Masthuriyah Sa'dan Peneliti Indonesian Consortium for Religius Studies Yogyakarta masthuriyah.sadan@gmail.com Sejak awal tahun 2017, saya menjadi pendamping keagamaan para waria yang ingin belajar agama di pondok pesantren waria Al-Fattah Yogyakarta. Keinginan menjadi pendamping agama muncul karena ajakan dari salah seorang santri untuk membantu para waria belajar agama. Setiap hari Minggu, sore hingga malam, saya bersama-sama para santri waria berada di pondok pesantren melakukan kegiatan, mulai dari belajar membaca Alquran, salat Magrib dan Isya berjamaah, berbagi pengetahuan keagamaan, konsultasi agama dan diakhiri dengan makan malam. Seiring berjalannya waktu, saya melihat semangat belajar agama mereka sangat tinggi, apalagi di bulan Ramadan ini pesantren Waria menyusun beberapa agenda kegiatan. Akan tetapi, di sisi yang lain para waria tidak sebebas kelompok heteroseksual dalam belajar agama. Mereka belajar agama dengan sembunyi-sembunyi karena takut pada sekelompok umat Islam yang bernama Front Jihad Islam (FJI) dan aparat pemerintah yang pernah membubarkan pondok pesantren waria Al-Fattah beberapa bulan yang lalu. Tulisan ini ingin mengkaji akar penindasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam dan aparat pemerintah. Ironisnya, sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dan pemerintah (negara) telah mengaveling (mengotak-ngotakkan) bahwa belajar agama hanya milik mereka yang heteroseksual. Apapun alasannya, Nabi Muhammad sebagai teladan umat dalam sejarahnya selalu menekankan cinta dan kasih bagi seluruh umat manusia. Eksistensi Waria yang Termarginalkan Dalam hadis Nabi dikatakan bahwa, ”Belajar agama adalah wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan”. Oleh karena belajar agama adalah wajib, maka perintah tersebut berlaku umum untuk semua umat Islam tanpa melihat orientasi seksualnya. Penekanan hadis tersebut ditambah dengan hadis, ”Belajar sejak dari buaian hingga ke liang lahat”. Kedua hadis tersebut menegaskan perintah bahwa belajar, dalam hal ini belajar agama adalah kebebasan dan hak setiap individu. Pertanyaannya kemudian, mengapa sekelompok umat Islam (FJI) dengan dibantu oleh aparat pemerintah memaksa para santri waria di pesantren Al-Fattah untuk menutup kegiatan di pondok pesantren tersebut? Saya menemukan bahwa agama dalam hal ini interpretasi teks kitab suci dan pendapat ulama menjadi biang utama kebencian dan stereotip terhadap mereka yang disebut liyan. Persepsi interpretasi agama terhadap kelompok homoseksual baik itu lesbian, gay, biseksual dan transgender (waria) melahirkan dogma bahwa homoseksualitas adalah kriminalitas, yang terlaknat, pelakunya mendapat dosa dan tempatnya di neraka. Sementara dalam realitas sosial, eksistensi seorang waria diakui dalam beberapa budaya dan tradisi di Indonesia seperti Bissu, di Makassar dan penari warog di Ponorogo. Sayangnya tafsir keagamaan, ditambah pendapat ulama dan didukung oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang LGBT menafikan realitas tersebut. Hakikatnya, masyarakat (kelompok Islam) dan pemerintah telah menjadikan waria dan kelompok homoseksual lainnya sebagai kelompok yang termarginalkan oleh sistem dan struktur sosial. Sementara itu, dalam literatur Islam klasik, Ibnu Hazm (w.1064) dalam salah satu karyanya memuat banyak kisah percintaan sejenis dengan penjelasan yang santai. Abu Nuwas seorang penyair klasik di era kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rosyid menggemari anak lelaki dan anggur. Begitu juga Al-Ghazali yang disebut sebagai syaikhul akbar (guru yang agung) dan ulama mistik pernah menyusun syair-syair untuk kekasih laki-lakinya yang berusia muda (Spencer 2004, h. 111). Kajian fikih Islam menjelaskan tentang orientasi seksual laki-laki kepada sesama yang disebut dengan ”al-mukhannats”. Waria juga disebut dalam Alquran (QS. 24:31) dengan kata ”ghairi ulil irbathi mina ar-rijal” yang ditafsirkan oleh Imam At-Thabari sebagai laki-laki yang tidak berhasrat kepada perempuan (Husein Muhammad 2011, h. 79). Sayangnya, sekelompok umat Islam yang mengatasnamakan Islam tidak membuka literatur sejarah Islam klasik dan tidak mengkaji Islam secara lebih mendalam, bahwa eksistensi waria atau homoseksualitas telah ada sepanjang sejarah umat manusia. Pembekuan wawasan berpikir dan tertutupnya cara pandang yang egaliter terhadap yang berbeda (the other) mengutip pendapat Ulil Absar Abdalla menjadikan Islam sebagai yang jelek. Kasus pembubaran pesantren waria di Yogyakarta merupakan bentuk perampasan hak beragama oleh pembela ”Islam”, yang dalam pandangan Gus Mus menjadi bukti nyata bahwa umat Islam telah kehilangan ruh atau nilai spiritualisme yang hakiki, dan ini mengindikasikan kekerasan spiritual oleh umat Islam sendiri. Ironisnya aparat pemerintah menjadi aktor pelaku kekerasan berlapis tersebut. Kekerasan spiritual tersebut merupakan manifestasi dari kacaunya atau buramnya rasa keberimanan umat Islam sendiri. Atas Nama Islam Menindas Umat Islam Nabi Muhammad membawa ajaran Islam sebagai agama rahmat untuk semesta. Sikap, tutur kata dan perbuatan Nabi menjadi uswah (suri teladan) bagi umatnya. Nabi tidak mencaci dan tidak membedakan mereka yang berbeda baik suku, agama, budaya maupun orientasi seksualnya. Misi Nabi Muhammad adalah keteladanan dalam etika sosial antara sesama masyarakat. Di samping itu, dalam teks ayat Alquran, lebih banyak ayat yang berkaitan dengan mu’amalah (relasi sosial) ketimbang aqidah (keimanan). Ini artinya, Islam yang tertulis dalam Alquran dan diaplikasikan oleh Nabi Muhammad ingin menegaskan bahwa penghormatan kepada hak asasi manusia adalah sesuatu yang urgen dan berkorelasi dengan tingkat keimanan/ketakwaan seseorang sebagaimana yang telah Allah tegaskan dalam QS. Al-Hujurat (49):13 bahwa yang paling mulia diantara manusia adalah mereka yang paling bertakwa. Ketakwaan itu dinilai dari keinginan manusia untuk saling ”mengenal” antar sesama manusia yang berbeda. Mengenal dalam artian memiliki pengetahuan bahwa orientasi seksual manusia tidak hanya heteroseksual, tapi ada juga homoseksual. Dalam tataran yang lebih luas, pengenalan tersebut akan melahirkan sikap anti homofobia, empati dan tindakan menghargai orang lain yang berbeda. Di sini kita dapat mengasumsikan bahwa tindakan anarkis FJI dan aparat pemerintah terhadap kelompok waria di Yogyakarta tidak mencerminkan ketauhidan dan keimanan yang diyakininya. Meminjam istilah Khaled M. Abou El-Fadl dalam bukunya Speaking in God’s Name, tindakan anarkis FJI dan pemerintah seolah-olah memosisikan dirinya sebagai ”wakil” Tuhan di muka bumi. Akhirnya, saya ingin menyatakan bahwa banyak diantara umat Islam yang gagal mencermati konsep ketauhidan dengan etika sosial. Kegagalan ini menjadi pintu gerbang kejumudan umat Islam untuk menindas sesama umat Islam (waria) atas nama ”Islam”. Jika dalam relasi sosial kita cerdas untuk membedakan antara orientasi seksual yang bersifat kodrat dan perilaku seksual yang merupakan konstruksi gender, maka kita dapat melihat persoalan homoseksual dengan lebih cair. Artinya bahwa waria bukan hanya persoalan seksual, ia menyangkut persoalan pikiran, keinginan, cinta, ide dan spiritual. Sebagai seorang muslimah yang heteroseksual, mulailah menyapa dan mengenal mereka yang dianggap sebagai liyan oleh sistem dan struktur sosial agar kita tahu bahwa mereka juga manusia yang sama dengan kita. Stuart Robson (Adjunct Professor in the School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics at Monash University in Melbourne) Title : Aku, Perempuan, dan Kata-kata: Kumpulan Puisi Yacinta Kurniasih Foreword : Rocky Gerung Publication year : 2016 Publisher : YJP Press [Yayasan Jurnal Perempuan] Paperback : 90 pages Language : Indonesia ISBN : 978-979-3520-23-0 This slim volume contains 52 poems, some short and some long, in the Indonesian language by the academic and activist Yacinta Kurniasih. It follows a similar volume of poems in English, To Whom it May Concern, produced by the same publisher in 2015. A third volume is planned, which will contain work in Javanese. In this way, three different languages will have been used. As the title suggests, the main themes covered here are ‘Myself’, ‘Woman’ and ‘Words’. Of course there are more ideas than just these, but this is roughly the arrangement. The poems have dates, so that we can see that some are early and others are as recent as 2016. However, a chronological arrangement would have enabled us to assess the author’s development and growing maturity over time, as undoubtedly the later items seem in general to be more confident in thought and expression. This is poetry with an agenda. The poems contribute to a discussion of issues current in Indonesia – and more broadly in the world – a prominent theme being the place of woman in her relations with man. The opening poem, Aku (p. 9, November 2013), sets the tone, with its stark ‘I am more than merely a hole for you to poke into and pour in your lust’. Others fiercely attack the male gender, even recruiting God (Tuhan) for the job of taming man (Kalau Tuhan perempuan, ‘If God were a woman’, p. 36, from June 2007). Perhaps of more interest to students of language are the numerous pieces on the theme of Kata-kata, ‘Words’. This is clearly the work of someone who understands and values the proper use of language, who is a lover of words, proving to us that the modern Indonesian language is versatile and capable to conveying a range of messages. Words can be used as a weapon for the fight for social justice, for instance, as we see on p. 76 in ‘Let us use red words when we see red’. One notes the plays on words in such expressions as kerakusan pejabat bertingkah penjahat (p. 88), ‘the greed of officials acting like crooks’, or kebijakan tanpa kebajikan (p. 89), ‘policy without kindness.’ However, one may ask: What actually constitutes poetry? Ideas on this may vary. But one feels that sometimes the more political it is, the less poetical, for example in Laki-laki dan perempuan (p. 78, July 2016) with the bare statement: ‘Man and woman are a social construct, with man as the main constructor’. Two poems on a similar theme that appeal to me personally are Aku, Hutan Jati dan Indonesia (pp. 48-49, April 2016) and Aku dan Kedungjati (p. 70, August 2011), both drawing attention to the heartbreaking devastation of the teak forests around Kedungjati (Central Java, Yacinta’s home town), where the hills that once were covered with forest are now a barren wasteland. The theme of environmental degradation is of course relevant and important for many other parts of Indonesia. Another set of poems that resonate with me are Mencari Pakdhe (‘Looking for Uncle’) (1) January 2010, (2) January 2016, and (3) January 2010, expressing a longing to meet a long-lost uncle, who must have held a special place in the author’s heart. It is interesting that even God cops a serve in several places, for example in Dan Tuhan (p. 51, April 2016): ‘And God becomes a part of the Ghost-story, most mysterious and astonishing, that often kills reason and the ability to question’, or in Tuhan masih mencari ‘God is still looking’ (pp. 86-87, December 2013), thinking of God as a pertanyaan besar, ‘big question mark’. On most opposite pages we see charcoal drawings by a certain Dewi Candraningrum, depicting naked couples in various poses suggesting intimacy, completely at variance with the message of some poems on the male-female relationship, which imply not affection and warmth but aversion and hostility. And on the front cover there are nine acrylic paintings of female faces in a modern style by the same artist, which make no concessions to an ideal of beauty. A tiny note at the bottom of the back cover indicates that these nine faces are to be linked with the two last poems, Suara Perempuan Surokonto Wetan (‘Voice of the women of Surokonto Wetan’) and Perempuan-perempuan (‘Women’) (pp. 88-89, August 2016). On the back cover one of the three blurbs is one in English by Barbara Hatley, who provides a sympathetic assessment of the volume whichis well worth reading. These poems will reward close study from a linguistic viewpoint, as well as for the various messages contained in them. One looks forward to seeing more from this author in the near future. Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan dan Dosen Filsafat, FIB, UI)“Saya mohon pengampunan dan keringanan dari Bapak agar hukuman saya dapat diperingan oleh Bapak yang saya hormati…” Demikianlah bunyi sekelumit surat permohonan Merry Utami yang ditulis tangan tertanggal 26 Juli 2016, di saat ia baru saja diberi notifikasi akan dihukum mati oleh Negara Republik Indonesia. Notifikasi ini diberikan untuk menandakan bahwa dalam kurun waktu 72 jam, Merry Utami akan dicabut nyawanya oleh Presiden Jokowi. Selalu ada yang sulit kita mengerti ketika Pemerintah yang mendasarkan diri pada “Pancasila” memutuskan menjalankan hukuman mati. Terutama dari perspektif perempuan, hukuman mati adalah pengingkaran tehadap kehidupan. Tentu alasan paling klise adalah bahwa negara memiliki kedaulatan untuk menegakan hukumnya sendiri tanpa boleh ada intervensi pihak manapun. Tetapi bukankah juga pada Pemerintah, dalam hal ini Presiden, diberikan hak diskresi yang paling tinggi, yaitu hak memberikan grasi? Grasi adalah norma peradaban hak asasi tertinggi demi membatalkan sesuatu yang secara prinsip kemanusiaan dipandang sebagai tak sejalan lagi dengan “hukum positif” yang masih membenarkan hukuman mati. Grasi adalah konsep yang memang dipikirkan untuk memberi jalan keluar demi menjaga akal sehat kekuasaan dari kondisi “balas dendam”. Bahkan dalam konvensi pergaulan internasional, sudah lama ada kesepakatan untuk “moratorium” hukuman mati, bila hukum positif suatu negara belum dapat dicabut atas berbagai alasan kultur dan politik domestik. Pada perspektif itulah kita seharusnya mengerti evolusi kesadaran hak asasi manusia, sebagai konsep yang pada akhirnya harus kita maksimalkan demi membangun sebuah dunia yang beradab dan berperikemanusiaan. Kita memahami apa yang menjadi konsekwensi dari “peredaran narkotik” bagi generasi muda. Tetapi kita juga mengetahui bagaimana sistem hukum kita yang sering dengan mudah ditembus oleh jaringan kejahatan internasional karena aspek koruptif dari aparat penegak hukum yang masih sangat menguasai sistem peradilan kita. Tetapi lepas dari semua itu, kita juga perlu mengingat prinsip dalam penghukuman bahwa sekali seseorang dijatuhi pidana mati, maka seluruh kemungkinan berlangsungnya kesalahan penerapan hukum tak mungkin lagi diperbaiki. Merry Utami akan dihukum mati beserta 12 orang lainnya yang terdiri dari warga negara Indonesia, Nigeria, Pakistan, Senegal dan India. Merry Utami seperti Mary Jane adalah korban kemiskinan dan kekerasan. Ia pernah menjadi pekerja migran mengadu nasib ke Taiwan demi sesuap nasi. Seperti kebanyakan perempuan dalam keadaan miskin, memimpikan kehidupan yang lebih baik. Maka ketika ia bertemu dengan seorang kekasih yang katanya mencintainya dan mencintai orang tuanya dan kehidupannya, ia terperdaya. Kekasihnya yang mengaku warga negara Kanada memanjakannya dan mengajaknya berlibur ke Nepal serta menjanjikan akan menikahinya. Di Nepal itulah, ia ditinggalkan kekasihnya yang katanya perlu ke Jakarta untuk mengurus bisnisnya tetapi meminta Merry untuk membawa barang titipan. Pada tanggal 31 Oktober 2001, Merry tiba di Bandara Soekarno Hatta dan ditangkap karena ditemukan heroin seberat 1,1 Kg yang disembunyikan di bagian dinding tas. Merry tentu kaget dan berusaha menghubungi kekasihnya yang ternyata memiliki banyak nama samaran dan menghilang tanpa jejak. Merry ditahan dan sempat mengalami penyiksaan sebanyak tiga kali saat pemeriksaan di Bandara (laporan lembaran fakta Komnas Perempuan, 18 Mei, 2 dan 18 Juni 2016). Cerita Merry adalah cerita klasik, perempuan miskin yang dibodohi. Tentang semua kesalahannya, pengadilan telah memutuskan hukuman mati. Tetapi apakah prosedur permintaan grasi yang bersangkutan sudah dijalankan oleh sistem peradilan kita? Apakah Presiden telah sungguh-sungguh membaca kasus perkasus yang dimintakan grasi oleh para terpidana? Hukum memberi hak pada para terpidana untuk meminta pengampunan pada Presiden, dan Presiden wajib membaca permintaan itu sebagai satu kesatuan prosedur hukum yang adil. Merry telah mengajukan permohonan grasi dengan nomor:02/Pid/2016/PN.TNG melalui kuasa hukummnya dari LBH Masyarakat. Di sore hari yang sendu, WA yang saya terima dari seorang sahabat yang bekerja di LBH Masyarakat, menyampaikan bahwa Merry telah pasrah. Ia seorang perempuan tegar meski hatinya hancur karena harus meninggalkan anak semata wayangnya, seorang gadis kecil. Mungkin karena itu dalam kepasrahannya dan sekaligus kegigihannya mempertahankan bukan saja hidup untuknya tetapi untuk anak perempuan kecilnya, ia menulis surat kepada Presiden Jokowi. Bagaimanapun ia ingin merawat anaknya, menyaksikan anaknya tumbuh menjadi perempuan dewasa yang siapa tahu nasibnya lebih baik darinya, mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak. Ini cita-cita setiap ibu di mana pun juga. “Semoga Bapak Jokowi dengan kemurahan hati bisa mengampuni semua yang pernah saya lakukan…Dengan rasa hormat saya mengucapkan banyak banyak terima kasih. Semoga Bapak dan keluarga selalu sehat…” demikian doa Merry kepada Presiden Indonesia yang entah mendengarkan atau tidak, peduli atau bergeming. Nyawa manusia di negara ini memang murah, sedemikian murahnya eksekusi mati kadang dilihat sebagai hiburan, panggung meriah dan pesta kematian. Pernahkah kita berpikir bahwa mungkin saja orang-orang yang dihukum mati ini tidak bersalah, bahwa negara belum menjalankan kewajibannya untuk memberikan pelayanan hukum yang maksimal dan sungguh-sungguh? Mungkin sebagian besar rakyat tak meratapi kepergian Merry, tapi ada seorang gadis kecil yang terisak sebab ibunya akan pergi untuk selamanya tanpa ada yang peduli. Negeri ini didirikan demi memuliakan harkat manusia. Mukadimah konstitusi kita menegaskan prinsip itu. Amandemen konstitusi bahkan telah memasukkan seluruh pasal Hak Asasi Manusia yang menjadi pedoman praktek universal bangsa-bangsa beradab. Maka sebagai bagian dari masyarakat dunia, seharusnya kita memelopori upaya global untuk menghapus hukuman mati secara permanen. Pikiran inilah yang hari-hari ini menumpuk pada saya dan semua orang yang peduli pada kemanusiaan. Harapan itu harus tetap ada. Rocky Gerung Pengajar Program "Kajian Filsafat dan Feminisme" (Kaffe), Jurnal Perempuan rockygerung@gmail.com Apa argumen final anda tentang hukuman mati? Bila pembelaan hendak anda ucapkan, cukupkah dengan mengalaskannya pada prinsip “hukum positif”? Bagaimana bila penalaran postivistik itu bercampur dengan ‘alasan moralistik’, semacam “efek jera”? Itulah yang terjadi di negeri ini: ketakmampuan para akademisi menjernihkan duduk perkara, dengan akibat bercampurnya argumen positivistik dengan argumen moral. Persoalannya adalah: bagaimana menguji konsekuensi dari “teori efek jera”, semata-mata berdasar keinginan memberi “pesan moral”. Negara mencabut nyawa seorang manusia hari ini, agar manusia yang lain menjadi bermoral besok? Yang berbahaya adalah ketika hukuman mati itu dipahami sebagai “hadiah” negara untuk menegakkan moralitas. Jumat lalu (3/6/16), dalam sebuah diskusi di YLBHI, Jakarta, Robertus Robet, sosiolog, menerangkan suatu ilusi berbahaya yang sedang diedarkan pemerintah: bahwa kegagalan pemerintah menyelenggarakan “keadilan sosial”, dimanipulasi dengan “menyediakan hukuman mati” sebagai pengganti rasa keadilan publik. Dan publik seperti terpuaskan oleh kebijakan itu. Atas nama nasionalisme, atas nama hukum positif, atas nama histeria massa, negara memuaskan moral publik dengan cara manipulatif. Itulah kebengisan yang dipamerkan negara demi menguasai episteme kekerasan. Filsuf Michel Foucault pernah menyebutnya sebagai “festival of torture”. Tapi apakah itu menimbulkan efek jera? Statistik justru membantahnya: korelasi antara kejahatan narkotik tak berhubungan dengan jumlah pidana mati yang dijatuhkan. Pun dalam kasus kejahatan perkosaan, kengerian hukuman tak menimbulkan efek jera. Bila anda memahami penalaran “economic analysis of law”, dan berpikir sebagai “rational-maximizer”, maka mudah dipahami bahwa seorang pemerkosa akan memilih memperkosa sekaligus membunuh korbannya, karena itulah cara paling “efisien” memperkecil risiko: korban tak mungkin lagi bersaksi. Absurditas hukuman mati demi efek jera, juga terletak pada asumsi bahwa semua orang adalah potensial menjadi pemerkosa. Logikanya, yang harus jera adalah "calon pemerkosa". Siapa dia? Tak ada yang ingin konyol mau mengaku. Maka harus dianggap bahwa efek jera ditujukan pada semua orang. Bila demikian, mengapa hukuman yang seharusnya diterima nanti oleh semua orang, telah dibebankan secara akumulatif pada pelaku hari ini? Tentu, teori penghukuman telah banyak berubah, terutama karena pemahaman terhadap “hak asasi manusia”. Bukankah hak hidup itu tak boleh sekalipun, dalam kondisi apapun, dibatalkan oleh negara? Dan prinsip itu ada dalam konstitusi kita! Kita kini ada dalam antropologi kebengisan: balas dendam! Dan kampus kurang berusaha memperlihatkan sikap akademis yang utuh tentang soal ini. Kampus tidak mengolah argumen untuk menghadapi para pendukung hukuman mati. Kampus yang gagap karena tak mampu berpikir konsekuensional. Kampus yang tak paham filosofi konstitusi. Kampus yang miskin pikiran. Petisi Tolak Hukuman Mati: https://www.amnesty.org/en/get-involved/take-action/stop-imminent-executions-indonesia/ Rocky Gerung Pengajar Program "Kajian Filsafat dan Feminisme" (Kaffe), Jurnal Perempuan rockygerung@gmail.com Apa evaluasi anda tentang kondisi HAM hari-hari ini? Bagaimana anda melihat arah demokrasi, dari sudut pandang hak asasi manusia? Akhir-akhir ini, kita menyaksikan kembalinya politik negara, memonopoli isu-isu HAM. Negara tetap bersikukuh pada hukum positif tentang perlunya “hukuman mati”. Negara masih represif pada kebebasan berpendapat. Negara bahkan permisif terhadap aksi pembubaran forum diskusi oleh Ormas. Kemarin adalah Kamis ke-445 bagi Aksi Kamisan, yaitu aksi tiap Kamis di depan Istana Negara untuk meminta perhatian negara terhadap pelanggaran HAM. “Payung Hitam” menjadi semiotika politik dari aksi yang yang bertahun-tahun berlangsung damai, hanya untuk menuntut hak: “mereka yang hilang karena keyakinan politik”, “mereka yang tertindas karena status agama”, “mereka yang tersingkir karena membela lingkungan”, dst. Tak ada massa yang mengamuk pada setiap Kamis itu. Sekadar berkumpul dan berbagi semangat hidup, berorasi liris, atau cukup berdiri diam, dengan satu pesan: “hak kami belum kembali”. Itulah politik Kamisan, menunggu karena percaya ada harapan. Kemarin, Safina, mahasiswa Filsafat UI, pada Kamisan ke-445 itu, meringkas “semiotika payung hitam”, dalam satu kalimat liris: “kamisan adalah aksi diam, yang didiamkan”. Ia mengalami Kamisan sebagai suatu peristiwa keadilan. Kemerdekaan adalah ruang hidup demokrasi. Kemanusiaan hanya bermakna dalam kemerdekaan. Bahkan pada kesetaraan makhluk, kita memahami makna “ethics of care” itu: kepedulian adalah kepekaan pada ketidakadilan. Ibu Sumarsih, seorang yang tak pernah letih berdiri setiap Kamis di depan istana, tak hanya ingin mengenang putranya, Wawan, yang berkorban nyawa memperjuangkan demokrasi pada 1998. Ia hanya ingin agar “diamnya tak didiamkan”. “Ethics of care” adalah sinopsis dari filsafat feminisme. Ia menjadi ‘lonceng nilai’ hari-hari ini, bahwa kemerdekaan adalah hak setiap makhluk. Bahwa keadilan adalah aturan alam semesta. Bahwa persaudaraan adalah hakikat kemanusiaan. Ingatan tak hilang, bila pkiran tak lumpuh. Ibu Sumarsih mengajarkan itu, lebih dari semua teori keadilan yang pernah kita pelajari dalam kelas filsafat. Seorang mahasiswa menemukan itu dengan mengalami Kamisan sebagai peristiwa diam yang politis. Generasi bertumbuh dalam ingatan. Politik memburuk dalam kekuasaan. Tetapi harapan memberi keyakinan bahwa “yang diam”, tak berarti “tak ada”. Apakah anda membaca surat-surat Kartini? Apa yang membekas dalam sejarah sehingga Kartini harus terus diingat-ingatkan? Dalam sejarah, “membekas” tak sekadar berarti “berkesan”, melainkan “berpesan”. Meninggalkan pesan, itulah pelajaran sejarah. Surat-surat Kartini adalah pesan sejarah tentang kegelisahan dan harapan, yang berasal dari keyakinan: bahwa kegelapan tak akan menetap. Bahwa pikiran dan kecerdasan akan membawa terang kesetaraan. Pesan tak berasal dari peristiwa. Peristiwa dapat berkesan, tetapi pesan harus dibuat agar peristiwa itu menetap sebagai pelajaran. Kebaya adalah kesan. Tetapi Emansipasi adalah pesan: bahwa feodalisme adalah sarang patriarki. Ia ada di dalam institusi-institusi kita hari ini: partai, birokrasi, LSM, media, bahkan universitas. Patriarkisme adalah struktur kekuasaan. Dipelihara oleh partai melalui sistem oligarki. Dipatuhi pers karena pertimbangan bisnis. Meluas di kampus melalui doktrinasi moral. Bahkan dalam berbagai mitos lokal, struktur patriarki itu dirawat sebagai kearifan. Ketika Zeus mengirim Pandora ke dunia, raja para dewa itu membekali si perempuan pintar ini kotak rahasia, dengan perintah, “Jangan sekali-kali kau buka kotak itu, Pandora!” Pandora diciptakan oleh semua dewa. Ia memperoleh seluruh keunggulan semua penciptanya: Apollo memberinya suara merdu. Aphrodite mewariskan kecantikannya dan menyediakan perhiasan mewah. Hermes membekali kecerdasan terbaik. Pada Pandora, seluruh kesempurnaan perempuan telah selesai. Tetapi Pandora menolak patuh pada perintah Zeus. Ia membuka kotak itu, demi kuriositas, “Jangan-jangan isinya kamera pengintai.” “Aku tak ingin dikendalikan!”, dengan keputusan itu, Pandora membuka kotak rahasia itu. Tapi nasib telah ditentukan: seluruh kejahatan keluar dari dalam kotak, menyebar ke seluruh dunia. Maka hukuman jatuh: perempuan adalah sumber segala kejahatan, “the root of all evil”, “femme fatale”, “sundel bolong”. Kutuk itu bahkan ada dalam doa seorang laki-laki di pagi hari, “Terima kasih Tuhan, karena aku tidak dilahirkan sebagai seorang budak, dan tidak lahir sebagai perempuan.” Tetapi dalam hermeneutika feminisme, Pandora bukan akar segala kejahatan. Ia adalah pembawa terang kesetaraan: bahwa pengendalian perempuan adalah kejahatan peradaban. Hari ini, seorang perempuan diingat karena keberaniannya menuntut terang. Dari ruang gelap feodalisme, yang kini justru dihuni kaum cendekia. Selamat Hari Kartini. Apa pikiran anda tentang kondisi kaum intelektual kini? Apakah semangat mempertahankan kebebasan masih menandai mereka? Apakah akademisi adalah kaum intelektual? Berpikir dalam “konsep” adalah ciri intelektual. Yaitu aktivitas mengolah problem dengan mengambil jarak dari konsekuensi praktisnya. Tetapi sejak Gramsci, pandangan tradisional itu tak lagi dominan. Medan politik memerlukan pikiran yang terlibat. Kaum intelektual menjadi bagian dari perubahan sosial. Terutama pada feminisme, aktivitas berpikir adalah aktivitas mengubah kondisi ketidakadilan, pada seluruh institusi sosial. Seringkali, kondisi poskolonial menjadi latar dari mental kaum intelektual hari ini. Terutama dalam menerangkan kegagapan menghadapi globalisasi. Obsesi pada otentisitas menyebabkan kegagapan itu berubah menjadi kebencian pada “yang asing”. Sindrom poskolonial inilah yang kini menguasai alam pikiran kampus. Apakah anda memperhatikan gejala ini? Bukankah aneh bahwa sikap feodal di antara akademisi justru tumbuh di kampus? Bagaimana menerangkan hilangnya tradisi kritisisme di Universitas? Misalnya bahwa kepangkatan birokratis menentukan kualitas riset atau jabatan formal dalam birokrasi kampus sekaligus berarti keunggulan intelektual? Dalam debat tentang pengaruh kolonialisme pada sejarah Afrika, Valentin Mudimbe, filsuf Congo, menerangkan bahwa yang lebih menentukan adalah kedalaman ideologis yang ditinggalkan kolonial, ketimbang lamanya masa kolonial itu. Saya membaca tesis itu di kita, di sini. Artinya, pada masyarakat poskolonial, dekolonisasi belum terjadi pada tahap ideologis dan kampus bahkan menjadi institusi yang mereproduksi hierarki feodal dalam dunia pikiran. Hierarki adalah ideologi patriarkis. Akademisi yang memanfaatkan hierarki birokratik untuk menghalangi kompetisi pikiran adalah agen kolonial masa kini. Ia mereproduksi struktur dominasi dengan cara yang sangat bodoh: takut pada kebebasan. Maka kita menyaksikan paradoks itu: penampilan publik seorang akademisi terlihat palsu, karena di dalam kampus ia sesungguhnya seorang yang anti keadilan. Ia mengeksploitasi hierarki karena takut pada kesetaraan. Di dalam hirarki, ia menjadi penguasa, menjadi patriarkis. Menjadi kolonialis. Selalu relevan membicarakan “kaum intelektual” setiap kali kita merasa kehilangan orientasi dalam membaca “tanda-tanda zaman”. Tetapi bagaimana anda mampu mengintip peluang perubahan menuju kemajuan, bila anda bagian dari mentalitas “takut bebas”? Filsafat adalah undangan untuk berpikir. Tetapi kampus hari ini telah berubah menjadi lokasi birokrasi. Isinya adalah tumpukan formulir. Berpikir mengikuti format formulir? Itu bukan watak filsafat dan bukan watak intelektual. Nicholas Jackson University of Melbourne In her inaugural English collection of poems published by Yayasan Jurnal Perempuan, Yacinta affirms herself as an “activist, feminist, extremist and optimist” (“The United Nations of Me”) and she consolidates this throughout the volume. Yacinta’s writing is provocative, alive and fun and her poems are as critical and cynical as they are thoughtful and considerate. In this first collection she covers religion, sexuality, the 1965 massacre, pop culture, patriarchy, refugees, Asian identity and women’s rights. The stories told in the poems are honest and refuse to be ignored. The collection’s title To whom it may concern serves as the title for several poems in the collection that provide a gentle, but powerful and persistent voice for the survivors of the 1965 massacre that collectively and defiantly say: we have not forgotten. The other poems in the collection are sometimes autobiographical, sometimes a moving tribute, sometimes a lamentation and sometimes a celebration, but they are all powerful social commentaries. The poems in the collection are accompanied with equally beautiful illustrations by Dewi Candaningrum. Yacinta has established herself as everything she described in the "United Nations of Me" and more. Apa yang anda sukai dari puisi? Keindahan kata dan kedalaman makna? Itu adalah aspek personal dari apresiasi seseorang terhadap puisi. Tetapi apakah puisi juga mencerminkan kehalusan budi para penyukanya? Kaisar Nero diceritakan membakar Roma sambil baca puisi. Plato bahkan menganggap puisi sebagai ilusi yang buruk. Tetapi Dante mengarungi Divine Comedy-nya dengan inspirasi Virgil. Puisi adalah cara menghasilkan dunia “di dalam diri sendiri”. Bukan untuk mengasingkan diri dari dunia luar, melainkan untuk memiliki dunia sendiri, yaitu dunia batin yang tak tunduk pada hukum pasar. Demikian halnya kata-kata. Ia terbit dari situasi eksistensial, yaitu situasi yang menghasilkan pertanyaan hidup paling otentik: cinta, keadilan, kematian, kehendak bebas, dst. Karena itu, puisi, filsafat dan kampus, seharusnya hidup dalam satu nafas, yaitu kejujuran. Feminisme mengajarkan hal yang sama, “ethics of care”. Birokratisasi kesenian adalah pemalsu kreativitas. Komoditisasi puisi adalah pemalsuan eksistensi. Tetapi gejala ini yang justru melebar dalam banyak forum kebudayaan kita. Intinya adalah keinginan untuk selebritisasi. Maka tak heran bila seni dan acara berpuisi, di kampus sekalipun, berubah menjadi “peristiwa komoditisasi”. Entah untuk promosi lembaga, entah untuk ketenaran seseorang. Pada level birokrasi negara, ada upaya untuk menghasilkan kreativitas sebagai produk ekonomi. Publik menyebutnya “industri kreatif”. Tetapi selalu ada soal yang tak pernah diperiksa: bahwa kreativitas adalah hasil pendalaman eksistensial, bukan sekedar proposal pameran. Artinya, pada batin yang kering nilai, tak mungkin tumbuh idealisasi kesenian. Konsistensi kesenimanan tentu diuji dalam godaan materil yang amat serius. Tetapi seharusnya ada kemampuan sublimasi seorang seniman untuk teguh pada integritas nilai yang ia pilih. Tanpa itu, kreativitas hanya hasil manipulasi sensasi konsumsi. Sesungguhnya, belajar filsafat adalah belajar menghasilkan diri yang otentik. Itu adalah tindakan puitis. Pada kemampuan abstraksi, anda menikmati kebebasan pikiran. Pada kemampuan kritisisme, anda berhadapan dengan tuntutan keterlibatan etis. Feminisme adalah etika keterlibatan. Filsafaf dan puisi memicu refleksi. Puisi dan feminisme menuntun refleksi pada perbuatan: yang adil, yang setara, yang jujur. Pada manusia puitis, mengendap filsafat kejernihan: Pectus est, quod disertum facit. Hati membuat manusia bertutur jernih. Hari ini adalah Hari Puisi Sedunia. Mari menjernihkan hati. Barbara Hatley (Professor Emeritus Asian Studies Program University of Tasmania) In this small book of poetry in English, Yacinta Kurniasih, lecturer in Indonesian Studies at Monash University and long-time poetry writer and performer, introducing herself, as a: “... tiny, ballsy….crazy, sexy … Javanese, Indonesian, Asian, internationalist … feminist, extremist, optimist, activist” (“The United Nations of Me”) engages with many key themes in contemporary life. In asserting her own views and experiences as a woman and a feminist she also contributes to a wider movement in contemporary Indonesia, in which feminist poetry and literature more generally serves as a site of challenge to conventional gender attitudes and resistance to patriarchal culture and religion. Yacinta addresses these themes as universal experiences (“Heterosexual Man’s Theory ”) and as particular issues in the Indonesian context–the phenomenon of veiling (“Man’s Language of Veil”, “Woman’s Language of Veil”,) and the two-finger test of virginity applied by the armed forces (“Two Finger Salute”). The strength and directness of these poems, the honesty and intimacy of expression, the bold engagement with sexual themes is surprising, often remarkable, for those familiar with Indonesian literature and culture. Readers without such a background, perhaps influenced by stereotypical views of Indonesia and ‘Asian women’, will find them truly revelatory. Along with gender relations the poems address other Indonesian political issues, particularly the legacy of the anti-communist violence of 1965, as well as wider socio-political questions very relevant in contemporary Australia–race relations (“ To Whom it May Concern – the world is not white”), the dominance of English (“Rage Against English”), fear of terrorism, migration and the Other (“ The current dictionary of Australian Fear”) and climate change ( “The Earth is talking”). All these poems embody an impressive energy, daring, wry sense of humour, and skilfully succinct expression, in conveying Yacinta’s distinctive woman’s voice as a sharp-eyed observer of and participant in Indonesian and Australian life. Hopefully future publications will provide the chance to engage with her Indonesian language poetry, delving deeper into Indonesian personal and social reality, while more poems in English open up for readers the world of Indonesian-Australian-male–female- inter–class, inter-cultural relations and reality as experienced by this multi-talented, multi-identitied participant and commentator. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|