadi mengingat masalah-masalah tersebut juga menjadi masalah bersama, masalah perempuan pulau dan masalah sosial yang harus dipecahkan dan diperjuangkan bersama. Lewat Sekolah Perempuan Pulau, para perempuan merajut asa menggapai cita-cita menjadi perempuan merdeka. Dalam bahasa Bugis mereka menggambarkan semangatnya, Perempuan pulau bisa tonji! (perempuan pulau juga bisa! red.) Good afternoon Everyone. It is an honour for me to see all of you here, and to listen to such powerful messages raised by wonderful speakers. I would like to express my gratitude to several people behind this event. I thank Mbakyu Jacinta Kurniasih, Mas Usman Hamid, and Mas Fitrian Ardiansyah for speaking. My publisher Mas Agus Sarjono from Komodo Books, and the support team Miss Nanda, Tgk Muhammad Riza, Najib Kailani, Patrick Anderson and Evi Eliyanah who shared their testimonials. My deep appreciation and respect to Mas Amrih Widodo and Professor Kathy Robinson who never tire of spreading peace and harmony in Indonesia and Aceh as well. Also to Heather Curnow, a patient and meticulous translator. The support of all of you has made this event possible. I don’t have enough words to express this beautiful feeling. Last but not least, to my lovely hearts Fayyaz and Fata who teach mommy to be firm in a way of humanity through their innocent and sincere love. And, thanks for Fajran Zain, a man who has known me since I was 17, for his enthusiasm in supporting this moment. There are three things I want to emphasize about this book launch and seminar. Firstly, what we are doing today is to fulfill a moral obligation, to open up and widen information, to discuss and maintain our memories. As Paul Ricouer said “We are preventing killing victims for the second time, so let their voices be heard and make those voices become important to us” We have a moral debt to victims everywhere and this is how we should repay it. Remembering is a way to uphold justice. This is the main reason why this book was written. As the author, I can not claim to fully represent the experiences of conflict victims. These poems cannot be compared with their suffering. This is only the testimonial of a researcher and human rights activist. Secondly: the writing process. I made some poems during my field work research entitled "Women and Peace" (in 2008), and more poems during my trip to 300 villages all over Aceh to facilitate training of political leadership and conflict resolution for village leaders (in 2009). Their words pop into my mind spontaneously anytime I am alone. One poem I wrote is called “The Old Well", after meeting a blind woman who was raped by soldiers during the conflict. The peace agreement of 2005 did not change her situation; she was still poor and severely traumatized. She spends all her days at the well showering to purify herself. She feels dirty due to that rape. At another time I met a woman who had an issue of reproductive health, her breasts were wounded, and her vagina constantly bleeding due to the rape, and she treated those wounds with leaves from wild plants in the backyard. I met women who had been accused of spying and feeding the rebels who hide in her house, or because she is a daughter or sister of a freedom fighter. I met a woman who had not a even a word to say after her husband was shot and raped her daughter in front of her in the Rumoh Geudong. I met a woman who took charge as a village leader after all residents, mostly young males, left the village to survive. In this role she had to negotiate with the army, protect the remaining elderly people, children and male residents, and even collect dead bodies found in the street. Unfortunately, after peacetime none of her efforts were recognized and her leadership was considered against Islamic law. Some poems reflect peace progress in Aceh and the misuse of Islamic law implementation. I wrote a poem “Building a Boat in Paradise” in 2011 describing a naive condition of Aceh. Despite aid pouring in from all over the world to help with post-tsunami and post-conflict recoveries, the victims, especially women and children, were left behind by these agendas. Violence against women in the name of religion, corruption, and poverty are increasing. Peace seems distant from the 2005 Helsinki spirit. The third factor is accountability. This is the second version of the book and written in English. It contains only 30 selected poems related to the peace progress in Aceh as we are commemorating 9 years of the peace agreement (15 August 2005 to 15 August 2014). The first version, written in bahasa Indonesia was entitled “Pulang, Melawan Lupa (Coming Home, Resisting Forgetting)” published in February 2012. It was launched in Aceh and attended by the government, religious leaders, customary leaders, activists and writers. The book has been discussed at ANU, and Marcus Mietzner was a Moderator. It has also been discussed in several other places in Indonesia, such as Padang, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Jepara, Madiun, and twice in Kuala Lumpur at major international literary events (2012 and 2013). Please bear in mind, it is not only about launching and reading the poetry, but a strategic campaign to fight against silence and denial, to uphold justice. And to restore the rights of victims. It is not merely writing and speaking, but working and contributing as well. I will close my testimony today with this simple statement: chronic wounds, non-stop disappointments, various illnesses, stings in every way, thorns in every gaze, antipathy in any connection but sincerity only sincerity will heal as love is a concern as love is an act let’s welcome a peace day for us thank you very much ! Dewi Candraningrum Chief Editor Jurnal Perempuan (Indonesian Feminist Journal) dewicandraningrum@jurnalperempuan.com In July Chris Vogel wrote in Washingtonian, a monthly magazine distributed in Washington since 1965 focuses on feature journalism, politics and lifestyle. He wrote a specific concern on the appalling fate of two Indonesian migrant workers being enslaved in the house of Syrian-American woman, Farah Atassi. He narrated the fate of “Sinta”—under a pseudo name for protection. On 23 July Agatha Schamedick Tan contacted Jurnal Perempuan regarding the information on Sumaya who was back in Lombok and lost contact with her. Agatha’s work is focusing on domestic workers and labor trafficking for the Asia Pacific American Legal Resource Center (APALRC). She is now helping bringing the case of Indonesian migrant workers under Atassi’s abuse to the court in Virginia. Agatha is looking for other evidence, which is the previous worker who was also being abused and enslaved by Atassi. Her name is Sumaya—was another worker who was trafficked before her client and overlapped with her client briefly in the U.S. This other victim, Sumaya, went back to Lombok a few years ago and Agatha is trying to find her to get a witness statement. So, in a nutshell, she is asking for help trying to find someone in Lombok. It might sound like trying to find a needle in a haystack, but it is very important for justice to prevail, reported Agatha. Jurnal Perempuan then tried to identify and locate women's organization or advocate in Lombok who might be able to help with this and still in process. Agatha emailed us as follows: “her name is Sumaya/ Sumaiyah (last name unknown). She has two grown children, one of whom is named Erwan. Her husband left her many years ago and she does not know if he is dead or alive, remarried or what. Sumaya is in her late 40's or early 50's by now. Sumaya has long black hair and fairly pale skin. She's is average build for an Indonesian woman, not fat or super thin. Sumaya has lived in Lombok most of her life, but she worked in the United States for the better part of seven years, from approximately—the entire time as a pembantu (domestic worker) in the Washington DC/ Northern Virginia area for the employer Ms. Farah Atassi (a Syrian-American woman). Sumaya worked for Ms. Atassi as a nanny/babysitter for Ms. Atassi's two kids Ayah & Hadi, and also as a cook for Ms. Atassi's business in DC, a restaurant called Zenobia Lounge. Sumaya first came to the U.S. in approximately 2004 via an Indonesian-Egyptian recruiter Nura Ziadeh, known as Ibu "Nuroh" or "Nuris." Nura Ziadeh has a home base in both Surabaya and Jakarta, and she is known for having recruited and trafficked many Indonesian to the U.S. Indeed, Nura Ziadeh is now in jail in the United States for having trafficked so many Indonesian women to the U.S. After working in the U.S. for Farah Atassi two years (2004-2006) Sumaya went back to Lombok. Soon after returning home to Lombok in 2006, Farah Atassi called Sumaya directly and begged her to come back and work again in America. Farah Atassi promised Sumaya a salary of $1000 USD/ month. Sumaya then returned to the U.S. and continued working for Farah Atassi for many years, until August 2011 when my client, “Sinta”, was recruited (also by Nura Ziadeh) to replace her. When “Sinta” met Sumaya at the Atassi home in Vienna, Virginia, Sumaya was not well. Sumaya was exhausted and suffering from a lot of backaches and other body pain from too many years of working long hours—she was forced to work largely without break from 2006 to 2011. To make matters worse, Farah Atassi had not paid Sumaya for most of the time she was working there. Farah Atassi kept promising that she would pay her "when it was time to go home." In 2011 when it was time for Sumaya to go and “Sinta” to start, Sumaya was told that she was only going to be paid $500 USD/ month for her many years of dedciated service. Farah Atassi finally allowed Sumaya to return home to Lombok in September, 2011. “Sinta” has tried calling Sumaya via her son's (Erwan's) cell phone since then, but it seems the phone number is no longer in service”. Agatha is now in process of litigating this case. Indonesian domestic worker who was trafficked to America and elsewhere (mainly to Middle East and Malaysia) and forced to work largely without pay are abundant, ubiquitous and most of the time invisible. Agatha, Jurnal Perempuan and other three Sahabat Jurnal Perempuan (Friend of Jurnal Perempuan) in Lombok are now trying very hard to look for Sumaya—in order to bring justice for both Sumaya dan “Sinta” for the abuse they suffered at the hands of Farah Atassi. Dian Aryani (Yayasan Tunas Alam Indonesia), Yuni Riawati (Jaringan Masyarakat Sipil Lombok Barat) and Ririn Hayudiani (Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra) have been for several days trying to locate Sumaya but in vain. Any readers please kindly assist us in locating Sumaya in Lombok. Any suffered migrants workers abroad being enslaved would love nothing more than to bring justice to both. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|