Ada tiga perihal dalam permenungan perjalanan dari Solo ke Pegunungan Kendeng. Udara. Tanah. Air. Seperti sepanjang pegunungan karst, dengan keterjalan dan keuletan tanah liatnya. Seperti simfoni Dvořák No 9 mengiringi kematian ekosistem demi pembangunan Bendungan Besar Narmada yang diprotes mati-matian oleh Arundhati Roy, atau Bendungan Aswan oleh ayah Leila Ahmed. Kematian ada di mana-mana. Bangkai-bangkai ekologi telah berubah menjadi debu. Debu menyebar seperti lalat yang tak mau kalah. Putih meratap di dinding kaca truk yang dikendarai sopir-sopir dari Gresik. Keempat roda diaktifkan merangkak melewati beberapa ledokan tikungan di luar aspal di sepanjang tanjakan Gunung Botak. Debu terbangan. Sedang di depan, belakang, truk-truk menggendong batu-batu keluar masuk hutan Jati. Terkadang bangkai-bangkai kayu Jati ditata, setelah sebelumnya diteres agar berkurang kambiumnya, dan siap ditebang. Tak ada kekayaan yang demikian melimpah selain terasiring sawah yang sungguh menawan di Cekungan Air Tanah Watu Putih. Tempat para penguasa melempar klaim bahwa ketandusannya, kekeringannya, ketaksuburannya, maka dibolehkan tambang Semen ada.
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang (JMPPKR) telah tahunan menginisiasi penolakan tambang ini. Warga Sukolilo Pati juga telah berhasil berkeras hati melindungi ketiga jati diri nasion itu: udara, tanah, air. Ini seperti persaksian tentang kematian-kematian baru. Penyaliban Yesus menemu jalannya pada ekosida Watu Putih. Mengunjungi mayat-mayat sungai yang mulai mengering, mulai diurug, mulai kehilangan debit airnya. Aku merinding, menekan seluruh amarah, setiap berada di sumber-sumber airnya. Sendang Andong, Sendang Sukun, dan sungai-sungai bawah tanah yang mulai diledakkan satu demi satu. Suara dinamit, setidaknya sehari empat sampai dengan lima kali. Rasa sakit sekujur tubuh diceritakan Sukinah dengan mata berkaca-kaca. “Rasanya seperti tubuh saya ini yang dirusak. Koyo ngandhut bayi sungsang”. Aku pun berkaca-kaca. Kesuburan yang membentang di cekungan ini sampai kapan ada? Bumi sebagai makhluk tak memiliki harkat eksistensinya, selain puluhan mata ibu-ibu yang meringkuk di bawah tiga tenda di mulut tapal pembangunan tambang Semen Kendeng di Rembang ini. Seperti biasa, aku akan menelepon Ivan, menanyakan pada Make atau Pupa, apakah dia baik-baik saja, atau rewel. Duduk bersama di bawah tenda biru dengan terik matahari menyengat dan kendaraan berat lalu lalang terbangkan debu putihnya. Yu Nah lebih banyak menceritakan cucunya yang baru lahir, sedang aku menceritakan Ivan. Ibu-ibu yang lain bercerita tentang anak-anak mereka yang ditandai di sekolahan, sebagai keluarga penolak semen. Seperti cap PKI, seperti stigma najis—narasi simbolik muasal dari seluruh konflik horisontal di Watu Putih. “Dulu, kami membagi sayur. Kami saling. Sekarang, jika tak ada sayur, kami harus beli. Biyen guyub. Saiki crah”. Watu Putih demikian muram. Tak terbayangkan darah haid yang mengalir dari perut bumi—dari gua-gua, ponor-ponor, dan sungai bawah tanah yang mereka ledakkan dengan semena. Siapakah aktor paling jahat yang sudi sia-sia merusak? Yang membarangkan seluruh perihal. Tuan-Puan Kapitalis yang datang dengan membawa mimpi uang akan tumbuh, membesar, bercabang subur dengan daunnya menghijau, gugur dan menjadi humus, kemudian ditangkap akar dan karst, puluhan tahun, ratusan tahun, menyaringnya, mengendapkannya, lalu mengalirkan air-air bening di bawahnya? Demikiankah cara Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur menarasikan validitas tambang Semen pada warga? Logika sungsang. Sukinah pun sungsang. Mata air Beru Bulan di Desa Pasucen, mendapatkan airnya dari Gua Menggah yang sekarang menyiapkan tubuhnya untuk dibantai habis oleh dinamit-dinamit rakus uang. Tak ada yang lebih muram daripada kematian sebuah mata air. Seperti perempuan yang menyandang darah nifas melahirkan anak-anaknya dalam kondisi mematikan. Rahim Watu Putih tak lagi dapat mengandung pada tahun-tahun mendatang karena dia telah dilacurkan dan diubah seluruhnya menjadi kapital. Dewi Bhumi? Dewi Shri? Mereka sekarat. Mereka sungsang. Seperti ke-29 perempuan-perempuandi Bandungan yang meregang nyawa di usianya menjelang 30 karena terkena HIV-AIDS. Penghargaan atas tubuh bumi, tubuh perempuan, seperti penghargaan atas kertas-kertas. Boleh dicoreti, boleh diludahi, boleh dihinakan, boleh dijualbelikan, boleh dibuang, boleh disiakan. Sampai pada sebuah masa tatkala rahim tak lagi subur, darah menstruasi tak lagi mengalir, anak-anak tak akan bisa dilahirkan—manusia sedang menghabisi spesiesnya sendiri. Manusia-manusia telah mempersiapkan kematian-kematian baru atas tubuh mereka. Melalui udara, tanah, air, manusia menjual harga dirinya dengan harga paling murah. Ketaksuburan. Sekarat-sekarat baru. Bayi-bayi terlahir sungsang. Seperti Sukinah yang tak bisa hamil, melahirkan, dan mengambil keponakannya sebagai anaknya, dan kemudian cucunya terlahir saat-saat pendudukan tapak pabrik Semen. Kesungsangan hati kami adalah memburu mata air-mata air—menarasikan setiap sejarahnya. Merawat subjek pengetahuan yang sebentar lagi akan mangkat. Pesimisku duduk jauh dalam sumur batin Kafka yang dalam, mistis, muram. Segala batas antara kami—Bhumi, Sukinah, aku—hampir tak ada. Dan kadang yang terceritakan secara sederhana—tentang darah haid kami—menjadi demikian bermakna. Seperti kelelawar-kelelawar yang berhenti terbang. Karena gua-gua yang lembab itu tak lagi basah, tak lagi lembab. Manusia kehilangan kemanusiaannya. Manusia-manusia memilih hidup sungsang. Watu Putih Rembang, 14 September 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|