Suatu sore saya ditelepon sebuah stasiun televisi yang meminta waktu wawancara terkait sertifikasi halal untuk jilbab. Saya terhenyak, sejak kapan muncul ide aneh ini. Lalu, saya membuka internet, terpapar iklan: "Kerudung Bersertifikat Halal Pertama di Indonesia". Astagfirullah, betapa mudahnya orang jualan agama. Sertifikat halal biasanya dimaksudkan untuk menyatakan bahwa sebuah produk halal secara syar'i, dan itu umumnya berbentuk makanan, minuman, kosmetik dan obat. Di Indonesia sertifikat halal dibuat MUI (Majelis Ulama Indonesia), banyak yang menyayangkan mengapa bukan label haram dibuat sehingga dengan mudah dan cepat kita mengetahui mana produk yang tidak layak dibeli olah umat Islam. Lagi pula, untuk mendapatkan label halal itu produsen harus bayar, dan itu dibebankan pada konsumen. Mestinya, pemberian label halal itu gratis (setidaknya ditanggung negara) sehingga konsumen tak merasa dizalimi. Terkait jilbab atau kerudung, siapa berhak memutuskan halal? Apa kriterianya? Setahu saya, jilbab itu berhubungan dengan perintah menutup aurat. Masalahnya, para ulama tidak satu pendapat dalam menentukan batasan aurat. Bahkan, tidak ada tafsir tunggal terkait ayat-ayat jilbab. Tidak heran jika ulama beselisih paham tentang kewajiban berjilbab. Lagi pula, mengapa hanya aurat perempuan yang selalu dipersoalkan? Bukankah aurat laki-laki juga perlu diperbincangkan? Keduanya harus menutup aurat. Keduanya harus berbusana sopan, tidak menyolok dan mengindahkan nilai estetika. Namun pengaturannya jangan sampai mengekang kebebasan berekspresi yang merupakan kebutuhan manusia. Selain itu, perlu pula dipahami bahwa keimanan dan kesalehan seseorang tidak bisa diukur dari busana yang dikenakan. Karena tidak ada batasan aurat yang pasti, kelompok Taliban yang mengklaim diri paling islami menerapkan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, bahkan mata juga aurat. Terciptalah burqah, busana perempuan yg menyerupai kelambu dan menutupi seluruh tubuh perempua dari ujung kepala sampai ujung kaki, tidak tersisa sedikitpun (lihat gambar). Mata pun tertutup, pemakainya hanya melihat melalui celah (sebesar lubang kasa nyamuk) terletak di bagian mata (lihat gambar di atas).
Ketika berada di Afghanistan tahun 2011, saya melihat kelompok Taliban memaksakan penggunaan burqah ini. Kemudian mengecam dan menghukum mereka yang tidak pakai burqah sebagai kafir, berdosa dan masuk neraka. Anehnya, Islam masuk ke Afganistan sejak abad ke-8 Masehi, namun burqah baru dikenal tahun 90-an, sejak masa Taliban. Sebelumnya, perempuan Islam di sana memakai kerudung seperti layaknya Muslimah di berbagai belahan Asia. Kalau ukuran Taliban yang diterapkan, mungkin tak satu pun Muslimah di Indonesia yang selamat karena saya belum menemukan perempuan memakai burqah. Memang ada yang pakai cadar, tapi mata masih terlihat jelas, bahkan lebih jelas dan menonjol dari mereka yang tidak bercadar. Pertanyaannya, tafsiran Islam mana yang akan digunakan oleh pembuat sertifikat halal untuk jilbab atau kerudung? Produsen mana saja yang akan dirugikan atau diuntungkan dengan sertifikasi itu? Pastilah produsen pembayar label halal akan mendapatkan label halal, seperti tertera dalam iklan tadi. Yang pasti, ulama tidak pernah sepakat dalam menentukan bentuk, model, dan bahan jilbab. Bahkan pendapat ulama tentang wajibnya jilbab pun tidak tunggal. Itulah sebabnya, di dunia Islam dijumpai aneka ragam bentuk, model, dan bahan jilbab. Semua orang boleh saja mengklaim miliknya paling islami. Tapi, tidak perlulah jualan label halal, ini sangat menggelikan dan sekaligus juga membodohkan. Marilah kita semua beragama secara cerdas, kritis dan rasional, selalu mengedepankan akal sehat. Menghargai perbedaan tafsir, dan jangan pernah mengklaim diri sebagai paling benar serta menghakimi yang lain dengan tidak islami, kafir dan semacamnya. Hanya Tuhan yang maha tahu siapa di antara hamba-Nya sungguh-sungguh beriman dan berislam. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|