Menurut Pusat Studi Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC Centers for Disease Control and Prevention) terdapat satu anak autis dari 68 anak-anak di seluruh dunia. Prevalensi ini naik drastis dari sebelumnya yaitu 125 kelahiran dengan 1 autis. Spektrum Autisme (ASD Autism Spectrum Disorder) muncul hampir di semua kalangan baik gender, ras, etnis dan kelas sosial yang berbeda-beda. Tetapi ASD lebih sering 5 kali lipat lebih besar pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Masih menurut CDC, biaya membesarkan anak autis, baik secara medis dan terapi adalah 6 kali lipat lebih besar daripada anak-anak lain pada umumnya.
Pada 2 April ini diperingati Hari Peduli Autisme Sedunia sebagai bagian untuk merayakan keberagaman dan keberterimaan masyarakat atas eksistensi kelompok difabel khususnya autis. Anak-anak autis adalah anak-anak istimewa yang “tidak bisa” bersosialisasi dan berkomunikasi seperti laiknya anak-anak yang lain. Biasanya mereka mengalami keterbelakangan dan ketertinggalan sosial, akademik dan kejiwaan. Di Indonesia, banyak sekali anak-anak difabel, anak-anak autis tidak terurus karena kondisi ekonomi orang tua dan sikap pandangan masyarakat yang masih belum ramah pada anak-anak difabel—kalau tidak melabeli mereka dengan anak-anak gila atau anak-anak “cacat dan tidak normal”. Demikian juga sokongan negara terhadap anak-anak difabel masih belum kokoh seperti halnya negara-negara maju pada umumnya. Pengetahuan orang tua, masyarakat, dan negara terhadap difabilitas dan perikehidupan anak-anak ini penting untuk menciptakan masyarakat dan negara yang “ramah difabilitas” (diffable-friendly society). Saya mengetahui bahwa anak saya, Ivan Ufuq Isfahan (lahir pada 6 Juli 2000), adalah autis, sejak dia berusia dua tahun. Kemampuan kognitif, intervensi wicara, ketrampilan berkomunikasi, dan lain-lain menarasikan bagaimana dia mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaan dan ide-idenya. Hampir delapan tahun lebih, sampai dengan sekarang, Ivan masih menjalani terapi wicara sebagai bagian dari membantu dia mengeksplorasi ide-ide dalam narasi verbal. Sebelum berusia 13 tahun, Ivan sering mengalami tantrum dengan sejarah agresi yang bervariasi. Sebagai Ibu, saya mempelajari model-model tantrum yang berbeda tersebut dan mencoba mengaitkan dengan modus-modus menenangkan agar dia mampu menyampaikan maksudnya dalam berkomunikasi. Karena biasanya tantrum dan “kekacauan konsentrasi” disebabkan oleh tak tersampaikannya apa yang hendak dikomunikasikan dan akhirnya anak menjadi “frustasi”. Pada tahun 2012, Ivan saya belikan piano, dan selama tiga bulan, sepuluh jarinya saya tempelkan pada tuts piano. Mulanya kaku-kaku dan tidak mampu. Namun pada akhirnya dia bisa. Setelah bisa, saya mengundang guru piano ke rumah. Sekarang dia bisa bermain piano dengan membaca partitur dasar not balok. Sejak dia bisa bermain piano, Ivan menjadi jauh lebih tenang dan hampir tidak pernah tantrum lagi. Ivan juga sangat senang melukis. Ratusan lukisannya di atas kanvas dan kertas merupakan visualisasi dari seluruh keinginannya untuk berkomunikasi kepada kita, yang kadang-kadang tak sungguh-sungguh kita perhatikan dengan baik. Masih banyak ibu-ibu tunggal yang membesarkan anak-anak difabelnya sendiri. Juga para orang tua yang berjuang mengurus anak-anak autisnya tanpa bantuan dari siapa pun. Mereka bahkan mendapatkan cemoohan bahwa anaknya gila, atau bahwa anaknya cacat. Dan anak-anak ini kerap juga disingkirkan dari masyarakat. PBB menetapkan hari ini 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Dunia (World Autism Awareness Day) sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian pada anak-anak penyandang autisme. Perayaan Hari Peduli Autisme Sedunia pada hari ini adalah upaya untuk memberikan pendidikan pada publik, bahwa mereka adalah anak-anak peradaban. Bahwa mereka adalah anak-anak kita. Selamat Hari Autis Anakku! Ibu mencintaimu dengan tanpa batas. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|