Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa

TIGA TUBUH TANAH

28/1/2014

 
Picture
Oleh: Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi JP

Lukisan yang menjadi cover Edisi No 80 Tubuh Perempuan dalam Ekologi kali ini adalah “Tiga Tubuh Tanah” (akrilik di atas 140cmx140cm kanvas, tahun 2013) karya Idris Brandy. Tanah yang melahirkan segala makanan melalui tumbuhan dan mengandungkan air untuk tubuh, demikian juga, tubuh-tubuh bangkai yang memberikan gizi kesuburan pada tanah setelah kematiannya. Tubuh dan tanah adalah dua perihal yang merupakan rangkaian reinkarnasi dan melambangkan keterhubungan yang lekat. Seharusnya antara keduanya tak ada hirarki. Tetapi kebudayaan manusia meniscayakan di dalam dirinya fasisme manusia atas alam, hirarki tubuh atas tanah. Dan dia meletakkan tanah, binatang, perempuan dalam sistem “pelayanan” (services) atas idealitas kemanusiaan dan sebagai “sumber daya” (resources). Hubungan yang setara antara tubuh dan tanah, sebelumnya, tak lagi setara. Bahkan, binatang dan perempuan, dicap sebagai liar dan buas. Maka perlu ditundukkan, diatur, dan dieksploitasi sesuai dengan kebutuhan peradaban. Kata-kata “buas” dan “predator”, bahkan disematkan sebagai bentuk reduksi dan negativitas atas fungsi penting mereka terhadap keseimbangan alam. Peradaban mengenal makian-makian berikut: Dasar Anjing! Son of a Bitch! Lonthe! Asu! Bahkan tahi manusia yang menyuburkan juga menjadi basis makian dalam Shit! Bahasa manusia dibentuk berdasarkan pola-pola kekuasaan yang top-down dan hirarkis, dimana mekanisme, fantasi, dan subjektivitas manusia dibangun atas “bahaya” dan “ancaman” dari alam, binatang buas dan perempuan. Dus lahirlah diksi “bencana alam”. Dus hewan yang liar dan berbahaya, dalam hal ini adalah juga perempuan (misalnya melalui sunat), perlu dijinakkan, atau jika perlu diberangus supaya tidak membahayakan peradaban—kita mengenal beberapa banyak hewan mulai menjelang punah, sebagai contoh Harimau Sumatera, Serigala Siberia, Cheetah Iran, berbagai Burung Tropis Eksotis dan masih banyak lagi. Konsepsi reduksionis ini telah membawa ikutan-ikutan dan resiko ketidakseimbangan alam yang justru membawa ancaman dan kerusakan ekologis. Sifat-sifat keberbahayaan hewan telah menjustifikasi manusia untuk melakukan eksploitasi masif demi perikehidupan dan kemakmuran peradaban sang manusia.

Sebelumnya spesies manusia mengenal baik kondisi alam dan tanda-tandanya ketika alam mengabarkan berita-beritanya kepada manusia. Akan tetapi dengan semakin berkembanganya manusia dengan peradaban, dengan kebudayaannya, manusia semakin jauh dari alam. Spesies manusia membangun kebudayaan tanpa alamnya (culture without nature), dan manusia tak lagi sensitif terhadap swara alam. Bahkan pandangan dunia manusia telah menghilangan alam dalam axis mundi-nya. Alam tak lagi pusat wacana manusia. Manusialah, yang sekarang, menjadi pusat wacana bagi ekosistem. Dan lebih mengerikan, manusia menolak tubuhnya sendiri, dan hidup secara tidak organik. Manusia tergantung pada mesin-mesin, pada obat-obat, pada alat-alat, dan tubuh manusia berubah menjadi perkakas bagi egonya. Visi ini menjadi demikian destruktif terutama di negara-negara yang sedang berkembang, yang dilimpahi dengan kekayaan alam tak terbatas, seperti Indonesia. Tahun 2013 ini catatan kehilangan hutan di Indonesia merupakan catatan kehilangan terbesar dalam abad ini. Semuanya dipicu oleh pandangan dunia manusia yang tak lagi menjadikan alam sebagai pusat wacana karena alam adalah sumber kapital, tak lebih, tak kurang. Ini adalah kejahatan yang tak terpemerikan, yang tak terpemanai lagi, karena sesungguhnya manusia tak memiliki kesanggupan mengganti hutan itu, secara keseluruhan, dalam hitungan hidupnya. Manusia butuh generasi bergenerasi untuk dapat menumbuhkan kembali hutan. Ratusan tahun lamanya—minimal 300 tahun untuk membuat tanah subur kembali, dan manusia tak mampu melakukannya sendirian kecuali bahwa dia menitip warisan kepada anak cucunya untuk melakukan itu secara berjenjang, secara bergenerasi. Sementara peradaban manusia merusak kesuburan tanah hanya dalam hitungan hari, bahkan detik!

Eksploitasi berlebih atas Bumi, atas Alam, juga piaraan atas hewan dengan cara-cara tak “manusiawi” (“hewani”) merupakan penanda bagaimana spesies manusia tak lagi mengenal tubuhnya sendiri sebagai salah satu spesies binatang yang tak bisa hidup tanpa mereka. Tubuh manusia, sesehatnya, adalah tubuh yang hidup dalam harmoni dengan alam. Tubuh-tubuh manusia sekarang berubah menjadi perkakas, menjadi mesin, bagi egonya, yang tak lagi digubris atau diurus oleh akal manusia sendiri untuk hidup alamiah bersama alam, bersama binatang, bersama ekosistem. Dus ada persoalan politis yang masuk dalam kesadaran ekologis manusia ketika itu menyangkut pandangan dunianya. Kesadaran ini tidak bisa dibangun tanpa membangun terlebih dahulu konstruksi alam dan deklarasi kesaling-tergantungan manusia (intra-inter-dependence). Rekonsiliasi antara manusia dan non manusia dan kekuasaan hegemonik spesies manusia ini sudah terbangun demikian kuat dalam struktur sains modern, dimana ilmu pengetahuan menjadikan alam sebagai “objek penelitian”, kemudian “objek eksploitasi” karena dia menawarkan “kapital”. Pengalaman-pengalaman spiritual atas alam, sensitifitas manusia atas alam, kemudian tak lagi masuk dalam hitungan nomenklatur kebudayaan dari berpengetahuan. Tubuh—sebagai manifestasi tanah—tak lagi bermakna bagi manusia, selain sebagai kapital dan perkakas ego. 



Comments are closed.

    Author

    Dewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan

    Jurnal Perempuan terindeks di: 
    Picture
    Picture
    Picture

    Archives

    July 2018
    May 2018
    March 2018
    February 2018
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    June 2017
    November 2016
    July 2016
    June 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    May 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014
    May 2014
    April 2014
    March 2014
    February 2014
    January 2014
    December 2013
    September 2013
    August 2013
    July 2013
    June 2013
    April 2013
    March 2013
    January 2013
    December 2012
    November 2012
    October 2012
    September 2012
    August 2012
    June 2012

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa