Gadis Arivia (Dosen Filsafat, FIB UI dan Pendiri Jurnal Perempuan) Bagaimanakah reaksi kampus ketika sebagian para menteri dan tokoh politik menentang kegiatan kampus yang jelas-jelas berhubungan dengan studi dan pemberdayaan kelompok minoritas seperti LGBTI? Sebagian kecil melawan dan sebagian besar diam. Para dosen yang progresif, berani mengeluarkan pernyataan menolak pelarangan kegiatan komunitas LGBTI di kampus, namun para pimpinan kampus cenderung menyetujui menterinya atau enggan bersuara. Tentu ini aneh. Sebab kampus adalah tempat berpikir yang otonom, kritis dan peduli pada kaum minoritas. Kepekaan terhadap yang lian (other) justru dipupuk dan dikembangkan di dalam atmosfir kebebasan kampus. Di sinilah tempat diskusi, seminar, dan debat dihidupkan. Para dosen mendorong mahasiswa-mahasiswa mereka untuk berani mengungkapkan pendapat yang berbeda, bersuara dan berpikir. Itu makna kampus bagi saya yang telah mendedikasikan diri lebih dari duapuluh tahun untuk membuat kampus merdeka. Rasa bangga menyelimuti hati seorang dosen manakala melihat anak didiknya memiliki originalitas pikiran, otentisitas diri dan komunikasi yang jujur. Mahasiswa yang bergabung dan berpartisipasi di dalam kelompok SGRC UI seharusnya mahasiswa idaman setiap dosen. Mereka bukan saja memiliki kepedulian pada ilmu tapi kepedulian pada isu-isu minoritas. Anak-anak muda di kelompok ini paham apa artinya menjadi seorang ilmuwan, tidak hanya mengasah otak (semua orang bisa melakukan itu) tapi mengasah hati nurani dan berani menyatakan sikap. Inilah sesungguhnya kualitas seorang pemimpin, kualitas yang sudah semakin jarang ditemukan di kehidupan publik bangsa ini. Kampus tempat pelopor perubahan. Tanpa adanya mahasiswa yang berpikiran maju, negara ini tidak akan menjadi besar seperti sekarang ini. Sebut saja Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-Club) yang diorganisir oleh mahasiswa-mahasiswa ITB dimotori oleh presiden Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925, PPMI (1947), CGMI (1955), GMNI (1961), KAMI (1966), Mahasiswa Menggugat (1974), Gerakan Mahasiswa Anti NKK/BKK (1978), Gerakan Reformasi (1998), dan sebagainya. Memang apa yang dilakukan SGRC UI dan kelompok sejenis bukan gerakan-gerakan besar yang menentang rezim otoriter tapi bagi saya tetap sebuah gerakan besar yang menentang mental diskriminatif. Gerakan-gerakan komunitas semacam ini adalah gerakan-gerakan abad ke-21, yang memiliki tantangannya sendiri. Generasi millennial ingin mengadakan perubahan dalam isu-isu sosial. Generasi ini fasih berbahasa HAM, toleran terhadap etnis, agama dan orientasi seksual yang berbeda. Mereka generasi teknologi informasi yang memiliki akses informasi luas dan berpikiran global namun memiliki kepekaan lokal. Itu sebabnya mereka paham isu LGBTI bukan isu asing atau barat melainkan isu yang ditemukan di masyarakat kita sendiri. Mereka sadar bahwa misalnya tradisi di Bugis (calalai/calabai) dan Jawa Timur (wandu) mengenal gender ketiga. Bahasa generasi millennial adalah bahasa penuh cinta dan kebijaksanaan. Bandingkan dengan bahasa-bahasa para menteri dan pejabat negara yang mengumbar permusuhan dan sangat menghakimi (judgemental), menuduh LGBTI sebagai prilaku menyimpang, tidak sesuai dengan norma, agama dan tradisi budaya Indonesia, serta perusak moral bangsa. Tuduhan-tuduhan tersebut sangat tidak berdasar dan sayangnya diungkapkan oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab atas pendidikan di Indonesia. Di negara tercinta ini banyak kaum LGBTI yang telah berkontribusi untuk negaranya, menjadi ilmuwan, guru, dosen, tokoh LSM, profesional dan pelopor industri kreatif. Mereka adalah asset bangsa yang tak ternilai. LGBTI bukan isu moral tapi isu sosial. Mereka kelompok yang terpinggirkan dan mengalami ketidakadilan. Berbagai penelitian menunjukkan termasuk penelitian saya di Jurnal Perempuan No.87, 2015, memperlihatkan betapa kelompok ini sangat rentan pada kekerasan, bullying, tidak dilindungi hak-hak mereka sebagai warga negara dan termasuk kelompok yang miskin (karena sulit untuk mencari pekerjaan atau mengenyam pendidikan tanpa adanya pelecehan dan diskriminasi). Cinta tidak mengenal ras, agama, etnis dan orientasi seksual. Setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai. Love is a human right.
Devi
3/4/2016 05:17:02 pm
salam, saya dari WSC UIN Sunan gunung djati bandung ukm yang bergerak dalam bidang kesetaraan gender. bu kira kira tanggl 21 april jadwal ibu kosong tidak ya? kami igin mengundang ibu untuk acara hari kartini. kami berharap ibu bisa menjadi pengisi dalam acara kami ini.trimakasih Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|