Apakah arti dari “arti”? Itu pertanyaan Hilary Putnam. The Meaning of ‘Meaning', paper yang ia tulis 40 tahun lalu itu, menjadi klasik dalam obsesi filsafat analitik. Bahwa ada pengetahuan objektif, dan karena itu yang benar hanya ada bila kita mengerti isi pikiran itu'. Mengerti sesuatu berarti ‘melihat’ kebenaran sebagai objektif, yaitu dengan menunjukkan referensinya di alam realitas. Secara teknis filsafat Putnam disebut “semantic externalism”. Yaitu argumen tentang eksistensi suatu konsep dalam realitas. Bahwa makna dan kebenaran tak hanya bermukim di kepala, melainkan hadir dalam realitas. Tentu, dalam latar belakang anti metafisika, kita memperoleh daya kritis dari filsafat Putman. Tetapi bagi saya, komitmen filosofis Putman memperlihatkan suatu “misi emansipatoris” yang kuat: yaitu kehendak untuk mempersiapkan dunia menemui kebenaran dan keadilan yang nyata bagi semua orang, pada setiap situasi kongkrit kehidupan. Seperti tercermin dalam bukunya Realism With Human Face, ada refleksi kemanusiaan yang kuat untuk terlibat dalam perjuangan hak asasi manusia. Itulah sebabnya ia mengaktifkan diri dalam aktivitas Amnesty Internasional. Filsafat dan dan realitas keadilan, filsafat dan aktivitas kemanusiaan, mengikat kita dalam komitmen awal filsafat: memajukan peradaban. Karena itu, selalu ada kehangatan humaiora yang melampaui kedinginan metode filsafat. Kita hidup kini di era “after deconstruction”. Dan dalam upaya memahami dunia yang korosif ini, filsafat menumbuhkan ulang tema humaniora: pada krisis toleransi di Eropa hari-hari ini, pada duel ideologi yang keras dalam pemilu di Amerika Serikat, juga pada cekcok politik identitas Jakarta menjelang pilkada. Pada kondisi kembalinya “absolutisme”, kita membaca filsafat Putman sebagai undangan untuk berpikir kritis. Memang, kolegialitas filsafat adalah komitmen pada kritisisme. Bukan demi arogansi profesi atau ambisi politik, melainkan pada upaya berkelanjutan untuk terus memelihara akal sehat publik. Kemarin, ada berita duka di lingkungan filsafat dunia: Hilary Putnam, guru besar filsafat Universitas Harvard, meninggal dunia pada usia menjelang 90 tahun. Putnam wafat. Ia meninggalkan “the earth”. Tapi filsafatnya meninggalkan metode “twin earth thought experiment”. Ia melatih kita berpikir, agar tak mudah berbohong. Selamat jalan Pak. Apa konsep anda tentang “filsafat”? Ini pertanyaan ringkas yang berimplikasi panjang. Artinya, dengan merumuskan satu proposisi, anda akan dibawa ke dalam sejumlah konsekuensi. Yaitu konsekuensi epistemik, etik dan politik. Saya membayangkan sejumlah opsi. Umumnya, secara intuitif anda menyebut “kritisisme” sebagai konsep utama filsafat. Dari situ sejumlah istilah metodis muncul: skeptisisme, dekonstruksi, paralogi, dst. Atau, anda memilih cara berpikir “in-the-making” untuk mengamankan filsafat dari potensi fanatisme. Dari situ tercipta sejumlah istilah anggun: posmodernisme, linguistic turn, animal liberation, dst. Juga ada opsi evaluatif, yaitu anda menjadikan filsafat sebagai ruang kontemplasi temporer untuk sesekali bertanya tentang status keyakinan permanen anda. Tetapi apapun konsep anda tentang filsafat, konsekuensinyalah yang sebetulnya diujikan pada konsep itu. Artinya, memegang suatu “sinopsis” tentang filsafat, menuntut pertanggung-jawaban epistemik, etik dan politik. Tentu tak bertanggung jawab bila anda seorang environmentalis tetapi sekaligus hidup dengan mengeksploitasi hirarki politik dalam relasi kolegial. Atau bila anda seorang epistemisi tetapi bersekongkol mendukung kepongahan kebodohan yang kasat mata. Atau bila anda seorang etikus tapi menikmati oportunisme dalam permainan birokrasi kampus. Merumuskan filsafat sebagai pilihan profesional, berarti mengerti makna primer dari konsep “profesionalisme”. Profesi bukan konsep teknis, seperti yang kini umum dipahami. Profesi bukan tentang keahlian yang “teknis”, melainkan tentang keahlian yang “etis”. Itulah sebabnya, menjalankan profesi artinya mengambil tanggung jawab etis. Ketika anda memilih filsafat sebagai profesi, maka seluruh kondisi etis dipertaruhkan maksimal karena justru dengan mengklaim “kritisisme” anda diminta menghasilkan “yang baru”. Pada titik itu berfilsafat adalah tindakan produktif. Ketika anda diuji berfilsafat, , anda sebetulnya diajak untuk melepaskan konservatisme. Tetapi justru itu persoalannya: kenikmatan dan kepentingan adalah alasan yang membius perubahan. Konservatisme adalah patriarkisme tertinggi. Bila hari ini ditanyakan soal di atas: Apa konsep anda tentang filsafat? Saya menjawabnya singkat: “Feminisme”. Ya, pada feminisme saya melihat perjuangan epistemik yang panjang, pertahanan etik yang tak kenal lelah dan upaya keadilan yang radikal. Feminisme adalah filsafat yang menggairahkan perubahan. Selamat Hari Perempuan Sedunia. Suatu sore saya ditelepon sebuah stasiun televisi yang meminta waktu wawancara terkait sertifikasi halal untuk jilbab. Saya terhenyak, sejak kapan muncul ide aneh ini. Lalu, saya membuka internet, terpapar iklan: "Kerudung Bersertifikat Halal Pertama di Indonesia". Astagfirullah, betapa mudahnya orang jualan agama. Sertifikat halal biasanya dimaksudkan untuk menyatakan bahwa sebuah produk halal secara syar'i, dan itu umumnya berbentuk makanan, minuman, kosmetik dan obat. Di Indonesia sertifikat halal dibuat MUI (Majelis Ulama Indonesia), banyak yang menyayangkan mengapa bukan label haram dibuat sehingga dengan mudah dan cepat kita mengetahui mana produk yang tidak layak dibeli olah umat Islam. Lagi pula, untuk mendapatkan label halal itu produsen harus bayar, dan itu dibebankan pada konsumen. Mestinya, pemberian label halal itu gratis (setidaknya ditanggung negara) sehingga konsumen tak merasa dizalimi. Terkait jilbab atau kerudung, siapa berhak memutuskan halal? Apa kriterianya? Setahu saya, jilbab itu berhubungan dengan perintah menutup aurat. Masalahnya, para ulama tidak satu pendapat dalam menentukan batasan aurat. Bahkan, tidak ada tafsir tunggal terkait ayat-ayat jilbab. Tidak heran jika ulama beselisih paham tentang kewajiban berjilbab. Lagi pula, mengapa hanya aurat perempuan yang selalu dipersoalkan? Bukankah aurat laki-laki juga perlu diperbincangkan? Keduanya harus menutup aurat. Keduanya harus berbusana sopan, tidak menyolok dan mengindahkan nilai estetika. Namun pengaturannya jangan sampai mengekang kebebasan berekspresi yang merupakan kebutuhan manusia. Selain itu, perlu pula dipahami bahwa keimanan dan kesalehan seseorang tidak bisa diukur dari busana yang dikenakan. Karena tidak ada batasan aurat yang pasti, kelompok Taliban yang mengklaim diri paling islami menerapkan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, bahkan mata juga aurat. Terciptalah burqah, busana perempuan yg menyerupai kelambu dan menutupi seluruh tubuh perempua dari ujung kepala sampai ujung kaki, tidak tersisa sedikitpun (lihat gambar). Mata pun tertutup, pemakainya hanya melihat melalui celah (sebesar lubang kasa nyamuk) terletak di bagian mata (lihat gambar di atas).
Ketika berada di Afghanistan tahun 2011, saya melihat kelompok Taliban memaksakan penggunaan burqah ini. Kemudian mengecam dan menghukum mereka yang tidak pakai burqah sebagai kafir, berdosa dan masuk neraka. Anehnya, Islam masuk ke Afganistan sejak abad ke-8 Masehi, namun burqah baru dikenal tahun 90-an, sejak masa Taliban. Sebelumnya, perempuan Islam di sana memakai kerudung seperti layaknya Muslimah di berbagai belahan Asia. Kalau ukuran Taliban yang diterapkan, mungkin tak satu pun Muslimah di Indonesia yang selamat karena saya belum menemukan perempuan memakai burqah. Memang ada yang pakai cadar, tapi mata masih terlihat jelas, bahkan lebih jelas dan menonjol dari mereka yang tidak bercadar. Pertanyaannya, tafsiran Islam mana yang akan digunakan oleh pembuat sertifikat halal untuk jilbab atau kerudung? Produsen mana saja yang akan dirugikan atau diuntungkan dengan sertifikasi itu? Pastilah produsen pembayar label halal akan mendapatkan label halal, seperti tertera dalam iklan tadi. Yang pasti, ulama tidak pernah sepakat dalam menentukan bentuk, model, dan bahan jilbab. Bahkan pendapat ulama tentang wajibnya jilbab pun tidak tunggal. Itulah sebabnya, di dunia Islam dijumpai aneka ragam bentuk, model, dan bahan jilbab. Semua orang boleh saja mengklaim miliknya paling islami. Tapi, tidak perlulah jualan label halal, ini sangat menggelikan dan sekaligus juga membodohkan. Marilah kita semua beragama secara cerdas, kritis dan rasional, selalu mengedepankan akal sehat. Menghargai perbedaan tafsir, dan jangan pernah mengklaim diri sebagai paling benar serta menghakimi yang lain dengan tidak islami, kafir dan semacamnya. Hanya Tuhan yang maha tahu siapa di antara hamba-Nya sungguh-sungguh beriman dan berislam. Gadis Arivia (Dosen Filsafat, FIB UI dan Pendiri Jurnal Perempuan) Bagaimanakah reaksi kampus ketika sebagian para menteri dan tokoh politik menentang kegiatan kampus yang jelas-jelas berhubungan dengan studi dan pemberdayaan kelompok minoritas seperti LGBTI? Sebagian kecil melawan dan sebagian besar diam. Para dosen yang progresif, berani mengeluarkan pernyataan menolak pelarangan kegiatan komunitas LGBTI di kampus, namun para pimpinan kampus cenderung menyetujui menterinya atau enggan bersuara. Tentu ini aneh. Sebab kampus adalah tempat berpikir yang otonom, kritis dan peduli pada kaum minoritas. Kepekaan terhadap yang lian (other) justru dipupuk dan dikembangkan di dalam atmosfir kebebasan kampus. Di sinilah tempat diskusi, seminar, dan debat dihidupkan. Para dosen mendorong mahasiswa-mahasiswa mereka untuk berani mengungkapkan pendapat yang berbeda, bersuara dan berpikir. Itu makna kampus bagi saya yang telah mendedikasikan diri lebih dari duapuluh tahun untuk membuat kampus merdeka. Rasa bangga menyelimuti hati seorang dosen manakala melihat anak didiknya memiliki originalitas pikiran, otentisitas diri dan komunikasi yang jujur. Mahasiswa yang bergabung dan berpartisipasi di dalam kelompok SGRC UI seharusnya mahasiswa idaman setiap dosen. Mereka bukan saja memiliki kepedulian pada ilmu tapi kepedulian pada isu-isu minoritas. Anak-anak muda di kelompok ini paham apa artinya menjadi seorang ilmuwan, tidak hanya mengasah otak (semua orang bisa melakukan itu) tapi mengasah hati nurani dan berani menyatakan sikap. Inilah sesungguhnya kualitas seorang pemimpin, kualitas yang sudah semakin jarang ditemukan di kehidupan publik bangsa ini. Kampus tempat pelopor perubahan. Tanpa adanya mahasiswa yang berpikiran maju, negara ini tidak akan menjadi besar seperti sekarang ini. Sebut saja Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-Club) yang diorganisir oleh mahasiswa-mahasiswa ITB dimotori oleh presiden Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925, PPMI (1947), CGMI (1955), GMNI (1961), KAMI (1966), Mahasiswa Menggugat (1974), Gerakan Mahasiswa Anti NKK/BKK (1978), Gerakan Reformasi (1998), dan sebagainya. Memang apa yang dilakukan SGRC UI dan kelompok sejenis bukan gerakan-gerakan besar yang menentang rezim otoriter tapi bagi saya tetap sebuah gerakan besar yang menentang mental diskriminatif. Gerakan-gerakan komunitas semacam ini adalah gerakan-gerakan abad ke-21, yang memiliki tantangannya sendiri. Generasi millennial ingin mengadakan perubahan dalam isu-isu sosial. Generasi ini fasih berbahasa HAM, toleran terhadap etnis, agama dan orientasi seksual yang berbeda. Mereka generasi teknologi informasi yang memiliki akses informasi luas dan berpikiran global namun memiliki kepekaan lokal. Itu sebabnya mereka paham isu LGBTI bukan isu asing atau barat melainkan isu yang ditemukan di masyarakat kita sendiri. Mereka sadar bahwa misalnya tradisi di Bugis (calalai/calabai) dan Jawa Timur (wandu) mengenal gender ketiga. Bahasa generasi millennial adalah bahasa penuh cinta dan kebijaksanaan. Bandingkan dengan bahasa-bahasa para menteri dan pejabat negara yang mengumbar permusuhan dan sangat menghakimi (judgemental), menuduh LGBTI sebagai prilaku menyimpang, tidak sesuai dengan norma, agama dan tradisi budaya Indonesia, serta perusak moral bangsa. Tuduhan-tuduhan tersebut sangat tidak berdasar dan sayangnya diungkapkan oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab atas pendidikan di Indonesia. Di negara tercinta ini banyak kaum LGBTI yang telah berkontribusi untuk negaranya, menjadi ilmuwan, guru, dosen, tokoh LSM, profesional dan pelopor industri kreatif. Mereka adalah asset bangsa yang tak ternilai. LGBTI bukan isu moral tapi isu sosial. Mereka kelompok yang terpinggirkan dan mengalami ketidakadilan. Berbagai penelitian menunjukkan termasuk penelitian saya di Jurnal Perempuan No.87, 2015, memperlihatkan betapa kelompok ini sangat rentan pada kekerasan, bullying, tidak dilindungi hak-hak mereka sebagai warga negara dan termasuk kelompok yang miskin (karena sulit untuk mencari pekerjaan atau mengenyam pendidikan tanpa adanya pelecehan dan diskriminasi). Cinta tidak mengenal ras, agama, etnis dan orientasi seksual. Setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai. Love is a human right. Sambutan Ketua Dewan Juri Kusala Sastra Khatulistiwa 2015 Dewi Candraningrum Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan dewicandraningrum@jurnalperempuan.com Bagaimana menyelamatkan akses pra-linguistik manusia atas supremasi strukturalis bahasa yang ia ciptakan sendiri? Mungkinkah? Bagaimanakah caranya? Apakah melalui kritik-kritik? Ataukah dibutuhkan komitmen lebih mendalam daripada sekadar kritik? Inspeksi melekat atas sastra adalah salah satu versi kiamat tersendiri yang meretaskan ruang simbolik dari akar sejarahnya, semesta semiotika. Sastra mengeksplorasi dan membebaskan bahasa dari penjara tata bahasa menuju pada batas pertanyaan berikutnya: Apakah manusia memiliki jiwa? Kehendak puisi bermain dengan tata bahasa, metafora, dan makna menampilkan bagaimana bahasa melakukan negosiasi komunikasi atas rasa takut dan rasa kehilangan, misalnya. Akses pra-linguistik ini memungkinkan manusia melacak kembali pelbagai jenis kegilaan, obsesi, depresi, dan melankoli yang dimungkinkan hilang dalam sistem representasi dari tanda-tanda, yaitu bahasa. Semiotika membuka keran-keran perjalanan dan membukakan pintu-pintu dari batas simbolisme dan proses simbolisasi. Cara manusia menciptakan subjektivitas tak lepas dari cara ia menemukan apa-apa yang tak disukainya, dijijikinya, atau apa-apa yang dapat membatalkan seluruh eksistensinya. Pada era sekarang, manusia bisa membatalkan hal-hal binatang dalam dirinya: Yang dicirikan oleh tak berbudaya, kulit kusam kotor hitam, rambut tak lurus awut-awutan, atau alter egonya yang maujud dalam diksi sejarah para (t)uhan. Simbolisme memungkinkan kategorisasi atas supremasi dan para liyan yang operasi dan opresi ditentukan oleh hirarki, hegemoni, dan eksploitasi. Semiotika ini akan baik jika memandu bagaimana ide disemaikan via motif karya sastra, yang modusnya direalisasikan dalam elemen-elemen estetiknya, yang pengabdiannya via laku integritas pesastranya. Motif, modus, komitmen, dan integritas inilah yang membangun epistemologi sastra mempertanggungjawabkan kecerdasan etiknya. Penghargaan karya sastra tak boleh melepaskan dirinya dari belenggu simbolisme dan logosentrisme bahasa. Ia tak hanya memiliki kewajiban estetik atas keelokan dan kecerdasan perangkat bahasa, tetapi ia memiliki dharma mulia mengabarkan keberpihakannya pada naskah etik, yaitu kapasitas manusia menolak nilai-nilai totalitarian di dalam dirinya sendiri (seperti menandai identitas kolektif pada bahasa dengan menyerang identitas agama, etnisitas, seksual dan lain-lain). Betapa bahaya proses pemaksaan identitas kolektif atas individu-individu yang sifatnya cair, subjektif dan berproses sepanjang usianya. Sedang muasal ia adalah kebebasan asasi manusia yang sekarang mengalami krisisnya. Psikoanalisa, semiotika, linguistik dan teori feminis yang lahir dari rahim paradigma kritis beramai-ramai menyangsikan bagaimana tanggung jawab etik saat ini sulit dipenuhi. Kita perlu melacak mengapa karya sastra sangsi atas problem dasar manusia yang kehilangan kecerdasan etiknya dan masuk dalam jurang totalitarianisme yang dicirikan oleh watak dasarnya: megalomania. Meminjam Arendt bagaimana ancaman megalomania dapat menghilangkan kebebasan asasi manusia.
Dari Freud, Lacan, kemudian Saussure, Husserl kemudian Kristeva, Irigaray, Beauvoir, Butler dan lain-lain kita dapat membongkar penjara megalomania via pembongkaran supremasi subjek dan tanda. Seorang pesastra bisa saja memiliki baju megah sistem tanda dalam mendirikan subjektivitasnya, tetapi mungkin ia lupa bahwa keduanya diikat oleh jiwa tanda yang hanya bisa dikenali melalui integritas tanda. Indikatornya adalah tanggung jawab etiknya pada persoalan-persoalan jaman. Die Zeitgeist, Jiwa Jaman. Pengantar ini tidak perlu membabarkan: Bagaimana hutan Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, Papua rusak dijarah oleh ideologi Pembangunanisme? Bagaimana menghadapi kepunahan masal biota dan hewan serta perubahan iklim? Bagaimana Ahmadiyah atau Syiah terusir dan kehilangan tanahnya? Bagaimana Muslim Rohingya dilautkan dan nir-warganegara? Bagaimana LGBT di Aceh dan daerah lain mengalami serangan penghinaan setiap hari? Bagaimana Indonesia di Asia Tenggara menempati rangking pertama angka kematian ibu melahirkan dan kedua tertinggi pernikahan anak? Bagaimana hampir lebih dari 84% politik kebijakan bukan berbasis adil tetapi transaksi? Bagaimana re-narasi sejarah emosional 65? Sejarah IANFU, GERWANI dan Korban Perkosaan 98 yang merupakan politik fitnah seksual paling kejam dalam sejarah modern Indonesia? Atau bagaimana Indonesia mengekspor perempuan-perempuannya menjadi buruh migran murah di luar negeri? Dan lain-lain yang tak perlu dinarasikan di sini dengan lebih terangnya. Pertanyaan ini tak perlu didiktekan pada para pesastra. Secara acak, pertanyaan tersebut adalah dasar dari amarah-baik atas horor negeri ini yang sulit dan langka ditemukan dalam karya-karya. Kelangkaan kecerdasan etik dalam karya, mungkin, saya duga, karena kurangnya amarah manusia pada keserakahannya sendiri. Mungkin juga keserakahannya lebih dibimbing oleh miskinnya motif, modus dan integritas sehingga apa yang ada dan disediakan di toko-toko adalah reproduksi monster-monster yang menenangkan hasrat primitif manusia atas diri. Di hampir semua narasi horor, baik narasi verbal atau visual, misalnya, perempuan dikonseptualisasikan sebagai kuntilanak. Sedang LGBT, dinarasikan sebagai kejijikan. Meminjam Kristeva dalam Pouvoirs de l'horreur: Essai sur l'abjection 1980, dinarasikan bagaimana seksualitas adalah tempelan yang membuat perempuan dan LGBT menjadi terhina dalam nilai-nilai modernitas. Bilamana kosmologi tradisional menandainya dengan kesucian, kesuburan dan axis mundi maka manusia sekarang menggunakan agama dan tafsir modernitasnya untuk merongrong seksualitas perempuan korban perkosaan sebagai kuntilanak baru yang pantas dijauhi dan dikucilkan dari masyarakat? Apa beda Pekerja Seks Komersial yang diperkosa dengan perempuan baik-baik diperkosa? Siapa yang akan sastra bela? Keduanya adalah aksi kriminal yang motifnya sama yaitu keserakahan atas diri, terlepas apakah ia perempuan “baik-baik” atau tidak. Sistem tanda kita tentu tak bisa menciptakan diksi baru, bahwa laki-laki yang memperkosa adalah bukan laki-laki baik-baik, bukan? Untuk itulah kemudian Kristeva menulis Au commencement etait I'amour 1941 sebagai pemberontakan linguistik atas penjara rasionalisasi logos dan sistem representasi bahasa: muasal adalah firman versus muasal adalah cinta. Bagaimana semiotika mewacanakan air susu ibu, trauma korban perkosaan, dan lain-lain yang tak tersimpan dalam bahasa dapat diusahakan atas ‘makna’, meskipun tak memiliki ‘arti’ dalam kamus bahasa. Sejak dari dulu sampai dengan sekarang, banyak filsuf mendiskusikan hakikat cinta. Sesuatu yang sentral dalam hidup manusia. Khususnya yang menggunakan metode analisis esensialis (eidetic) untuk mengembangkan dan mempraktekkan fenomenologi realis yang magnum-opusnya dipersembahkan oleh Dietrich von Hildebrand, Hakikat Cinta—yang menteologikan tubuh, kemudian. Filsafat cinta memandang pertanyaan atas cinta apakah sebagai tujuan utama manusia, atau atas kebahagiaan, atau atas arti dan makna cinta, atau atas apakah cinta berpusat pada dirinya atau pada yang dicintainya. Respon atas nilai dan martabat cinta kemudian juga tak menolak interpretasi hedonis atas cinta, sebagai yang tersiratkan dari hasrat atas kesenangan, atau kegenapan, atas pemenuhan diri, dan atas ilmu bahagia yang dipenuhi keberlimpahan cinta yang dipersembahan kepada yang dicintai, atau atas dirinya sendiri (propter seipsam). Seperti narasi cinta yang getir atas hilangnya tak hanya kekasih, tetapi juga ruang-hidup Bhumi yang teracuni radioaktif sampai dengan ratusan tahun ke depan dalam Suara dari Chernobyl:
Kita tak bisa mencegah bahasa yang diupayakan dengan keteguhan motif dan modus dalam upaya integritas yang nyaris sempurna mengkomunikasikan teror kecelakaan nuklir dari Chernobyl dalam surat Svetlana Alexandrovna Alexievich (peraih Nobel Sastra 2015). Melalui cara dan sistem representasi tersebut kemudian peradaban ini memasuki sistem komunikasinya, kemudian diskursus diteguhkan dalam percakapan-percakapan. Kelangkaan logos-logos lain dari masyarakat adat, misalnya. Penyingkiran pandangan dunia para liyan, misalnya. Mereka disampaikan secara langka dalam dunia sastra kita karena kesadaran pra-linguistik demikian miskinnya. Sastra yang utama, bisa jadi, telah membongkar kode pra-linguistik tersebut, kemudian meneguhkan motifnya untuk menyusu payudara ibu, yang diasuh dalam publikasi yang tak hanya mewacanakan isu yang kerap asu, tetapi juga secara mati-matian mempertahankan komitmen atas aksioma adil. Penghargaan karya sastra hanya patut, secara rendah hati, secara kritis, ditahbiskan pada ia yang tak hanya memiliki komitmen estetik tetapi juga komitmen etik.
Solo, 10 Desember 2015 Malam ini, 20 Desember 2015, saya menghadiri peringatan Milangkala Madrais ke-180, semacam perayaan maulid tokoh pendiri Sunda Wiwitan, salah satu aliran kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pangeran Madrais lahir 27 Sep 1827 (bertepatan dengan 9 Mulud 1755 Saka), wafat dalam usia 112 tahun, usia yang sangat panjang untuk ukuran kita sekarang. Dimasanya, Pangeran Madrais memberontak terhadap kekejaman kolonial Belanda dan menolak tunduk pada penjajah. Akibatnya, beliau dituduh sebagai murtad, ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dibuang ke Digul, Papua. Keberanian menegakkan keadilan ini harus diteladani oleh kita semua. Beliau juga pernah memimpin gerakan kelompok tani untuk menyerang Belanda dan merebut kembali tanah-tanah pertanian yang dirampas Belanda. Madrais meyakinkan para petani bahwa tanah-tanah tersebut adalah warisan dari leluhur yang tidak boleh dimiliki Belanda. Perjuangan berdarah ini terekam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah ini, beliau mengubah orientasi perjuangan dengan pendekatan budaya. Pangeran Djatikusuma, pemimpin komunitas penganut Sunda Wiwitan adalah cucu Pangeran Madrais, sejak tahun 1990-an menjadi tokoh panutan kelompok ini. Beliau dikenal sebagai tokoh Sunda Wiwitan yang sangat menekankan pentingnya kerukunan dan perdamaian, serta menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Beliau juga dikenal tokoh lintas agama yang tergabung dalam ICRP. Selain merayakan maulid Pangeran Madrais, Pangeran Djatikusuma juga menjadikan momen ini untuk menyerahkan tanggung jawab pembinaan komunitas kepada putra-putrinya yang berjumlah 10 orang sambil memberikan pesan-pesan moral kepada mereka yang kelak menggantikan tugasnya memimpin komunitas Sunda Wiwitan. Pesan-pesan itu, antara lain: mereka harus selalu bersatu, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, menjaga tradisi dan memeliharanya dengan baik, menjaga keserasian dan kelestarian lingkungan, jangan berselisih, jangan berebut harta, jangan saling menyakiti, dan jangan tergoda hal-hal duniawi. Para pewaris itu kelak diharapkan dapat membimbing masyarakat dan menjadi panutan. Malam ini anak-anak Pangeran Djatikusuma yang berjumlah 10 orang, hanya satu laki-laki yangmenyatakan sumpah setia untuk melanjuntukan kepemimpinan beliau dan bertekad menjalankan semua titahnya. Tampaknya, malam ini Pangeran Djatikusuma telah memberikan sinyal pergantian tugas kepada pewarisnya, sepuluh anaknya untuk mengemban amanah yang tidak ringan itu. Menarik bahwa Pangeran Djatikusuma tidak membuat pembedaan sedikit pun antara anak laki-lakidan anak perempuan (tidak ada diskriminasi gender), juga antara anak sulung dan anak bungsu. Semua anaknya mendapatkan tugas dan amanah yang sama dan setara. Masing-masing bertanggung jawab sesuai wilayah dan bidang kerja yang telah ditetapkan. Acara pengambilan sumpah dilakukan, setiap anak menghadap, sungkem pada ayahanda dan ibunda dengan penuh khidmat. Sungguh indah penerapan nilai-nilai demokrasi dalam tradisi budaya ini. Saya mengenal komunitas ini sejak 1998, ICRP organisasi kami memperjuangkan hak-hak sipil komunitas Sunda Wiwitan, khususnya terkait dengan hak menuliskan identitas kepercayaan mereka dalam KTP, hak mendapatkan akta nikah ketika menikah, akta lahir bagi anak-anak mereka dan lainnya. Kami mengadvokasi pemerintah agar mereka dapat diperlakukan secara adil, mendapatkan perlakuan setara dengan warga negara lainnya, tanpa diskriminasi sedikit pun. Mereka juga warga negara penuh yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya. Masa Reformasi telah 17 tahun berlalu, namun kebijakan pemerintah terhadap kelompok penghayat kepercayaan belum juga berubah, masih diliputi unsur-unsur diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan pemerintah Jokowi belum memandang penting keberadaan kelompok ini, khususnya dalam konteks penjaga kelestarian tradisi Sunda yang merupakan salah satu akar budaya Indonesia.Selamat untuk Pangeran Djatikusuma dan seluruh komunitas Sunda Wiwitan. Rahayu dan Sampurasun! Disampaikan dalam acara diskusi tentang Pentingnya Dialog Agama di Timika, Papua, pada 17 Desember 2015 Pendahuluan Indonesia sebuah negara kepulauan terbesar dengan penduduknya lebih dari 250 juta jiwa, menduduki peringkat keempat di dunia. Luas wilayahnya lebih dari dua juta km2 membentang di garis khatulistiwa. Terdiri dari 17.000 pulau, besar dan kecil, sebagian besar tidak berpenghuni. Penduduknya sangat heterogen, terdiri lebih dari 200 suku bangsa dan memiliki lebih dari 300 bahasa. Bahkan, untuk wilayah Papua saja dijumpai ada ratusan suku dan bahasa. Menunjukkan betapa pluralnya bangsa Indonesia. Meskipun bahasa mayoritas adalah bahasa Jawa, namun para pendiri bangsa sepakat memilih bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan selanjutnya disebut Bahasa Indonesia. Selain beragam suku bangsa dan bahasa, mereka juga terdiri dari beragam corak budaya, agama, dan kepercayaan. Diantara agama yang dianut penduduk adalah Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, Baha’i, Sikh, Yahudi, dan lebih dari 400 kepercayaan lokal (indigenous religion). Indonesia sangat unik, walaupun mayoritas penduduk menganut Islam, namun para pendiri bangsa—yang sebagian besar terdiri dari tokoh-tokoh Muslim yang taat—tidak menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Mereka justru memilih Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara. Pancasila terdiri dari lima prinsip yang berisi nilai-nilai luhur yang mencerminkan esensi ajaran semua agama yang berkembang di negeri ini. Karena itu, semua pemeluk agama tidak sulit menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai alat pemersatu bangsa. Dengan fakta sosiologis seperti itu tidak ada pilihan lain bagi kita bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan harmoni kecuali mengintensifkan dialog agama. Terlebih lagi, dalam banyak hal hubungan antar agama di Indonesia saat ini masih berada pada level toleransi dan belum sampai ke tahap pluralisme. Oleh karena itu, dibutuhkan dialog agama yang konstruktif dan kontinu sebagai jembatan menuju masyarakat agama yang humanis dan pluralis sesuai nilai-nilai Pancasila dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Memahami dialog agama secara benar Pertanyaannya, dialog agama seperti apa yang perlu dikembangkan? Pertama, dialog agama yang semua pihak harus jujur dan berani mengungkapkan common understanding dan fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai. Dialog merupakan “a way of knowing or understanding.” Dialog berbeda dengan debat. Dalam dialog target yang hendak dicapai adalah mutual understanding bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam dialog. Kedua, dialog agama bukan sekedar face-to-face conversations, seperti dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau semacamnya. Dialog adalah proses komunikasi yang terus-menerus untuk memahami pemikiran, ajaran, tradisi, budaya, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders). Ketiga, dialog agama akan efektif manakala masing-masing partisipan memiliki niat tulus dan komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama dua syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran dimana-mana. Keempat, dialog agama harus dapat meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan, seperti umumnya dalam debat. Jadi dialog berangkat dari komitmen yang tulus masing-masing individu atau kelompok keagamaan untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dengan “kepala dingin” meskipun hati begitu mendidih. Kelima, dialog agama harus berakhir dengan aksi konkret melawan semua musuh-musuh agama. Dialog agama bukan hanya terbatas pada perkataan melainkan perbuatan nyata dalam wujud aksi-aksi kemanusiaan. Misalnya berbagai kelompok agama berkolaborasi dan bekerjasama untuk melawan musuh-musuh agama. Musuh agama sangat jelas, yaitu ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kelaparan, dan sebagainya. Keenam, dialog agama adalah sebuah proses transformasi. Dialog agama harus mampu mentransformasikan atau mengubah para pengikut agama yang semula sangat keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan menjadi lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. Dialog harus mampu mengubah mereka yang semula saling membenci, mencurigai, memusuhi, dan antipati menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Dengan dialog diharapkan mereka sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme yang mereka tempuh hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka. Dialog Adalah Ajaran Esensi Semua Agama Dialog agama merupakan sebuah solusi bagi timbulnya klaim-klaim kebenaran dari para penganut agama yang berbeda di masyarakat. Agama seharusnya dipahami sebagai fenomena sosial-budaya karena agama ditemukan pada semua bentuk masyarakat, mulai yang sangat primitif sampai yang sangat modern. Dalam dialog agama yang dicari bukanlah soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Dialog mengajarkan penganut agama mampu menghargai pendapat berbeda, mampu melakukan kompromi dan konsensus dalam menghadapi persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dialog agama menempatkan umat beragama tidak berada dalam posisi menilai yang lain, akan tetapi berusaha memahami yang lain. Sebagai umat beragama jangan berbicara tentang orang lain, tetapi belajarlah dari orang lain. Dialog agama harus dapat membawa setiap penganut agama kepada penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang hakiki, yaitu: 1) Setiap agama mengajarkan budaya cinta dan damai, bukan kekerasan. Agama mengajarkan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan; 2) Setiap agama mengajarkan nilai-nilai keadilan. Sebaliknya, semua agama memusuhi sikap hidup individualistik, materialistik, kapitalistik, dan hedonistik; 3) Setiap agama mengajarkan budaya kesetaraan di antara sesama manusia. Tidak ada satu pun manusia yang boleh diperlakukan semena-mena: diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan karena alasan apapun; 4) Setiap agama mengajarkan budaya toleransi dan jujur, serta melarang prasangka buruk, permusuhan dan kebohongan; 5) Setiap agama mengajarkan budaya hidup sehat dalam arti yang luas. Karena itu, semua agama melarang narkoba dan semua jenis obat-obatan terlarang, minum minuman keras sampai memabukkan, melarang perzinahan, selingkuh, dan menyakiti hati pasangan; 6) Semua agama mengajarkan budaya ketulusan, membenci perilaku artificial (palsu dan dusta), serta semua bentuk formalisme agama yang mengeksploitasikan simbol-simbol agama atau ritual agama; 7) Tujuan semua agama adalah mewujudkan moralitas hakiki dalam diri manusia. Sayangnya, dalam realitas sehari-hari kita menemukan begitu banyak orang mengaku beragama tetapi tidak bermoral sehingga muncul anekdot: “beragama tetapi tidak bermoral.” Prinsip-prinsip dasar dialog agama Umumnya para pakar menyebutkan empat prinsip dasar dialog agama, yaitu: Pertama, prinsip kemanusiaan. Intinya, kita harus berani melihat orang lain setara dengan kita. Selama masih ada sekat di antara manusia, selama itu pula dialog agama sulit diwujudkan. Prinsip kemanusiaan mengajarkan bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan. Kedua, prinsip kekeluargaan. Dialog hanya akan membawa manfaat manakala para peserta dialog hadir dengan prinsip kekeluargaan. Kita semua umat manusia adalah satu keluarga. Sebagai satu keluarga hendaknya kita sama-sama merasakan kepahitan dan sama-sama menikmati lezatnya kemanisan. Prinsip kekeluargaan melahirkan rasa simpati dan solidaritas terhadap orang lain karena selalu yakin bahwa semua manusia hakikinya adalah satu keluarga. Sebagai keluarga, kita tentunya harus saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Sebaliknya, sebagai keluarga kita dituntut untuk saling menghormati dan menghargai sesama. Kita tidak boleh saling mencederai apalagi mendzalimi sesama manusia. Kita juga tidak boleh mengeksploitasi alam dan lingkungan. Ketiga, prinsip demokrasi. Hakikat demokrasi adalah mewadahi semua kelompok tanpa diskriminasi sedikit pun untuk kebaikan semua, tanpa kecuali. Sebab, nilai-nilai luhur demokrasi adalah keadilan, kesetaraan, kemajemukan, kegotongroyongan dan kemashlahatan bagi semua orang. Dialog agama hanya dapat dibangun dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemashlahatan untuk semua manusia. Demokrasi menghendaki semua warga diperlakukan secara adil, tanpa diskriminasi sedikit pun. Keempat, prinsip pluralisme agama. Dialog agama menghendaki sikap pluralisme dari semua pihak. Seorang pluralis adalah orang yang mengakui adanya banyak jalan menuju Tuhan. Lewat jalan yang beragam itu, masing-masing pemudik disemangati oleh etos bermusabaqah dalam kebajikan. Rahmat Tuhan yang tak terbataslah yang nantinya akan menentukan mana yang terbaik di antara para pemudik itu, tanpa memandang perbedaan agama dan golongannya. Aktivitas dialog agama Rasulullah saw. Dialog agama bukan hal baru dalam Islam. Rasul adalah sosok manusia utama yang sangat cinta damai. Beliau sangat mementingkan pendekatan damai dalam membina umatnya. Ada ratusan hadis yang menghimbau agar umat Islam selalu menggunakan cara-cara damai dan humanis dalam semua aspek kehidupan, baik di ranah keluarga maupun di ranah negara. Sejumlah aktivitas berikut membuktikan betapa Rasul sangat konsen membangun damai di masyarakat melalui upaya-upaya dialog. Dialog tidak selalu berbetuk verbal, melainkan juga mengambil bentuk aksi-aksi konkret dan kerjasama kemanusiaan antar golongan yang berbeda. Pertama, aktivitas Rasul untuk mendamaikan berbagai suku yang berkonflik, aksi ini sangat terkenal dengan nama ‘Hilful Fudūl’. Aktivitas ini terjadi jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Beliau tampil mendamaikan konflik di antara para pemimpin suku Arab yang bertikai tentang siapa yang paling berhak meletakkan hajar Aswad ke tempatnya semula. Kedua, Piagam Madinah. Rasul membuat perjanjian damai dengan para pemimpin Yahudi dan pemimpin kelompok penyembah berhala (musyrikin) dan pimpinan kelompok lainnya yang bermukim di Madinah. Perjanjian ini dianggap sebagai konstitusi pertama di dunia modern yang mengatur kehidupan warga negara yang sangat majemuk. Perjanjian ini mengatur hak dan kewajiban yang sama bagi semua kelompok di Madinah dalam posisi mereka sebagai warga negara merdeka. Perjanjian ini juga memberikan jaminan kemerdekaan bagi semua suku yang menyatakan dukungan kepada Rasul. Perjanjian ini menunjukkan betapa Islam sangat kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi substansial. Ketiga, Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini juga menunjukkan betapa Rasul lebih mengedepankan politik perdamaian, bukan politik kekerasan dan eksploitasi dalam membangun kekuasaan Islam. Perjanjian ini juga menunjukkan sikap rendah hati umat Islam, meski mereka berada dalam posisi menang dan berkuasa. Keempat, khutba hujjat al-widā. Khutbah Rasul yang terakhir diangap sebagai pesan-pesan moral Rasul yang sangat kuat menekankan pentingnya menjaga persatuan dan perdamaian. Rasul juga menekanlan dalam khutbahnya itu pentingnya menjaga dan memenuhi hak asasi setiap manusia, khususnya kelompok rentan dan marjinal. Materi khutbah wada’ ini oleh beberapa pakar dianggap bukan hanya sebagai the first ‘Charter of Human Rights’ melainkan juga sebuah landasan kokoh untuk menegakkan perdamaian dunia melalui kegiatan dialog agama. Penutup dan rekomendasi Dalam beragama diperlukan adanya suatu sikap hidup keagamaan yang relatif atau nisbi, bukan sikap mutlak-mutlakan. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa jika semua penganut agama mengambil sikap yang sama maka dapatlah dijamin bahwa agama tidak dapat dimainkan sebagai faktor pemecah belah yang akan membawa malapetaka bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, agama justru menjadi faktor perekat yang akan menebarkan rahmat bagi semua manusia, bahkan bagi alam semesta. Sikap hidup yang relatif dan penuh penghargaan terhadap sesama sangat dibutuhkan oleh setiap umat beragama di Indonesia. Dengan itu umat beragama dapat berpartisipasi secara aktif dan bertangungjawab dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila. Kebenaran agama tidak hanya satu, melainkan banyak. Yang dimaksudkan kebenaran agama di sini adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara keberagamaan umatnya yang dalam terminologi Islam disebut tanawu`al ibadah. Jika seluruh penganut agama telah memiliki kedewasaan sikap beragama, yaitu sampai kepada pemahaman bahwa kebenaran agama tidak hanya satu, tentu saja tidak akan ditemukan kelompok-kelompok yang saling kafir-mengkafirkan yang berujung pada munculnya berbagai bentuk konflik dan kekerasan berbasis agama di tanah air. Dalam konteks Islam jelas sekali diajarkan bahwa keselamatan itu tidak hanya monopoli orang-orang Islam, melainkan juga milik penganut agama lain. Surah al-Baqarah, 2:62 secara tegas menyatakan:
Ayat tersebut jelas sekali menuturkan bahwa semua manusia akan selamat sepanjang memenuhi tiga syarat utama, yakni beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, dan berbuat amal shaleh. Ketiga syarat utama dimaksud pada intinya merupakan ajaran dasar semua agama, yang berbeda hanyalah bahasa penyampaiannya. Sayangnya, manusia seringkali terlalu bersemangat untuk menyelamatkan sesamanya manusia atau terlalu ambisi untuk memasukkan manusia lain ke surga dan lupa akan keterbatasan dan kelemahan dirinya sehingga di antara mereka ada yang bersikap melebihi Tuhan, menginginkan agar seluruh manusia masuk ke dalam satu agama, bahkan satu aliran. Semangat yang menggebu-gebu itulah yang sering mengantarkan mereka memaksakan pandangan dan keyakinannya pada orang lain, serta menganggap orang lain yang tidak sependapat dengan mereka sebagai kafir dan harus masuk neraka. Tuhan saja yang Maha Pencipta justru memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalannya sendiri. Siapa yang ingin percaya silahkan dan siapa yang menolak terserah juga baginya. Setiap agama menjanjikan kemashlahatan bagi manusia. Setiap penganut agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan yang merupakan sumber ajaran agama itu adalah Tuhan Yang Maha Sempurna, Tuhan yang tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya. Tuhan sedemikian besar sehingga rahmat-Nya pasti menyentuh seluruh makhluk-Nya. Akhirnya, diperlukan langkah-langkah yang terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat kontrol, terlebih lagi sebagai alat untuk mendominasi. Jangan lagi ada politisasi agama. Kini sudah waktunya mengembalikan agama kepada posisinya yang hakiki, yaitu kepada misi spiritualnya sebagai sumber etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa merahmati kita semua warga negara Indonesia. Wallahu a`lam bi al-shawab. Pada tanggal 2-4 Desember 2015 saya menghadiri Pertemuan Pakar dalam Jaringan Negara-Negara OKI (The First Expert Meeting of the OIC Network) terkait isu kependudukan, reproduksi, kematian, kelahiran dan kesehatan anak, bertempat di Ankara, Turki, kerjasama OKI (Organisasi Kerjasana Islam) dan SESRIC (Statistical, Economic and Social Research and Training Centre for Islamic Countries). OKI berisi 57 negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menyebar dalam wilayah yang sangat luas, terbentang di 4 benua—dari Albania di utara (Eropa) sampai Mozambiq di selatan (Afrika)—dari Guyana di barat (Amerika Latin) sampai Indonesia di timur (Asia). OKI (Organisasi Kerjasama Islam) mencakup beragam suku bangsa, menggunakan puluhan bahasa, dan menerapkan ratusan ragam tradisi. Keragaman ini seharusnya menginspirasi OKI untuk menjadi institusi terdepan mengusung perdamaian dalam kemajemukan. Negara-negara anggota OKI menempati 1/6 wilayah dunia, tapi penduduknya mencapai 23% dari total penduduk dunia. Islam merupakan kelompok agama yang berkembang paling cepat di dunia, menyusul Kristen, Hindu, Yahudi dan lainnya. Itulah mengapa isu kependudukan menjadi sangat krusial. Isu ini diduga akan melahirkan berbagai problem, seperti kemiskinan, pengangguran, kelaparan, kesehatan, kematian balita dan ibu melahirkan, penyebaran penyakit serta kerusakan lingkungan. Meskipun sejumlah progress telah diraih oleh negara-negara anggota OKI, namun OKI masih menghadapi problem yang sangat besar terkait kematian ibu melahirkan, pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi, kematian bayi dan balita, serta ledakan penduduk. Ada banyak faktor berkelindan sebagai penyebab, diantaranya: kemiskinan, rendahnya pendidikan, buruknya layanan kesehatan, budaya patriarki, korupsi, serta rendahnya dukungan politik dari pemerintah yang dibuktikan dengan kecilnya dana yang dialokasikan negara-negara OKI untuk merespon isu ini. Rata-rata negara OKI hanya menggunakan 4,4 % dari GDP untuk sektor kesehatan, sangat menyedihkan. Namun, hal yang paling mengemuka adalah ketidakadilan sosial.
Forum ini juga membahas pentingnya kerjasama negara-negara OKI dalam menyukseskan target SDG's. Keberhasilan OKI dalam MDG's lalu sangat kecil. Mengentaskan kemiskinan hanya diraih 8 negara (Iran, Kazakhstan, Kuwait, Malaysia, Maldives, Turki, Turkmenistan, dan UAE (United Arab Emirates)). Mengurangi kematian balita hanya diraih 5 negara (Bahrain, Malaysia, Oman, Turki, UAE). Mengurangi kematian ibu hanya dicapai 5 negara (UAE, Kuwait, Malaysia, Bahrain, Turki). Mengurangi HIV/Aids, Malaria dan penyakit lainnya dicapai hanya 2 negara (Turki dan UAE). Menjaga kelestarian lingkungan hanya diraih 2 negara (UAE dan Malaysia). Sumber data: SESRIC 2014. Catatan: Tulisan ini pertama kali diunggah di http://www.megawatiinstitute.org/home/pemikiran/musdah-mulia/399-negara-islam-bicara-kependudukan-dan-kesehatan-reproduksi.html Oleh: Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP dan Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) m-mulia@indo.net.id Asia Consultation on Gender and Militarism in Asia yang bertema Konsultasi: Mengaitkan Analisis Regional ke Aksi-aksi Lokal (Linking Regional Analysis to Local Practices) berlangsung selama tiga hari, 7-9 Desember 2015, bertempat di Hotel Marco Polo, Manila, Filipina. Acara ini dihadiri 26 peserta mewakili 9 negara di Asia yaitu, Filipina, Fiji, Sri Lanka, India, Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Nepal, dan Korea Selatan. Ada juga 4 peserta pengamat dari Australia dan Amerika. Kegiatan ini diadakan oleh WPP (Women Peacemakers Program). Forum ini secara serius membahas 6 topik, yaitu: 1) Militerisme sebagai Warisan Kolonial: Memperingati Perang di Asia. 2) Melawan Terorisme dan Dampaknya bagi Kesetaraan Gender. 3) Menghadapi Kelompok Ekstremis Agama di Asia; 4) Perang dan Konflik: Sebuah Problem Global yang Memerlukan Solusi Global. 5) Pendidikan Damai yang Sensitif Gender: Mengubah Masyarakat yang Militeristik. 6) Analisis Feminis terhadap Ekonomi Makro: Gender dan Konflik. Hal menarik dalam forum ini adalah pemutaran beberapa film dokumenter terkait isu militerisme, kekerasan, konflik dan diskriminasi gender. Film bisa menjadi media paling ampuh menggugah kesadaran masyarakat dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya empati kemanusiaan demi mengakhiri semua bentuk konflik, perang dan ketegangan sampai skala yang paling kecil di rumah tangga. Forum ini secara kritis dan holistik mengevaluasi berbagai pendekatan yang digunakan dalam paradigma pembangunan, termasuk membangun perdamaian dan menghentikan perang dan konflik, yang dianggap tidak lagi efektif pada masa kini. Setiap peserta—yang terdiri dari berbagai bangsa, gender, warna kulit, budaya dan agama—menjelaskan adanya bahaya ekstremisme agama di negara mereka masing-masing. Menarik dicatat bahwa dalam semua kelompok agama selalu saja ditemukan kelompok ekstremis. Kondisi ini muncul akibat berbagai faktor yang saling berkelindan, seperti ketidakadilan, keserakahan, diskriminasi, kemiskinan, kurangnya pendidikan, urbanisasi, dan kegagalan merespon perkembangan global yang demikian cepat. Kelompok ektremisme dianggap sebagai musuh terbesar perdamaian dan kelangsungan pembangunan, dan bahkan peradaban manusia karena ideologi kekerasan dan aksi-aksi brutal yang menyertainya. Kelompok ini secara sistematik dan terorganisir menyebarkan gagasan intoleran, anti perdamaian, anti feminisme, anti demokrasi dan anti HAM. Khusus di Indonesia, mereka sangat gigih menebarkan paham anti Pancasila, anti nasionalisme dan anti Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa perempuan menjadi sangat peduli? Faktanya, setiap kondisi tidak damai, setiap konflik, perang dan kekerasan selalu menjadikan perempuan dan anak sebagai target dan korban utama. Lihat saja konflik Aceh, perempuan dan anak-anak adalah korban terbesar. Mereka diperkosa, diteror dan diintimidasi, menderita berbagai kekerasan fisik, psikis, mental, ekonomi, dan seksual. Sayangnya, media kurang tertarik memberitakan penderitaan perempuan. Sangat ironis, ketika konflik dan perang mulai reda, perempuan justru menjadi kelompok pertama yang berusaha merajut damai. Mereka memulai rekonsiliasi dengan pendekatan feminin dan keibuan. Mereka harus survive untuk merawat kelangsungan hidup anggota keluarga, terutama anak-anak. Mereka berjuang dan bertahan hidup agar dapur terus mengepul sebagai tanda kehidupan. Meski demikian, pada saat perjanjian damai ditandatangani, hanya laki-laki yang duduk dalam meja perundingan, perempuan cukup menonton dari kejauhan. Sebab, eksistensi mereka dianggap tidak penting. Ideologi ekstremisme menjadikan perempuan sebagai sandera dan sasaran tembak yang paling empuk. Mengapa? Karena perempuan dalam hampir semua budaya masih dianggap sebagai kelompok lemah dan kurang penting, hanya objek seksual, warga negara kelas dua, dan mesin reproduksi. Karena itu, forum ini menegaskan, perempuan harus memperkuat jaringan, bersatu melawan ekstremisme agama. Mereka harus meningkatkan kualitas diri, pengetahuan, wawasan, pengalaman, termasuk kualitas spiritual agar kuat menghadapi berbagai ancaman dan teror, fisik dan non fisik yang setiap detik dilancarkan kelompok tersebut. Perempuan harus mampu meng-counter berbagai isu secara elegan, penuh percaya diri dan tetap mengutamakan cara-cara damai yang mengedepankan kasih sayang, bukan dengan cara-cara brutal, militeristik dan penuh kekerasan. Pendidikan damai yang sensisitif gender merupakan kunci utama dalam upaya melawan dan mengurangi terorisme dan ekstremisme. Pendidikan damai harus dimulai dari institusi keluarga, dan nilai-nilai universal perdamaian hendaknya ditanamkan pada anak-anak sejak dini, dan berlanjut secara sistemik dalam pendidikan formal di semua level melalui pendekatan yang sensitif gender. Keadilan dan kesetaraan gender adalah obat mujarab yang mampu mencairkan ketegangan, konflik dan perang yang diakibatkan oleh penyalahgunaan kekuasaan dengan pendekatan patriarkal. Akhirnya, mari bersama bertekad merajut damai sesuai kapasitas masing-masing, dan menjadikan perdamaian abadi sebagai tujuan bersama. Selamat pagi. Apakah pikiran generasi muda tentang "Keindonesiaan"? Pernahkah anda memikirkannya sebagai masalah dengan kedalaman filosofis? Generasi yang menolak digurui karena yakin pada kemampuannya sendiri. Generasi yang memandang dunia sebagai "sphere of possibilities". Minggu lalu saya berceramah tentang "kondisi globalisasi" di Tempo Institute. Dalam diskusi, seorang peserta menerangkan bahwa tak mungkin menyeragamkan cara berpikir masyarakat Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Dia menganggap bahwa "teori-teori besar cenderung menggurui" masyarakat lokal, dan itu menimbulkan reaksi antipati. Apa sebetulnya isi pikiran yang hendak ia sampaikan? Saya tertarik pada kalimat "menggurui" itu. Jadi, bukan ide dan pikiran global itu yang jadi soal tetapi cara menyampaikannya yang "menggurui". Ini soal pedagogi. Kita tidak meloloskan argumen dengan nalar semata. Keinginan untuk menghadirkan pertukaran pendapat membutuhkan suasana egaliter terlebih dahulu. Reaksi antipati adalah "defence mechanism" yang disediakan evolusi untuk menghadapi "yang asing". Semacam reaksi alergi terhadap zat asing yang memasuki tubuh. Menggurui adalah sikap otoriter. Ia tidak berasal dari niat menghasilkan pengetahuan. Fungsi pedagogi adalah mengaktifkan perdebatan metodik. Anda tidak menegakkan wibawa akademisi dengan jabatan. Kewibawaan hanya tumbuh dari penghormatan kolegial terhadap sikap pedagogis anda. Menggurui menghalangi kehendak bebas individu untuk mencapai pengetahuan dalam suasana egaliter. Terlebih dalam era keberlimpahan informasi dan sumber pengetahuan, sikap menggurui terasa sebagai sinyal kekurangan pengetahuan. Generasi tak dapat didikte. Guru-guru mereka ada di dunia maya. Dan kebebasan mereka untuk menyusun alam pikirannya sendiri harus dihormati. Universitas seharusnya menjadi pelopor kultur egaliter. Generasi baru berhak tumbuh dalam semangat itu. Itulah pentingnya sebuah generasi memiliki "free will". Ketika filsafat mempromosikan "free will" sebagai dasar kehidupan kampus, itu bukan dimaksudkan sebagai tema kuliah metafisika semata. Anda tidak membicarakan "free will" sambil membungkuk-bungkuk pada otoritas. Sikap palsu inilah yang merongrong kesetaraan kolegial. Free will adalah suatu etika politik. Dasarnya bukan metafisik, tetapi etik. Artinya, kehendak anda hanya disebut kehendak bebas bila ia tidak berada di bawah kehendak orang lain. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|