Pink Collar Ghetto & Brand-Building Di banyak negara, mayoritas jurnalis yang high-profile tetaplah laki-laki. meskipun telah ada beberapa usaha langkah afirmatif untuk menyertakan perempuan dalam jajaran kepemimpinan media, akan tetapi elit pemilik, elit editor, dan jurnalis media-media tetap didominasi oleh laki-laki. Ada banyak problem kunci yang harus dihadapi perempuan dalam menjejakkan karir di dunia media: mulai dari seksisme, peliputan perang yang berbahaya, dan sistem patriarki yang menjadi pilar perusahaan media multi-nasional dan nasional. Dalam buku terbaru Suzanne Franks yang berjudul Women and Journalisms (London: IB Tauris Publisher, 2013) menarasikan bahwa perempuan digambarkan secara tak berubah sejak 1901 sampai dengan 2013 ini, meskipun sejak 1973 perempuan mendapatkan lebih banyak akses bekerja di media (secara global, 31% perempuan bekerja di media sebagai jurnalis dibandingkan 7% menjadi dokter dan kurang 1% menjadi pengacara). Franks adalah seorang profesor kajian media dan jurnalisme di City University London yang juga pernah bekerja untuk BBC—yang banyak mendedikasikan diri meneliti politik, media dan gender dalam korporasi media internasional seperti dalam buku terbarunya ini. Masih menurut temuan Franks bahwa dokumen tersebut merupakan temuan BBC paling rahasia yang dimulai sejak tahun 1973. Hal ini lagi-lagi menandaskan bahwa moral patriarki masih kuat berakar dalam dunia media kita. “Swara perempuan bahkan tidak cocok untuk memberitakan perihal-perihal yang melibatkan emosi”, kata seorang senior manajer berita. Dan seorang jurnalis menolak bekerja pada pemimpin redaksi perempuan hanya karena dia adalah perempuan (hal 3-4). Temuan Franks ini amat mengejutkan dan juga fakta sehari-hari media global paling kini. Dalam media, perempuan banyak direpresentasikan sebagai objek berita ketimbang aktor, pembuat, dan subjek berita. Bahkan hampir 90 tahun usia sebuah kantor berita, tak satu pun editor perempuan dipilih untuk memimpin awak keredaksian. Ini adalah potret amat suram dalam media. Jika berkenaan dengan menarik konsumen, maka serta merta perempuan ditempatkan sebagai “pengail” (objek)—iklan-iklan banyak menggunakan figur perempuan seksi dan cantik. Tetapi jika berkenaan dengan “otoritas” isi, teknik dan narasi penulisan, perempuan hampir-hampir tak memiliki atau mempraktekkan ide-ide, hak-hak, dan partisipasinya. Franks mencatat terjadi kenaikan jumlah mahasiswa jurusan komunikasi dan media, dari 15% di tahun 1908 menjadi 60% di tahun 1984. Tetapi lagi-lagi, Franks masih menyebut perempuan berada dalam tempat paling rentan—dia menyebutnya sebagai pink collar ghetto, kampung miskin bagi pekerja kantoran perempuan (Beasley and Theus, 1988)—dimana pekerja perempuan di media masih mendapatkan penghasilan lebih rendah, dan mendapatkan peran lebih rendah dari rekannya, jurnalis dan editor laki-laki. Dan yang lebih menyedihkan perempuan-perempuan yang memiliki anak tersingkir secara pelan-pelan. Perempuan-perempuan yang sukses di media adalah yang single, muda dan tak memiliki anak. Perihal ini tidak terjadi pada laki-laki. baik laki-laki single dan yang memiliki anak, keduanya dapat sukses berkarir di media. Tantangan berat, halangan ganda, dan beban bertingkat selalu menghadang perempuan dalam profesi media. Melawan Seksisme Tetapi kabar gembira juga hadir dari jurnalis-jurnalis perempuan yang menuliskan beritanya. Perempuan-perempuan ini mengabarkan berita dengan lebih banyak memberikan fokus pada harga kejiwaan dan emosi dari perang daripada harga peralatan perang, misalnya. Atau perempuan memberitakan simpati dan empati atas korban bencana alam ketimbang kerugian angka-angka dari bencana. Ini melahirkan suatu fenomena baru atau keunikan pemberitaan dari “perspektif perempuan” yang sebelumnya kurang terwakilkan dalam media. Dus, perempuan melahirkan suatu “ruang baru” dalam media ketimbang mereproduksi ruang-ruang sebelumnya—yang terbukti seksis dan misoginis. Ini membuat perempuan, kemudian menciptakan “pasar pembaca” baru, yang kemudian menjadi pertimbangan editorial sebuah perusahaan media. Ini yang disebut sebagai brand-building oleh Franks untuk menembus atap kaca (glass ceiling) kepemimpinan laki-laki dalam media. Kemudian ini mengikatkan perempuan pada reinvensi jurnalisme dimana perempuan mengkurasi, mengedit, menciptakan brand untuk dirinya—bahkan dari dalam rumah, bahkan dari dapurnya, bahkan ketika dia sedang mengasuh anaknya. Revolusi digital ini dimulai dari rumah dimana kemudian mengguncangkan boys club dalam perusahaan-perusahaan media. Revolusi digital ini dipimpin oleh para blogger ibu-ibu dari dalam rumah mereka. Ini adalah berita yang menggembirakan. Setidaknya ada ruang baru dalam representasi swara perempuan yang diciptakannya sendiri. Dan perempuan juga mulai menguasai dan menciptakan teknologi dalam media. Ini adalah revolusi baru. Semakin canggih teknologi media tak menjamin bahwa seksisme terhadap perempuan kemudian surut. Kecanggihan seksisme juga meningkat seiring dengan penemuan-penemuan baru dan semakin cepat dan tingginya akses terhadap digital media. Tubuh-tubuh telanjang, secara biologis, adalah perihal biasa saja. Tetapi tubuh perempuan telanjang, disertai konteks tertentu, dalam berita tertentu, atau iklan-iklan tertentu, dalam analisis tertentu pula, dapat bermakna seksisme. Seksisme membutuhkan konteks, representasi, pilihan diksi dan motif untuk dapat disebut sebagai seksis, untuk dapat disebut sebagai bias dan tidak adil. Misoginisme semacam radio-radio di Eropa timur misalnya, yang membuat kuis dengan hadiah tidur dengan seorang pekerja seks komersial—ini adalah seksisme banal yang kemudian melahirkan gerakan perempuan Femen—yang kemudian menggunakan tubuhnya untuk melawan kesewenangan itu. Gerakan perlawanan perempuan, tak bisa diukur dan dinilai dari ruang kita secara semena-mena. Dia perlu diukur dan diurai darimana dia berasal, bagaimana konteksnya, bagaimana kulturnya, apa motifnya dan lain sebagainya. Industri media bahkan dengan terang-terangan menjadikan seksisme dan misoginisme sebagai faktor rating. Ini adalah ironi. Ini adalah tragedi. Seksisme adalah sikap dan motif merendahkan perempuan, secara eksistensial—menyangkut tubuhnya, pemikirannya, perasaannya—yang dianggap sebagai inferior dan boleh diperolok atau dihina. Seksisme media ini ada dimana-mana, bahkan diafirmasi dan direproduksi perempuan sendiri—karena terlalu latahnya, karena terlalu biasanya. Keberangkatan dari seksisme adalah stereotype atau pembekuan sifat dan peran perempuan pada perihal tertentu yang sesungguhnya merugikan eksistensinya. Pada mulanya seolah seksisme adalah hiburan ringan dan yang menjadi hiburan tak perlu jadi tersinggung karenanya. Tetapi kemudian ini membangun sebuah budaya yang “tak peduli” yang kemudian menjadi “tak sensitif”—minimnya sensitifitas ini kemudian melahirkan kekerasan pada dunia yang lebih kasat mata (eksploitasi seksual, kekerasan, perkosaan dan bahkan pembunuhan). Mari kita cermati bagaimana berita tentang perkosaan anak SD berubah menjadi berita sensasi—padahal sang anak kemudian mengalami gangguan jiwa seumur hidupnya. Betapa tak sensitifnya kita sebagai pekerja media. Betapa jahatnya pikiran kita. Sensitifitas dibangun oleh pengetahuan dan empati, terutama. Tanpa keduanya, kita gagal menjadi masyarakat yang adil. Solo, 4 April 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|