Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa

Dewi Candraningrum: Sukinah Sungsang

15/9/2014

 
Dewi Candraningrum
(Pemred Jurnal Perempuan)
dewicandraningrum@jurnalperempuan.com
Picture
"Sukinah", Dewi Candraningrum, arang di atas kertas, 2014
Ada tiga perihal dalam permenungan perjalanan dari Solo ke Pegunungan Kendeng. Udara. Tanah. Air. Seperti sepanjang pegunungan karst, dengan keterjalan dan keuletan tanah liatnya. Seperti simfoni Dvořák No 9 mengiringi kematian ekosistem demi pembangunan Bendungan Besar Narmada yang diprotes mati-matian oleh Arundhati Roy, atau Bendungan Aswan oleh ayah Leila Ahmed. Kematian ada di mana-mana. Bangkai-bangkai ekologi telah berubah menjadi debu. Debu menyebar seperti lalat yang tak mau kalah. Putih meratap di dinding kaca truk yang dikendarai sopir-sopir dari Gresik. Keempat roda diaktifkan merangkak melewati beberapa ledokan tikungan di luar aspal di sepanjang tanjakan Gunung Botak. Debu terbangan. Sedang di depan, belakang, truk-truk menggendong batu-batu keluar masuk hutan Jati. Terkadang bangkai-bangkai kayu Jati ditata, setelah sebelumnya diteres agar berkurang kambiumnya, dan siap ditebang. Tak ada kekayaan yang demikian melimpah selain terasiring sawah yang sungguh menawan di Cekungan Air Tanah Watu Putih. Tempat para penguasa melempar klaim bahwa ketandusannya, kekeringannya, ketaksuburannya, maka dibolehkan tambang Semen ada.

Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang (JMPPKR) telah tahunan menginisiasi penolakan tambang ini. Warga Sukolilo Pati juga telah berhasil berkeras hati melindungi ketiga jati diri nasion itu: udara, tanah, air. Ini seperti persaksian tentang kematian-kematian baru. Penyaliban Yesus menemu jalannya pada ekosida Watu Putih. Mengunjungi mayat-mayat sungai yang mulai mengering, mulai diurug, mulai kehilangan debit airnya. Aku merinding, menekan seluruh amarah, setiap berada di sumber-sumber airnya. Sendang Andong, Sendang Sukun, dan sungai-sungai bawah tanah yang mulai diledakkan satu demi satu. Suara dinamit, setidaknya sehari empat sampai dengan lima kali. Rasa sakit sekujur tubuh diceritakan Sukinah dengan mata berkaca-kaca. “Rasanya seperti tubuh saya ini yang dirusak. Koyo ngandhut bayi sungsang”. Aku pun berkaca-kaca. Kesuburan yang membentang di cekungan ini sampai kapan ada? Bumi sebagai makhluk tak memiliki harkat eksistensinya, selain puluhan mata ibu-ibu yang meringkuk di bawah tiga tenda di mulut tapal pembangunan tambang Semen Kendeng di Rembang ini.

Seperti biasa, aku akan menelepon Ivan, menanyakan pada Make atau Pupa, apakah dia baik-baik saja, atau rewel. Duduk bersama di bawah tenda biru dengan terik matahari menyengat dan kendaraan berat lalu lalang terbangkan debu putihnya. Yu Nah lebih banyak menceritakan cucunya yang baru lahir, sedang aku menceritakan Ivan. Ibu-ibu yang lain bercerita tentang anak-anak mereka yang ditandai di sekolahan, sebagai keluarga penolak semen. Seperti cap PKI, seperti stigma najis—narasi simbolik muasal dari seluruh konflik horisontal di Watu Putih. “Dulu, kami membagi sayur. Kami saling. Sekarang, jika tak ada sayur, kami harus beli. Biyen guyub. Saiki crah”. Watu Putih demikian muram. Tak terbayangkan darah haid yang mengalir dari perut bumi—dari gua-gua, ponor-ponor, dan sungai bawah tanah yang mereka ledakkan dengan semena. Siapakah aktor paling jahat yang sudi sia-sia merusak? Yang membarangkan seluruh perihal. Tuan-Puan Kapitalis yang datang dengan membawa mimpi uang akan tumbuh, membesar, bercabang subur dengan daunnya menghijau, gugur dan menjadi humus, kemudian ditangkap akar dan karst, puluhan tahun, ratusan tahun, menyaringnya, mengendapkannya, lalu mengalirkan air-air bening di bawahnya? Demikiankah cara Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur menarasikan validitas tambang Semen pada warga? Logika sungsang. Sukinah pun sungsang.

Mata air Beru Bulan di Desa Pasucen, mendapatkan airnya dari Gua Menggah yang sekarang menyiapkan tubuhnya untuk dibantai habis oleh dinamit-dinamit rakus uang. Tak ada yang lebih muram daripada kematian sebuah mata air. Seperti perempuan yang menyandang darah nifas melahirkan anak-anaknya dalam kondisi mematikan. Rahim Watu Putih tak lagi dapat mengandung pada tahun-tahun mendatang karena dia telah dilacurkan dan diubah seluruhnya menjadi kapital. Dewi Bhumi? Dewi Shri? Mereka sekarat. Mereka sungsang. Seperti ke-29 perempuan-perempuandi Bandungan yang meregang nyawa di usianya menjelang 30 karena terkena HIV-AIDS. Penghargaan atas tubuh bumi, tubuh perempuan, seperti penghargaan atas kertas-kertas. Boleh dicoreti, boleh diludahi, boleh dihinakan, boleh dijualbelikan, boleh dibuang, boleh disiakan. Sampai pada sebuah masa tatkala rahim tak lagi subur, darah menstruasi tak lagi mengalir, anak-anak tak akan bisa dilahirkan—manusia sedang menghabisi spesiesnya sendiri. Manusia-manusia telah mempersiapkan kematian-kematian baru atas tubuh mereka. Melalui udara, tanah, air, manusia menjual harga dirinya dengan harga paling murah. Ketaksuburan. Sekarat-sekarat baru. Bayi-bayi  terlahir sungsang. Seperti Sukinah yang tak bisa hamil, melahirkan, dan mengambil keponakannya sebagai anaknya, dan kemudian cucunya terlahir saat-saat pendudukan tapak pabrik Semen. Kesungsangan hati kami adalah memburu mata air-mata air—menarasikan setiap sejarahnya. Merawat subjek pengetahuan yang sebentar lagi akan mangkat. Pesimisku duduk jauh dalam sumur batin Kafka yang dalam, mistis, muram. Segala batas antara kami—Bhumi, Sukinah, aku—hampir tak ada. Dan kadang yang terceritakan secara sederhana—tentang darah haid kami—menjadi demikian bermakna. Seperti kelelawar-kelelawar yang berhenti terbang. Karena gua-gua yang lembab itu tak lagi basah, tak lagi lembab. Manusia kehilangan kemanusiaannya. Manusia-manusia memilih hidup sungsang.

Watu Putih Rembang, 14 September 2014


Comments are closed.

    Author

    Dewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan

    Jurnal Perempuan terindeks di: 
    Picture
    Picture
    Picture

    Archives

    July 2018
    May 2018
    March 2018
    February 2018
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    June 2017
    November 2016
    July 2016
    June 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    May 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014
    May 2014
    April 2014
    March 2014
    February 2014
    January 2014
    December 2013
    September 2013
    August 2013
    July 2013
    June 2013
    April 2013
    March 2013
    January 2013
    December 2012
    November 2012
    October 2012
    September 2012
    August 2012
    June 2012

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa