Keberadaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan banyak keluarga di Indonesia. PRT berperan penting dalam menunjang aktivitas sehari-hari anggota keluarga khususnya keluarga kelas menengah perkotaan. Namun harus kita akui terdapat kecenderungan jasa PRT semakin mahal dan semakin sulit pula didapat. Cepat atau lambat, kita harus menyiapkan diri untuk hidup mandiri tanpa mengandalkan PRT. Dari sisi suplai, sulitnya mendapatkan PRT tidak semata disebabkan menurunnya jumlah PRT. Saat ini menjadi PRT di luar negeri lebih menarik perhatian perempuan berpendidikan rendah dan menengah, karena menjanjikan imbalan finansial yang lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang sama di dalam negeri. Bagi PRT yang memilih melanjutkan profesinya di dalam negeri, terdapat peningkatan kesadaran akan hak-haknya sebagai pekerja. Merupakan hal yang lumrah saat seorang calon PRT menegosiasikan kontrak kerjanya dengan calon majikan. Kecil kemungkinan hal ini terjadi di era 1970-an saat PRT pada umumnya “menerima” apapun pekerjaan yang ditugaskan dan berapapun besaran gaji yang ia terima. Fenomena peningkatan kesadaran hak-hak sebagai pekerja adalah positif, perlindungan hukum dan HAM pekerja (termasuk PRT) harus dijunjung tinggi, kontrak kerja harus memuat kejelasan hak dan kewajiban pekerja dan majikan. Ada hal yang lebih mendasar terkait hidup dengan atau tanpa PRT, yaitu perlunya perubahan sikap dalam memandang pekerjaan domestik yang secara umum dianggap tanggung jawab perempuan (istri, ibu, PRT) menjadi tanggung jawab bersama suami, istri dan anggota keluarga lain. Instansi pemerintah dan swasta juga harus mengubah sikap mereka terhadap pekerja dan keluarganya. Baik pemerintah dan swasta harus bahu membahu menciptakan lingkungan kerja ramah keluarga dengan menyediakan fasilitas tempat penitipan anak, menyediakan pilihan jam kerja fleksibel dan paruh waktu, serta membuka peluang cuti yang lebih panjang—berbayar atau tanpa bayaran—bagi pekerja yang memiliki anak balita. Demikian pula negara wajib mendukung dengan antara lain membuat kebijakan dan program-program pelayanan publik yang lebih ramah keluarga. Naomi Wolf (2002) dalam bukunya “Misconceptions: truths, lies and the unexpected on the journey to motherhood” menyatakan bahwa sesungguhnya negara dapat melakukan tindakan nyata untuk memecahkan “masalah orang tua bekerja” (lebih sering disebut “masalah ibu bekerja”). Wolf menuliskan sebuah kisah perang dunia II saat pemerintah Amerika Serikat sangat membutuhkan ibu-ibu untuk bekerja di pabrik-pabrik senjata guna memasok persenjataan perang. Saat itu para laki-laki yang semula bekerja di pabrik tersebut berada di medan perang. Guna memudahkan para ibu dengan anak balita bekerja di pabrik, pemerintah berinisiatif membebaskan mereka dari beban domestik dengan cara menyediakan tempat penitipan anak, layanan belanja, laundry, membersihkan rumah dan katering di setiap wilayah dimana pabrik berlokasi. Penyediaan layanan diatur sedemikian rupa di tingkat komunitas. Tersedia pula fasilitas kesehatan, rekreasi dan layanan menjahit baju anak-anak yang sobek. Layanan paling “revolusioner” adalah di sore hari yaitu tersedianya makanan siap saji untuk ibu-ibu yang lelah bekerja, yang dapat diambil di tempat penitipan anak saat mereka menjemput anak-anak pulang. Fasilitas tempat penitipan anak berbasis komunitas membuat para ibu merasa aman meninggalkan anak-anak mereka dengan pengasuh yang mereka kenal. Berbagai layanan penunjang lainnya memampukan para ibu berkonsentrasi penuh pada pekerjaan di pabrik dan menghasilkan produktivitas lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak menyediakan fasilitas serupa. Setelah perang usai, laki-laki membutuhkan pekerjaan mereka kembali dan para perempuan kembali ke rumah. Sistem yang sukses memecahkan masalah orang tua bekerja dihentikan begitu saja. Sayang sekali buku-buku pelajaran sejarah tidak pernah memuat kisah di atas sehingga kita jarang bahkan tidak tahu bahwa sangat mungkin—melalui kerjasama berbagai pihak—memecahkan masalah orang tua bekerja yang selama ini dianggap masalah perempuan semata. Akibatnya banyak perempuan “berhenti berkembang” setelah menikah dan memiliki anak karena sebagian besar waktu dan tenaga tercurah untuk urusan domestik. Hal ini menjelaskan mengapa anak-anak perempuan yang berprestasi cemerlang saat di bangku sekolah tidak terdengar lagi kiprahnya saat mereka dewasa. Ada beragam bentuk “berhenti berkembang” namun yang lazim terjadi adalah perempuan berhenti sekolah dan berhenti bekerja karena waktu dan tenaga terserap pada tanggung jawab domestik. Lebih dari sekadar “berhenti” keduanya dapat dimaknai tertutupnya akses perempuan—sebagian berlangsung permanen—terhadap pendidikan dan pendapatan. Kedua hal tersebut sangat berpengaruh bagi kemandirian dan posisi tawar perempuan serta kesejahteraan anak, saat situasi baik-baik saja dan saat situasi sulit seperti terjadinya KDRT, perceraian dan kematian suami. Seharusnya keluarga adalah wadah dimana setiap individu dapat optimal mengembangkan potensi dirinya dengan dukungan seluruh anggota keluarga, namun fakta seringkali berbicara lain. Secara sosiologis, perilaku seseorang tidak terlepas dari faktor sosial di sekelilingnya. Saat seorang perempuan memutuskan mengorbankan peluang pengembangan diri demi keluarga, di permukaan, tindakan tersebut seolah adalah tindakan pribadi yang dilakukan dengan sukarela. Pada kenyataannya bisa jadi tindakan tersebut adalah akibat tekanan sosial yang menempatkan perempuan di ranah domestik dan membuatnya tidak memiliki banyak pilihan. Bagaimana dengan perempuan berstatus menikah yang memutuskan untuk tetap aktif di sektor publik? Situasinya tidak selalu lebih baik karena ia dituntut untuk tetap bertanggungjawab terhadap sebagian besar atau seluruh urusan domestik. Hal ini tidak berlaku bagi laki-laki. Dalam rumah tangga seorang suami biasanya mengandalkan istrinya untuk menangani pekerjaan domestik namun tidak sebaliknya. Pola yang lazim terjadi adalah saat seorang istri (ibu rumah tangga atau ibu pekerja) merasa terbebani dengan pekerjaan domestik, ia cenderung meminta bantuan perempuan lain seperti anak perempuannya, ibunya atau PRT, bukan suaminya. Akhirnya terselenggaranya pekerjaan domestik adalah hasil kolaborasi antara sesama perempuan dengan keterlibatan minimal atau tanpa keterlibatan laki-laki. Bagi perempuan semua situasi di atas melelahkan, tidak membahagiakan, tidak adil, bahkan melahirkan perasaan bersalah yang tidak perlu. Dalam pandangan umum pekerjaan domestik dipandang sebagai kewajiban moral perempuan yang dikemas dalam balutan berbagai ideologi. Jarang muncul ke permukaan pemahaman bahwa pekerjaan domestik adalah aktivitas bernilai ekonomi yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan. Tanpa dukungan sektor domestik, akan banyak sendi kehidupan di sektor publik yang tidak akan berfungsi optimal. Sebagai istri dan ibu saya memahami bahwa dalam kehidupan rumah tangga ada saat-saat dimana pihak tertentu perlu menyesuaikan atau bahkan mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan anggota keluarga lain. Namun tidak adil bila salah satu pihak--dalam hal ini perempuan--terus-menerus diminta berkorban secara tidak proporsional. Pada akhirnya banyak hal bersumber pada ketimpangan gender di dalam rumah. Dari rumahlah perjuangan kesetaraan gender dimulai, selain perjuangan di tingkat komunitas, masyarakat dan negara.
1 Comment
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|